Sabtu, 28 Mei 2022

 K A R Y A

 

 AGOES ANDIKA, ASK.

 

Di Pantai Itu Aku Berkata

 

Bukan pertemuan membuatku tersenyum

kelahiran sudah mendahului

melihatmu sendiri menyusuri dermaga

lukisan lama tergantung tak berwarna

di pantai itu aku berkata

   "senja menjemput lebih awal, wajahmu

   samar tertutup bayangan"

 

jangan berpaling dari debur ombak ini

semasih perahu mengarungi gelombang

sebentar lagi matahari meninggalkan waktu

meniadakan cerita ini antara kita

di tanah melewati pesisir

tertunduk sepi tanpa menoleh

sebisanya aku berucap

      "maafkanlah"

 

rumah masa muda, 1985 –

 

Agoes Andika, Ask. Lahir di Br. Baleagung Singaraja Bali, 5 maret 1963, anak sulung dari tiga bersaudara. Menulis puisi sejak di bangku SLTP dan berlanjut saat menetap di Mataram tahun 1981, dibimbing oleh Putu Arya Tirtawirya dan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1987 pernah diundang membaca puisi di TIM Jakarta bersama penyair tanah air lainnya. Sejak 2017 menetap di Singaraja Bali.

 

 

*****_____*****

 

WAHID RIMBA

 

Halusinasi

 

Ketika terlihat burung malam terbang

Pulang mendekap dalam sarang

Walau diam tetap jalang

Mengusik kalbu tak tenang

 

 

Senja melaju menuju temaram

Selintas sinar penuh tatap menajam

Sepasang burung tangan bertilam

Sesak dalam cengkeram

 

 

Untuk kalian...

Puaslah penuh bergelimangan

Hapus kenangan

Merajam suci hasrat bertujuan

 

 

Terbenamlah matahari

Di ufuk barat kembali

Membawa janji dan mimpi

Di sini,di luka sekeping hati...

 

Kulonprogo, 230522

 

Wahid Agus Supriyanto adalah nama lengkap dari Wahid Rimba. Acap kali mendapat julukan  Pujangga Rimba.  Lahir di Kulon Progo 11 Maret 1978. Aktifitas sehari-harinya adalah Buruh Harian Lepas. Saat ini tergabung di Komunitas Padhang mBulan Brebeg Ethnika sejak kisaran pertengahan thn 2005. Karyanya berupa puisi/geguritan pernah dimuat di  Buletin Sastra "LONTAR" dan salah satu geguritannya  "nDleming” pernah di bacakan dalam salah satu acara Budaya di JOGJA TV oleh Sodhik TEKAPE. Pernah menjadi Pengisi Acara Reguler PUISIKU PUISIMU di Radio Andalan Muda bersama Grilyadi dan Janti. Beralamat di Rt 02/09 Durungan Wates, Kulon Progo.

 

 *****_____*****

 

SUYATRI YATRI

 

Kebiri Karya

 

Ach, jenuh aksara menantikan cahaya

Sinar pun enggan bermain diksi

Kekataku tawar berpasir

Terpangkas kandas larik

 

Ach, sakit bait jiwaku

Bernanah tubuh semantik

Kalimat rindu pun menyamar

Aku tiada daya terkubur di magma bumi

 

Penaku tak lagi bertinta

Karyaku tak lagi bersuara lantang

Semua jalan terbungkam

Suara hati melemah di tikungan kalah

 

Ujungbatu, 15 Januari 2022

 

Suyatri Yatri lahir di Padang Siminyak, 24 Agustus 1979, tinggal di Rokan Hulu Riau. Sudah banyak karya tergabung dalam antologi bersama dan juga karyanya terbit di media cetak dan on line. Buku kumpulan puisinya terbaru berjudul Mendulang Nusantara (PusakaKu, 2021). Pos_el. yatri.yatri03@gmail.com.

 

*****_____*****

 

 RIESSA

 

30 Oktober 2020

 

 30 Oktober 2020

Aku berjalan di tengah gundah

Saat meninggalkan jejak lama

Di kota tempat menghirup napas pertama

Berteman lelah

 

Sungguh menikam

Pedih kalbu

Tinggal di tempat baru

Mengikuti cerita baru

 

Andai prahara tak terjadi

Andai kedua kakiku masih bertahan

Andai keadaan tak seperti kenyataan

Beribu andai terus kusimpan dalam hati

 

30 Oktober 2020

Kututup diary usang

Di kota udang

Walau kadang ingin membuka kembali

Namun diaryku telah terkunci

Di tanggal 30 Oktober 2020

 

Surabaya 24 april 2022

 

Riessa Muljanto, lahir di Cirebon 30 Maret 1980. Saat ini tinggal di Jl. Rungkut  Mapan Tengah blok CH nomor 35 Surabaya.

Jumat, 20 Mei 2022

 

AIR MATA LEBARAN

Cerpen Okti Setiyani

 

“Bukan! Itu bukan ledakan kembang api, melainkan ledakan bom yang....”

             

            Wajah-wajah penuh kegembiraan mulai bermunculan saat matahari kembali ke peraduan. Dan  hilal –bulan sabit muda pertama--  telah terlihat. Azan magrib berkumandang. Disusul gema takbir yang menggetarkan jiwa mulai bersahut-sahutan di seluruh penjuru negeri. Suasana haru mengantar kepergian bulan penuh berkah –bulan Ramadan.

Tibalah penghuni bumi menyambut bulan Syawal. Bulan yang identik dengan saling memaafkan, kue-kue lebaran dan pakaian-pakaian yang indah. Tak lupa, suara yang mengagetkan, tetapi membuat langit yang ditaburi bintang seolah lebih hidup untuk sesaat. Ya, itulah ledakan kembang api yang menjadi hal biasa di saat-saat menuju lebaran.   

            Itu bukan cerita lebaranku, melainkan imajinasiku berdasarkan cerita salah seorang relawan yang datang ke pengungsian kami. Jujur saja suasana lebaran di negaranya dan negaraku sangat berbeda, benar-benar berbeda.

            Aku duduk bersandar di sebuah pohon besar berdaun lebat, membuat siapa saja yang duduk di bawahnya merasa nyaman dan sejuk. Pohon itu sudah tua, lebih dari umurku dan umur orang tuaku, mungkin pohon itu adalah sebuah saksi bisu atas kejadian yang sudah terjadi di tanah ini.  

Sejurus kemudian mobil ambulance muncul, memarkir di depan pengungsian yang dihuni lebih dari dua puluh lima orang itu. Pria-pria berjubah putih mulai menuruninya, mataku berbinar melihat seorang pria tinggi berkaca mata – Dokter Rizal. Ya, aku tidak sabar mendengar cerita tentang lebaran di kampungnya yang sejuk dan dikelilingi persawahan. Sangat berbeda dengan keadaan di sini, hanya ada sisa-sisa bangunan yang roboh, ladang yang hancur dan air mata.

            “Wah, pohon ini sejuk sekali....” ujarnya sambil berjalan menghampiriku.

            Aku tertawa dan mengangguk. “Benar sekali....”

            “Apa di negaramu banyak pohon seperti ini?” tanyaku penasaran, pasalnya sangat jarang pohon besar bertahan hidup di sini, selain tidak adanya air yang cukup, pohon besar sering kali terkena serangan bom.

            “Ya, banyak sekali....”

            “Dokter, sekarang coba cerita tentang lebaran....”

            “Baiklah, saat lebaran di kampungku sangat ramai. Keluargaku dari kota akan pulang kampung dan berkumpul di rumahku. Lalu, semua anak-anak muda akan berkumpul dan berjalan-jalan menuju rumah para tetua untuk meminta maaf. Kue-kue lebaran, tape, tempe dan lain sebagainya sudah menjadi hal biasa saat lebaran. Yah, aku jadi rindu dengan suasana di sana sekarang....”

            “Sepertinya tinggal di negaramu sangat nyaman, damai dan menyenangkan.” ujarku dengan rasa perih, pasalnya suasana di negaranya adalah apa yang selama ini negaraku inginkan, kedamaian.

            Pria berjubah puith itu tertawa kecil. “Ya, jujur saja bahwa saat aku berada di sini, aku baru sadar bahwa negaraku sangat damai....”

            Dokter Rizal menoleh padaku. “Apa saat lebaran keluarga-keluarga juga berkumpul?” tanyanya.

            “Ya, tetapi semua keluargaku sudah tiada.”

            Aku ingat beberapa tahun lalu, ketika semua keluargaku pergi dari tempat penuh air mata ini.

            *

            “Ayah…” teriakku saat bom itu jatuh dan meledak tepat di rumahku. Sedangkan aku hanya bisa menyaksikan pemandangan itu, terisak di atas ayunan di samping rumah. Dan tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Ya, satu demi satu keluargaku pergi dari tempat yang mengerikan ini.

Sebenarnya aku bahagia dengan kepergian mereka. Bukan bermaksud jahat, melainkan karena mereka sudah bahagia di alam sana. Tidak ketakutan lagi hidup di tempat penuh air mata ini. Aku sebenarnya ingin ikut mereka saja, namun Allah sudah memberikan kesempatan untukku hidup lebih lama. Mungkin Dia ingin aku mencari bekal dahulu sebelum menysul keluargaku. Baiklah!

            Di pengungsian ini, aku bertemu dengan mereka, anak-anak yang senasib sepertiku. Anak-anak yang masih ditakdirkan Allah untuk mencari bekal di dunia, demi menyusul keluarganya ke Surga.

 


Okti Setiyani
, gadis kelahiran 1999 ini adalah seorang guru di salah satu SMP di Kulon Progo. Ia menyukai menulis, membaca dan mengkhayal sejak semester satu perkuliahannya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang ini ia sudah memiliki 2 novel yang berjudul “Touch The Sky” dan “Campus Puzzle”, juga beberapa antologi cerpen dalam kompetisi menulis yang pernah diikutinya. Penulis dapat dihubungi melalui Email oktisetiyani1999@gmail.com dan Instagram @okti_setiyani08

Sabtu, 14 Mei 2022

 

K A R Y A

 

 

CUNONG NUNUK SURAJA

 

Samantha 25.00.30

 

setengah gelas es serut alpukat terpojok

bibirmu enggan menggores gincu di meja

setumpuk receh kembalian menemani serbet makan

tusuk gigi  bambu terjepit malu di lipat garis

 

lembar nota tercatat jejak gesekan kartu uang plastik

teremas bulat melayang ke tong sampah berdiri

menyapa salam pelanggan pulang pergi gegas

ditentengnya keperkasaan tergantung kunci

 

pertikaian berlanjut di kamar hotel

anggur sajian penyambut menghangatkan musim

tak perlu tergesa karena derit langkah peronda

 

perjalan detik berdetak di dada debur pantai

jejak panjang umang lokan kepiting menyimpan data

pergumulan dusta di ujung rubuhnya dermaga

 

Anyer 2020

 

Cunong Nunuk Suraja, Lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1951. Menyelesaikan Sarjana Muda Pendidikan di IKIP Yogya, S-1 diIKIP Rawamangun dan S-2 di UI. Mengajar di  FKIP-Universitas Ibn Khaldun Bogor. Puisinya masuk di puluhan buku antologi bersama: Jogja 5,9 Skala Ritcher (2006), G 30 September (2009), Gempa Padang (2010), Senandung Bandung Jilid 3 (2011), Bangga aku jadi rakyat Indonesia (2011), Suara-suara yang terpinggirkan (2012).  Tinggal di Bogor Jawa Barat.

 

 

*****_____*****

 

ARDHI RIDWANSYAH

 

Menepi Kembali 

 

Yang kosong terisi,

Meja dan kursi,

Duduk di antara sisa-sisa,

Kenangan yang membasi,

Di setiap sisi lingkup ruang dan waktu.

 

Menyendiri dan terlelap,

Menjelajah mimpi;

Menatap seorang anak kecil,

Menangis di tengah malam,

Kehilangan kisahnya,

Yang berlari dari diri,

Menjauh dan tak kembali.

 

Mengisap jempol,

Satu-satunya jalan,

Membakar telapak tangan,

Dan kakinya; menuju jalan terjal,

Berliku, berkerikil, kesakitan,

Tersungkur, merintih lalu tertawa,

Seolah jadi bagian dari cerita,

Yang sukar ditebak akhirnya.

 

Kembali menata air mata,

Menjadi catatan masa,

Menerjang hampa dengan gemuruh,

Hujan deras dan pecahnya kasih,

Dari segelas kopi,

Menepi kembali,

 

Jakarta, 2022

 

Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Tulisan esainya dimuat di beberapa media online. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi “Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Puisinya juga dimuat di banyak media cetak maupun online. Penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta” E-Mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: Ardhi Ridwansyah, Whatsaap: 087819823958.


*****_____*****


RAHAJENG

 

Payung dan Doa

 

di bawah payung

tubuh berlindung dari cuaca

dua musim yang karib di semesta

sedang doa membalut diri

dari rasa angkuh

 

antara payung dan doa

seperti dua pusaka

memberi aman bagi tubuh serta jiwa

berkah dalam hidup yang fana

 

Probolinggo, 22 Januari 2022

 


  Rahajeng Wydhartiningsih
lahir di Probolinggo, 12 April 1989. Aktif bergabung di Asqa Imagination School (AIS), Community Pena Terbang (COMPETER), dan Kelas Puisi Alit (KEPUL). Juara 2 dan 3 di Asqa Book Award 2021. Bisa dihubungi melalui IG: @rah.ajeng12

 

 

*****_____*****

 


Sabtu, 07 Mei 2022

K A R Y A

 

EFFENDI KADARISMAN

 

Bulan Sabit

         

Seperti sang pertapa turun bukit,

Kau tak lagi bicara tentang lapar dan dahaga

Tidak. Seluruhnya telah mengalir jadi rindu

Sungai sepanjang urat nadi

Tebing yang hening. Lukisan sunyi

pada baris dan bait: bulan sabit

 

Seperti ayat-ayat makrifat

Bukankah firman itu selalu menggetarkan hatimu?

Di tepi telaga Kautsar,

yang menjulang hanya Allāhu Akbar

Jejak yang begitu menyesak,

Sisa rindu yang tertahan

pada keajaiban malam seribu bulan

Sepotong sajak di langit: bulan sabit

 

Bening dan teduh,

Lembar-lembar ruh yang telah terbasuh

Adakah yang lebih jernih?

Kau naik teratak tangga sampai ke puncaknya:

Takwa. Tak ada lagi beban,

Merdeka dari semua penjara

 

Pada ufuk yang sejuk: bulan sabit

Kemenangan pun dimulai

Kawan, Selamat Idul Fitri

 

Malang, 1 Mei 2022

 

Effendi Kadarisman, mendapatkan gelar Ph.D. di bidang linguistik dari Universitas Hawai tahun 1999, dengan menulis disertasi tentang puitika Jawa. Selain menekuni linguistik, ia juga mencintai puisi. Ia telah menerbitkan empat antologi puisi : Tembang Kapang, Tembang Bebarayan (2007), Uncommon Thoughts an Common Things (2020), dan Aurora di Kutub Utara (2010), dan Selembar Daun Hering (2020 ) - antologi terakhir ini sempat ikut lomba pada Hari Puisi Indonesia tahun 2021; dari 167 buku puisi masuk ke tahap 15 nominees. Sebuah puisinya masuk antologi puisi Seribu Tahun Lagi (2021); dan dua puisi lainnya masuk antologi Dunia : Suara Penyair Mencatat Ingatan- yang akan terbit di tahun 2022 ini. Saat ini Effendi adalah guru besar linguistik dan pakar etnopuitika pada program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).

 

 *****_____*****

 

IKA ZARDY SALIHA

 

Kalifahing Bumi

 

 Jagad gumelar iki cinipta

Awit saka sih Kang Maha Kuwasa

Nanging jalma manungsa saakehe padha lali

Kabeh amung darbe rasa pengin swarga

Kabeh  ora  kapengin mlebu nraka

Ing ngalam donya pengin urip mulya

Adoh saka lelakon nelangsa 

 

Wus ngendika Gusti marang para malaikat :

“Waizdkoola Rabbuka Lilmakaikati, Inni Jaailun fil Ardli Khalifah”

“Sejatine dakciptaake manungsa ing bumi iku

Ora ana liya dadi khalifah”

 

Manungsa tinitah anggulawenthah minangka kalifah

Ing bumi kagungane Gusti kang endah

Apa bisa anyuwun suwarga anglalekake donya

Apa bisa anolak nraka anistha bawana

   

Pengasih, 25 April 2022


Ika Zardy Saliha adalah nama pena dari Barokatussolihah, S.Ag. M.S.I. Nenek ( 50 tahun ) dengan satu cucu ini memiliki hobi membaca, menulis, bernyanyi dan aktif dalam komunitas agama juga sosial. Pada Tahun 2020, mendapat tugas baru sebagai Pengawas Madrasah di Kulon Progo dari profesi semula guru bahasa Arab di MTs Negeri 3 dan MTs N 2 Kulon Progo, peraih juara 1 guru berprestasi nasional tahun 2016, mendapat penghargaan SC di UEF Finlandia (2017), menjadi sekretaris FKUB Kulon Progo, kontributor Jurnalis Madrasah. Baru menulis 90 buku dan 50 an artikel/opini yang terpublish di berbagai media. Tahun 2019 mendapat penghargaan sebagai guru inspiratif produktif dari Menteri Agama. Alamat Ika, di Perum. BSA 1 No. 32 Rt. 06 Kecamatan Pengasih Kulon Progo DIY 55652.

 

 


Senin, 02 Mei 2022

Kado Kemenangan

Cerpen Marwanto

 

 

Pada ulang tahunnya yang ke duapuluh tujuh,   laki-laki itu mendapat kado sebuah puisi dari sahabat tercinta

 

kulihat pohon yang basah

bersanding di batu

:diam,

mereka berbaris

menghamparkan kehidupan

:pasrah

kutatap mereka

kusadari diriku

adakah di sini

arti sebuah eksistensi ?

 

Puisi itu berjudul Lagu Batu. Dikirim dalam amplop tertutup dibawa burung yang terbang tinggi. Setelah melewati mega-mega, burung tadi hinggap di bebatuan  halaman belakang sebuah rumah. Di situ, seorang laki-laki sedang berlatih yoga.

Melihat ada amplop putih polos yang baru saja dijatuhkan seekor burung, ia segera menghampiri lalu membukanya. Setelah mem-baca  isinya ia memekik membelah angkasa:

 “aku bukan batu. Aku adalah rajawali yang terbang tinggi.....!!” 

Ia berontak, menjelajah cakrawala.

***

            Sepuluh tahun kemudian, dua lelaki itu duduk di taman. Mereka tentu masih ingat tentang puisi itu, seperti halnya pesan yang terlanjur terukir di batu nisan. Dan kini, untuk sesaat, mereka saling diam. Gemercik air di kolam memijit urat-urat yang kelelahan. Matahari di ufuk Barat tinggal seperempat. Dengan semburat kuning tembaga mengintip pergelaran jagad.

            “Sebenarnya kita belum terlalu tua ya ?”

            “Iya....”

            “Tapi,  ubanmu mulai nongol tanpa malu-malu...tuh.”

            “Dan kau,  cepat masuk angin......”

            “Ha...ha...ha....”  Keduanya terkekeh.

            “Mengapa manusia sekarang cepat tua ya?”

            “Tidak juga !”

            “Cuma gampang menyerah maksudmu !?”

            “Emh....., kita terlanjur punya banyak penyakit....”

            “Padahal, sepertinya baru kemarin kau menyelesaikan kitab Karl Marx, Nietzsche,  Freud...”

            “Dan,....ah,  aku masih ingat betul, bagaimana kau kelabakan menghadapi seranganku dan mati-matian membela Tuhan....”

            “Ingat betul ?”

            “Ya, malam sabtu yang larut ! Emm...... pertengahan Juni”.

            “Tapi waktu itu kita belum selesai !”

            “Benar, meski begitu kau hanya bisa menyuguhkan keindahan norma, bukan  tajamnya analisa.”

            “Ehmmm.....”

            “Dan sejak itu kita agak berjarak memang.  Sebab kau menjadi sering keluar masuk masjid kampus bersama orang-orang  berjenggot.  Padahal......”

            “Padahal Karl Marx juga berewok dan berjenggot kan  ?”

            “Tepat, ha...ha......haaa......”

***

            Sepuluh tahun mereka jarang bertemu muka. Hanya beberapa surat yang menyapa. Dan akhir-akhir ini pesan di gawai belaka. Dalam surat maupun pesan di gawai, mereka tak hanya bertukar kabar. Tapi diskusi tentang jalan yang sesak oleh semak belukar.

O ya, mereka pernah sekali bertemu: di Solo Jawa Tengah, di awal tahun milenium. Sebuah reuni kecil. Meski cuma dihadiri  lima orang, itu sebuah reuni yang komplit: ada birokrat, pekerja sosial (aktivisLSM), seniman,  pengusaha, dan pendidik yang merangkap seorang ustad.

Reuni itu juga tak lama. Sebuah siang yang pendek. Diisi sedikit diskusi dan makan ala kocek mahasiswa. Lalu  diakhiri sholat dan doa bareng yang dipimpin peserta tertua. Dalam sholat bareng itu ternyata hanya diikuti empat orang. Sementara yang seorang asyik menikmati es krim.

***

            “Oya, bagaimana kabar  teman-temanmu di  el.... ?”

            “Maaf, apa kita tidak punya tema lain ?”

            “Aee, ada apa denganmu kawan......”

            “Prosesku amat panjang sobat”

            “Maksudmu,  bukan hanya dengan mereka saja sehingga kau ......”

            “Aku memang pernah menyangsikan Tuhan......”

            “Tidak, kau seorang  atheis sejati !”

            “Seberapa  jauh  kau mengerti tentang ateis ?”

            “Buktinya, reuni di Solo itu  !”

            “Hanya itukah ?  Sekali lagi, prosesku amat panjang dan berliku kawan !”

            “Sepanjang batu menjadi rajawali......?”

            “Aku memang anak batu. Tapi bisa jadi rajawali. Dan aku pernah terbang tinggi”

            “Sangat tinggi sehingga kau lupa  sesungguhnya derajat kepala cuma serendah tanah ?”

            “Tapi.....”

            “Tapi apa ?”

            Ia diam sesaat. Dadanya megap-megap. Seperti bendungan yang menahan luapan air membuncah.

            “Tapi.......  kini semua itu telah berakhir !”

            Dan kini bendungan itu benar-benar ambrol, menyerah. Airnya menyebar ke segala arah.

            “Kau tak lagi seekor rajawali ?”

            “Terserah apa kau sebut, rajawali atau kembali jadi batu. Yang jelas,  semua itu telah berakhir..”

            “Berakhir ?”

            “Ya, ketika aku merasa telah kalah... “

            “Emmm...., maksudmu ?”

            “Saat itu anakku lahir “

            “Lalu....”

            “Aku tak tahu persis, apakah saat itu aku kembali jadi batu, tapi...”

            “Tapi apa ?”

            “Saat itu aku, aku tak hanya merasa merdu mendengar suara azan...”

            “Jadi...?”

            “Aku hendak mengumandangkannya !”

            Kembali hening. Ada sedikit ragu yang tergambar dari bola mata lelaki itu.

            “Tapi kau masih diliputi rasa ragu ?”

            “Ahh.. emmm. Sudah sering aku mendengar suara azan,  tapi baru saat itu aku ingin mengumandangkannya...”

            “Dan..... cuba kutebak. Kau pasti langsung bisa kan ?”

            “Mengapa kau  tahu ?”

            “Sebab, Tuhan tak pernah menutup pintu bagi hamba yang ingin mengetukNya”

            “Benar, aku langsung  bisa. Meski, meski mungkin kurang sempurna.”

            “Dan kau mengumandangkannya di telinga anakmu”

            “Iya,  aku pertama  kali mengumandangkan adzan di telinga anakku. Disaksikan derai air mata isteriku.”

            Kedua lelaki itu menghela napas panjang. Matahari di ufuk Barat telah terbenam. Suara azan Maghrib mulai berkumandang, tanda buka puasa penghabisan telah tiba. Ya, besok Idul Fitri akan tiba. Beberapa orang tampak berdatangan di mushola kecil yang terletak di ujung halaman rumah. Setelah menghabiskan satu kurma, salah satu dari lelaki itu  bangkit dari duduk.

            “Mengapa  tergesa ?”

            “Bukannya  tergesa, aku cuma mau ke mushola....”

            “Ke mushola ?”

            “Ya, bolehkah aku mengumandangkan azan di musholamu?”

            Mereka berangkulan. Setelah melepaskan pelukannya, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya:  sebuah kopiah

            “Kau ingat ini ?”

            “Pasti kawan“

            “Saat kau memberikan sebagai kado pernikahanku, aku merasa belum akan menyerah. Dan memang, saat itu aku tak menyerah, meski kau tulis di kado itu Tuhan telah mengetukku di acara akad nikah. Sejak itu, aku pikir selamanya tak akan menyerah, tak akan kalah.....”

            “Tidak kawan, itu bukan kekalahan, tapi kelahiran. Dan itulah  kemenangan sejati. Kau telah menemukan eksistensi !”

            Dua lelaki itu berjalan beriringan menuju mushola. Disambut gema takbir yang menggelora di penjuru jagad raya......***

Wisma Aksara, 2006

 

 

Marwanto, menulis  esai, cerpen, puisi, opini, dan resensi buku yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pos Bali, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro Sulawesi, Suara Karya, Harian Jogja, Suara Merdeka, Solopos), majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Hai), tabloid (Adil) buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi, detikcom, cendananews, lensasastra, dll). Buku cerpen terbarunya: Aroma Wangi Anak-anak Serambi (2021). Mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo  serta membina komunitas Sastra-Ku.


  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...