Minggu, 16 Oktober 2022

K A R Y A

 

Bunga dalam Air

Cerpen  Muhammad Lutfi

 

Suatu sore kamu datang tergopoh-gopoh ke rumahku. Dengan mengendarai sepeda tua khas orang-orang Belanda. Kamu tak pernah menganggap aku sebagai pribumi. Aku juga tak pernah merasa seperti orang asing. Asing dan pribumi adalah sama saja, kita tetap manusia. Manusia yang butuh makan, butuh udara, butuh orang lain.

Aku dengan kakiku berjalan di dunia ini. Kamu dengan sepeda khas orang koloni menyapaku lewat depan rumahku. Aku ingat pertama kali kita bertemu saat kamu ke dermaga Batavia. Aku membawa kopermu yang berbentuk kotak dan berwarna coklat saat kamu pertama kali sampai ke Hindia Belanda. Aku melihatmu sebagai wanita yang cantik, dengan rambut pirang dan mata biru. Aku, pribumi dengan warna kulit coklat yang berbeda dengan kulitmu yang putih bersih. Aku memandangmu sebagai wanita cantik dan kaya. Aku, seorang lelaki pribumi yang hidup ala kadarnya saja.

Lama-lama aku selalu memperhatikanmu. Sejak kamu tinggal di rumah dengan seorang Gubernur Hindia Belanda yang bernama Van Moor, ayahmu sendiri. Aku adalah seorang tawanan dari ayahmu. Selalu diawasi oleh para serdadu Belanda yang membuntutiku di belakang ketika aku berjalan keluar dari rumah ini. Ayahku mati divonis hukuman mati karena dianggap pemberontak oleh Belanda. Dia dibredel lima pelor senapan Belanda di dermaga Batavia. Aku menyaksikannya ketika masih kecil. Ibuku depresi memikirkan ayah, sampai harus meninggalkan dunia ini karena tak tahan ditinggal pergi suaminya terkasih.

Lalu, aku dijadikan pembantu di rumah ini oleh Van Moor. Tugasku setiap hari merawat kebun, merawat kuda, merapikan rumah. Walau aku kadang harus mengalami tindak kekerasan dari Van Moor, tetapi dia selalu memberikan upah padaku. Aku masih merasa dihargai sebagai manusia. Aku mau melarikan diri saja, tetapi aku takut peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi pada orang-orang yang ikut melarikan diri dari sini berujung dengan tembakan di dermaga Batavia.

Aku kini semakin betah tinggal di sini. Sejak kehadiranmu Amira, aku menjadi kian punya keinginan lama tinggal di sini. Aku memperhatikanmu kadang, ketika kamu sedang bersantai minum teh sambil membaca buku di halaman rumahmu. Sambil menyapu, mataku sedikit menoleh kepadamu. Wajah cantikmu, adalah anugrah bagiku bisa berada di sini. Aku perhatikan rumput-rumput di halaman rumah Van Moor selalu bersih, karena aku semakin giat menyapu ketika kamu juga sering duduk di luar rumah.

Saat kamu mandi, tidak ada pembantu wanita yang melayanimu mandi. Kamu mandi sendiri. Aku ikuti kamu berjalan ke kamar mandi. Aku nyanyikan kidung ‘Asmarandana’ untuk mendengarkan suara hatiku ini padamu. Kamu bergaun putih ala noni-noni Belanda. Kamu pun dipanggil noni sejak tinggal di sini. Aku ingin lihat kamu menyatu dengan air. Aku ikuti kamu dari belakang. Kamu belum sadari kehadiranku. Kamu nyanyikan lagu belanda yang aku sendiri tak tahu artinya.

Kamu buka kamar mandi. Kamu masuki ruang bebas itu. Aku dengarkan dari sisi sumur di luar. Suara air telah kamu alunkan. Itu tandanya kamu sudah bebas dan merdeka. Tak pakai apa-apa. Aku beranikan jiwa pemberontakanku mendengar air yang bersuara gebyar-gebyur itu. Hmmm… aroma wangi sabun mandi dan sirih tercium. Itu tandanya kamu sudah melewati setengah kebebasan di ruang itu.

Aku semakin mendekat. Aku sudah berada di sisi kamar mandi. Di dekatmu Amira. Aku sudah berada di dekatmu kini. Kamu belum juga menyadari keberadaanku. Aku kini semakin lantang. Aku jalang yang pemberani dan liar. Kamu telah menjadi buruanku, Amira. Aku lihat sedikit lubang di pintu yang terbuat dari papan. Aku tahu ini kesempatan. Aku lihat ini sebagai peluang. Ini adalah celah bagiku. Keberuntungan telah berpihak padaku.

Sebelumnya aku tak berani dan senekat ini. Nyonya Anna; istri Van Moor, selalu mandi seperti ini. Sendiri, tanpa ada yang mengantarkannya. Aku selalu punya kesempatan untuk melakukan hal ini jika aku mau. Tapi aku masih sadar, kalau pistol Van Moor juga punya celah untuk melakukan kesempatan merobohkanku. Aku masih sadar akan hal itu, walaupun nyonya Anna berwajah sama sepertimu. Dia cantik dan ramah padaku. Aku teringat akan Nyonya Anna, dia adalah istri tercinta Van Moor –yang selalu memanjakannya.

Kali ini aku benar-benar berani. Aku tak tahu dorongan keberanian darimana yang telah menyelimuti kekuatan nekat liar ini. Aku tahu ini kesempatan, aku pasang mata di lubang itu. Aku benar-benar melihat kamu. Ya, aku melihat kamu yang telah menyatu dengan air. Kamu sungguh bersih tanpa bulu-bulu halus di kulitmu. Kamu wanita yang harum dan telah memanggil pekik suara hasratku. Aku telah tahu kamu secara dekat. Ya, aku telah mengenal kamu secara gamblang. Lebih dari siapapun. Aku semakin dekat denganmu.

Aku segera harus berlari dari sini. Aku harus segera kembali ke kandang kuda. Memberi makan rumput ke kuda Van Moor. Bersikap seolah-olah tak tahu-menahu soal yang baru saja terjadi. Hanya aku saja yang tahu. Ya, aku saja. Amira bahkan tak tahu kalau aku telah mengetahuinya. Aku telah merasakan hal yang setimpal untuk apa aku tinggal di sini. Aku telah menemukan alasan untuk apa aku tinggal di sini. Bukan untuk melayani Van Moor, tetapi untuk mengenal kamu, Amira.

Hingga makin lama kita makin mengenal. Tidak ada batas antara kita. Kamu bukan orang asing, begitupun aku bukan orang asing bagimu. Aku adalah orang yang paham tentang kamu. Saat kamu memintaku untuk mengambil kuda dan membantumu menaiki kuda itu, aku melihat punggungmu yang bersinar. Aku bantu kamu naiki kuda. Kamu minta untuk diantarkan pergi jalan-jalan ke jalan kota. Aku turuti permintaanmu. Kamu mulai bertanya tentang namaku. Tentu, dengan senang hati aku perkenalkan diriku.

Aku adalah Ratno, anak mantan Lurah di sini, yang dulu ayahku mati dihukum Van Moor dan rumahnya didiami kamu sekarang. Saat aku menjelaskan namamu, kudamu mengangkat kaki depannya saat melihat anak pribumi berlari mengejar kakaknya. Kamu terjatuh. Buru-buru aku tangkap kamu. Kamu berada dalam pelukanku. Aku semakin menikmati sensasi ini. Aku tahu rasanya memeluk kamu seperti ini. Sejak itu, kita semakin dekat.

Saat menyapu halaman rumah lagi, aku melihatmu kembali. Kamu seperti biasanya, duduk di teras dengan membawa secangkir teh. Kali ini kamu tak membaca buku. Kamu fokus denganku. Kamu perhatikan aku sambil senyum-senyum. Aku tahu kalau hatimu senang. Aku sapa kamu. Kamu pun melambaikan tangan dan menyuruhku meletakkan sapu. Kamu memintaku untuk mengambil sebuah buku di meja. Aku ambilkan buku itu dengan bergegas. Aku serahkan buku itu. Kamu ucapkan terimakasih sambil melempar senyum lagi. Kamu mengajakku duduk. Aku mencoba duduk di bawah. Kamu menolak hal itu. Kamu berkata bahwa hal itu tidak layak. Hal itu bertentangan dnegan keadilan sosial.

Aku terbelalak, seorang Belanda yang paham tentang keadilan sosial dan menyuruhku duduk di sampingnya. Kamu berbicara padaku kalau buku yang kuambil itu adalah buku tentang perjuangan dan keadilan sosial. Aku bukan pribumi yang buta huruf. Aku baca judul buku itu. Buku itu berjudul “Max Havelar” karya Multatuli. Aku pernah dengar tentang orang itu. Orang Belanda yang memihak kepentingan dan kebenaran HAM orang-orang pribumi.

Kamu berkata padaku, kalau semua orang sama saja. Entah dia pribumi maupun Belanda, mereka tetaplah manusia yang punya HAM yang sama. Aku mengangguk saja. Kamu senyum kembali padaku. Kamu bilang lagi padaku, kalau kamu ingin menjadi temanku. Entah apa yang merasukiku. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Aku telah berkata padamu, kalau aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu, Amira. Walaupun aku dendam kepada Van Moor karena dia telah membunuh ayahku. Aku mencntaimu sebagai anak dari orang yang kutaruh dendam itu padanya. Aku tak bisa melupakan hal itu. Tapi, hari ini aku telah mengucapkan cinta padamu. Aku telah mengucapkan suara hatiku pada orang Belanda.

Kamu memelukku. Kamu memandangku sebagai Ratno. Bukan sebagai budak atau sebagai pribumi. Kamu berikan buku itu padaku dan menyuruhku untuk menyimpannya. Baiklah, kulakukan pesanmu. Kamu memelukku. Lalu kamu memintaku untuk menyapu kembali. Kamu memintaku, tidak menyuruhku dengan kasar. Kamu selalu memperhatikanku ketika aku membersihkan rumah Van Moor.

Pada hari yang cerah, kamu memintaku untuk pergi melihat kapal-kapal berlabuh di dermaga Batavia. Tentu saja aku turuti keinginanmu dengan senang hati. Kamu selalu kujaga dengan aku yang membawakan payung menaungi panas menyengat dirimu. Kamu tarik aku ke sisimu ketika berjalan. Kamu juga tak ingin melihat aku kepanasan. Aku tahu itu. Kamu senyum padaku. Menyandarkan kepalamu yang dihiasi topi, bersandar padaku. Aku ingin memberi batas sikap tersebut. Aku takut jikalau mata-mata Van Moor melihatku. Kalau sampai Van Moor tahu, tentu aku akan ditembak langsung. Tapi, ini adalah anugrah cerah di hari ini. Aku tak akan melepaskan kamu dari diriku. Bersandarlah padaku. Aku selalu menjadi sandaran bagimu. Kita melihat kapal-kapal berlabuh di dermaga. Kita lihat ombak yang dipeluk angin. Kita lihat burung camar, mengganggu kemesraan.

Kamu mengajakku duduk di dekat pohon di tepi dermaga. Kamu ingin menyaksikan langsung ombak-ombak itu di tepi dermaga. Kamu bilang padaku, kalau kamu ingin semakin dekat dengan lautan. Kamu perhatikan lucunya kepiting lautan menaiki batu-batu. Kamu lihat jamur-jamur dan lumut bisa bersatu. Kamu kembali melihat aku. Aku tetap melihat kamu dari tadi. Aku tetap memegang payungmu dari tadi.

Kamu ajak aku melangkah lagi. Kamu pegang tanganku. Berjalan mengarungi pasir. Kamu ingin menginjak pasir dan melepas sepatumu. Kamu lakukan itu. Kamu melepas sepatumu dan mengajakku berlari di pasir. Aku sudah terbiasa dengan pasir. Kamu belum terbiasa, Amira. Aku khawatir kalau kamu terjatuh di atas pasir itu. Lalu bajumu kotor, maka itu akan semakin menambah kecurigaan Van Moor. Dia nanti berpikir kalau aku yang mengajak kamu pergi dan menganggap aku tidak becus menjaga kamu. Dia akan menghukumku. Selain itu, dia pasti tahu kalau ada kedekatan yang tidak biasa antara kita.

Di saat aku berpikir cemas seperti itu, kamu memberikanku bunga mawar dari topimu itu. Kamu ambil bunga mawar penghias topimu yang anggun itu. Kamu berikan padaku. Kamu berkata, kalau bunga ini sebagai simbol wajah hatimu padaku saat ini. Bunga itu merah merona dan cerah, masih segar pula. Aku tahu, kalau kamu memahami tanda-tanda perasaanku padamu. Aku semakin senang dan bahagia, Amira. Bahkan, kamu kecup bunga sebelum memberikannya padaku. Kamu mengecupku pula di pipi kiriku. Saat tahu bunga itu telah membekas ciuman bibirmu, aku mencium kembali bunga itu.

Burung camar hinggap di pasir dekat kita. Mereka membuka sayapnya, lalu terbang kembali ke lautan. Mengudara bebas. Seperti aku yang telah mengudara saat ini. Bahagia sampai melayang-layang. Dia ingin kembali. Kami kembali lagi menuju dermaga. Melihat kapal-kapal dan senja. Ya, angin kurasakan dingin dan hening. Dia semakin dekat padaku. Dia memakaikan topinya padaku. Lalu mengecupku kembali. Aku menatapnya. Dia justru semakin mendekat. Mendekatkan bibrinya padaku. Aku jemput maksud bibirnya yang ingin menciumku. Kami berciuman di bawah matahari senja.

Ratno…, duorr! Duorr! Suara senapan terdengar nyaring memisahkan ciuman kita. Aku meraskan sakit di dadaku. Seperti tertusuk tombak di dadaku. Aku merasakan darah mengalir pelan. Aku merasakan dadaku berlubang dan mulai panas. Ada yang menyusup ke dadaku. Aku menoleh ke belakang. Van Morr dan anak buahnya sudah mengarahkan senapan padaku. Moncong senapan itu kulihat berasap. Senapan tadi telah digunakan. Peluru mereka menembus dadaku.

Mataku mulai buram. Aku tak bisa lagi melihat Amira dengan jelas. Amira menjerit dengan keras. Amira berteriak sambil menangis. Masih bisa kulihat dia dibawa Van Moor menjauh dariku. Van Moor menembakkan pistolnya padaku. Aku benar-benar tak bisa melihat. Gelap pandangan mataku. Aku mulai kehilangan  kesadaran. Aku memegang bunga yang diberikan Amira padaku. Aku pegang erat dan tubuhku tercebur ke dermaga. Kulihat Amira menangisiku. Kulihat gerak bibirnya berkata, “Ratnoooo.”

 

Pati, 4 Oktober 2020

 

 

Muhammad Lutfi, lahir di Pati, 15 Oktober 1997. menyelesaikan S1 Sastra Indonesia di UNS Surakarta. Tulisan sastranya telah dimuat sejumlah media cetak dan online. Kini tinggal di Desa Tanjungsari, RT.01/RW. 02, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...