Minggu, 25 September 2022

K A R Y A

 

ISBEDY STIAWAN ZS

 

 

Di Kursi Kereta  

 

 

di kursi kereta yang belum bergerak

kudengar jelas gigi gemeretak

ah, bukan, tapi jantungku berdetak

seakan ada yang menggoda

 

kelak, ketika aku tiba di kotamu

yang dulu memerammu jadi ranum

dan aku senantiasa tergoda

ingin seperti adam yang digoda

hawa mencicipi buah itu

 

sampai, sampai...

 

aku memelukmu di kota

yang dulu begitu asing

kecuali kukenal ranummu

 

mencium, memeluk

 

kereta yang berpacu

dan aku di kursi

yang membuatku kaku

 

020422

 

Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020).

Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi, dan Kau Kekasih Aku Kelasi (Siger Publisher, 2021), Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu (Siger Publisher, 2021), Tersebutlah Kisah Perempuan yang Menyingkap Langit (Teras Budaya, 2021), Buku Tipis untuk Kematian (basabasi, 2021), Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang (Siger Publisher, 2022) dan Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan (Siger Publisher, 2022).

 

 

*****_______*****

 

 

FIRMAN WALLY

 

Pulang dari Tanah Rantau

 

sepulang dari tanah rantau

disambut tarian cakalele dari tanah maluku

di atas loyang daun sirih menghijau

dupa-dupa tercium mewangi

 

aku mencatat adat dan budaya

yang selalu terjaga dari dahulu kala

berjaya negeri raja-raja

terbentuk dari darah dan nestapa

 

orang-orang kampung

berdiri berjejer menyambut kedatangan kami perantau diiringi kidung leluhur

 

sesampai di rumah tua

kami diikat dengan kain putih

melingkar di tubuh

kami disambut semewah mungkin

sebab perantau adalah raja

untuk mereka yang selalu dibudakan oleh kerinduan dan air mata

 

 

tahoku, 04 juni 2021

 

Firman Wally, penyair kelahiran Tahoku, Maluku Tengah. Lulusan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Patimura Ambon. Puisinya tersebar di sejumlah media massa dan buku antologi bersama. Buku puisi tunggalnya Lelaki Leihitu. Mengajar di SMA N 27 Maluku.

 

*****_______*****

 

 

 

HIDA  AK

 

 

Pesawat Kertas

 

 

di kertas putih bergaris

mimpi-mimpi tertulis

rantaian diksi-diksi jadi puisi

menggenggam sejuta angan

tangan, badan dan kaki ingin terbang

kertas kulipat menjelma pesawat

kutiup

kuterbangkan

tanganku terulur

aku ikut melayang

ke negeri seberang

 

Pacitan, 1443 H

 

 

Hida AK lahir di Batang 16 April 2001. Perempuan yang memiliki hobi membaca dan menulis ini adalah alumnus RA, MI dan MTs Tholabuddin Masin, serta lulusan Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan. Ia belajar puisi di Asqa Imagination School (AIS), juara 3 Anugerah COMPETER 2022, sebuah ajang sastra yang pemenangnya diumumkan per 1 Januari. Tunak di Community Pena Terbang (COMPETER) – Indonesia. IG: @hidaak16.

 

*****_______*****

 

 

 

JULI ARNA TS

 

 

 

Satu Kisah Sejuta Kasih

 

Ujung kuas tergores di kanvas

Meruncing berkelana melukis purnama

Melukis bait syair para pujangga

Tersirat makna sejuta harap

 

Perlahan namun sengit

Langit diam membisu tak berkelit

Ukir kata pada bayangan fata morgana

Menggambarkan derita tiada tara

Wajah pucat tak berdaya

Lukiskan hina yang merana

Menangis untuk kesekian kalinya

 

Ada kisah yang tertata

Saat jemari indah bertahta

Menelusuri belantara cerita

Mengurai kisah canda tawa

 

Mentari begitu rapi melukis mimpi

Merintih pilu...

Merana sendu...

Menjelma kelam...

Satu kisah sejuta kasih...

 

 

#Juli Arna 2022

 


Juli Arna TS
, siswi SMA Negeri 2  Wates  Kulonprogo. Hobi menulis puisi sejak duduk di bangku SMP. Sejumlah karyanya pernah dimuat media online.

 

Sabtu, 10 September 2022

K A R Y A

 

HEZA HARA

 

Menjahit Kenangan

: Untuk Ayah

 

di ruang sepi

hanya ada mesin-mesin jahit

saksi ayah

pernah menjahit setiap harapan

menjelma uang untuk mengisi perut yang kosong

 

aku rindu suara mesin jahit

bunyi yang mengantarkan pada mangkok-mangkok bakso di depan rumah

juga suara yang mengiringiku melangkah menuju panggung wisuda

 

aku rindu dengan baju buatannya

yang ia jahit setiap malam takbiran

lalu kukenakan dengan bangga

di pagi hari untuk shalat Ied

inginku buatkan baju untuknya di sana

agar ia terlihat muda bercahaya

namun sekarang yang ada hanya perca-perca kenangan

 

kala itu,

waktu seakan merajut serpihan rindu

pada kopi yang ia seduh

hingga aroma memenuhi ruangan

 

dan  satu stel pakaian tergantung di etalase

menunggu pemilik datang

 

Duri, 5 April 2022

 


Heza Hara,
seorang wanita  asal kota kecil Duri, kecamatan Bathin Solapan, kabupaten Bengkalis. Kelahiran Duri, 31 Oktober. Buku perdana sebuah Antologi Puisi "Karena Kucinta Kau"(2021) dan buku kedua sebuah novel “Bulan di Hati Luna” (2021) dan buku-buku Antologi bersama penyair lainnya. Mengajar di SMPS DARUNNAJAH Duri. Aktif Di komunikasi WAG KMD_Elipsis, WPComm, Amazing Dream, Kelas Menulis Puisi online "Huma", Penyair Berkarya, pernah belajar puisi di Ruang Kata. Puisi-puisinya pernah di muat di beberapa media online: Semesta Seni, Majalah Elipsis, Riau Sastra, Blog Kepul. Jejaknya dapat ditemui di hezahara86 (Instagram) dan Heza Hara ( Facebook).

 

*****_____*****

 

KEMAT MARTOIRONO

 

Dewa Api

 

Terbakar api asmara

Terlena rayuan dewi durga

 

Sang Batara kehilangan derajat Dewa

Menjadi kera berebut cupu manik astagina

Membunuh dan menganiaya

Dengan keji dan hina

 

Berselimut mega

Membuat bumi gempa

Hujan petir dan bencana

Lahir anak pencari dupa

 

Di gunung di lembah

Desa maupun kota

Makam- makam angker

Yang membuatnya ngiler

 

Keindahan , kekuasaan

Keagungan, keadilan

Tetap menjadi miesteri

Yang selalalu bersembunyi

 

1.sept 22

 

Kemat Martoirono, nama pena dari Rochmat, jebolan IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga. Pernah menekuni berbagai bidang pekerjaan: buruh, petani, pedagang  hingga pendamping budaya. Tinggal di dusun Kwarakan, Sidorejo, Lendah.

 

*****_____*****

 

ARIO GALIH RONGGO MURTI

 

Senandung Rindu Untuk Hati

 

terkabar yang selalu bersabar

sudah mulai lelah mencari hati

kondisi ini mau tak mau menyebar

menjegal setiap langkah kaki

 

untuk hidup untuk mati

bertahan atau menjalani

keluh kesah tak terarti

hanya menambah luka dihati

 

sesak nafas perjalanan hidup

menguak semua masalah dimuka bumi

hulu dan hilir sudah terlahap

oleh nafsu dan keinginan diri

 

berdoa agar yang didoakan disana

masih melihat kedalam hati nurani

semua verbal sudah tak dapat bersua

tertutup hingar bingar kepuasan diri

 

bak pohon yang berbalik arah

daun yang hijau tetapi akar mengering

sudah menjadi sebuah sejarah

tentang kerinduan hati yang tak dapat lagi tersaring

 

Galih. 2022

 

Ario Galih Ronggo Murti, kelahiran 1983 merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. asli dari Girimulyo, bersekolah di SD N 1 Giripurwo, SMP N 1 Girimulyo, SMA N 1 Lendah.

Pernah menjadi anak punk generasi 90an akan tetapi sebatas menyukai lagu lagunya karena banyak menceritakan permasalahan sosial tingkat bawah dan mempunyai band punkrock bernama ABRI Band.

Suka menulis puisi sejak kapan tidak diketahui karena semua ide puisi hanya berkeliling dikepaladan hanyut serta menghilang seiring waktu. Suka kepada kegiatan sosial yang berhubungan dengan lingkungan.

 

 *****_____*****

 

WASTO PUJAWIATNA

 

Lelaki Tua

 

tatapan mata kosong menerawang

lalu lalang orang- orang

mencari rezeki pagi hari

lelaki tua itu, sendiri

 

lelaki tua itu 

dipanggil engkong, ya engkong

terlihat meninggalkan urat- urat

menandakan pekerja keras yang kuat

mencari rezeki demi kerabat

 

engkaulah engkong, ya engkong

tak hirau sengatan mentari siang bolong

tak  mengeluh kedinginan di malam hari

dan sengat nyamuk-nyamuk kebon

yang kerap mengitari

 

engkaulah engkong, ya engkong

tak mengharapkan pujian

tak butuh penghargaan

malah kerap dicaci, kadang jadi korban

 

begitulah Engkong

penggali kubur, yang terus menggali

akar- akar pohon besar

untuk sekadar

bertemu sesuap nasi

 

Bekasi, 2022

 

Wasto Pujawiatna, panggilanya Atau, lahir di Bandung 51 tahun silam. Lahir dari pasangan Engkos dan Euis Rodiah. Pasangan hidup bernama Catika Ningsih, dikarunia anak tiga: Ninis Musliha, Ali Hakim Alfarizi dan Alianis Alfatimah.  Kegiatan sehari-hari Mengajar di SMPN 4 Setu,Kab Bekasi. Pengalaman menulis: Antologi Pantun,Cerpen,Puisi,Essai, Opini Koran radar Bekasi.

Sabtu, 03 September 2022

K A R Y A

 Dalam Dekapan Bayang-Bayang

Cerpen:  Okti Setiyani

 

 

“Yang singkat itu waktu, yang menipu itu dunia....” _Imam Al Ghazali_

 

“Apa aku sudah meninggal?” gumamku setelah mendudukan diri dan melihat sekeliling. Indera penglihatanku menangkap kamar bercat biru muda yang terlihat cerah seperti langit karena jendela telah diterobos sinar hangat matahari pagi. Aku berada di kamar berukuran empat kali tiga meter yang rapi, tak berantakan dan berdebu seperti ingatan kamar yang tercetak jelas di kepalaku.

            Tanganku meraba seprai bermotif mawar besar berwarna merah muda, terasa lembut dan hangat. Kulangkahkan kakiku turun dari ranjang, dinginnya ubin langsung merambat ke kaki telanjangku. Aku berdiri di depan kaca besar yang membuatku bisa melihat diriku dari ujung kaki hingga kepala. Jilbab masih menempel di kepalaku, menutupi aurat yang selalu kujaga dengan sekuat tenaga. Namun, ada yang berbeda. Baju yang kukenakan, mengapa aku mengenakan piama, padahal seingatku tidak pernah memilikinya. Setelah itu, kuperhatikan wajahku di cermin jernih itu. Senyum lebarku terukir. Wajahku yang lama tidak mendapatkan perawatan, terlihat bersih dan terawat.

            Sejurus kemudian terdengar ketukan dari pintu kamar, aku langsung berjalan mendekat dengan penasaran, tepatnya ketakutan. Bisa saja mereka adalah pria-pria dengan senapan di genggamannya. Siap membasmi siapa saja yang tak patuh pada keinginan mereka.

“Siapa?” tanyaku diiringi decitan pintu yang terbuka, lalu menampakkan wajah asing seorang perempuan paruh baya.

            “Loh, kok baru bangun? Kamu sekolah kan hari ini?” tanyanya sambil menepuk pundakku kasar, tetapi anehnya aku bisa merasakan kasih sayang dari tepukan itu. Tepukan yang sudah lama tak kurasakan.

            “Ha? Sekolah?” gumamku kebingungan, sudah lama aku berhenti dari sekolah karena ancaman bahaya, karena sekolah-sekolah di lingkunganku sudah roboh ditelan ledakan bom.

            “Cepat mandi terus sarapan!” Perempuan paruh baya berwajah ramah dan keibuan itu menarik lenganku, lalu mendorongku memasuki kamar mandi, beberapa langkah dari kamar yang tadi kutempati.

        Dari aku bangun, lalu mandi, sarapan dan sekarang berangkat sekolah, semuanya membuatku yakin bahwa tadi malam aku benar-benar terkena bom yang jatuh tepat di atas tempatku tertidur. Membuatku pergi meninggalkan negara dengan penuh ketakutan, ancaman dan air mata. Lalu, aku tiba di tempat asing. Tapi terasa seperti surge. Ya, surga bagi anak yang sejak kecil dibesarkan dalam negara penuh konflik.

          Gedung-gedung roboh, pepohonan hangus, tantara bersenapan yang siap meluncurkan timah panasnya, dan tangisan anak yang biasanya menghiasi pagiku. Kali ini tak ada. Semua itu digantikan semilir angin dingin yang menggoyangkan pepohonan, hangatnya matahari yang merangkak naik, canda tawa orang-orang, hamparan sawah, kicauan burung dan anak-anak yang berangkat ke sekolah dengan seragam putih merah, putih biru dan putih abu-abu. Pagi itu aku juga mengenakan seragam putih abu-abu dengan kerudung putih.

            Aku benar-benar menikmati langkah kaki pelanku yang menapaki setapak kecil berlumut. Bersama semilir angin pagi yang menggoyangkan pepohonan, lalu mengugurkan daunnya. Ditambah kehangatan sinar matahari pagi yang menerobos sela-sela pepohonan, dan akhirnya menerpa wajahku. Lalu perjalananku berujung pada halte bus di samping hamparan sawah dengan burung berkicauan mencari penghidupan.

            Bus dengan asap hitam bergerak meninggalkan rumah-rumah desa, termasuk rumah yang tadi kutinggali. Kuharap itu rumahku. Hamparan sawah pun berganti dengan gedung tinggi dan kendaraan lalu lalang. Di sini tak ada suara letusan senapan. Tak ada tangisan kehilangan dan darah perjuangan melawan ketidakadilan. Hanya ada wajah-wajah ramah yang kujumpai di sana sini. Termasuk wajah yang sejak tadi kuperhatikan. Seorang pria berseragam putih abu-abu sama sepertiku.

Wajahnya memancarkan aura yang menyenangkan dan ramah, mungkin juga karena ketampanannya yang di atas rata-rata. Namun, ia seperti monyet yang bergelantungan di dalam bus, karena ia berdiri dengan satu tangan berpengangan pada pegangan bus untuk menahan berat badannya. Setelah kupikir-pikir, inilah pertama kali aku merasa dan memikirkan tentang seorang pria. Mungkin karena dalam kericuhan dan hidup yang hanya untuk bertahan hidup, tidak sempat aku memikirkannya.

            Tiba-tiba bus berhenti mendadak, membuat tubuhku terdorong ke depan. Untung,  tanganku sigap membuat pertahanan, sehingga aku selamat dari benturan antara kepala dan kursi di depanku. Namun, saat aku menoleh, pria berseragam putih abu-abu tadi sudah tersungkur di tengah-tengah bus, langsung mengundang gelak tawa seluruh penumpang pagi itu. Termasuk aku.

            Seperti mimpi, aku berada di dalam kelas bercat krem dengan teman-teman sebaya yang ramah. Terasa seperti pengalaman paling menyenangkan dalam hidupku. Makan bersama mereka, dan beribadah dengan tenang dalam masjid. Ditambah sosok itu lagi, pria putih abu-abu yang membuat jantungku berdegup kencang, bukan karena bom atau senapan, melainkan jatuh cinta.

            Azan pun berkumandang, membuatku tersentak. Saat aku membuka mata, yang kujumpai adalah langit-langit berdebu sebuah bangunan tua. Air mataku meneteas tanpa perintah. “Cuma mimpi?” tanyaku pada Allah yang telah memberikan bunga mimpi yang sangat indah, entah dengan pesan apa.

            Itu adalah mimpi yang terasa begitu nyata dan menyenangkan. Namun, aku tetap bersyukur dengan keadaanku sekarang ini. Ya, kusadari bahwa dalam bahaya atau kenyamanan, semuanya memiliki rintangannya sendiri-sendiri. Hidup dengan bayang-bayang penuh bahaya, membuat Allah terasa begitu dekat. Sedangkan dalam kenyamanan, aku malah mengingat seorang pria.



Okti Setiyani,
 gadis kelahiran 1999 ini adalah seorang guru SMP di Kulon Progo. Hobinya menendang, memukul, membaca, menulis dan mengkhayalIa sudah menerbitkan dua novel yang berjudul Touch The Sky dan Campus Puzzle, juga beberapa cerpen dalam kompetisi menulis. Masih kepo dengan manusia yang satu ini? Ia bisa dihubungi melalui instagram @okti_setiyani08 dan email oktisetiyani1999@gmail.com.

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...