Jumat, 29 Mei 2020

K A R Y A


WAHYU PURWADI


Dhia

Jika senja itu jingga...
katakanlah keindahanya
jika sinar rembulan itu terang
katakanlah eloknya
jika sinar bintang itu sendirian
katakanlah aku ingin menemaninya...


Pal-18, 2020

Wahyu Purwadi, lahir di Batang (Jawa tengah), 23 Agustus 1986. Alumni workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini suka traveling. Berpuisi merupakan salah satu kegiatan disela-sela kesibukannya sebagai dosen di IKIP PGRI Wates. Pernah menjadi Presiden Mahasiswa dan sering orasi di jalan menggunakan puisi. Puisinya masuk di buku antologi bersama, diantaranya: Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (Antologi Komunitas Sastra-Ku). Bersama isteri tercinta dan putri semata wayangnya tinggal di Lendah Kulonprogo.

*** ----- ***



ARDINI PANGASTUTI BN


Rinduku PadaMu

Ada kerinduan
Di tengah keriuhan
Namun betapa sulit tuk ungkapkan
Tentang rindu yang menggayuti kalbu
Tentang cinta yang sesaki dada
Cintaku padaMu
Yang tak lekang oleh waktu
Rinduku padaMu
Yang selalu bertalu
Dalam segala musim
Ya Rab-ku
Kusebut namaMu
Dalam setiap waktu
Kala rindu riuh bertalu
Sepenuh jiwa aku mendamba
Akan tetes cintaMu
Basahi hatiku
Basuh rinduku

Bangunjiwo, Yogyakarta, 12 -5-2020

Ardini Pangastuti Bn, lahir di Tulungagung (Jawa Timur), 16 November 1960. Ia seorang redaktur di beberapa majalah bahasa Jawa, diantaranya Jawa Anyar (1993-1996),  Djaka Lodhang (2009-2013), Pagagan (1991-sekarang), Sempulur (2017-sekarang). Pernah memperoleh hadian Rancage tahun 2016 kategori karya sastra daerah terbaik untuk novelnya Alun Samudro Rasa. Tulisannya, baik dalam bahasa Jawa maupun Indonesia dimuat di sejumlah media cetak (Anita Cemerlang, Kedaulatan Rakyat, Wawasan, Suara Merdeka, Cempaka, Ceria, dll). Bukunya yang telah terbit berupa novel (Bumerang, Nalika Prau Gonjing, dan Alun Samudro Rasa), kumpulan cerkak (Nalika Srengenge Durung Angslup dan Pralambang), kumpulan geguritan (Kidung jaman dan Lintang ing Langit Wengi). Cerita bersambungnya yang pernah dimuat Langit Perak ing Dhuwur Nusa Dua (Djaka Lodhang, 1990), Anggaraini (Mekar Sari, 1990), Garising Papesthen (Mekar Sari, 1997) . Selain itu karyanya juga masuk di puluhan buku antologi bersama.  

*** ----- ***


DITA WIRONO


Sajak Gila
-       Untuk seseorang yang kupanggil Sayang

Pernahkah kamu ingat sungai mana yang memantulkan wajah kita.
Atau jas hujan mana yang pernah kita pakai sebagai payung.
Atau  sandal mana yang kita pakai  setelah jauh menyusuri setapak berlumut.

Apa kamu masih mengingatnya?
Buah anggur Jawa kau curikan untukku di kebun warga
Atau malam sepekat apa yang kita lalui sepulang dari mengembara

Ini sajak gila yang pernah kutulis.
Ketika kamu menjadi satu-satunya alasanku untuk tetap menulis.
Kamu ingat lengkung pelangi yang tampak di Widosari
Atau semangkuk baso yang kamu pesan untukku

Kamu masih menjadi alasanku untuk tertawa
Setelah penat dan letih badan karena bekerja
Semua tentangmu masih mengesankan
Meski genangan atau kenangan  tak lagi diperdebatkan
Ketika tentang kita, mereka menjadi diantaranya

Kokap, 2020

 
Dita Wirono, lahir di Kulonprogo tanggal 24 April. Pernah bercita-cita menjadi seorang Jurnalis. Menyukai fotografi dan  literasi sejak SD. Lebih memilih menggunakan nama pena sebab tak pernah percaya diri dengan tulisannya. Nama pena diambil dari seorang perempuan yang sangat menginsipirasi hidupnya. Bekerja di sebuah lembaga non Pemerintah sambil masih belajar di sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Pemilik Instagram Epitaf Sunyi.  Puisinya masuk di buku antologi bersama, diantaranya: Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (Antologi Komunitas Sastra-Ku), Kitab Asmaradhana (Antologi komunitas Sastra Saraswati), dan novel Langkah Sunyi. Tinggal di Kokap Kulonprogo.

 *** ----- ***

Jumat, 22 Mei 2020

K A R Y A


Opera Sarmun

Cerpen Tri Apriyadi



Siang itu di pinggiran ibu kota panas terik menyengat. Sarmun berjalan gontai sambil tangannya menyeka keringat yang bercucuran di mukanya. Kemeja pembungkus badannya yang kurus nampak basah. Wajahnya pucat.  Di samping karena panasnya mentari, hatinya juga gerah. Dia barusan saja kehilangan pekerjaan. Dia di PHK dari perusahaan dimana dia bekerja sebagai salah satu karyawannya. Perusahaan tempat dia bekerja menyatakan diri bangkrut. Perusahaan sudah tidak bisa membiayai produksi dan membayar upah dan gaji pegawai dan karyawan. Pandemi Corona telah menghantam telak perusahaan yang bergerak di bidang sepatu itu.

Sarmun berjalan lesu pulang menuju rumah kontrakannya. Di sepanjang perjalanan Sarmun terus memikirkan apa yang harus dikatakannya pada Surti, istrinya dirumah. Dia sangat sedih membayangkan raut wajah istri dan anaknya bila mendengar kabar buruk ini.

Sarmun adalah tulang punggung keluarganya. Ia dan istrinya merantau dari kampung ke ibu kota tanpa bekal ketrampilan yang cukup. Telah lebih dari lima tahun ia hidup di kota dengan dua anak. Istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Sesekali Surti menerima cucian dari tetangganya yang ia kerjakan setelah menidurkan anak-anaknya. Penghasilannya tidak seberapa. Hanya cukup buat jajan anaknya saja.

Sesampai di rumah, Sarmun melihat anak-anaknya baru tidur. Istrinya terlihat masih sibuk di dapur untuk membuat masakan dan mencuci pakaian milik tetangga.

“Kenapa Mas, kok jam segini sudah pulang? Sakit Mas ?” tanya Surti ketika melihat suaminya sudah duduk di kursi sambil mendelosorkan kakinya. Suaminya nampak lemas.

Sarmun belum membalas. Dia hanya diam sambil matanya redup menatap wajah istrinya.

Surti seketika berbalik ke belakang mengambilkan segelas teh hangat.

“Ini diminum dulu Mas. Biar agak enakan” Surti menyuguhkan teh hangat di meja depan suaminya. Sambil mengambil tempat duduk di samping suaminya. Sarmun agak tergagap dan segera menyeruput tehnya. Terasa kehangatan mengalir ke kerongkongan hingga ke perut. Sarmun cukup tenang.

“Nganu Sur…” Sarmun untuk beberapa saat tidak meneruskan kalimatnya. Dia menatap wajah istrinya. “Aku di PHK oleh perusahaan. Karena dampak Corona”

Surti mendengarkan. Kemudian sejenak diam. Raut mukanya  menyiratkan kekagetan yang tertahan. Berganti  kesedihan.  Bayangan kelam langsung menyeruak dalam pikirannya.   Alam bawah sadarnya langsung terbayang akan semakin sulitnya melangsungkan hidup keluarganya. Terutama untuk merawat anak-anaknya. Ketika suaminya masih kerja saja hidup keluarganya pas-pasan. Upahnya hanya cukup untuk mengontrak rumah kecil di tengah perkampungan yang sewanya tiap tahun terus bertambah dan kebutuhan makan sehari-hari saja. Belum untuk membelikan susu untuk anak bungsunya. Itu bisa tercukupi ketika ia dapat upah dari mencuci dan mensetrika pakaian dari para tetangga.

Tapi Surti bisa memakluminya. Ia telah mendengar tentang wabah virus Corona dari ibu-ibu tetangganya ketika ngobrol di warung ketika belanja.          

“Ya sudah.  Mau bagaimana lagi. Memang lagi begini keadaaanya. Tetangga kita juga banyak yang di PHK juga karena pabriknya pada tutup. Kalau saya sih bisa menerima mas. Tidak masalah. Tetapi anak-anakmu itu yang aku pikirkan. Mereka masih kecil. Belum tahu apa-apa soal kesulitan hidup. Apalagi wabah penyakit” Surti berusaha menenangkan hati suaminya. Sambil melihat dua orang anaknya yang lagi tidur di kasur tipis yang sudah kotor.

Sarmun cukup lega. Surti mau menerima kabar ini dengan tenang. Itulah salah satu yang disukai Sarmun dari Surti : sabar, nriman.. Ia merasa tidak salah memilih Surti menjadi istrinya.

“Coba besuk usaha cari kerja lagi aja. Siapa tahu ada yang mau menerimamu kerja” kata Surti memberikan usul.

“Iya Sur. Besuk saya tak cari kerja.” jawab Sarmun semangat.

Keesokan hari nya, pagi-pagi buta Sarmun sudah berangkat ke luar rumah. Ia berkeliling untuk mencari kerja. Di beberapa jalan kampung yang ia lalui, sudah mulai ada yang ditutup jalannya dengan spanduk panjang bertulisan: KAMPUNG INI SEMENTARA DILOCKDOWN. Terpaksa kadang kala dia harus memutar haluan untuk menuju tempat tujuan. Sesampai di sebuah perusahaan/pabrik, sering ia mendapat info tidak menerima karyawan lagi. Malah sebaliknya akan merumahkan banyak karyawan.

Dalam seminggu ini Sarmun mendapati kenyataan itu. Telah banyak perusahaan / pabrik yang ia datangi menolaknya. Tapi Sarmun tidak berputus asa. Dia terus berkeliling untuk mencari kerja. Bayangan anak-anaknya yang menjadi semangat dirinya.  

Suatu pagi Sarmun tidak keluar rumah. Dia merasa capek hari itu. Sarmun duduk termenung di rumahnya. Tiba-tiba dia kaget mendengar pintu rumahnya di ketuk.

“Tok..tok…tok.. Sarmun…Surti”. Terdengar suara perempuan agak kencang dari luar

“Ya. Sebentar.” Sarmun menjawab sambil membuka pintunya. Terlihat Bu Minah, pemilik rumah kontrakannya, telah berdiri di depan pintu.

“Kebetulan kamu ada dirumah, Sarmun. Langsung saja ya.. Gini aku mau menanyakan bayaran kontrakan rumah ini. Sewa tahun ini khan sudah habis pada dua bulan yang lalu. Kapan mau bayar ? Secepatnya ya.. Kalau tidak, bisa cari kontrakan yang lain. Soalnya ada orang lain yang lagi cari rumah kontrakan juga” kata bu Minah tanpa basa-basi memberondong bagai senapan mesin. Suaranya keras tapi agak kurang jelas karena terhalang masker warna hijau muda yang menutupi mulutnya.

Seketika kata-kata bu Minah seperti palu godam yang menghantam-hantam kepala Sarmun. Serasa ada banyak bintang berputar di sekeliling kepalanya. Kepalanya jadi pusing.

“Maafkan bu Minah. Kami belum punya uang. Saya sudah di PHK dari perusahaan. Dan belum dapat kerjaan lagi. Tolong beri waktu lagi ya. Kami mohon.”  Sarmun memohon dengan suara yang agak kelu tercekat di tenggorokan.

Bu Minah diam sejenak.

“Ee.. Baiklah. Aku maklumi. Aku kasih waktu satu bulan lagi ya.. Bener lho ya.. Jika tidak, silahkan cari rumah kontrakan yang lain. Sekarang banyak yang lagi cara kontrakan yang kecil kayak gini. Saya tunggu ya…” kata Bu Minah lalu pergi tanpa pamit.

Sarmun hanya diam. Matanya menatap kosong  ke arah perempuan tambun itu sampai menghilang dari pandangan di tikungan jalan kampung. Pikirannya berkecamuk berbagai rasa : dikejar-kejar, putus asa dan cemas. Dia terduduk di kursi. Nafasnya agak tersengal-sengal . Asmanya kambuh kembali.         

***

Sarmun masih mencoba berusaha. Setiap hari dia masih berkeliling mencari pekerjaan. Tapi selalu gagal. Tidak ada perusahaan atau pabrik yang menambah karyawan baru. Bahkan kebanyakan mengurangi karyawan. 

Waktu sebulan hampir berlalu.

Pada suatu malam, Sarmun berbicara dengan istrinya di ruang tamu. Hanya di terangi nyala lilin pengganti lampu karena pemutusan listrik sejak tadi pagi.

“Sur, aku telah habis. Aku tidak dapat bekerja lagi. Dimana-mana perusahaan sudah tidak menerima karyawan lagi. Bahkan mengurangi karyawan. Banyak perusahaan yang kolaps. Semua karena Corona. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk mencukupi kebutuhan kita” keluh Sarmun sambil memegangi kepala dan terpekur.

Surti tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada dua anaknya yang telah tertidur lelap kelelahan seharian bermain.  

“Aku juga tidak bisa membantu lagi mas. Tetangga sudah tidak ada yang meminta bantuan untuk mencucikan pakaiannya. Kebanyakan mereka lebih banyak bekerja di rumah dan punya waktu mencuci pakaiannnya sendiri”kata Surti.

“Tak mengapa, Sur. Aku tahu.”

“Terus kita harus bagaimana? Bagaimana dengan anak-anak? Apalagi sebentar lagi pasti bu Minah akan menagih uang kontrakan rumah”

“Itu yang paling aku pikirkan.”

“Terus ?”

Sarmun terdiam sebentar. Sejurus kemudian dia berkata, “Gimana kalau kita pulang kampung saja. Tidak ada yang bisa kita perbuat disini. Beban hidup di kota semakin lama akan semakin berat dengan kondisi seperti ini. Kita tidak akan sanggup memanggulnya jika berlama-lama di kota. Terutama aku khawatir tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup anak-anak kita. Kalau di kampung mungkin tidak seberat ini bebannya. Gimana Surti ?”

“Aku nurut saja Mas kalau menurutmu itu lebih baik”

“Baiklah kalau begitu. Beberapa hari lagi kita berangkat”

   

***

  Tetapi bukan hal yang mudah juga pulang kampung dalam keadaan wabah seperti ini.  Semua daerah memperketat aturan bagi perantau yang mudik ke kampung halamannya. Para pemudik diharuskan untuk untuk melakukan isolasi mandiri. Tidak boleh bergaul dengan orang lain selama dua minggu. Harus berdiam diri di rumah dan tidak diperbolehkan pergi kemana-mana terlebih dahulu..

Begitu juga dengan Sarmun sekeluarga. Sesampai di rumah kampung halamannya, dia  langsung di datangi oleh pamong desa dan tokoh masyarakat setempat.

“Mun, untuk kebaikannya kita semua seluruh warga sini, saya minta kamu sekeluarga tidak usah kemana-mana dulu ya. Dirumah aja dulu sementara waktu. Isolasi.“ pinta pak Parto, Kepala Dukuh mewakili.

“Iya pak. Kami paham kok. Kami akan patuhi sesuai dengan aturan pak” jawab Sarmun dengan jelas.

“Nha begitu lebih baik. Biar kita semua sehat aman bebas penyakit. Termasuk kelurgamu. Terutama bapakmu itu” 

“Iya pak”

Sarmun lantas memandang bapaknya yang sudah tua. Memang, di rumah, tinggal bapaknya yang sudah tua dan satu adik perempuannya. Ibunya telah lama meninggal karena penyakit asma yang telah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun.  



***

Selama kurang lebih dua minggu dia dan keluarganya pun mengurung diri di dalam rumah. Hari-hari ia jalani dengan kehati-hatian sesuai dengan arahan dan petunjuk dari petugas medis kecamatan yang terus memantaunya. Dia berharap tidak membawa wabah penyakit yang dapat menyebar menjangkiti keluarga yang dicintainya.

Selama masa isolasi Sarmun merasa sehat-sehat saja. Beberapa tetangga juga sempat menjenguknya hanya sekedar untuk mengetahui keadaannya. Dengan bantuan adik perempuannya dan beberapa tetangga, Sarmun bisa melewati masa isolasinya.

Setelahnya, Sarmun berpikir keras tentang bagaimana melanjutkan hidupnya di kampung. Keluarganya bukan keluarga yang berkecukupan. Bapaknya  hanya punya sepetak sawah yang dikerjakan tetangga dengan sistem bagi hasil. Bapaknya sudah tidak mampu mengerjakannya sendiri. Sarmun sendiri merasa tidak bisa lagi mengolah sawah. Dia sudah lama tidak pernah mencangkul dan bercocok tanam selama di kota. Sarmun belum tahu mau kerja apa di kampung.  Keseringan Sarmun berpikir terlalu serius, menjadikan kepalanya pusing. Tak jarang penyakit asma –‘warisan ibunya- nya kambuh karenanya.  

Akhirnya, atas izin bapaknya, dia menggadaikan surat sawahnya untuk di belikan sepeda motor. Sarmun mencoba peruntungan dengan menjadi tukang ojek. Dia mangkal dekat terminal kecamatan. Sarmun bekerja sangat keras. Dia berangkat pagi dan pulang malam. Dia merasa beban tanggungannya sangat berat. Selain harus menghidupi keluarganya, dia juga harus membayar cicilan untuk menebus surat sawahnya.

Dalam ngojek, Sarmun tidak pilih-pilih penumpang. Semua penumpang ia layani. Tidak memandang berasal dari mana dan tujuannya kemana. Banyak teman kerjanya nya yang tidak berani melakukannya. Sarmun tidak memperdulikannya. Tekadnya hanya satu : mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

Karenanya Sarmun sering abai terhadap kondisi kesehatannya. Surti sesekali mengingatkan suaminya.

“Jangan lupa jaga kondisi kesehatanmu Mas. Istirahat kalau capek. Jangan kamu paksakan. Ingat asmamu lho”

“Iya, aku tahu. Aku begini biar surat sawahnya bisa cepat ku tebus. Nggak enak sama bapak dan Murni, adikku. Bagaimanapun Murni juga punya hak atas sawah itu.       

“Iya. Tapi ini khan baru ada wabah penyakit”

“Aku ingat itu. Tenang saja.”

***

Beberapa hari ini Sarmun tidak kerja. Badannya demam. Dan batuk-batuk. Asmanya kambuh lagi. Nafasnya tersengal-sengal. Batuknya semakin menjadi. Semakin hari bertambah parah. Lantas ia memeriksakan diri ke puskesmas kemudian dirujuk ke rumah sakit. Hal yang dikhawatirkan terjadi : Sarmun dinyatakan positif terkena virus Corona.

Saat itu juga Sarmun langsung di isolasi. Tidak berapa lama kabar itu telah menyebar. Media massa dan sosial telah mengabarkan. Keluarganya menjadi sorotan. Keluarganya  ikut diisolasi.  Dalam beberapa waktu, keluarga telah dapat menjalani isolasi dan dinyatakan sembuh. Sedangkan Sarmun dengan kondisi bawaan penyakit dan keterbatasan peralatan di rumah sakit, nyawa Sarmun tidak tertolong. Dengan cepat, jenazahnya dikebumikan di pemakaman yang disembunyikan waktunya. Hanya  keluarganya yang tahu.

Surti dan keluarganya hanya bisa melihat dari jauh ketika jenazah Sarmun dikebumikan. Sambil menggendong dan menggandeng dua anaknya yang masih kecil-kecil, Surti hanya bisa terisak lirih. Surti hanya bisa nrimo.   



Kulon Progo, April 2020

 
Tri Apriyadi,  lahir di Salatiga, 8 April 1976. Aktivitas sehari-harinya adalah pegiat di lembaga nirlaba yang konsen di isu lingkungan kehutanan & kebencanaan. Disela-sela kesibukannya masih menyempatkan untuk menulis cerpen dan puisi Alumni Sosiologi UGM ini aktif Komunitas Sastra-Ku dan Forum Sastra dan Teater Kulon Progo. Buku kumpulan cerpen yang telah terbit Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (Guepedia, 2020). Tinggal di Wates Kulonprogo.

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...