Jumat, 15 Agustus 2025

 Sang Jago Merah Penjaga Sumpah

Cerpen Tri Apriyadi

 

          Senja merayap di dinding-dinding bambu rumah Pak Karto, menebarkan warna jingga pada bilah-bilah yang mulai lapuk. Namun, di dalam remang yang syahdu itu, ada satu benda yang seolah menolak temaram: celengan jago berwarna merah menyala, dengan sapuan emas di jengger dan ekornya. Ia bukan sekadar tembikar. Di dalam perut keramiknya yang dingin, bersemayam gemerincing harapan dan sebuah sumpah bisu.

          Sang Jago itu adalah saksi. Saksi tiga tahun penantian, saksi dari setiap lembar rupiah lecek dan keping logam yang disisihkan dengan napas tertahan. Ia dibeli dari Pasar Kliwon, pasar yang hanya hidup setiap lima hari sekali, mengikuti putaran hari pasaran Jawa. Pak Karto harus berjalan dua kilometer di pematang sawah untuk mendapatkannya, seolah sebuah laku tirakat kecil untuk memulai niat besarnya: seekor kambing kurban di hari Iduladha.

          Setiap kali tangannya yang keriput mengelus permukaan celengan yang licin itu, bayangan Sumini, mendiang istrinya, akan menari di pelupuk mata. Sumpah itu milik mereka berdua.

          “Nanti kalau tabungan kita cukup, kita beli kambing yang paling gagah ya, Pak’e,” bisik Sumini suatu malam, suaranya rapuh seperti hembusan angin.

          “Biar perjalanan kita nanti lapang.”

          Perjalanan. Pak Karto tahu perjalanan apa yang dimaksud istrinya. Perjalanan menebus sepi yang telah mereka rengkuh selama tiga puluh tahun pernikahan. Rumah bambu ini pernah tiga kali riuh oleh harapan, dan tiga kali pula senyap oleh duka. Dua janin tak sempat menghirup udara dunia, gugur di dalam rahim. Satu lagi, seorang bayi perempuan mungil, sempat membuka mata, namun jantung kecilnya terlalu lemah untuk berdetak lama. Vonis dokter yang kemudian mengangkat rahim Sumini adalah palu godam terakhir yang meruntuhkan putri impian mereka.

          Mereka tak pernah punya anak. Tapi di surau desa, dalam lantunan kisah Nabi Ibrahim, mereka menemukan pelukan lain. Kisah tentang penantian panjang, tentang keikhlasan agung saat pisau nyaris menyentuh leher Ismail, dan tentang domba yang datang sebagai pengganti. Sejak itu, keinginan untuk berkurban menjadi sauh bagi jiwa mereka yang terombang-ambing. Kurban bukan lagi sekadar ritual, melainkan cermin dari pengorbanan terbesar yang tak pernah bisa mereka lakukan: memiliki dan merelakan seorang anak.

          Namun Sumini telah pergi lebih dulu, meninggalkan Pak Karto sendirian bersama sumpah itu. Kini, hanya Sang Jago Merah yang menjadi teman bicaranya.

          “Sudah berat kau, Jago,” bisik Pak Karto pada celengannya, mengguncangnya pelan. Suara koin yang beradu dengan lipatan uang kertas terdengar padat dan mantap.

          “Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi tugasmu selesai.”

          Malam turun lebih cepat dari biasanya, dibungkus awan kelabu sisa hujan semalam. Pak Karto melangkah pulang dari surau usai salat Magrib, kakinya yang telanjang sudah begitu hafal dengan setiap lekuk jalan setapak yang becek dan licin. Aroma tanah basah dan rumput liar menguar, bercampur dengan nyanyian jangkrik yang ramai.

          Di persimpangan jalan yang sepi, di antara rimbunnya ilalang, sebuah suara memecah keheningan. Bukan suara jangkrik, melainkan erangan lirih seorang perempuan. Erangan yang menahan sakit tak tertanggungkan. Suara itu datang dari gubuk kecil milik Sarbini, pemuda yang nasibnya serupa dengannya, seorang buruh tani. Rumah itu terpencil, seolah sengaja menjauh dari tetangga.

          “Sarbini!” panggil Pak Karto, mempercepat langkahnya. Pintu gubuk itu tak terkunci.

          Di dalam, di bawah cahaya temaram lampu teplok, pemandangan itu menghantam dada Pak Karto. Sarbini, dengan wajah pias penuh kepanikan, berusaha menenangkan istrinya, Surti, yang tengah memeluk perutnya yang membuncit. Keringat membasahi dahi Surti, napasnya tersengal.

          “Pak Karto… tolong…” desis Sarbini, suaranya bergetar.

          “Ada apa, Sar? Kenapa istrimu?”

          “Tidak tahu, Pak. Tiba-tiba perutnya kram hebat. Katanya seperti mau melahirkan…”

Pak Karto menatap perut Surti.    

          “Tapi kandungannya baru tujuh bulan, bukan?”

Erangan Surti semakin keras, diselingi isak tangis.

          “Sakit… Mas… Sakit sekali…”

          “Cepat! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” seru Pak Karto.

          Sarbini terdiam, kepalanya tertunduk. Keheningannya lebih nyaring dari erangan istrinya.

          “Tapi…”

          “Tapi apa?” desak Pak Karto.

          “Uang, Pak…” jawab Sarbini pelan, matanya berkaca-kaca.

          “Saya… saya tidak punya sepeser pun untuk rumah sakit.”

          Dada Pak Karto sesak. Sekelebat, ia seperti terlempar ke masa lalu. Wajah Sumini yang pucat, rintihannya saat hendak melahirkan anak ketiga mereka, dan keputusasaan yang sama. Dunia seakan berhenti berputar. Di satu sisi, ada sumpah pada yang telah tiada. Di sisi lain, ada rintihan ia yang masih bernyawa.

          Tanpa berkata-kata lagi, Pak Karto berbalik dan berlari. Bukan sekadar lari, melainkan terbang didorong kekuatan yang tak ia mengerti. Ia menerobos gelap, kakinya tak lagi peduli pada lumpur dan batu.

          Di rumahnya, tangannya gemetar saat meraih Sang Jago Merah dari atas lemari. Ia menatapnya sekali lagi. Jengger emasnya seolah berkilat mengejek. Ini bukan sekadar celengan. Ini adalah tiga tahun keringatnya, tiga tahun penolakannya pada lintingan tembakau, tiga tahun percakapannya dengan Sumini di alam baka.

          Ada jeda sesaat yang terasa abadi. Lalu, dengan satu gerakan tegas, ia membanting celengan itu ke lantai tanah.

          BYARRR!

          Pecahannya terlontar seperti serpihan mimpi. Dan dari perut keramiknya yang remuk, tumpah ruah puluhan uang kertas yang terlipat rapi dan ratusan koin yang bergelindingan ke segala penjuru, berkilauan ditimpa cahaya lampu. Tanpa menghitung, Pak Karto meraup semuanya, memasukkannya ke dalam kantong plastik kresek.

          Ia kembali ke gubuk Sarbini secepat kilat. Uang itu ia serahkan. Malam itu, mereka berhasil mendapatkan angkutan desa menuju rumah sakit. Di ruang UGD yang riuh, saat perawat bertanya siapa yang akan bertanggung jawab, Pak Karto maju dengan sigap.

          "Saya," katanya, suaranya tenang, sambil menggenggam kantong plastik itu.

          Saat Surti dibawa ke ruang bersalin, Pak Karto duduk di kursi tunggu yang dingin. Ia tidak merasa kehilangan. Anehnya, ia merasa lega. Ia pejamkan mata. Dalam benaknya, ia tidak lagi melihat seekor kambing kurban yang gagah berjalan di atas jembatan Shiratal Mustaqim. Ia melihat pemandangan lain. Ia melihat dirinya, memapah Sumini yang tersenyum, berjalan menuju sebuah cahaya. Dan di ujung cahaya itu, istrinya menoleh, menganggukkan kepala dengan senyum termanis yang pernah ia lihat.

          Dua hari kemudian, Sarbini datang ke rumah Pak Karto. Wajahnya tak lagi pias, melainkan berseri-seri lelah.

          “Pak… terima kasih. Tanpa Bapak, saya tidak tahu bagaimana nasib istri dan anak saya,” katanya, hendak bersimpuh namun ditahan oleh Pak Karto.

          “Sudah, sudah. Bagaimana keadaan Surti dan bayinya?”

          “Selamat, Pak. Keduanya selamat. Bayinya laki-laki, lahir prematur tapi kata dokter sehat. Sekarang masih di dalam inkubator.”

          Pak Karto menghela napas lega.

          “Syukurlah. Allah Maha Baik.”

          Sarbini terdiam sejenak, menelan ludah.

          “Pak… ada satu hal lagi. Saya dan Surti sudah berembuk. Kami… kami ingin memberikan nama untuk anak kami.”

          “Tentu, itu hak kalian. Nama yang bagus adalah doa.”

Sarbini menatap lurus ke mata Pak Karto, tatapan yang dalam dan penuh hormat.

“Kami ingin menamainya… Ibrahim Karto.”

          Pak Karto tertegun. Jantungnya serasa berhenti berdetak.

          “Ibrahim, karena Bapak telah mengajarkan kami arti pengorbanan sejati seperti Sang Nabi,” lanjut Sarbini dengan suara bergetar.

          “Dan Karto… karena kami ingin ia selamanya mengingat bahwa hidupnya dimulai dari keikhlasan seorang bapak.”

          Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air mata mengalir di pipi Pak Karto yang keriput. Bukan air mata duka, melainkan air mata haru yang membanjiri ladang hatinya yang kering kerontang.

          Celengan jagonya telah pecah. Mimpinya untuk berkurban seekor kambing telah musnah. Namun sore itu, ia sadar, Tuhan telah memberinya kurban dalam wujud yang tak pernah ia duga. Bukan seekor hewan untuk disembelih, melainkan sebuah kehidupan untuk dirawat, dan sebuah nama yang akan terus menyambung kisahnya di dunia.

          Ia tak lagi sendiri. Ia kini seorang kakek.

 

Tri Apriyadi, menjabat Ketua  di Komunitas Sastra-ku dan pegiat di Forum Sastra-Teater Kulon Progo. Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya  Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Sang Jago Merah Penjaga Sumpah Cerpen Tri Apriyadi             Senja merayap di dinding-dinding bambu rumah Pak Karto, menebarkan wa...