Roh Wisrawa
Cerpen
: Kristin Fourina
Roh
Wisrawa diam-diam telah menyusup ke dalam tubuhmu. Mengisi kekosongan yang ada
di setiap sudut jiwamu. Bahkan roh Wisrawa menggunakan tubuhmu untuk melakukan
apa yang juga telah dilakukannya pada Dewi Sukesi, puteri Prabu Sumali dari
Negeri Alengka yang sebelumnya ingin menguraikan ‘Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu’.
Selebihnya,
sebagaimana manusia yang dikuasai lupa, kau mengaku tidak mengerti atas segala
macam tuduhan yang orang-orang tujukan padamu. Kau bahkan mengatakan dengan
lantang bahwa orang-orang telah dengan sengaja—dengan maksud yang kau sendiri
tak paham—berusaha melukai harga dirimu dan martabatmu sebagai manusia yang
memiliki nilai etika. Namun, apa kau memang benar-benar tak melakukan semua itu
atau kau justru menyembunyikan sesuatu?
Aku
tak tahu persis bahwa kau adalah satu dari sekian makhluk yang luput dari dosa.
Bahkan aku mulai membayangkan kau melakukan segala perbuatan yang orang-orang
tuduhkan padamu. Kau menggiring perempuan itu. Kau mengurungnya bersamamu dalam
ruangan gelap itu. Namun kau tak pernah menyadari bahwa ada berpasang mata yang
dengan tak sengaja menangkap gerak-gerik dan perbuatanmu.
Kau
menangis tanpa suara ketika orang-orang masih menuduhmu melakukan perbuatan
yang menurutmu sama sekali tak kau lakukan.
“Aku
tak pernah melakukannya,” katamu.
Kau
tahu, semua orang ingin mendengarmu mengatakan bahwa ‘ya’ kau memang melakukan
sesuatu. Tapi sebaliknya, kau selalu membantah semua tuduhan itu. Bahkan, apa
yang kau katakan selanjutnya terdengar sangat mustahil di telinga semua orang.
“Kenapa?
Kalian tak percaya?” tanyamu, “Aku benar-benar tak menyentuh perempuan itu.
Dalam sekejap, roh Wisrawa menyusup dalam tubuhku. Aku tidak tahu mengapa ia
menyusup ke dalam tubuhku. Aku hanya
bisa membiarkan roh Wisrawa berbuat semaunya dengan perantara tubuhku.”
Pikiranku
berlompatan padamu dan perempuan itu. Roh Wisrawa menyusup ke dalam tubuhmu,
kau bilang? Coba bayangkan, bagaimana mungkin kau menyatukan alam Wisrawa dan
alam manusia ke dalam satu alam? Dan kau membiarkan roh Wisrawa berbuat
semaunya atas tubuhmu? Mulutku ternganga membayangkan jika hal itu benar-benar
nyata. Astaga, sejak kapan tokoh pewayangan bisa menyusup ke dalam tubuh
seseorang?
Lalu
kalau kau yang sekarang adalah benar-benar kau. Maka, kau yang Wisrawa terbang
ke mana? Aku mengedarkan pandang, kalau-kalau Wisrawa betul masih ada di
sekitar. Wajahku menengadah ke langit, adakah roh Wisrawa tengah melayang di
atas? Aku ingin sekali mendengar kau berteriak sambil menunjuk ke salah satu
arah, “Lihat itu, di atas sana, roh Wisrawa sedang melihat kita dari atas!” Tapi
sayangnya kau tak melakukan itu. Sungguh, kalau saja kau melakukan itu, tentu
semua tuduhan padamu akan berganti dengan ketakjuban yang tak bisa
kugambarkan.
Mengapa
tiba-tiba kau mengatakan tentang Wisrawa? Seperti baru saja kau menyaksikan
pagelaran wayang yang dulu sempat kita gemari sewaktu kanak. Kau mengaku pada
semua orang bahwa kau melihat sendiri Wisrawa turun ke hadapanmu ketika kau dan
perempuan itu berada di dalam suatu ruangan yang gelap. Kau menceritakan semua
kejadian yang kami anggap tak masuk akal dengan sungguh-sungguh tanpa khawatir
bahwa semua orang akan menganggapmu sebagai seorang pembual.
Benar-benar
pengakuan yang di luar nalar, batinku. Wisrawa. Di jagat pewayangan, ia memang
melakukan—setidaknya kurang lebih—seperti apa yang telah kau lakukan pada
perempuan itu. Kukatakan setidaknya kurang lebih karena dalam ingatanku Wisrawa
memang melakukan perbuatan terlarang itu. Tapi sebelumnya ia memiliki tujuan
untuk menguraikan arti yang terkandung dalam ‘rahasia kehidupan dan takdir’
yang dimiliki oleh para dewa pada perempuan yang kemudian menjadi pendamping
hidupnya.
Aku
mulai berpikir, apa samanya kau dengan Wisrawa selain melakukan perbuatan
terlarang itu? Adakah kau juga sama seperti Wisrawa hendak menguraikan rahasia
kehidupan dan takdir pada perempuan yang kau kurung bersamamu di ruangan gelap
itu?
“Aku
tak berbohong,” katamu.
“Seperti
Wisrawa, apa yang sebelumnya hendak kau lakukan pada perempuan itu sebelum
Wisrawa menyusup ke dalam tubuhmu?” tanyaku.
Kau
menjawab dengan menyebutkan satu kata yang membuatku takjub, “Puisi.”
Kau
memang tergila-gila pada puisi. Tanpa ragu, dulu, kau mengatakan padaku bahwa
puisi adalah kau dan kau adalah puisi itu sendiri.
Kau
mengatakan hal itu sekali lagi, “Aku hanya ingin menguraikan pada perempuan
itu, apa itu puisi.”
Bualan
yang indah, batinku.
Namamu
adalah puisi. Kau jarang menamai dirimu sendiri sebagai penyair karena kau
menganggap bahwa kau adalah puisi itu sendiri. Aku masih mengingatmu karena kata-kata
yang terlepas dari bibirmu adalah puisi dan coretan yang membekas di
kertas-kertasmu juga puisi. Kau sengaja menjadikan dirimu sebagai bahan
perbincangan karena kau terlahir dikutuk menjadi puisi.
“Perempuan
itu mengaku ingin mengetahui apa itu puisi padaku,” katamu, “Ya, hanya seperti
itu.”
“Lalu?”
tanya seseorang.
“Tiba-tiba
saja Wisrawa menyusup ke dalam tubuhku ketika pelan-pelan kubisikkan pada perempuan
itu bahwa puisi adalah kita,” jawabmu.
Haruskah
aku percaya? batinku.
Kau
memang penyair, namun kau tak bisa begitu saja menyembunyikan dirimu di balik
sebuah bualan tentang Wisrawa. Mana mungkin Wisrawa jauh-jauh datang hanya
untuk menyusup ke dalam tubuhmu? Pengakuanmu mengherankan banyak orang.
Bahkan
kau juga mengatakan bahwa Wisrawalah yang telah mengurung kau dan perempuan itu
di sebuah ruangan yang gelap. Juga Wisrawa pula yang selanjutnya menyentuh
perempuan itu dan membuat kalian berdua menyatu. Kurasa kau sedang mengigau
dalam tidur.
Aku merasa buntu. Ceritamu
tentang Wisrawa memukul-mukul kepalaku secara bertalu-talu. Kakiku terasa
membeku. Seseorang menuntunku menjauh agar tubuhku tak roboh.
Kau berhasil
menculik kepercayaanku padamu yang dulu terkunci rapat dalam hatiku. Adakah kau
melakukan semua itu karena sebenarnya kau telah bosan padaku—istrimu?●
Kulonprogo, 2019
KRISTIN FOURINA, lahir di Yogyakarta tahun 1987. Alumni FBS UNY ini menulis
cerita anak, cerita remaja, cerpen, puisi, opini di sejumlah media cetak dan
online. Cerpen-cerpenya termuat dalam beberapa buku antologi bersama,
diantaranya : Rendezvous di Tepi Serayu (2009), Lelaki yang Dibeli (2011),
Bayang-bayang (2012) dan Gelar Jagad
(2019). Kini bersama suaminya tinggal di Wates Kulonprogo.