Jumat, 31 Januari 2020

K A R Y A


PUISI MARJUDIN SUAEB


Amsal Putar Roda

Yang berputar pada poros setia
Gerak jiwa energi seksama

Yang mendenyut jantung sakti
Siapa sembunyi di tengah poros itu

Jangan-jangan dengan putaran setia
Kita berturutan lahir berganti
Mengisi sejarah di muka bumi.

Bisa saja usia yg tak terpinta
Juga roda putar dari sang Pencipta..

Tanpa kendali terpelanting
Dengan bijak sampai ke mana pun mau

Semisal nasib
Tak pernah setia pada perhitungan
Adakah kerna rahsia hidup dan keterpaksaan itu.

Seperti halnya kata
Tak juga dapat pegangi janji
Oleh ludah licin lidahmu

Dan nasib tak mesti berpihak
0leh putaran roda
Kerna itu pelajari arah putar

Kerna angin pemutar baling-baling
Cari secermat air cari yg terendah
Oleh bijak dalam berbagi.

Yk, 2020

*** ----- ***



PUISI ESTI MARYATUN


Getir

Tenggelam aku
Dalam getir
Dalam sunyi
Entah kenapa
BisikanMu
Selalu tersapu angin
Menelantarkanku
Dalam pekat
Gelap
Akankah berujung
Pada
Cahaya ?

Pengasih, 2019

*** ----- ***



PUISI PRAMUDITA


Niskala

Dalam sunyi beliau tersedu
Meratapi nasib yang teramat pedih
Raganya lebam hatinya pilu
Kisahnya gelap dalam sejarah
Bertahan dalam samarnya hitam putih
Memeras air diri demi sesuap nasi
Mengabdi sebagai seorang buruh
Tanpa memperdulikan caci maki

Ia berteriak mengejar keadilan
Hidupnya pilu matinya tak tenang
Sungguh kejam dunia peradaban
Kenistaan tak pernah terkekang
Getir hati mengenang
Kesucian diri direnggut
Nyawa raga melayang
Dalam mati amarahnya tersulut

Bagaimana tidak?
Kematiannya menjadi ladang esensi
Mendebat pun hanya akan kalah telak
Semua seakan buta dan tuli
Lembaga kemanusiaan menjadi tempat paling keji
Ia tak minta dibangkitkan
Ia hanya tak ingin kisahnya terulangi
Sungguh! Ini terlalu menyakitkan

Yogyakarta,25 Desember 2019

Jumat, 24 Januari 2020

K A R Y A


Nek Ali
Cerpen Tri Apriyadi


"Bu, aku sekarang sudah dapat bangun rumah sendiri. Di atas tanah yang di beli oleh mas Harjo setahun yang lalu. Kapan-kapan ke rumah ku ya bu... Tolong di kunjungi" suara Sri dari ujung telpon genggam terdengar cukup keras.
"Ya. Kapan-kapan ibu ke rumah mu. Nanti ibu tak menginap beberapa hari di rumah mu. Biar nanti kakak atau adikmu yang mengantarnya. Kalau sekarang aku baru tidak enak badan. Tunggu aku sehat dulu." jawab nek Ali 
"Ya bu. Aku tunggu ya ... Itu Sari, cucu mu juga dah kangen sama Uti nya. Dia sering merengek minta di antar ke rumah Ibu. Tapi mas Harjo masih sibuk urusan kantor ke luar kota terus".
"Ya. Aku juga sudah kangen juga sama Sari".
"Sudah bisa apalagi ya bocah itu ?" dia mengira-ngira cucunya. 

***
Pagi itu udara cukup dingin. Angin berhembus pelan. Semilir halus tapi menusuk tulang. Embun-embun masih menempel di rumput dan daun-daun jambu depan rumah. Bergoyang-goyang di embus angin. Mentari lambat laun mulai menampakkan wajahnya. Sedikit demi sedikit menyeruak dari ujung cakrawala menyinari macapada. Kehangatan mulai menyusupi badan.
Nampak nek Ali sedang menyapu halaman. Halaman tanah berbatu kerikil. Halaman sebenarnya tidak kotor. Hanya ada beberapa rontokan daun-daun yang jatuh di terpa angin. Dengan sapu ijuk yang kecil dia gerakkan dengan agak membungkuk. Rambutnya sudah hampir memutih semua. Tapi raut wajahnya dan kulitnya yang putih masih menyisakan kecantikan pada masa mudanya. Tapi pendengarannya sudah banyak berkurang. Jika berbicara dengannya harus dengan suara yang cukup keras. Hingga kadang kala tidak enak sendiri bila ada orang yang mendengar. Di kira membentak orang tua.
Nek Ali mengusap keringatnya yang membasahi wajahnya. Baru bergerak sedikit,  keringat telah keluar dari tubuhnya. Pertanda cukup baik baginya.
"Kayaknya aku sudah mulai sehat. Aku telah dapat mengeluarkan keringat. Dan badan terasa lebih enteng. Tidak seperti hari-hari kemarin" pikirnya.
Di rasa halaman telah bersih dan badan sudah agak capek, nek Ali masuk ke rumah. Dia selonjorkan kakinya di kursi panjang. Sambil memijat-mijat sendiri kakinya.
"Mungkin ini waktu yang tepat untuk aku menengok anak dan cucuku. Sri dan Sari. Biar nanti tak suruh Syarif mengantarkan", pikir nek Ali senyambang dia meneguk air putih dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Segar.  

"Syarif...Syarif." panggil nek Ali dengan suara yang agak keras dari teras rumah.  Syarif adalah anak sulungnya. Dia tinggal di sebelah rumah nek Ali. Syarif telah membangun rumah sendiri di sebelah rumah ibunya. Tanah yang menjadi hak warisnya  semenjak ayahnya, pak Ali Senjoyo meninggal dunia sekitar 5 tahun yang lalu. Sedangkan ibunya tinggal bersama Hasan, si bungsu bersama istri dan anaknya.
    Kebetulan Syarif sedang memperbaiki mobilnya yang kemarin sempat mogok. Hanya mengganti busi saja.
"Ya bu. Ada apa ?" tanya Syarif setelah dekat dengan ibunya.
"Nanti siang atau sore tolong antarkan aku ke rumah Sri yang baru ya. Dia yang meminta aku datang untuk menengok rumah barunya. Aku juga sudah kangen sama Sari cucuku."
"Lho, ibu itu bagaimana to. Ibu khan barusan aja sakit. Belum lama juga sembuhnya. Nanti kalau ada apa-apa gimana, hayo ?"
"Gak apa-apa. Aku sudah sehat kok. Tadi aku dah coba gerakkan badan untuk menyapu sudah agak enakan kok. Malah udah keluar keringatnya juga. Jadi badan agak enteng"
"Iya. Tapi ibu tetap masih harus banyak istirahat dulu. Ibu masih dalam masa pemulihan. Kata dokter nanti sekitar sebulan lagi ibu baru boleh bepergian lagi. Apalagi rumah Sri yang baru itu khan jauh. Dari kotanya aja masih sekitar 20 km lagi. Mungkin juga jalannya belum bagus. Udah lah bu. Kapan-kapan aja kalau ibu udah sehat benar. Pasti aku antar. Aku juga pengin lihat rumahnya Sri yang baru kok"
"Kapan-kapan itu kapan, Rif ? Mumpung sekarang aku merasa sehat. Aku khawatir nanti tidak sempat kesana kalau nggak sekarang"
"Ibu. Jangan bilang begitu ah. Pamali"
"Aku cuma pengin memenuhi permintaan Sri yang ingin memperlihatkan rumah barunya padaku. Biar dia senang. Itu aja kok"
"Iya. Iya. Ya Sudah. Kalau memang maunya begitu. Nanti agak siangan aku antar", kata Syarif akhirnya dengan menarik nafas cukup dalam dan melepasnya.
"Ibu memang keras kepala. Kalau punya keinginan harus segera terpenuhi", batin nya.   
            Siang itu. Matahari sudah bergeser sedikit dari tengah hari. Jam menunjukkan jam satu siang. Udara terasa agak panas. Debu-debu jalan beterbangan di lindas roda-roda motor yang melintas. Para pengendara banyak yang mengenakan masker penutup mulut. Orang-orang di pinggir jalan pmenutup hidungnya dengan tangannya. Tidak sedikit yang terbatuk-batuk. Para pedagang pinggir jalan dengan buru-buru menutup jajanannya. Jika yang kelebihan air, menyiramkannya di tengah jalan untuk melerapkan debu.
Syarif masih di luar sambil duduk di kursi bambu panjang. Dia membuka beberapa kancing bajunya karena kepanasan. Masih di tambah ia kibas-kibaskan kertas seperti kipas untuk mendapat sedikit angin sejuk. 
"Syarif, kamu sudah siap belum ?" tiba-tiba Nek Ali berteriak dari dalam rumahnya.
"Sudah bu. Sudah dari tadi. Lagi duduk-duduk di luar.", jawab Syarif.
"Ya sudah. Ayo kita berangkat." Nek Ali keluar dari kamarnya. Dia sudah rapi memakai kebaya yang di belikan suaminya dulu. Kebaya yang mempunyai banyak kenangan ia dan suaminya. Suaminya yang telah lima tahun meninggalkan dirinya karena serangan jantung yang telah merenggut nyawanya.
"Ya bu. Aku siapkan mobilnya dulu".
Tidak berapa lama mereka telah berangkat menuju ke rumah Sri. Butuh perjalanan sekitar tiga jam untuk sampai di rumah Sri. Jalan yang dilalui naik turun dan berkelok-kelok. Di samping kanan atau kiri di batasi jurang yang cukup curam. Butuh kehati-hatian yang lebih untuk melewatinya. Orang yang sudah hapal medannya pun tidak berani melaju kencang mengendarai motor atau mobilnya. Apalagi yang jarang lewat. Pasti akan merasa kesulitan. Matanya harus terus melihat rambu-rambu jalan, penunjuk arah ataupun peringatan. Jika lalai bisa celaka di buatnya.
Syarif mengendari mobil dengan sangat hati-hati. Apalagi mobilnya baru saja di perbaiki. Tentu ada yang belum pas dengan orderdilnya.
Tiga jam selanjutnya mereka telah sampai. Mereka berhenti tepat di halaman rumah Sri yang baru. Rumah yang besar dan luas dengan arsitektur modern. Halaman rumah di desain sebagai taman. Ada kolam ikan, tempat duduk dan rerimbunan pohon. Tampak nyaman sebagai hunian. 
"Sepertinya aku akan betah di tempat seperti ini", batin Nek Ali.
***
"Uing-uing...uing-uing..."
Terdengar suara mobil ambulance sebuah rumah sakit umum negeri luar kota meraung-raung memekakkan telinga di dekat jalan. Sebentar kemudian suara sirine itu tidak terdengar lagi. Mobil itu berhenti. Tepat di depan rumah Nek Ali.
Nampak dua orang laki-laki berpakaian putih-putih keluar dari mobil. Begitu keluar, langsung menuju pintu mobil belakang. Dengan cepat membuka pintu belakang dan menarik sebuah kasur roda keluar. Diatasnya telah terbujur mayat yang sudah dibungkus pocong dengan kain kafan dilapisi kain jarik di atasnya. Mereka dorong menuju rumah Nek Ali.   
Ternyata Syarif dan Hasan telah menunggu di depan pintu. Istri-istri mereka nampak sedang menangis di dalam rumah. Mereka telah di beritahu Sri lewat telepon genggam bahwa ibu mereka telah meninggal dunia. Nek Ali sehari setelah tiba di rumah Sri tiba-tiba kondisinya lemah. Nafasnya tersengal-sengal. Sesak. Sebentar kemudian beliau pingsan. Sempat di bawa ke rumah sakit terdekat. Tapi beliau sudah menghembuskan nafas yang terakhir di perjalanan. Nek Ali telah berpulang.

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...