Jumat, 29 Januari 2021

K A R Y A

 

Rakit Misno   

Cerpen Imam Wahyudi

 

Misno mendongak ke atas. Mendung hitam bergulung-gulung, hujan deras segera turun. Setelah kemarau panjang, hujan seperti akan menumpahkan rindu beratnya pada tanah dan tetumbuhan.

Laki-laki ceking, dekil dan berambut gondrong awut-awutan itu berjalan pelan ke halaman. Ia tersenyum menatap seonggok benda di hadapannya. Anjing kampung kurus kesayangannya terus mengitari kakinya, sesekali moncong binatang itu kembang-kempis mengendus benda tersebut. Cengengesan Misno bergumam  pada Pleki.

“Perahu kita sudah hampir jadi, Pleki. Saatnya sebentar lagi tiba. Kita akan mengingatkan orang-orang. Jangan sampai terlambat!”

Benda yang ia sebut sebagai perahu, senyatanya adalah beberapa lonjor bambu yang disusun ala kadarnya. Mungkin malah lebih tepat bila disebut rakit.

***

Orang-orang berpakaian perlente itu mendatangi rumah Pak Lurah dengan tergesa. Seperti ada sesuatu yang penting.

“Bagaimana Pak Lurah, apa sudah bisa dikondisikan?”

“Tenang. Tenang, Pak Weng. Hanya tinggal si gila itu yang belum bisa diatasi. Nanti saya akan putar otak untuk menyingkirkannya.”

“Pokoknya saya tahu beres saja. Tahun ini villa itu sudah harus berdiri.”

“Siap. Siap, Pak Weng.”

Laki-laki yang dipanggil Pak Weng itu adalah seorang pengusaha dari kota. Ia dengan koleganya telah menyulap bukit-bukit yang mengitari Desa Jurangjero menjadi surga bagi para pelancong. Tempat hiburan modern beserta villa mewah bertebaran di lereng yang dulunya hutan lebat tersebut tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam dan lingkungan.    

Masih ada lahan kosong di salah satu lereng bukit. Tanah milik pemuda yang dianggap gila karena ditinggal mati dengan tragis oleh kedua orang tuanya dahulu. Ya, tanah milik Misno. Ia tak mau melepaskan tanah tersebut berapapun harganya.

***

“Akan ada banjir besar menerjang desa ini!”

“Apa kau bilang. Kalau bicara dipikir dulu. Dasar sinting!”

“Percayalah! Aku telah mendapatkan bisikan halus waktu semedi di Goa Kalong.”

“Kau dari hari ke hari makin gila, Misno!”

“Aku seperti Nuh dengan perahunya yang akan menyelamatkan kalian. Aku tidak pernah dendam, walau kalian pernah membiarkan orang tuaku mati dihantam tanah longsor dahulu.”

“Ah, Misno. Semakin parah Kau berhalusinasi. Sana pergi!”

Orang-orang tak menggubris Misno. Bahkan ia menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Misno tak putus asa. Ia terus bicara kepada siapa saja yang ditemuinya. Tentang hujan tiada henti yang akan melongsorkan bukit-bukit yang mengitari Desa Jurangjero. Tentang air besar yang akan menenggelamkan Desa Jurangjero. Dan tentu saja, ajakan untuk naik perahu bersamanya bila bencana itu tiba. Namun orang-orang tetap menganggapnya gila. Tak disadari oleh Misno, bahaya lain sedang mengintai dirinya.

***

Misno ditemukan tak bernyawa di semak belukar dekat rumahnya. Pleki terlihat sedih, terus mengitari tubuh Misno.

“Siapa yang membunuh Misno?”

“Mungkin dia tidak dibunuh. Dia kena azab seperti orang tuanya karena suka klenik dan sering bertapa di hutan. Konon ia menyembah batu dan pohon-pohon.”

“Masa begitu? Menurutku dia dibunuh.”

“ Ah, tak tahulah. Yang penting keluarga kita baik-baik saja…”

Kematian Misno menjadi pembicaraan orang-orang, namun tetap saja tersaput kabut misteri, sampai kemudian mereka melupakannya.

***

Hujan turun tiada henti. Berhari-hari. Terus tiada henti. Suatu hari menjelang fajar, bukit-bukit yang mengitari Desa Jurangjero runtuh. Desa Jurangjero yang serupa ceruk  dikelilingi perbukitan itu lenyap terendam air. Orang-orang tak bisa menyelamatkan diri. Terdengar suara-suara gaib, melolong menyayat hati.

Beberapa hari kemudian, ketika hujan reda dan air mulai surut, terlihat sebuah rakit mengapung pelan. Seekor anjing kurus basah kuyup kepayahan diatasnya. Binatang itu satu-satunya yang selamat dalam petaka tersebut.

Kp, Desember 2020

Imam Wahyudi,  cerpen dan cerkaknya  dimuat di sejumlah media cetak dan online, juga buku antologi bersama, diantaranya: Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), dan Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY). Salah satu ASN di Pemkab Kulonprogo ini inggal di Wates dan Pengasih.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...