Jumat, 28 Februari 2020

K A R Y A






PUISI ENES PRIBADI


Sisa Rahsia

Kemana harus sembunyi
Semua sudah terbaca olehmu
Tapi aku masih bertanya
karena aku sudah lupa
Dalam catatanku
semua hanya tanda, tak terbaca
Tuhan, maukah mengampuniku
Jika aku tak tahu kesalahanku
Rahsia, rahsiaku.

      --Panjatan; Ujung malam, 50120

Enes Pribadi, lahir di Kulonprogo pada 3 Juli 1958 dengan nama Pribadi. Nama Enes ( N dan S) diambilkan dari Nur Sahid, ayahnya. Pensiunan guru sejarah di SMA N 1 Wates ini sejak mahasiswa sudah berproses di bidang penulisan sastra, terutama puisi. Sempat mendirikan Sanggar Seni dan Sastra Kulonprogo (Sangsisaku) pada era tahun 1995 – 2000. Sejumlah puisinya dimuat di koran Jogja diantaranya Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi. Juga terkumpul dalam antologi bersama, diantaranya: Antariksa Dada (2008), Nyanyian Bukit Menoreh (2016), dan Kembar Mayang (2019). Bersama isteri tercinta dan tiga buah hatinya ia tinggal di Depok Panjatan Kulonprogo.


*** ----- ***


PUISI LIRING ANINDYA MAHARANI


Elegi Hipotesa Temu Sang Bulan

Angin berhembus pelan menerpa wajah sayu
Tubuhnya menggigil giginya bergemeletuk
Jemarinya terjalin rapat saling mengerut
Kepada November ia mengutuk

Sejak kecil sewaktu masih tengil
Lagaknya hiperbolis membanggakan bulan
Yang duduk tersenyum di kursi kecil
Yang siap sigap memilah wejangan

Ia bilang suka kunang-kunang, yang berarti kenang-kenang
Ia tak suka hilang lantas lekang dan ingin terus merasa menang

Tolong rawat baik-baik kuku dan rambutnya
Terkadang ia lupa untuk memotongnya
Tolong rawat baik-baik hatinya
Terkadang ia sakit menunggumu pulang

Bulan berbisik;
Mendekatlah dan merapat
Hingga bercakap tanpa sekat
Lantas tumpahkan keluh kesah
Agar bisa kupeluk semua resah

Besok ya? Mungkin besok ia kunjung
Sekadar menengok dan berkabar
Ia bilang tak lagi berumur sepuluh
Apalagi mendapat sebuah kecupan

Bulan mendekap;
Tetap tenang jangan gundah
Suatu saat kita bisa serakah
Tapi kumohon, jangan gegabah
Langkahmu masih terlalu payah

Bincangnya tercekat, raganya terbebat
Atmanya ringkih mengais napas
Bulan melambai menyambut gelap
Raut gembira tersenyum ikhlas

Hancur impian satu, terpetik kabar yang diharap semu
Rusuh di atas kukuh, ia meraung dengan tersedu-sedu

Tanpa Bulan;
Kupikir ia begitu kuat
Menjauh tanpa lagi berharap
Mengasingkan diri dalam gelap
Tanpa harus lagi teringat

Nyatanya ia salah
Raganya begitu lemah
Batinnya tersiksa sudah
Dan ia telah kalah

Lendah, 2020

Liring Anindya Maharani, lahir di Kulonprogo pada 4 Januari 2003, saat ini masih belajar di SMA N 2 Wates (Kelas 11 MIPA). Cerpenya masuk dalam buku antologi Keluargaku Inspirasiku (2018), yang diterbitkan oleh Inspiring Pelajar Kulonprogo. Sementara sejumlah puisinya pernah dimuat Line. Tinggal Bumirejo Lendah Kulonprogo.

Jumat, 21 Februari 2020

C E R P E N


Roh Wisrawa
Cerpen :  Kristin Fourina


            Roh Wisrawa diam-diam telah menyusup ke dalam tubuhmu. Mengisi kekosongan yang ada di setiap sudut jiwamu. Bahkan roh Wisrawa menggunakan tubuhmu untuk melakukan apa yang juga telah dilakukannya pada Dewi Sukesi, puteri Prabu Sumali dari Negeri Alengka yang sebelumnya ingin menguraikan ‘Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu’.
            Selebihnya, sebagaimana manusia yang dikuasai lupa, kau mengaku tidak mengerti atas segala macam tuduhan yang orang-orang tujukan padamu. Kau bahkan mengatakan dengan lantang bahwa orang-orang telah dengan sengaja—dengan maksud yang kau sendiri tak paham—berusaha melukai harga dirimu dan martabatmu sebagai manusia yang memiliki nilai etika. Namun, apa kau memang benar-benar tak melakukan semua itu atau kau justru menyembunyikan sesuatu?
            Aku tak tahu persis bahwa kau adalah satu dari sekian makhluk yang luput dari dosa. Bahkan aku mulai membayangkan kau melakukan segala perbuatan yang orang-orang tuduhkan padamu. Kau menggiring perempuan itu. Kau mengurungnya bersamamu dalam ruangan gelap itu. Namun kau tak pernah menyadari bahwa ada berpasang mata yang dengan tak sengaja menangkap gerak-gerik dan perbuatanmu.
            Kau menangis tanpa suara ketika orang-orang masih menuduhmu melakukan perbuatan yang menurutmu sama sekali tak kau lakukan.
            “Aku tak pernah melakukannya,” katamu.
            Kau tahu, semua orang ingin mendengarmu mengatakan bahwa ‘ya’ kau memang melakukan sesuatu. Tapi sebaliknya, kau selalu membantah semua tuduhan itu. Bahkan, apa yang kau katakan selanjutnya terdengar sangat mustahil di telinga semua orang.
            “Kenapa? Kalian tak percaya?” tanyamu, “Aku benar-benar tak menyentuh perempuan itu. Dalam sekejap, roh Wisrawa menyusup dalam tubuhku. Aku tidak tahu mengapa ia menyusup  ke dalam tubuhku. Aku hanya bisa membiarkan roh Wisrawa berbuat semaunya dengan perantara tubuhku.”
            Pikiranku berlompatan padamu dan perempuan itu. Roh Wisrawa menyusup ke dalam tubuhmu, kau bilang? Coba bayangkan, bagaimana mungkin kau menyatukan alam Wisrawa dan alam manusia ke dalam satu alam? Dan kau membiarkan roh Wisrawa berbuat semaunya atas tubuhmu? Mulutku ternganga membayangkan jika hal itu benar-benar nyata. Astaga, sejak kapan tokoh pewayangan bisa menyusup ke dalam tubuh seseorang?
            Lalu kalau kau yang sekarang adalah benar-benar kau. Maka, kau yang Wisrawa terbang ke mana? Aku mengedarkan pandang, kalau-kalau Wisrawa betul masih ada di sekitar. Wajahku menengadah ke langit, adakah roh Wisrawa tengah melayang di atas? Aku ingin sekali mendengar kau berteriak sambil menunjuk ke salah satu arah, “Lihat itu, di atas sana, roh Wisrawa sedang melihat kita dari atas!” Tapi sayangnya kau tak melakukan itu. Sungguh, kalau saja kau melakukan itu, tentu semua tuduhan padamu akan berganti dengan ketakjuban yang tak bisa kugambarkan. 
            Mengapa tiba-tiba kau mengatakan tentang Wisrawa? Seperti baru saja kau menyaksikan pagelaran wayang yang dulu sempat kita gemari sewaktu kanak. Kau mengaku pada semua orang bahwa kau melihat sendiri Wisrawa turun ke hadapanmu ketika kau dan perempuan itu berada di dalam suatu ruangan yang gelap. Kau menceritakan semua kejadian yang kami anggap tak masuk akal dengan sungguh-sungguh tanpa khawatir bahwa semua orang akan menganggapmu sebagai seorang pembual.
            Benar-benar pengakuan yang di luar nalar, batinku. Wisrawa. Di jagat pewayangan, ia memang melakukan—setidaknya kurang lebih—seperti apa yang telah kau lakukan pada perempuan itu. Kukatakan setidaknya kurang lebih karena dalam ingatanku Wisrawa memang melakukan perbuatan terlarang itu. Tapi sebelumnya ia memiliki tujuan untuk menguraikan arti yang terkandung dalam ‘rahasia kehidupan dan takdir’ yang dimiliki oleh para dewa pada perempuan yang kemudian menjadi pendamping hidupnya.
            Aku mulai berpikir, apa samanya kau dengan Wisrawa selain melakukan perbuatan terlarang itu? Adakah kau juga sama seperti Wisrawa hendak menguraikan rahasia kehidupan dan takdir pada perempuan yang kau kurung bersamamu di ruangan gelap itu?
            “Aku tak berbohong,” katamu.
            “Seperti Wisrawa, apa yang sebelumnya hendak kau lakukan pada perempuan itu sebelum Wisrawa menyusup ke dalam tubuhmu?” tanyaku.
            Kau menjawab dengan menyebutkan satu kata yang membuatku takjub, “Puisi.”
            Kau memang tergila-gila pada puisi. Tanpa ragu, dulu, kau mengatakan padaku bahwa puisi adalah kau dan kau adalah puisi itu sendiri.
            Kau mengatakan hal itu sekali lagi, “Aku hanya ingin menguraikan pada perempuan itu, apa itu puisi.”
            Bualan yang indah, batinku.
            Namamu adalah puisi. Kau jarang menamai dirimu sendiri sebagai penyair karena kau menganggap bahwa kau adalah puisi itu sendiri. Aku masih mengingatmu karena kata-kata yang terlepas dari bibirmu adalah puisi dan coretan yang membekas di kertas-kertasmu juga puisi. Kau sengaja menjadikan dirimu sebagai bahan perbincangan karena kau terlahir dikutuk menjadi puisi.
            “Perempuan itu mengaku ingin mengetahui apa itu puisi padaku,” katamu, “Ya, hanya seperti itu.”
            “Lalu?” tanya seseorang.
            “Tiba-tiba saja Wisrawa menyusup ke dalam tubuhku ketika pelan-pelan kubisikkan pada perempuan itu bahwa puisi adalah kita,” jawabmu.
            Haruskah aku percaya? batinku.
            Kau memang penyair, namun kau tak bisa begitu saja menyembunyikan dirimu di balik sebuah bualan tentang Wisrawa. Mana mungkin Wisrawa jauh-jauh datang hanya untuk menyusup ke dalam tubuhmu? Pengakuanmu mengherankan banyak orang.
            Bahkan kau juga mengatakan bahwa Wisrawalah yang telah mengurung kau dan perempuan itu di sebuah ruangan yang gelap. Juga Wisrawa pula yang selanjutnya menyentuh perempuan itu dan membuat kalian berdua menyatu. Kurasa kau sedang mengigau dalam tidur.  
Aku merasa buntu. Ceritamu tentang Wisrawa memukul-mukul kepalaku secara bertalu-talu. Kakiku terasa membeku. Seseorang menuntunku menjauh agar tubuhku tak roboh.
Kau berhasil menculik kepercayaanku padamu yang dulu terkunci rapat dalam hatiku. Adakah kau melakukan semua itu karena sebenarnya kau telah bosan padaku—istrimu?●

Kulonprogo,  2019 


KRISTIN FOURINA, lahir di Yogyakarta tahun 1987. Alumni FBS UNY ini menulis cerita anak, cerita remaja, cerpen, puisi, opini di sejumlah media cetak dan online. Cerpen-cerpenya termuat dalam beberapa buku antologi bersama, diantaranya : Rendezvous di Tepi Serayu (2009), Lelaki yang Dibeli (2011),  Bayang-bayang (2012) dan Gelar Jagad (2019). Kini bersama suaminya tinggal di Wates Kulonprogo.

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...