Bunga
dalam Air
Cerpen Muhammad Lutfi
Suatu sore kamu datang tergopoh-gopoh ke rumahku. Dengan
mengendarai sepeda tua khas orang-orang Belanda. Kamu tak pernah menganggap aku
sebagai pribumi. Aku juga tak pernah merasa seperti orang asing. Asing dan
pribumi adalah sama saja, kita tetap manusia. Manusia yang butuh makan, butuh
udara, butuh orang lain.
Aku dengan kakiku berjalan di dunia ini. Kamu dengan sepeda
khas orang koloni menyapaku lewat depan rumahku. Aku ingat pertama kali kita
bertemu saat kamu ke dermaga Batavia. Aku membawa kopermu yang berbentuk kotak
dan berwarna coklat saat kamu pertama kali sampai ke Hindia Belanda. Aku
melihatmu sebagai wanita yang cantik, dengan rambut pirang dan mata biru. Aku,
pribumi dengan warna kulit coklat yang berbeda dengan kulitmu yang putih
bersih. Aku memandangmu sebagai wanita cantik dan kaya. Aku, seorang lelaki
pribumi yang hidup ala kadarnya saja.
Lama-lama aku selalu memperhatikanmu. Sejak kamu tinggal di
rumah dengan seorang Gubernur Hindia Belanda yang bernama Van Moor, ayahmu sendiri.
Aku adalah seorang tawanan dari ayahmu. Selalu diawasi oleh para serdadu
Belanda yang membuntutiku di belakang ketika aku berjalan keluar dari rumah
ini. Ayahku mati divonis hukuman mati karena dianggap pemberontak oleh Belanda.
Dia dibredel lima pelor senapan Belanda di dermaga Batavia. Aku menyaksikannya
ketika masih kecil. Ibuku depresi memikirkan ayah, sampai harus meninggalkan
dunia ini karena tak tahan ditinggal pergi suaminya terkasih.
Lalu, aku dijadikan pembantu di rumah ini oleh Van Moor.
Tugasku setiap hari merawat kebun, merawat kuda, merapikan rumah. Walau aku
kadang harus mengalami tindak kekerasan dari Van Moor, tetapi dia selalu
memberikan upah padaku. Aku masih merasa dihargai sebagai manusia. Aku mau
melarikan diri saja, tetapi aku takut peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi
pada orang-orang yang ikut melarikan diri dari sini berujung dengan tembakan di
dermaga Batavia.
Aku kini semakin betah tinggal di sini. Sejak kehadiranmu
Amira, aku menjadi kian punya keinginan lama tinggal di sini. Aku
memperhatikanmu kadang, ketika kamu sedang bersantai minum teh sambil membaca
buku di halaman rumahmu. Sambil menyapu, mataku sedikit menoleh kepadamu. Wajah
cantikmu, adalah anugrah bagiku bisa berada di sini. Aku perhatikan
rumput-rumput di halaman rumah Van Moor selalu bersih, karena aku semakin giat
menyapu ketika kamu juga sering duduk di luar rumah.
Saat kamu mandi, tidak ada pembantu wanita yang melayanimu
mandi. Kamu mandi sendiri. Aku ikuti kamu berjalan ke kamar mandi. Aku
nyanyikan kidung ‘Asmarandana’ untuk mendengarkan suara hatiku ini padamu. Kamu
bergaun putih ala noni-noni Belanda.
Kamu pun dipanggil noni sejak tinggal
di sini. Aku ingin lihat kamu menyatu dengan air. Aku ikuti kamu dari belakang.
Kamu belum sadari kehadiranku. Kamu nyanyikan lagu belanda yang aku sendiri tak
tahu artinya.
Kamu buka kamar mandi. Kamu masuki ruang bebas itu. Aku
dengarkan dari sisi sumur di luar. Suara air telah kamu alunkan. Itu tandanya
kamu sudah bebas dan merdeka. Tak pakai apa-apa. Aku beranikan jiwa
pemberontakanku mendengar air yang bersuara gebyar-gebyur itu. Hmmm… aroma
wangi sabun mandi dan sirih tercium. Itu tandanya kamu sudah melewati setengah
kebebasan di ruang itu.
Aku semakin mendekat. Aku sudah berada di sisi kamar mandi.
Di dekatmu Amira. Aku sudah berada di dekatmu kini. Kamu belum juga menyadari
keberadaanku. Aku kini semakin lantang. Aku jalang yang pemberani dan liar.
Kamu telah menjadi buruanku, Amira. Aku lihat sedikit lubang di pintu yang
terbuat dari papan. Aku tahu ini kesempatan. Aku lihat ini sebagai peluang. Ini
adalah celah bagiku. Keberuntungan telah berpihak padaku.
Sebelumnya aku tak berani dan senekat ini. Nyonya Anna;
istri Van Moor, selalu mandi seperti ini. Sendiri, tanpa ada yang
mengantarkannya. Aku selalu punya kesempatan untuk melakukan hal ini jika aku
mau. Tapi aku masih sadar, kalau pistol Van Moor juga punya celah untuk
melakukan kesempatan merobohkanku. Aku masih sadar akan hal itu, walaupun
nyonya Anna berwajah sama sepertimu. Dia cantik dan ramah padaku. Aku teringat
akan Nyonya Anna, dia adalah istri tercinta Van Moor –yang selalu memanjakannya.
Kali ini aku benar-benar berani. Aku tak tahu dorongan keberanian
darimana yang telah menyelimuti kekuatan nekat liar ini. Aku tahu ini
kesempatan, aku pasang mata di lubang itu. Aku benar-benar melihat kamu. Ya,
aku melihat kamu yang telah menyatu dengan air. Kamu sungguh bersih tanpa
bulu-bulu halus di kulitmu. Kamu wanita yang harum dan telah memanggil pekik
suara hasratku. Aku telah tahu kamu secara dekat. Ya, aku telah mengenal kamu
secara gamblang. Lebih dari siapapun. Aku semakin dekat denganmu.
Aku segera harus berlari dari sini. Aku harus segera kembali
ke kandang kuda. Memberi makan rumput ke kuda Van Moor. Bersikap seolah-olah
tak tahu-menahu soal yang baru saja terjadi. Hanya aku saja yang tahu. Ya, aku
saja. Amira bahkan tak tahu kalau aku telah mengetahuinya. Aku telah merasakan
hal yang setimpal untuk apa aku tinggal di sini. Aku telah menemukan alasan
untuk apa aku tinggal di sini. Bukan untuk melayani Van Moor, tetapi untuk
mengenal kamu, Amira.
Hingga makin lama kita makin mengenal. Tidak ada batas
antara kita. Kamu bukan orang asing, begitupun aku bukan orang asing bagimu.
Aku adalah orang yang paham tentang kamu. Saat kamu memintaku untuk mengambil
kuda dan membantumu menaiki kuda itu, aku melihat punggungmu yang bersinar. Aku
bantu kamu naiki kuda. Kamu minta untuk diantarkan pergi jalan-jalan ke jalan
kota. Aku turuti permintaanmu. Kamu mulai bertanya tentang namaku. Tentu,
dengan senang hati aku perkenalkan diriku.
Aku adalah Ratno, anak mantan Lurah di sini, yang dulu
ayahku mati dihukum Van Moor dan rumahnya didiami kamu sekarang. Saat aku
menjelaskan namamu, kudamu mengangkat kaki depannya saat melihat anak pribumi
berlari mengejar kakaknya. Kamu terjatuh. Buru-buru aku tangkap kamu. Kamu
berada dalam pelukanku. Aku semakin menikmati sensasi ini. Aku tahu rasanya
memeluk kamu seperti ini. Sejak itu, kita semakin dekat.
Saat menyapu halaman rumah lagi, aku melihatmu kembali. Kamu
seperti biasanya, duduk di teras dengan membawa secangkir teh. Kali ini kamu
tak membaca buku. Kamu fokus denganku. Kamu perhatikan aku sambil
senyum-senyum. Aku tahu kalau hatimu senang. Aku sapa kamu. Kamu pun melambaikan
tangan dan menyuruhku meletakkan sapu. Kamu memintaku untuk mengambil sebuah
buku di meja. Aku ambilkan buku itu dengan bergegas. Aku serahkan buku itu.
Kamu ucapkan terimakasih sambil melempar senyum lagi. Kamu mengajakku duduk. Aku mencoba
duduk di bawah. Kamu menolak hal itu. Kamu berkata bahwa hal itu tidak layak.
Hal itu bertentangan dnegan keadilan sosial.
Aku terbelalak, seorang Belanda yang paham tentang keadilan
sosial dan menyuruhku duduk di sampingnya. Kamu berbicara padaku kalau buku
yang kuambil itu adalah buku tentang perjuangan dan keadilan sosial. Aku bukan
pribumi yang buta huruf. Aku baca judul buku itu. Buku itu berjudul “Max
Havelar” karya Multatuli. Aku pernah
dengar tentang orang itu. Orang Belanda yang memihak kepentingan dan kebenaran
HAM orang-orang pribumi.
Kamu berkata padaku, kalau semua orang sama saja. Entah dia
pribumi maupun Belanda, mereka tetaplah manusia yang punya HAM yang sama. Aku
mengangguk saja. Kamu senyum kembali padaku. Kamu bilang lagi padaku, kalau
kamu ingin menjadi temanku. Entah apa yang merasukiku. Entah apa yang kupikirkan
saat itu. Aku telah berkata padamu, kalau aku sangat mencintaimu. Aku
mencintaimu, Amira. Walaupun aku dendam kepada Van Moor karena dia telah
membunuh ayahku. Aku mencntaimu sebagai anak dari orang yang kutaruh dendam itu
padanya. Aku tak bisa melupakan hal itu. Tapi, hari ini aku telah mengucapkan
cinta padamu. Aku telah mengucapkan suara hatiku pada orang Belanda.
Kamu memelukku. Kamu memandangku sebagai Ratno. Bukan
sebagai budak atau sebagai pribumi. Kamu berikan buku itu padaku dan menyuruhku
untuk menyimpannya. Baiklah, kulakukan pesanmu. Kamu memelukku. Lalu kamu
memintaku untuk menyapu kembali. Kamu memintaku, tidak menyuruhku dengan kasar.
Kamu selalu memperhatikanku ketika aku membersihkan rumah Van Moor.
Pada hari yang cerah, kamu memintaku untuk pergi melihat
kapal-kapal berlabuh di dermaga Batavia. Tentu saja aku turuti keinginanmu dengan
senang hati. Kamu selalu kujaga dengan aku yang membawakan payung menaungi
panas menyengat dirimu. Kamu tarik aku ke sisimu ketika berjalan. Kamu juga tak
ingin melihat aku kepanasan. Aku tahu itu. Kamu senyum padaku. Menyandarkan
kepalamu yang dihiasi topi, bersandar padaku. Aku ingin memberi batas sikap
tersebut. Aku takut jikalau mata-mata Van Moor melihatku. Kalau sampai Van Moor
tahu, tentu aku akan ditembak langsung. Tapi, ini adalah anugrah cerah di hari
ini. Aku tak akan melepaskan kamu dari diriku. Bersandarlah padaku. Aku selalu
menjadi sandaran bagimu. Kita melihat kapal-kapal berlabuh di dermaga. Kita lihat
ombak yang dipeluk angin. Kita lihat burung camar, mengganggu kemesraan.
Kamu mengajakku duduk di dekat pohon di tepi dermaga. Kamu
ingin menyaksikan langsung ombak-ombak itu di tepi dermaga. Kamu bilang padaku,
kalau kamu ingin semakin dekat dengan lautan. Kamu perhatikan lucunya kepiting
lautan menaiki batu-batu. Kamu lihat jamur-jamur dan lumut bisa bersatu. Kamu
kembali melihat aku. Aku tetap melihat kamu dari tadi. Aku tetap memegang
payungmu dari tadi.
Kamu ajak aku melangkah lagi. Kamu pegang tanganku. Berjalan
mengarungi pasir. Kamu ingin menginjak pasir dan melepas sepatumu. Kamu lakukan
itu. Kamu melepas sepatumu dan mengajakku berlari di pasir. Aku sudah terbiasa
dengan pasir. Kamu belum terbiasa, Amira. Aku khawatir kalau kamu terjatuh di
atas pasir itu. Lalu bajumu kotor, maka itu akan semakin menambah kecurigaan
Van Moor. Dia nanti berpikir kalau aku yang mengajak kamu pergi dan menganggap
aku tidak becus menjaga kamu. Dia akan menghukumku. Selain itu, dia pasti tahu
kalau ada kedekatan yang tidak biasa antara kita.
Di saat aku berpikir cemas seperti itu, kamu memberikanku
bunga mawar dari topimu itu. Kamu ambil bunga mawar penghias topimu yang anggun
itu. Kamu berikan padaku. Kamu berkata, kalau bunga ini sebagai simbol wajah
hatimu padaku saat ini. Bunga itu merah merona dan cerah, masih segar pula. Aku
tahu, kalau kamu memahami tanda-tanda perasaanku padamu. Aku semakin senang dan
bahagia, Amira. Bahkan, kamu kecup bunga sebelum memberikannya padaku. Kamu
mengecupku pula di pipi kiriku. Saat tahu bunga itu telah membekas ciuman
bibirmu, aku mencium kembali bunga itu.
Burung camar hinggap di pasir dekat kita. Mereka membuka
sayapnya, lalu terbang kembali ke lautan. Mengudara bebas. Seperti aku yang
telah mengudara saat ini. Bahagia sampai melayang-layang. Dia ingin kembali.
Kami kembali lagi menuju dermaga. Melihat kapal-kapal dan senja. Ya, angin
kurasakan dingin dan hening. Dia semakin dekat padaku. Dia memakaikan topinya
padaku. Lalu mengecupku kembali. Aku menatapnya. Dia justru semakin mendekat.
Mendekatkan bibrinya padaku. Aku jemput maksud bibirnya yang ingin menciumku.
Kami berciuman di bawah matahari senja.
Ratno…, duorr! Duorr! Suara senapan terdengar nyaring
memisahkan ciuman kita. Aku meraskan sakit di dadaku. Seperti tertusuk tombak
di dadaku. Aku merasakan darah mengalir pelan. Aku merasakan dadaku berlubang
dan mulai panas. Ada yang menyusup ke dadaku. Aku menoleh ke belakang. Van Morr
dan anak buahnya sudah mengarahkan senapan padaku. Moncong senapan itu kulihat
berasap. Senapan tadi telah digunakan. Peluru mereka menembus dadaku.
Mataku mulai buram. Aku tak bisa lagi melihat Amira dengan
jelas. Amira menjerit dengan keras. Amira berteriak sambil menangis. Masih bisa
kulihat dia dibawa Van Moor menjauh dariku. Van Moor menembakkan pistolnya
padaku. Aku benar-benar tak bisa melihat. Gelap pandangan mataku. Aku mulai
kehilangan kesadaran. Aku memegang bunga
yang diberikan Amira padaku. Aku pegang erat dan tubuhku tercebur ke dermaga.
Kulihat Amira menangisiku. Kulihat gerak bibirnya berkata, “Ratnoooo.”
Pati, 4 Oktober 2020
Muhammad Lutfi, lahir di Pati, 15 Oktober 1997. menyelesaikan S1 Sastra
Indonesia di UNS Surakarta. Tulisan
sastranya telah dimuat sejumlah media cetak dan online. Kini tinggal di Desa Tanjungsari, RT.01/RW. 02,
Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.