Sabtu, 26 Juni 2021

K A R Y A

NURUL LATHIFAH

 

 

 

Semangkok Sayur Bayam

aku mencecap cintamu yang sederhana

            namun menyampaikanku pada cakrawala kesabaran

 

aku tidak berangkat kerja, hari ini

ucapku menerbitkan diam

saat itu, empat tahun yang lalu

di sepetak kontrakan sederhana

tak ada kursi tamu. Tak ada almari

hanya buku-buku saling menyiku

kita terima sebagai meja, kita terima sebagai

--apa-apa yang seharusnya dimiliki oleh sebuah rumah tangga—

 

gigilku adalah dingin, perasaan yang belum jua hangat

sementara engkau berlalu,

lalu

            kemudian

kau letakkan tanpa suara dan juga tanda

semangkok sayur bayam

; menyebar aroma masakan paling sederhana

membimbingku melalui lorong-lorong kenangan

kau-aku pernah dari jauh

            sama-sama berbuka dengan air mentah

pernah saling berkasih dengan lapar

pada sendok pertama semangkok sayur bayam-

yang kau racik; entah dengan cuaca jiwa yang bagaimana--

aku mencecap cintamu yang sederhana

            namun menyampaikanku pada keindahan cakrawala kesabaran

 

Gunungkidul, 1 Oktober 2019

 

 

Nurul Lathiffah, lahir di 21 September 1989. Menulis esai, puisi, cerpen, dan artikel di media massa, baik lokal dan nasional. Puisi-puisinya dibukukan dalam antologi bersama Puisi Menolak Lupa (2011), Lintang Panjer Wengi (2009), Gregah (2019). Puisi-puisinya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Koran Merapi, SKH Kedaulatan Rakyat, dan lain sebagainya. Mahasiswa magister psikologi di UMB Yogyakarta ini tinggal di Gunungkidul dan menggagas Kelas Menulis di Madrasah Diniyah Baitul Hikmah.

 

*** ----- ***

 

 

 

 

 

YOHANES EKA PUSPAWAN

 

 

 

Krecek Tempe

             

 

Di kala matahari

mulai tenggelam di ufuk barat

Si burung tua mulai beraksi

Menuang nasi

Lauk, sayur dan thak thok di meja itu

Tiba tiba datang seekor kucing

Mengais ngais di bawah meja

sambil meraung raung tak henti

 

Si burung tua  kasihan

Lalu mengambil semangkok krecek tempe

Yang dikira kepala lele

Dan terjunlah ke dasar lantai licin itu

Kemudian menangislah hatiku 

Melihat kejadian itu

Aku hanya bisa termenung

melihat krecek tempe yang lezat

hilang dalam sekejap

Tumpah ruah berserakan di lantai licin itu

Oh krecek tempe....

 

 

Yohanes Eka Puspawan, kelahiran Sleman, 16 Maret 1997. Beralamat di Pingitan, Sumberarum, Moyudan, Sleman. Aktivitas kesehariannya mengajar di salah satu SMA di Yogyakarta

 

 

*** ----- ***

 

EVITA EKA SEPTIANI

 

 

 

Kegigihan Puncak

 

Di selubung mendung gelap

Debur ombak memecah lelap

Dingin angin tak sanggup didekap

Tengah hamparan laut nan senyap

Sosok kapal muncul balik kabut pekat

 

Sorai angin,tumbukan riak tak dihiraukan

Perahu melaju dalam tenang

Meski tak tinggal satu detik pun berjalan

Rintang tak lelah menerjang

Tapi hantam batu pun tak mampu goyahkan

 

Pagi buta nan sepi

Jatuhan hujan tak surutkan niat suci

Walau dingin angin merasuk hati

Jamaah kapal tak gentar penuhi panggilan hati

Hebatnya angin menerjang tanpa henti

Daun-daun pun berlari-lari

Hingga jatuh dalam lubuk hati

 

Saat anca silih ganti menguasai

Adorasi pun tak kunjung usai

Badai agung sekalipun keras melambai

Bahtera panitia ini tetap berpondasi landai

Sebab Iman dalam dada kan membersamai

Menuju rindho-Nya Sang Maha Merajai

 

Tak henti satu jengkalpun

Jiwa kapal melangkah serumpun

Dengan langkah seribu sampan berayun

Karna ridho Ilahi tujuan pasti

Perih luka karna keras sampan tak merasai

 

Kala Sang mentari sembunyikan cahya berlian

Burung-burung melingkar kedinginan

Kau pilih basahan dingin hujan

Sarayu menembus sumsum hingga pecah runyam

Bagai seribu kaki mengarungi laut seram

 

Hamparan samudera yang tak terbilang

Seakan api semangat makin membara

Meski kadang timbangan tak imbang

Tanah harapan kan terus perjuangkan

Dengan nama Allah

Yang menjalankan kendaraan ini,berlayar dan berlabuh

Kalimah Sang Esa yang kian melahirkan pengorbanan

 

Beribu detik menderu

Jarum jam seakan menyerah dalam sendu

Persiapan dilalui dengan paham sebahu

Labuh sorai sampan kian merdu

Tanah harapan menuai mekar dalam kalbu

 

Seribu waktu di mana mendayung asa

Kita lalui mengejar aksa

Tiba-tiba kusadar semua terkenang

Tetes air mata pun meliputi sendu

Sembilu kembali kuasai angan kelabu

Ina didesak mega kelabu

Kumohon ikatan dalam kenangan tetap menyatu

Walau telah labuh ke dermaga

Layar sudah mengatup lalu usai

 

Kulon Progo, 2019

 

 

Evita Eka Septiani, lahir 11 September 2001. Mahasiswa UNY prodi Manajemen Pendidikan. Puisinya masuk buku antologi: Butterfly Sastra Three Color Poetry (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019),Kembali Nol (2020), dan Kluwung Lukisan Maha Cahaya. Mulai aktif di Komunitas Sastra-Ku saat awal kelas 12 SMA. Tinggal di Galur Kulonprogo.

 

 

*** ----- ***

 

 

ANISA LAILATUN NIKMAH

 

 

 

Tanpa Rasa

 

 

Kepergiannya..

Satu langkahnya meninggalkan berjuta cerita masa

Terkesan begitu membara

Hati menahan untuk menetap saja

Awalnya..

Tak terbayangkan, bila hari tanpa satu nama

Dan terjadi pemasanya..

Tak lagi kehidupan bermakna

Tak ada cerita, tahta, cinta

 Yang menjadikan impian tiada faktanya

 

Tentang satu nama pada masanya..

Nama yang slalu ku sebut dalam do’a

Yang slalu ku pinta jiwa raganya

Tak ada ragu untuk mencintainya

Slalu dikejutkan atas nama cinta

Namun, akhir cerita tak menakdirkan kita

 

Katanya..

Berjuta kata yang menjanjikan masa

Mengikat erat jiwanya

Mengekang raga tanpa nama

Yang terukir atas nama cinta

Menjadikan kita saling bercinta

Teruntuk kita berdua tiada tiganya

Terjawab ingkar pada masanya

 

Tentang kita..

Berawal teman menjadi cinta

Berawal sebuah nama menjadi kita

Yang menjadikan pengejut teman sebaya

Dan juga topik pembicara antara mereka

 

Alurnya..

Terdengar strategi ditelinga

Tanpa kaitan nama diantara kita

Hanya antara kita dan sebuah cinta

Indah pada masanya

Namun, tak seindah kata akhirnya

 

Akhirnya..

Membijak dalam kata

Bertindak untuk mendewasa

Ambisi bersama tiada faktanya

Janji jiwa yang tiada maknanya

Hingga kembali pada suatu masa

Antara kita yang tak saling cinta

Tak ada kata kita

Tak ada kata antara

Hanya dua nama yang berbeda

Tiada ikatan atas nama cinta

Berjuta kalimat tersurat dalam satu kata

TERLUKA

 

Tak lagi membara

Tak lagi menahan rasa

Juga tak meninggal luka

Sudah cukup dititik cerita

Bukan lagi kita yang saling cinta

Akan menjadi dua manusia

yang seakan tak pernah bersama

Namun..

Tak ada cerita, aku seorang saja

Sebab Tuhan slalu membersama

Dan takdir-Nya yang tetap berkuasa

Sekian ikhlas karna-Nya

 

Rasa antara kita

Teranugerah antara dua jiwa

Seakan belahan jiwa

Seakan keabadian cinta

Padahal takdir tidak berkata

Tak memihak rasa

Hanya akan ada cerita

Dimana berjuta ikhlas karna-Nya

Sebab Tuhan tahu bagaimana baiknya

 

Melupa..

Berusaha karna-Nya

Ikhlas karna-Nya

Sebab Tuhan pasti menggantinya

Dimasa penantian hanya sabar jawabannya

Untuk mencari berkah cinta

Yang pasti adanya

 

Kalimat kata untuknya

Hanya bisa semoga untuk dirinya

Terucap maaf antara kita

Terucap selamat untuknya

Pendewasaan kita telah bercerita

Bertemu untuk bercinta

Meninggalkan tanpa banyak rasa

Hanya satu kalimat saja

Ikhlas karna-Nya

 

 


Anisa Lailatun Nikmah
, mahasiswa yang hobi menulis puisi, sebagai pemula pernah mengikuti beberapa lomba puisi di akun media sosial. Alamat rumah, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah

 

*** ----- ***

 

========

 

Edisi kali ini laman Sastra-Ku juga memuat puisi karya juara pertama Lomba Baca Puisi tingkat SMP/MTs se-Kabupaten Kulonprogo yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kulonprogo pada bulan Mei lalu.

 

========

 

 

 

FERA WAHYU PUSPITA

 

 

 

 

Bintang Malam

 

 

kutatap langit penuh bintang

rasa kagum takjub mulai menggoda

kau ciptaan Tuhan yang begitu mulia

kau sinari gelapnya dunia

        

bagaimana dengan aku?

bisakah sepertimu,  bintang?...

aku juga Ingin menyinari  gelapnya dunia

dengan  Ilmuku

aku ingin jadi penerang kehidupan

seperti bintang di gelapnya malam

 

tuhan kabulkan keinginan

walau penuh rintangan

aku tetap menerjang

 

 

Fera Wahyu Puspita, siswi SMP N 4 Samigaluh Kulonprogo.

 

*** ----- ***

Sabtu, 19 Juni 2021

K A R Y A

 FAJAR R AYUNINGTYAS

 

 

 

Pisau Angan

 

 

Anganku ingin yang tak sampai

kepundan tanpa pernah terjadi ledakan.

 

Anganku ingin yang deras

arus pecah tegak lurus menjauh dari pantai.

 

Anganku kau; inginku kau

 

Angan dan ingin jadi pisau

yang menyayat pelan-pelan

sepanjang waktu.

 

Gelaran, 160621

 

 

Fajar R Ayunungtyas, biasa disapa Fafa aktif bersastra sejak di komunitas Lumbung Aksara (2006). Sebuah Babak Kehidupan Lajang yang Sendirian (2017) dan Lukisan Gelombang (2020) adalah kumpulan cerpen tunggalnya. Karyanya juga masuk di sejumlah buku antologi bersama: Antariksa Dada (Temu Sastra Tiga Kota, 2008), Nyanyian Bukit Menoreh (2018) dan Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku, 2020). Kini sedang menyiapkan novel pertamanya. Tinggal di Panjatan  Kulonprogo.

 

*** ----- ***

 

 

EVA NURUL KHASANAH

 

 

S u b u h

 

Bersama gugurnya putik jambu 

memenuhi sumur 

Deritan katrol lepas kendali 

mengambil wajah 

Menengok ke atas

Dan berjanji

 

Sampai waktu tiba 

hilanglah 

Wajah dari sumur 

Basah, tak kuyup 

 

Sujud, duduk tertunduk 

Ditepi langit mulai menyingsing

Sebelum berakhir terik 

lalu senja 

 

Isya'

 

 

Sidorejo, 19 Juli 2020

 

 


Eva Nurul Khasanah,
lahir di Kulonprogo 1 Juni 1999, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Uiversitas PGRI Yogyakarta. Sejumlah karyanya dimuat media massa maupun buku antologi bersama, diantaranya: Duhkita (komunitas Sastra-Ku, 2021).  Puisinya yang berjudul “105 Kata untuk Mimpi-Ku” meraih juara 3 pekan jurnalistik di kampusnya. Tinggal di Lendah Kulonprogo.

 

 

*** ----- ***

 

 

 

SUYATRI YATRI

 

 

 

Filosofi Secangkir Kopi

             

 

Tarian lentik adukkan kopi

Menguapkan aroma rindu tak bertepi

Seulas senyum menyeruput nikmatnya

Menghangatkan pada debaran di dada

 

Candunya tak ambigu

Sececap rasa menyapa

Biarkan pahit itu menyatu

Dalam jejak manis berlahan bersama nyanyian syahdu

 

Di bawah pendar lentera

Secangkir kopi hangat menemani makna

Sedetik waktu bersama sabarnya jiwa

Mengurai kisah di antara rida-Nya

 

Perjalanan hidup layaknya secangkir kopi

Duka mengelilingi segala kepahitan diri

Menggelinding luka di hati

Penyatuan syukur, sabar, dan ikhlas mengental di dasar gelas

Suka mengalung bahagia pasti berbalas

 

 

Rokanhulu-Riau, 11 Oktober 2020

 

 

Suyatri Yatri, lahir di Padang Siminyak 24 Agustus 1979, Karya puisi maupun prosa dari seorang pendidik di PKBM Damai Sejahtera Ujungbatu ini selain pernah media cetak dan elektronik juga masuk di puluhan buku antologi bersama. Tinggal di Rokan Hulu Riau.

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...