Sang Jago Merah Penjaga Sumpah
Cerpen
Tri Apriyadi
Senja merayap di dinding-dinding bambu rumah Pak Karto,
menebarkan warna jingga pada bilah-bilah yang mulai lapuk. Namun, di dalam
remang yang syahdu itu, ada satu benda yang seolah menolak temaram: celengan
jago berwarna merah menyala, dengan sapuan emas di jengger dan ekornya. Ia
bukan sekadar tembikar. Di dalam perut keramiknya yang dingin, bersemayam
gemerincing harapan dan sebuah sumpah bisu.
Sang Jago itu adalah saksi. Saksi tiga tahun penantian,
saksi dari setiap lembar rupiah lecek dan keping logam yang disisihkan dengan
napas tertahan. Ia dibeli dari Pasar Kliwon, pasar yang hanya hidup setiap lima
hari sekali, mengikuti putaran hari pasaran Jawa. Pak Karto harus berjalan dua
kilometer di pematang sawah untuk mendapatkannya, seolah sebuah laku tirakat
kecil untuk memulai niat besarnya: seekor kambing kurban di hari Iduladha.
Setiap kali tangannya yang keriput mengelus permukaan
celengan yang licin itu, bayangan Sumini, mendiang istrinya, akan menari di
pelupuk mata. Sumpah itu milik mereka berdua.
“Nanti kalau tabungan kita cukup, kita beli kambing yang
paling gagah ya, Pak’e,” bisik Sumini suatu malam, suaranya rapuh seperti
hembusan angin.
“Biar perjalanan kita nanti lapang.”
Perjalanan. Pak Karto tahu perjalanan apa yang dimaksud istrinya.
Perjalanan menebus sepi yang telah mereka rengkuh selama tiga puluh tahun
pernikahan. Rumah bambu ini pernah tiga kali riuh oleh harapan, dan tiga kali
pula senyap oleh duka. Dua janin tak sempat menghirup udara dunia, gugur di
dalam rahim. Satu lagi, seorang bayi perempuan mungil, sempat membuka mata,
namun jantung kecilnya terlalu lemah untuk berdetak lama. Vonis dokter yang
kemudian mengangkat rahim Sumini adalah palu godam terakhir yang meruntuhkan putri
impian mereka.
Mereka tak pernah punya anak. Tapi di surau desa, dalam
lantunan kisah Nabi Ibrahim, mereka menemukan pelukan lain. Kisah tentang
penantian panjang, tentang keikhlasan agung saat pisau nyaris menyentuh leher
Ismail, dan tentang domba yang datang sebagai pengganti. Sejak itu, keinginan
untuk berkurban menjadi sauh bagi jiwa mereka yang terombang-ambing. Kurban
bukan lagi sekadar ritual, melainkan cermin dari pengorbanan terbesar yang tak
pernah bisa mereka lakukan: memiliki dan merelakan seorang anak.
Namun Sumini telah pergi lebih dulu, meninggalkan Pak Karto
sendirian bersama sumpah itu. Kini, hanya Sang Jago Merah yang menjadi teman
bicaranya.
“Sudah berat kau, Jago,” bisik Pak Karto pada celengannya,
mengguncangnya pelan. Suara koin yang beradu dengan lipatan uang kertas terdengar
padat dan mantap.
“Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi tugasmu selesai.”
Malam turun lebih cepat dari biasanya, dibungkus awan
kelabu sisa hujan semalam. Pak Karto melangkah pulang dari surau usai salat
Magrib, kakinya yang telanjang sudah begitu hafal dengan setiap lekuk jalan
setapak yang becek dan licin. Aroma tanah basah dan rumput liar menguar,
bercampur dengan nyanyian jangkrik yang ramai.
Di persimpangan jalan yang sepi, di antara rimbunnya
ilalang, sebuah suara memecah keheningan. Bukan suara jangkrik, melainkan
erangan lirih seorang perempuan. Erangan yang menahan sakit tak tertanggungkan.
Suara itu datang dari gubuk kecil milik Sarbini, pemuda yang nasibnya serupa
dengannya, seorang buruh tani. Rumah itu terpencil, seolah sengaja menjauh dari
tetangga.
“Sarbini!” panggil Pak Karto, mempercepat langkahnya. Pintu
gubuk itu tak terkunci.
Di dalam, di bawah cahaya temaram lampu teplok, pemandangan
itu menghantam dada Pak Karto. Sarbini, dengan wajah pias penuh kepanikan,
berusaha menenangkan istrinya, Surti, yang tengah memeluk perutnya yang
membuncit. Keringat membasahi dahi Surti, napasnya tersengal.
“Pak Karto… tolong…” desis Sarbini, suaranya bergetar.
“Ada apa, Sar? Kenapa istrimu?”
“Tidak tahu, Pak. Tiba-tiba perutnya kram hebat. Katanya seperti
mau melahirkan…”
Pak Karto menatap perut
Surti.
“Tapi kandungannya baru tujuh bulan, bukan?”
Erangan Surti semakin
keras, diselingi isak tangis.
“Sakit… Mas… Sakit sekali…”
“Cepat! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” seru Pak
Karto.
Sarbini terdiam, kepalanya tertunduk. Keheningannya lebih
nyaring dari erangan istrinya.
“Tapi…”
“Tapi apa?” desak Pak Karto.
“Uang, Pak…” jawab Sarbini pelan, matanya berkaca-kaca.
“Saya… saya tidak punya sepeser pun untuk rumah sakit.”
Dada Pak Karto sesak. Sekelebat, ia seperti terlempar ke
masa lalu. Wajah Sumini yang pucat, rintihannya saat hendak melahirkan anak
ketiga mereka, dan keputusasaan yang sama. Dunia seakan berhenti berputar. Di
satu sisi, ada sumpah pada yang telah tiada. Di sisi lain, ada rintihan ia yang
masih bernyawa.
Tanpa berkata-kata lagi, Pak Karto berbalik dan berlari.
Bukan sekadar lari, melainkan terbang didorong kekuatan yang tak ia mengerti.
Ia menerobos gelap, kakinya tak lagi peduli pada lumpur dan batu.
Di rumahnya, tangannya gemetar saat meraih Sang Jago Merah
dari atas lemari. Ia menatapnya sekali lagi. Jengger emasnya seolah berkilat
mengejek. Ini bukan sekadar celengan. Ini adalah tiga tahun keringatnya, tiga
tahun penolakannya pada lintingan tembakau, tiga tahun percakapannya dengan
Sumini di alam baka.
Ada jeda sesaat yang terasa abadi. Lalu, dengan satu
gerakan tegas, ia membanting celengan itu ke lantai tanah.
BYARRR!
Pecahannya terlontar seperti serpihan mimpi. Dan dari perut
keramiknya yang remuk, tumpah ruah puluhan uang kertas yang terlipat rapi dan
ratusan koin yang bergelindingan ke segala penjuru, berkilauan ditimpa cahaya
lampu. Tanpa menghitung, Pak Karto meraup semuanya, memasukkannya ke dalam
kantong plastik kresek.
Ia kembali ke gubuk Sarbini secepat kilat. Uang itu ia
serahkan. Malam itu, mereka berhasil mendapatkan angkutan desa menuju rumah
sakit. Di ruang UGD yang riuh, saat perawat bertanya siapa yang akan
bertanggung jawab, Pak Karto maju dengan sigap.
"Saya," katanya, suaranya tenang, sambil menggenggam
kantong plastik itu.
Saat Surti dibawa ke ruang bersalin, Pak Karto duduk di
kursi tunggu yang dingin. Ia tidak merasa kehilangan. Anehnya, ia merasa lega.
Ia pejamkan mata. Dalam benaknya, ia tidak lagi melihat seekor kambing kurban
yang gagah berjalan di atas jembatan Shiratal
Mustaqim. Ia melihat pemandangan lain. Ia melihat dirinya, memapah Sumini
yang tersenyum, berjalan menuju sebuah cahaya. Dan di ujung cahaya itu,
istrinya menoleh, menganggukkan kepala dengan senyum termanis yang pernah ia
lihat.
Dua hari kemudian, Sarbini datang ke rumah Pak Karto.
Wajahnya tak lagi pias, melainkan berseri-seri lelah.
“Pak… terima kasih. Tanpa Bapak, saya tidak tahu bagaimana
nasib istri dan anak saya,” katanya, hendak bersimpuh namun ditahan oleh Pak Karto.
“Sudah, sudah. Bagaimana keadaan Surti dan bayinya?”
“Selamat, Pak. Keduanya selamat. Bayinya laki-laki, lahir
prematur tapi kata dokter sehat. Sekarang masih di dalam inkubator.”
Pak Karto menghela napas lega.
“Syukurlah. Allah Maha Baik.”
Sarbini terdiam sejenak, menelan ludah.
“Pak… ada satu hal lagi. Saya dan Surti sudah berembuk.
Kami… kami ingin memberikan nama untuk anak kami.”
“Tentu, itu hak kalian. Nama yang bagus adalah doa.”
Sarbini menatap lurus ke
mata Pak Karto, tatapan yang dalam dan penuh hormat.
“Kami
ingin menamainya… Ibrahim Karto.”
Pak Karto tertegun. Jantungnya serasa berhenti berdetak.
“Ibrahim, karena Bapak telah mengajarkan kami arti
pengorbanan sejati seperti Sang Nabi,” lanjut Sarbini dengan suara bergetar.
“Dan Karto… karena kami ingin ia selamanya mengingat bahwa
hidupnya dimulai dari keikhlasan seorang bapak.”
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air mata
mengalir di pipi Pak Karto yang keriput. Bukan air mata duka, melainkan air
mata haru yang membanjiri ladang hatinya yang kering kerontang.
Celengan jagonya telah pecah. Mimpinya untuk berkurban
seekor kambing telah musnah. Namun sore itu, ia sadar, Tuhan telah memberinya
kurban dalam wujud yang tak pernah ia duga. Bukan seekor hewan untuk
disembelih, melainkan sebuah kehidupan untuk dirawat, dan sebuah nama yang akan
terus menyambung kisahnya di dunia.
Ia tak lagi sendiri. Ia kini seorang kakek.
Tri
Apriyadi, menjabat Ketua di Komunitas Sastra-ku dan pegiat di Forum
Sastra-Teater Kulon Progo.
Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya
dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor
Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku
kumpulan cerpen tunggalnya Maafkan, Aku
Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar