Minggu, 26 Desember 2021

 

K A R Y A

 

INUNG SETYAMI

 

Lima Cerita Untuk Ibuku

 

1// ibu dan kupu kupu

 

Kupu-kupu yang menyeberang hujan itu

adalah aku, ibu

kini pulang mencari madu

di teduh matamu

sayapku rindu hinggap

di reranting pelukmu

: Sebab aku enggan di koyak jarak

 

2// ibu dan rembulan

Engkau lah rembulan yang tak pernah padam

memberi kehangatan di rongga batinku terdalam

Penerang, saat aku terkepung dalam kegelapan rindu 

tempatku rebah pada segala gelisah

 yang tak sudah sudah

: ibu, engkaulah rembulan dalam langit jiwa yang menyala-nyala

 

3// ibu dan bilangan

Ibu, tulusmu selalu utuh, seutuh bilangan bulat

Tak kan terpecah, seperti bilangan cacah

sayangmu bagaikan bilangan berpangkat,

kasihmu tak terbagi, seperti bilangan prima

: sungguh, cintamu untukku tak terlimitkan!

 

4// ibu dan laut

Ibuku,

Engkaulah laut biru yang terlukis dalam kalbu

Keluasanmu menyimpan keindahan

kembang laut, ikan ikan, dan mutiara yang terpatri dalam jiwa 

Kasihmu padaku bagai pasir di hamparan pesisir

Tak terhitung oleh siapapun

dan rumus apapun

: sebab laut adalah kesabaran dadamu

menampung suka dukaku

 

5// ibu dan doa

Mencintaimu adalah mencintai surgaNya

Kata-katamu adalah pintu yang selalu terbuka

bagi setiap langkah perjalananku

: engkau dan aku serupa simpul mati

yang terajut dalam doa abadi

 

 

Yk. 2021

 

Inung Setyami, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara. Menulis cerpen, esai dan puisi. Menjuarai beberapa lomba sastra. Buku karyanya antara lain: Melankolia Bunga-Bunga (cerpen, 2021), Distikon Rasa (puisi, 2021), Kisah Si Rawit (novel anak, 2021) dan lain-lain.

 

***___*** 

 


EVA NURUL KHASANAH

 

Selamat Datang Desember

 

Sudah terlalu lama?

Mulai dari Tuhan,

apa rencana mu kemudian?

 

Terlalu asik membuatmu terusik?

Jadi pikirkan baik-baik!

Mungkin tidak mudah, atau sebaliknya?

 

Gedung-gedung kosong mulai terisi

lambat laun tanpa tertegun akan mem-baru.

Bisa jadi seperti saat pertama kali.

 

Artinya kau terlahir lagi wahai aku.

Semua yang usang jadi baru

tidak satupun tersisa selama ini, bukan?

Apa yang harus siap?

 

Sidorejo, 01 Desember 2021

 

Eva Nurul Khasanah, lahir tgl 1 Juni 1999, mahasiswi Prodi PBSI Universitas PGRI Yogyakarta (UPY).  Puisi berjudul "105 Kata untuk Mimpi Ku" mendapat juara 3 di Pekan Jurnalistik yang diadakan kampusnya. Karyanya tersiar di sejumlah media online dan antologi bersama diantaranya Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020),  Duhkita ( 2021).   Sekretaris komunitas Sastra-Ku ini tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.

 

 ***___***  

 

YUNI SUKARTINAH

 

Realita

 

Mentari begitu murung

Terlindas  mendung

Entah apa yang terjadi

Sungguh ku tak mengerti

              Air hujan bercucuran

              Di bawah teriknya pepanasan

              Entah apa yang terjadi

              Semua menyayat hati

Ku termenung menepi

Di bawah pohon kopi

Tiada sangka petunjuk tuhan

Tuk memberi jawaban

            Bagai besi disulut api

            Semua tak lagi harmoni

            Ku harus menata hati

            Tuk mencari solusi

Ku bersujud di hadapan-Nya

Ikhitiar dan tawakkal tak terlupa

Tuk hadapi realita ini

Yang semakin ku tak mengerti

 

 

Sabtu, 18 Desember 2021

 

MELAWAN MASA LALU

Cerpen Okti Setyani

 

 

“Bekerja keras bukanlah sebuah ungkapan, akan tetapi ialah pembuktian. Cita-cita bukanlah sekedar angan, akan tetapi sebuah tujuan kehidupan.

Di mana saat engkau merasa sendiri dalam dunia yang kejam dan terlalu menyilaukan, di situlah ilmu akan memberikan rasa aman atau setidaknya ia akan memberikanmu perisai dan sebilah pedang untuk bertahan dan payung agar kau tak tersilaukan.”

_Imam Maulana Al-Fatih_


               Jajaran mobil mewah hingga bobrok ada di sini. Mulai dari Range Rover, Rubicon hingga Avanza. Merah, hitam hingga samar-samar warnanya. Aku sudah hafal beragam  merek mobil, motor hingga sepeda. Jika ada kuis menyebutkan lima macam merek mobil atau motor, jelas aku jagonya. Bukan seorang sales, apalagi pemilik rental mobil. Hanya seonggok tulang dengan balutan daging dan otot.

        Kemeja putih dengan dasi merah garis-garis, bersepatu pantofel hitam mengilap, ditambah jas hitam penuh wibawa, tentu hanya akan mengundang gelak tawa. Bahkan bisa jadi aku diangkut petugas berseragam putih-putih rumah sakit jiwa, atau malah viral di media sosial dengan headline ‘Seorang Penjual Koran Di Jogja Mulai Tidak Sehat”.

            Yang berjas almamater biru tua, bersepatu pantofel dan mengendarai motor matik, pastilah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Di sisi lainnya, gadis berjilbab dusty pink berkorsa biru tua dengan lambang bunga kuning berdaun di salah satu lengannya, pastilah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Dan pria yang mengendarai motor ninja hijau, berkorsa hitam dengan tulisan kapslok di punggung, bertuliskan Gajah Mada University, sudah barang tentu.

              Beruntung!

       Dengan spesialisasi masing-masing rekan-rekanku mulai beraksi sepagi ini, pukul setengah enam. Mulai dari penjual tahu sumedang, gantungan kunci, tongsis dan air mineral, sudah bergerilya mengaduk-aduk jalanan di sepanjang lampu merah. Padahal matahari masih malu-malu, angin masih dingin menerpa, namun jalanan sudah macet. Dikerumuni manusia dengan berbagai tujuan untuk mengisi kehidupannya.

Aku berjalan menuruni trotoar saat lampu lalu lintas berubah merah, kendaraan mulai memadat, mengklakson tak sabar, bahkan ada yang nekat menerobos, tentu saja dengan pertimbangan matang-matang karena tak tampak sesosok pun petugas polisi. Saatnya aku beraksi. “Koran?” ujarku sambil mengangkat satu gulung koran harian Jogja.

Manusia itu berbeda-beda tabiatnya, ada yang tak menganggap, sekadar melirik sekilas, bahkan menutup jendela mobilnya. Apa susahnya sekadar menggeleng sambil tersenyum ramah. Dan tekadku untuk menghentikan warisan kebodohan pada anak cucu sudah bulat. Anakku harus memiliki pendidikan yang tinggi, kehidupan yang berkecukupan, masa depan cerah di dunia dan akhirat. Inilah ikrarku saat jiwa ini benar-benar sudah lelah dengan kebodohan yang membelenggu diri sendiri.

Jalanan menampakkan fatamorgana. Macet semakin menjadi-jadi. Suara klakson memekakan telinga. Sengatan sinar ultraviolet ada pada puncak kejayaannya. Dahaga juga mulai menjajah tenggorokan. Kubuka tas ransel lusuh yang tadi kuletakkan sembarangan di pot tanaman pinggir trotoar. Meraih sebotol air putih yang kubawa dari rumah. Juga sebungkus nasi goreng buatan putriku, sungguh nikmat.

            “Alhamdulillah…” ujarku saat pantat ini menyentuh trotoar, rasanya hangat. Tepat di bawah pohon asam rindang aku melepas lelah yang sudah menghujam tulang. Hanya rasa syukur yang akan menyelamatkan diri dari tikaman rasa ketidakadilan, iri, dengki dan pesimis. Ya, sangatlah tepat. “Madhang sikik Le…” ujarku pada seorang pemuda seusia putriku, tujuh belas tahun, ia berhenti bersekolah dan memutuskan bekerja dengan menjual kerupuk. Sungguh miris hidup ini.

Nggeh Pak,” jawabnya takzim kemudian berlalu menawarkan barang dagangannya pada para pegguna jalan.

Suara gesekan antara rantai, pedal dan bagian-bagian sepeda yang berkarat mengerumuni telinga. Menjadi alarm bahwa sang tulang punggung sudah kembali ke rumah. Polusi di Jogja sudah mulai menyesakkan, kendaraan dan manusia sudah memadati kota kecil yang terkenal dengan keramahan masyarakatnya. Dengan kayuhan pelan, pertanda sisa tenaga mulai menipis, aku menjadi salah satu pelopor pecinta lingkungan. Tepatnya karena keadaan, himpitan kemiskinan.

Rumah kecil yang berada di gang sempit, diapit rumah bertingkat nan mewah di sampingnya, bercat hijau yang mulai pudar, dan ubinnya retak-retak karena sudah terlalu lama menopang penghuninya yang tak kunjung berkembang. “Assalamu’alaikum…” ujarku sambil menyenderkan sepeda tuaku pada tembok samping rumah.

       Setelah Zahra membukakan pintu, aku duduk di kursi kayu yang tak diplitur, lalu mengibas-ngibaskan topi lusuh untuk menghilangkan panas yang mulai terasa. Kuraih kipas kecil yang berada di bawah meja, kuhidupkan. Suara angin yang berputar masuk ke gendang telinga, memberikan sensasi sejuk hanya dengan mendengarnya. Angin menerpa wajah, leher dan beberapa bagian tubuhku. Cukup nyaman.

         Suara dentingan, tumbukan antara gelas dan sendok membuatku segan untuk beranjak. Tentu saja pertanda air akan datang. Sejurus kemudian seorang gadis berumur tujuh belas tahun, memakai jilbab coklat dan kaos lengan panjang yang tidak jelas warnanya karena pudar, berjalan menuju ruang tamu dengan membawa nampan dengan dua gelas air teh hangat di atasnya. “Niki Pak, diminum dulu…”

           Melihat putriku, Zahra, aku pun teringat akan ikrarku. Sebuah ikrar yang tiba-tiba saja muncul di tengah kemacetan lalu lintas. Saat jiwa benar-benar lelah dengan hidup yang tak kunjung berubah. Saat hati mulai tersayat dengan tabiat. Dan saat aku muak dengan kebodohan yang membutakan. “Nduk, kamu mau lanjut ke mana? UGM opo UIN?” tanyaku santai sambil menyeruput teh manis buatannya.

           Ia tersenyum getir. “Ndak usah, Pak…” ucapnya dengan nada normal, namun aku tahu ada sebuah belati yang seolah menikam gadis itu saat mengatakannya.

           “Lho kok begitu?”

           “Kerja saja, Pak…”

         “Nduk, lihatlah Bapakmu ini, mau jadi apa kamu kalo ndak kuliah?” Nada bicaraku mulai meninggi. Aku sangat benci mendengar niat putri semata wayangku yang akan mewarisi kebodohan turun-temurun ini. Kebodohan yang hanya bisa ditumpas dengan mewah nan mahalnya pendidikan.

            Hening sejenak. Gelagatnya yang polos, sifat ceria, namun suka berdrama seolah baik-baik saja. Padahal aku tahu ia memiliki api yang berkobar di dalam sana, meraung-raung haus pendidikan, meronta-ronta minta diselamatkan. Keadaan memang suka bercanda dengan cita-cita. Mencoba memberi bayang suram akan keinginan kuat. Menghancurkan harapan yang telah lama di pupuk. Menghempas niat yang sudah terbangun kokoh dari awal. Tak akan kubiarkan putriku senasib denganku, manusia yang dikungkung kebodohan karena keterbatasan.

           Memang benar, aku seorang ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Kerja mati-matian demi memenuhi kebutuhan, bahkan terkadang tetap saja kurang. “Nduk, ndak usah berpikir aneh-aneh, rezeki Allah yang ngatur, insyaallaah Bapakmu kuat nguliahin kamu…” ujarku sambil menatapnya dengan tegas. Mencoba menyalurkan tekad kuat.

      “Bapak, kuliah iku mahal …” Seolah tertonjok oleh kenyataan. Namun dinding pertahananku terlalu kokoh hanya untuk ditabrak oleh masalah ekonomi, hal biasa bagi manusia.

***

           Dan seperti roda yang berputar. Setelah kesulitan, pastilah ada kemudahan. Kulirik gadis ayu berjilbab di jok sampingku, seorang dosen yang berpendidikan tinggi, Zahra. Sudah kubilang bahwa hidup memang suka bercanda, bukan?

Kuturunkan jendela mobil, pantulan cahaya langsung menerpa. Wajah Jogja sudah berbeda, lebih moderen dan panas, sumpek. Namun mereka: tukang koran, minuman, gantungan kunci dan lainnya, masih bertahan. Karena alasan yang sederhana, yaitu perjuangannya di masa lalu kurang keras. Saat aku berjualan koran di siang hari dan membuat kerajinan di malam hari demi memperjuangkan pendidikan putriku, mereka terlalu santai. Bahkan mengabaikan pendidikan yang memang harus dibayar mahal.

“Koran, Pak…” ujarku sambil melambai-lambaikan tangan pada seorang pria paruh baya, tukang koran yang berlalu lalang menawarkan koran di depan sana. “Berapa Pak?” tanyaku lagi saat ia mendekat.

            “Lima ribu,” ujarnya ngos-ngosan sambil sesekali menyeka keringat yang berlinangan di wajahnya. “Mau yang apa Pak?” Ia menunjukkan berbagai jenis koran yang tersampir di lengan kecoklatan nan keriputnya.

            “Kompas saja…”

         Seorang mantan penjual koran membeli koran. Hidup memang lucu. Suka bercanda dengan segala kesulitannya. Membayang-bayangi dengan kegelapan yang menakutkan, padahal kalau saja optimis dan terus berjalan, ternyata bayangan gelap itu membahagiakan.  

         Dulu aku melihat manusia yang duduk di mobil mewah adalah mereka yang beruntung, sedangkan aku tidak. Namun sekarang aku melihat mereka sebagai orang yang telah berhasil merayu Tuhannya dengan doa dan kerja keras tiada terkira. Perjuangan kami tidak mudah, air mata dan keringat darah haruslah tumpah. Makan sekali sehari, hingga makan berlauk garam, pernah kami lalui. Zahra juga membantu perekonomian dengan berjualan makanan di kampusnya. Saat malam Minggu berjualan bunga di Malioboro. Dan sesekali membantuku berjualan koran.

Rasa syukur dan huznuzan-lah penguat langkah kami melalui semua ini. Dan dengan terus-menerus merayu Sang Khaliq, menggodanya dengan melangitkan bertubi-tubi doa nan kerja keras.


Okti Setiyani, lahir 22 tahun yang lalu dan saat ini sedang menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga. Hobinya menulis, membaca, memukul, menendang dan mengkhayal. Ia merupakan ketua Komunitas Pena Indonesia, Duta Nasional Mahasiswa Inspiratif DIY dan kiprahnya di dunia literasi menghasilkan novel solo juga beberapa antologi cerpen. Masih kepo dengan manusia yang satu ini? Penulis dapat dihubungi melalui instagram @okti_setiyani08 atau email oktisetiyani1999@gmail.com.

 


Sabtu, 11 Desember 2021

K A R Y A

 

MARJUDDIN SUAEB

 

Simpati Empati Semeru.

 

erupsi. Baru batuknya belum ledak

Langit gosong udara nafaskan gelisah

Allahu akbar slamet nyuwun minta slamat

Allahu akbar malam jadi malam

 

Minggir minggir...ati ati hati hati

Ngungsi o relawan O Relawan dengan R.

huruf besar..  di mana kau..

Bau belerang jiwa separuh lari

 

Abu di mata abu di rambut

O alaah  bukan itu tapi melepuh

Bukan bau belerang tapi aroma daging

bakar. Oh kaki tangan..melepuh mata..

 

Gusti aku kian tahu kau

Gusti kau kian lambaikan

Kemari kemari padaku

Pasrah tawakalilah ummatku.

 

rumah seisi. Kutinggal ngungsi..

Dunia tinggalkan tapi belum mati

Sodaraku melepuh... ingin saja

menengok rumah terpendam pasir

 

siapa mateng terbakar. Tinggal dengar

kabar. Kabar tergetar  di sela gelegar

O gelegar lagi Allahu akbar  

Komat kamit lupa lapar...

 

erupsi. Lagi batuk belum ledak

Baru Semeru belum bumi

Di mana ke mana ngungsi

Kecuali padamu Gusti.

 

Semula sungai. Kini lumpur api

Barangkali jasad simbah terlarut

Kerna saat semua lari

Tak ada yang tahu ke mana..Gusti.

 

Yk. 2021

 

Marjudin Suaeb, adalah nama pena dari Marjudin Muhammad Jalal Sayuthi. Pendidikan terakhirnya di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi ini tulisannya dimuat sejumlah koran Jogja Semarang, Jakarta. Sering baca puisi dari kampung ke kampung, dari kampus ke kampus. Namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Menjadi narasumber berbagai kegiatan sastra. Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016) dan Teka Teki Abadi (Tonggak Pustaka, 2021). Puisi lain terkumpul di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan (penyair Insani), Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Pendapa taman siswa, Nyanyian Bukit Menoreh,  dan Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

***___*** 


AMINATI JUHRIAH

 

Duka

 

Senja pecah mahameru tunduk patuh perintah-Mu

Alam, kamu, aku adalah waktu yang akan pecah sewaktu-waktu

 

Berdoalah untuk memikirkan sekitarmu

Sebelum palung kesunyian paling sunyi bertamu

 

Langit kabarkan duka merapi terluka

Pesan-pesan berceceran bagai buih

Lesapi cawan-cawan anggur fana memabukkan

 

Langit menangis tumpahkan duka merapi terluka

Malam pekat pucat menatap pasi

Perih mengurai beribu lingkar ingkar

 

Buli-bulir nada sembilu kucurkan perasan duka luka

Nyawa tertindih di tanah kemakmuran

 

Akankah pupus sibakkan hikmah tersingkap, tegak zikir kehendak-Nya sadarkan jiwa

 

Tangerang 11 Desember 2021

 

Aminati Juhriah, lahir pada tanggal 30 Agustus. Karyanya berupa cerpen dan puisi tersebar di sejumlah media online , cetak dan buku antologi bersama. Saat ini tinggal di Tangerang, Banten.


***___***


TRIAS TH

 

Membuka Senja

 

Membuka senja kala itu

Langit menyebar biru

Mengabarkan  waktu

Tuk berganti laku dan liku

 

Membuka senja kala itu

Mahameru

Menyembur debu menyebar abu

Membumbung kan pilu

Mengalirkan sendu

 

Membuka senja kala itu

Semeru

Bercerita  keagungan Tuhan

Batu, kerikil, mengganti rinai hujan

Lahar,   pasir mengganti riak air

Seolah menguji keteguhan insani

 

Membuka senja kala itu

Jinggamu hilang

Birumu lenyap

Kelammu datang

Dan malammu memanjang

 

Tapi yakinlah, bahwa

Pagi kan datang penuh harap

Menyinari jiwa jiwa yang gelap

Membalut sayat sayat luka

Mengalir sejukkan dahaga

 

Membuka senja kala itu

KasihNya kan hadir selalu

Dalam suka duka hambaMu

 

Jogja, 5 Des 2021

 

Trias Tuti Hidayanti, akrab dipanggil Trias. Perempuan kelahiran Cilacap 40 tahun yang lalu ini mulai mengenal sastra sejak SD. ketika mendapat tugas mengarang cerita. Kecintaanya pada sastra  seiring kegemarannya membaca buku koleksi perpustakaan sekolah maupun dari majalah yang dibeli dengan menyisihkan uang jajannya. Ketika masuk bangku kuliah di kampus Bulaksumur, ia lebih suka membaca esai-esai politik sesuai  program studi yang diambilnya. Kini kecintaanya pada dunia sastra diasah kembali dengan gabung di komunitas Sastra-Ku. Puisinya masuk dalam antologi bersama Kluwung Lukisan Maha Cahaya(2020) dan Duhkita (2021). Saat ini tinggal di Galur, Kulon Progo.

 

***___***


SITI WAHYUNI

 

Duka Semeru

 

Ya Rabb

Belum usai Kau turunkan wabah

Di muka bumi ini

Di bumi Indonesiaku

 

Ya Rabb

Kau lebihkan volume air hujan

Kau alirkan tidak lagi di jalannya

Kami sudah berduka

 

Banjir dimana-mana

Longsor tanah tak terkira

Angin bukan sepoi lagi berhembus

Dahsyat terasa

 

Ya Rabb

Kini kau letuskan isi perut bumi

Kau lelehkan keluar dari jalurmu

Panas terasa pastinya

 

Ya Rahman

Inikah peringatan-Mu

Akan adanya kiamat

Agar kami teraadar

 

Yaa Rahiim

Ampunilah kesombongan kami

ampunilah kekhilafan kami

Ampunilah dosa-dosa kami

 

Ku lupa bersyukur pada-Mu

Ku lupa bermunajat pada-Mu

Ku lupa berserah diri pada-Mu

Ampunilah Kami Ya Rabb

 

Semeru mengingatkan kami

Duka Semeru

Duka seluruh negeri

Tanda cinta -Mu pada kami

 

Kulon Progo,  Desember 2021

 

 

Siti Wahyuni, SPd, lahir di Kulon Progo, 22 Februari 1976. Alumni UNY (Pendidikan Geografi) dan UT (PGSD). Saat ini mengajar di SD Negeri Percobaan 4. Menulis puisi sejak SMP. Puisinya pernah di muat di buku Duhkita ( Pusaka-Ku, 2021 ). Tinggal di Kedungdowo.

  

Jumat, 03 Desember 2021

 

KEMBANG PAESAN

Cerkak  Yanti S Sastro Prayitno


 Esuk iku srengenge wis sumunar gawe segering swasana. Kekembangan ing latar uga katon endah ngresepake. Malah suwaraning manuk-manuk kang lagi ngoceh ing pang-pang wit pelem ngarep omah nambahi asrining esuk kang sepi.

Emane ora mangkono kanggone Sekar. Esuk iku praupane katon rengu, sedhela-sedhela katon ambegan landhung, nandhakake lagi ana perkara kang dadi pikiran. Alon tangane nyaut hape ing meja, mbukak kanthi ora sranta, sedhela mencureng, nggresah maneh, banjur alon diglethakake meja.

“Bu, aku mengko sore budhal menyang Yogya ya,” ujug-ujug swarane Yudha anake mbarep jumedhul saka kamar.

“Iya, le,” saurane ampang.

“Ibu wis kagungan sangune?” pitakone Yudha maneh.

Sekar amem sedhela, banjur mesem.

“Aja kuwatir, le,” wangsulane ngyakinake anake.

“Ning anu lho, Bu. Sangune dhobel, Rasti ya nitip aku,” kandhane Yudha alon.

Sekar manthuk karo tetep ninggalake esem, sakdurunge jumangkah nyandhak pit montor sing dijagang ing emperan omah lan pamit arep metu sedhela. Sing dituju toko souvenir lan barang-barang rajutan Mitra, duweke Laras, kancane SMA. Sakdurunge mudhun saka motor, Laras wis petrek-petrek mbagekake saka njeron toko.

“Mangga mitraku, Ibu guru sing ayu, kadingaren kok longgar men esuk-esuk tindak mrene....,” pambagene kaya grontol wutah.

Sekar mung mesem, banjur nguncluk mlebu tokone.

“Eh, ana apa, Sekar? Kok rumangsaku esemmu lagi umpetan...,” Laras isih nyoba gegojegan.

“Titipanku wis ana sing payu durung, Ras?” pitakone njujug marang ancas sakawit.

“Alhamdulillah, aku nganti lali Sekar, durung WA awakmu, menawa tas loro sing wingi kae kabeh dikersakke Bu Shinta. Jare malah nek isa, kepengin pesen kanthi modhel sing padha nanging rupane beda, iki dhuwite...,”kandhane karo menyat menyang papan kasir.

Sekar lungguh srog ing kursi ngarep etalase, tangane nutup praupan, ngucapake rasa syukur mawali-wali, uga nyingidake mripate kang wiwit mbrambangi. Laras ngetokake sawetara lembar dhuwit uga nota kwitansi, urek-urek sedhela banjur diulungake Sekar.

“Ora, jan-jane ana apa to, Sekar? Kok rumangsaku lagi semrawut ngono. Apa kowe lagi ana karepotan? Aku mitramu wiwit biyen to Sekar, sapa ngerti aku bisa melu ngudhari ruwetmu,” kandhane Laras karo lungguh ing sisihe.

Sawise nampani dhuwit, ngetung nyocokake karo kang tinulis ing kwitansi, nglebokake dompet, banjur nyawang Laras, mitra rakete.

“Saumpama aku bisa luwih cepet ngrajut ya, Ras...,”kandhane tumlawung.

“Kepriye to....ditakoni ana apa, kok malah perkara ngrajut...,”grenenge Laras.

“Apa perkara Mas Wibi meneh?” sakwise amem sawetara Laras ngambali pitakon.

“Ora Ras, iki mung perkara klasik, lagi bingung golek dhuwit, tanggal tua, Yudha bali, kudu nyangoni, uga kanggo Rasti,” Sekar unjal ambegan.

“Walah...mbok mau WA aku dhisik, aku isih ana nek ora akeh, durung wayahe kulakan kok,” kandhane Laras.

“Ora Ras, kowe wis kerep banget ngrewangi aku. Aku isin banget Ras, sekolahku luwih dhuwur tinimbang awakmu, nanging awakmu luwih pinter nyekel ekonomi lan luwih sembada. Balik awakku, wis taknggo njungkir walik paribasane, tetep durung cukup, tetep kedhungsangan,” wangsulane Sekar mbuwang panyawang menyang dalan gedhe ngarepan. Sekar ora kepengin pamer tangis ing ngarepe mitrane iki.

Sakwise ngobrol ngalor-ngidul sakcukupe, Sekar pamitan kanthi ati lega. Senadyan ora akeh, mengko sore bisa nyangoni Yudha karo titipane Rasti. Anake loro pancen nedheng-nedhenge kemragat, sing mbarep Yudha wis semester wolu, lagi nedheng-nedhenge nggarap skripsi, dene Rasti lagi semester loro. Senadyan abot, Sekar tansah mesem saben kelingan anak-anake, rumangsa uripe banget piguna senadyan abote dikaya ngapa.

Isih gawang-gawang wektu-wektu kang wis adoh lumaku. Senadyan wong tuwane mung pegawe negri cilik, nanging cita-citane Sekar pengin kuliah ora kena dipambengi. Kamangka ing desane wektu semana, aja meneh kok kuliah, selagine sing tamat SMA wae bisa dietung. Bapake Sekar priyayi prasaja, nanging wawasane jembar, mula tansah nyengkuyung kekarepane anak siji-sijine, senadyan kuliah kanggone uga dudu barang murah. Ndilalah Sekar pinaringan gampang, bisa ketampa ing pawiyatan luhur negri ing Yogya, njupuk jurusan Kependidikan Kimia, kaya sing dicita-cita wiwit cilik.

Jaman kuliah dilakoni kanthi lancar, dhasare Sekar kalebu pinter, ora neka-neka, mula ya lumaku kanthi rancak. Yen ta bisa dianggep alangan iku sepisan pindho telat dhuwite, kanggo mbayar kos utawa SPP, ya maklum, bapake mung pegawe negri cilik tanpa sawah ing padesan. Babagan dhuwit senadyan sarwa kurang ora patiya dadi sesanggan. Lelakon kang banget nabet lan nyebabake Sekar kudu mupus angen-angene iku mbokmenawa malah ujian liwat ibune. Ibune sekar wiwit lara-laranen, rikala Sekar mancik tahun katelu kuliahe. Kepriyea wae tetep dadi kether, bolak-balik Yogya tekan desane mbutuhake wektu ora kurang saka patang jam. Senadyan mangkono Sekar tetep bisa nutugake kuliahe nganti rampung.

Saumpama diibaratake bakal nindakake lelaku kang adoh, Sekar wis nyekel kuncine, kanthi gelar sarjana pendhidhikan, ibarat gapura wis medhang ing ngarepe. Ewasemono, manungsa kalamangsa kurang prayitna. Mesthi wae tumrap Sekar, pepinginan utamane nyambutgawe, dadi guru kaya gegayuhane. Direwangi kuliah ing kutha liya, lara lapa kurang beya, mesthi owel lamun ta mung kudu nyimpen ijazah.

Nanging ngelingi bektine anak tumrap wong tuwa, rikala keng Ibu mundhut supaya Sekar nampa lamarane Wibi, kang wektu iku senadyan kuliahe durung rampung nanging wis katon cekel gawe minangka pemborong ing sawijining PT, Sekar ora bisa suwala. Ibune kang wis gerah-gerahen pepinginane mung siji, isih bisa nyawang putu-putune kang digadhang lair saka guwa garbane Sekar, anak wadon ontang-anting keturunane.

“Saka ngendi to, Bu?” takone Wibi, rikala bubar njagang pit montore. Angen-angene buyar.

“Saka nggone Laras, niliki dagangan,”saurane ampang bablas mlebu kamar.

Rasa karanta kang tan bisa kinira. Lelakon kaya mangkene iki wis welasan tahun disandhang dening Sekar. Dheweke sing kudu nubyak-nubyak golek tambel butuh, embuh utangan embuh srabutan liyane, sing penting anak-anake bisa nerusake sekolahe. Setahun sawise nikah karo Wibi, pancen bener kekudangane wong tua, Sekar nglairake Yudha, banjur telung tahun candhake nyusul Rasti. Apamaneh senadyan rada rendhet pungkasane Sekar uga kaangkat dadi guru SMA ing kutha liya kang mbutuhake telu nganti patang jam saka desane.

Wibi pranyata luput saka pangirane wongtuwane Sekar. Wiraswasta mono mbutuhake niat, tekad lan usaha kang ulet, kuat lan tanggon. Rikala akeh alangan, akeh pepalang, Wibi kerep mopo. Semono uga kuliahe akhire mangkrak ora rampung amarga pikirane benceng cuweng, antarane gaweyan lan sekolah. Sekar saktemene ora mung meneng wae, senadyan minangka guru anyar gajine durung sepiroa, malah dadi cagaking keluarga, amarga asile mesthi saben wulan.

Adhakane manungsa menawa nduweni kekurangan ora kok ngrumangsani, nanging malah sesongaran kanggo nutupi. Wibi rikala PT papan panggonane melu mborong bahan bangunan kukut, nyoba gawe usaha werna-werna. Emane wis ora ana modhal. Sekar sing gajine wis dijagakake kanggo kebutuhan keluwarga, kudu ngeklasake dipotong, nyetori utang kang kepeksa diajokke ing bank utawa koperasi kanggo modhal usahane Wibi.

Ora pisan pindho Wibi miwiti usaha, saka ngingu lele ing ndesa, netesake bebek, dhistributor madu, batik nganti mbukak papan les komputer lan bimbingan belajar tau dilakoni. Nanging sing jenenge usaha pancen mbutuhake tekad kang kudu kuwat, tahan banting lan tetep mugen. Lan Wibi ora nduweni kabeh wateg kuwi, kabeh usahane ora ana sing kasil, utange Sekar saya ndrindhil, kamangka anak-anak tansaya gedhe, tansaya kemragat. Wibi yen didhesek mung metu emosine, rumah tangga dadine mung kaya ajang pabaratan. Untunge Sekar iku ora seneng muni-muni, ora seneng ngundhamana, kabeh diendhem ing dhadha.

“Sekar, kowe isih nampa jaitan ora?”sawijining sore Laras mitra rakete rikala SMA sanja ing omahe.

“Ya mung kala-kala, Ras. Yen wektune longgar, sing ndandakke ora kesusu. Aku ora bisa ngedum wektu mulang karo nampa jaitan. Remek rasane neng awak,” wangsulane.

“Gajeke biyen jaman sekolah kowe ki pinter nyongket, ya?” takone Laras slenco.

“Iya, ning apa hubungane karo jait menjait to, Ras,” Sekar rada njengkerutake bathuke.

“Coba iki deloken....!” kandhane Laras karo ngulungake tas rajut werna coklat.

“Apik, sapa sing gawe? Awakmu?” takone Sekar gumun.

“Aku? Hehehe...kowe ngece, aku wiwit biyen ora tlaten nggon thrithikan ngene iki. Aku tuku neng pameran wingi, njur eling awakmu. Kayane biyen kowe paling tlaten lan rapi angger ana prakarya. Yok usaha gawe kaya ngene,” kandhane Laras makantar.

Iku lelakon patang tahunan kepungkur. Laras sakdurunge pancen wis duwe kios alat-alat jait warisane wong tuwane, senadyan dheweke dhewe ora bisa njait. Mula kanthi anane trend ibu-ibu sing lagi seneng karo barang songketan utawa rajutan, lelorone bebarengan mbukak usaha. Laras sing kulakan bahan-bahane, kayata benang-benang nylon kanggo tas, benang poliester kanggo sepatu utawa dhompet nganti tekan benang katun utawa benang-benang impor kanggo klambi lan sepatu bayi, uga rompi lan kardigan. Komplit sak ubarampe liyane. Sekar sing gawe rajutane. Maneka warna modhel disinau saka internet, grup-grup ing facebook, uga vidheo-vidheo rajut manca saka Youtube. Asile tokone Laras sing masarake.

Sepisanan uga seret, amarga kerajinan tangan utawa handycraft pancen larang, kudu diregani uga kridhane sing gawe. Nanging suwe-suwe akeh pelanggane kalebu ibu-ibu pejabat dhaerah kono. Sing ngrajut ora winates mung Sekar, amarga Sekar uga nularake kapinterane marang tangga kiwa tengene liwat PKK, malah ing sekolahane uga duwe ekstra kurikuler ngrajut kang dadi tanggungjawabe.

Emane panguripan pancen ora ana sing sampurna. Minangka guru, apamaneh wanita kudune uripe Sekar mulya. Nanging gandheng Wibi bojone senengane mung ngeceh-ceh dhuwit kanggo modhal sing ora ditlateni dadi malah babar pisan ora ana tanjane. Direwangi nampa jaitan nganti lembur-lembur paribasane, tetep durung cukup, amarga potongan gajine saya akeh, kanggo mbayar utang-utang modhale Wibi. Banjur ditekadi ngrembakakake bisnis ngrajut karo Laras mitrane, asile sempulur bisa kanggo wragat anak-anake, senadyan kala-kala kudu tetep nggadhekake SK PNS-e kanggo mbayar SPP.

Banjur apa sing ditindakake Wibi sakwise usaha sing dilakoni makaping-kaping gagal. Pilih nganggur ing omah, maca-maca iklan ing koran saben dina, ngomong gawe rancangan usaha sing asile jare katon cetha, Nanging Sekar wis jinja, ora bakal nggolekake utangan maneh kang pranyata nyebabake uripe ketula-tula, kedhungsangan dadi tulang punggunge kulawarga.

“Pak, aku wis ora kuwat yen kudu kaya ngene. Wis to, uwisa anggonmu ngimpi,” kandhane alon ngempet rasa.

“Karepmu? Aku ora sida usaha iki? Tenan lho Bu, percayaa aku, usaha iki ora bakal gagal. Aku butuh seket yuta wae, nek ora isa koperasi ya coba neng bank, sertipikat omah rak ya isih ana. Mengko separo taknggo mbukak usaha, separo disimpen kanggo jagan setoran sakdurunge usaha iki metu asile. Tenan, iki prospeke apik,”kandhane Wibi makantar-kantar.

Sekar gedhek alon. Kelingan kabeh usaha kang wis tau dicoba Wibi, kelingan menawa saben usaha pungkasane dheweke sing kudu nandangi, kamangka saben dina kudu mulang minangka guru. Kelingan sidane babarpisan Wibi ora tau nyetori kabeh utange, sidane tetep gajine sing dinggo anggel. Kelingan sidane tetep dheweke sing kudu ngingoni lan ngragati anak-anake.

“Goleka gaweyan wae. Gunakna sekolahmu, kepinteranmu. Aku wis ora bisa golek utangan, wis ora ana gaji sing dipotong,” kandhane tandhes.

“Ohh, dadi saksuwene iki kowe ora eklas ya gajimu dinggo ngragati keluarga, apa ora eman ganjaran sing kudune kok tampa, ilang marga rasa kurang eklasmu,”  kandhane Wibi wiwit muntab.

“Ora sah mbiji ganjaranku, Mas. Kabeh ing ngarsane Gusti. Ben Gusti kang mbiji eklas lan orane atiku. Nanging aku minangka bojo wajib ngelikake, Mas. Kabeh wragat kanggo uripe keluarga iki dudu tanggunganku, nanging tanggungjawabmu. Mbokya paribasan gajiku ki milyaran, kewajibanmu ora gugur, senadyan aku eklas. Apamaneh kahananku wis sarwa kurang kaya ngene. Goleka gaweyan, dudu akeh utawa sithike bayarmu, nanging usahamu. Aja mung ngimpi terus gawe rancangan....,” dleweran banyu bening wiwit nelesi pipi.

“Ohh...dadi pancen kowe wis ora trima ya duwe bojo kaya aku. Isaku pancen mung kaya ngene. Nek kowe wis ora isa, yen kowe ketemu wong lanang sing isa nampa kowe karo anak-anakmu, takculke...,”alon nanging teges ukara kang metu saka Wibi.

Kaya thathit kang kumelap ing mangsa ketiga kanggone Sekar. Luh bening kang kober ndlewer dadi tangis ngguguk. Dudu, Sekar dudu wanita gembeng, nanging ukarane Wibi mujudake godham kang ngruntuhake jejering wanita, jejering bojo. Iku tegese Wibi ora bakal  nasibe Sekar lan anak-anake, Sekar kudu cancut madeg minangka adege keluarga.

Wiwit kuwi wis ora ana maneh rasa tresna kang bisa ngrembaka. Omah-omah mung sakderma ngentekake wektu kang terus lumaku. Pisan pindho tuwuh ing pikirane kanggo mungkasi talining bale somah, nanging saben-saben nyawang Yudha lan Rasti, atine tidha-tidha. Wusana anane mung sandiwara, ayem tentrem kang kasat mata, nanging saktenane garing aking tan ana rasa. Kadya kembang-kembang paesan kang manca warna. Sedhep endah edi sinawang nanging babar pisan tan ngganda wangi. Nganti kapan? Mung Gusti kang maha pirsa.


Semarang, 2021 


  

Sriyanti S Sastroprayitno, lahir ing Sragen, 5 Februari 1969. Alumnus Kimia FMIPA UGM iki sabendinane mulang ing Departemen Kimia Fakultas Sains lan Matematika UNDIP Semarang. Katresnane marang basa lan sastra Jawa sakliyane memaca uga diwujudake tulisan. Nate menang ing lomba esai ngenani  Crita Sambung ing kalawarti Panjebar Semangat: Cintrong Traju Papat (2006), lan juara II nulis Geguritan Bebrayan yayasan Podhang (2020). Buku gurit tunggal: Mecaki Wektu (2021) mlebu nomine buku gurit penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah (2021). Siji-loro Cerkak, esay lan gurite nate kapacak ing Panjebar Semangat, Jayabaya, Djaka Lodang  lan Jagat Djawa Solopos. Buku kumpulan gurit bebarengan kang nate ditulis Wanodya (2017), Wanodya (2018), Wanodya (2019), Sakwijining Wektu Mengko (2019), 25 penulis Terpilih Sayembara nulis geguritan Omah (2020) lan Japa Lampah (2021).Bisa disapa liwat FB: Yanti S Sastroprayitno, Ig: Yantiprayitno, Youtube: Sri Yanti lan email: syantichem87@gmail.com. No. WA: 082134925147.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...