Nek Ali
Cerpen Tri Apriyadi
"Bu, aku
sekarang sudah dapat bangun rumah sendiri. Di atas tanah yang di beli oleh mas
Harjo setahun yang lalu. Kapan-kapan ke rumah ku ya bu... Tolong di
kunjungi" suara Sri dari ujung telpon genggam terdengar cukup keras.
"Ya.
Kapan-kapan ibu ke rumah mu. Nanti ibu tak menginap beberapa hari di rumah mu.
Biar nanti kakak atau adikmu yang mengantarnya. Kalau sekarang aku baru tidak
enak badan. Tunggu aku sehat dulu." jawab nek Ali
"Ya bu. Aku
tunggu ya ... Itu Sari, cucu mu juga dah kangen sama Uti nya. Dia sering
merengek minta di antar ke rumah Ibu. Tapi mas Harjo masih sibuk urusan kantor
ke luar kota terus".
"Ya. Aku juga
sudah kangen juga sama Sari".
"Sudah bisa
apalagi ya bocah itu ?" dia mengira-ngira cucunya.
***
Pagi itu udara
cukup dingin. Angin berhembus pelan. Semilir halus tapi menusuk tulang.
Embun-embun masih menempel di rumput dan daun-daun jambu depan rumah.
Bergoyang-goyang di embus angin. Mentari lambat laun mulai menampakkan
wajahnya. Sedikit demi sedikit menyeruak dari ujung cakrawala menyinari
macapada. Kehangatan mulai menyusupi badan.
Nampak nek Ali
sedang menyapu halaman. Halaman tanah berbatu kerikil. Halaman sebenarnya tidak
kotor. Hanya ada beberapa rontokan daun-daun yang jatuh di terpa angin. Dengan
sapu ijuk yang kecil dia gerakkan dengan agak membungkuk. Rambutnya sudah
hampir memutih semua. Tapi raut wajahnya dan kulitnya yang putih masih
menyisakan kecantikan pada masa mudanya. Tapi pendengarannya sudah banyak
berkurang. Jika berbicara dengannya harus dengan suara yang cukup keras. Hingga
kadang kala tidak enak sendiri bila ada orang yang mendengar. Di kira membentak
orang tua.
Nek Ali mengusap
keringatnya yang membasahi wajahnya. Baru bergerak sedikit, keringat telah keluar dari tubuhnya. Pertanda
cukup baik baginya.
"Kayaknya aku
sudah mulai sehat. Aku telah dapat mengeluarkan keringat. Dan badan terasa
lebih enteng. Tidak seperti hari-hari kemarin" pikirnya.
Di rasa halaman
telah bersih dan badan sudah agak capek, nek Ali masuk ke rumah. Dia
selonjorkan kakinya di kursi panjang. Sambil memijat-mijat sendiri kakinya.
"Mungkin ini
waktu yang tepat untuk aku menengok anak dan cucuku. Sri dan Sari. Biar nanti
tak suruh Syarif mengantarkan", pikir nek Ali senyambang dia meneguk air
putih dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Segar.
"Syarif...Syarif."
panggil nek Ali dengan suara yang agak keras dari teras rumah. Syarif adalah anak sulungnya. Dia tinggal di
sebelah rumah nek Ali. Syarif telah membangun rumah sendiri di sebelah rumah ibunya.
Tanah yang menjadi hak warisnya semenjak
ayahnya, pak Ali Senjoyo meninggal dunia sekitar 5 tahun yang lalu. Sedangkan
ibunya tinggal bersama Hasan, si bungsu bersama istri dan anaknya.
Kebetulan Syarif sedang memperbaiki mobilnya yang kemarin sempat mogok.
Hanya mengganti busi saja.
"Ya bu. Ada
apa ?" tanya Syarif setelah dekat dengan ibunya.
"Nanti siang
atau sore tolong antarkan aku ke rumah Sri yang baru ya. Dia yang meminta aku
datang untuk menengok rumah barunya. Aku juga sudah kangen sama Sari
cucuku."
"Lho, ibu itu
bagaimana to. Ibu khan barusan aja sakit. Belum lama juga sembuhnya. Nanti
kalau ada apa-apa gimana, hayo ?"
"Gak apa-apa.
Aku sudah sehat kok. Tadi aku dah coba gerakkan badan untuk menyapu sudah agak
enakan kok. Malah udah keluar keringatnya juga. Jadi badan agak enteng"
"Iya. Tapi ibu
tetap masih harus banyak istirahat dulu. Ibu masih dalam masa pemulihan. Kata
dokter nanti sekitar sebulan lagi ibu baru boleh bepergian lagi. Apalagi rumah
Sri yang baru itu khan jauh. Dari kotanya aja masih sekitar 20 km lagi. Mungkin
juga jalannya belum bagus. Udah lah bu. Kapan-kapan aja kalau ibu udah sehat
benar. Pasti aku antar. Aku juga pengin lihat rumahnya Sri yang baru kok"
"Kapan-kapan
itu kapan, Rif ? Mumpung sekarang aku merasa sehat. Aku khawatir nanti tidak
sempat kesana kalau nggak sekarang"
"Ibu. Jangan
bilang begitu ah. Pamali"
"Aku cuma
pengin memenuhi permintaan Sri yang ingin memperlihatkan rumah barunya padaku.
Biar dia senang. Itu aja kok"
"Iya. Iya. Ya
Sudah. Kalau memang maunya begitu. Nanti agak siangan aku antar", kata
Syarif akhirnya dengan menarik nafas cukup dalam dan melepasnya.
"Ibu memang
keras kepala. Kalau punya keinginan harus segera terpenuhi", batin
nya.
Siang
itu. Matahari sudah bergeser sedikit dari tengah hari. Jam menunjukkan jam satu
siang. Udara terasa agak panas. Debu-debu jalan beterbangan di lindas roda-roda
motor yang melintas. Para pengendara banyak yang mengenakan masker penutup
mulut. Orang-orang di pinggir jalan pmenutup hidungnya dengan tangannya. Tidak
sedikit yang terbatuk-batuk. Para pedagang pinggir jalan dengan buru-buru
menutup jajanannya. Jika yang kelebihan air, menyiramkannya di tengah jalan
untuk melerapkan debu.
Syarif masih di
luar sambil duduk di kursi bambu panjang. Dia membuka beberapa kancing bajunya
karena kepanasan. Masih di tambah ia kibas-kibaskan kertas seperti kipas untuk
mendapat sedikit angin sejuk.
"Syarif, kamu
sudah siap belum ?" tiba-tiba Nek Ali berteriak dari dalam rumahnya.
"Sudah bu.
Sudah dari tadi. Lagi duduk-duduk di luar.", jawab Syarif.
"Ya sudah. Ayo
kita berangkat." Nek Ali keluar dari kamarnya. Dia sudah rapi memakai
kebaya yang di belikan suaminya dulu. Kebaya yang mempunyai banyak kenangan ia
dan suaminya. Suaminya yang telah lima tahun meninggalkan dirinya karena
serangan jantung yang telah merenggut nyawanya.
"Ya bu. Aku
siapkan mobilnya dulu".
Tidak berapa lama
mereka telah berangkat menuju ke rumah Sri. Butuh perjalanan sekitar tiga jam
untuk sampai di rumah Sri. Jalan yang dilalui naik turun dan berkelok-kelok. Di
samping kanan atau kiri di batasi jurang yang cukup curam. Butuh kehati-hatian
yang lebih untuk melewatinya. Orang yang sudah hapal medannya pun tidak berani
melaju kencang mengendarai motor atau mobilnya. Apalagi yang jarang lewat. Pasti
akan merasa kesulitan. Matanya harus terus melihat rambu-rambu jalan, penunjuk
arah ataupun peringatan. Jika lalai bisa celaka di buatnya.
Syarif mengendari
mobil dengan sangat hati-hati. Apalagi mobilnya baru saja di perbaiki. Tentu
ada yang belum pas dengan orderdilnya.
Tiga jam
selanjutnya mereka telah sampai. Mereka berhenti tepat di halaman rumah Sri
yang baru. Rumah yang besar dan luas dengan arsitektur modern. Halaman rumah di
desain sebagai taman. Ada kolam ikan, tempat duduk dan rerimbunan pohon. Tampak
nyaman sebagai hunian.
"Sepertinya
aku akan betah di tempat seperti ini", batin Nek Ali.
***
"Uing-uing...uing-uing..."
Terdengar suara
mobil ambulance sebuah rumah sakit umum negeri luar kota meraung-raung
memekakkan telinga di dekat jalan. Sebentar kemudian suara sirine itu tidak
terdengar lagi. Mobil itu berhenti. Tepat di depan rumah Nek Ali.
Nampak dua orang
laki-laki berpakaian putih-putih keluar dari mobil. Begitu keluar, langsung
menuju pintu mobil belakang. Dengan cepat membuka pintu belakang dan menarik
sebuah kasur roda keluar. Diatasnya telah terbujur mayat yang sudah dibungkus
pocong dengan kain kafan dilapisi kain jarik di atasnya. Mereka dorong menuju
rumah Nek Ali.
Ternyata Syarif dan Hasan telah menunggu di depan
pintu. Istri-istri mereka nampak sedang menangis di dalam rumah. Mereka telah
di beritahu Sri lewat telepon genggam bahwa ibu mereka telah meninggal dunia.
Nek Ali sehari setelah tiba di rumah Sri tiba-tiba kondisinya lemah. Nafasnya
tersengal-sengal. Sesak. Sebentar kemudian beliau pingsan. Sempat di bawa ke
rumah sakit terdekat. Tapi beliau sudah menghembuskan nafas yang terakhir di
perjalanan. Nek Ali telah berpulang.