Sabtu, 03 September 2022

K A R Y A

 Dalam Dekapan Bayang-Bayang

Cerpen:  Okti Setiyani

 

 

“Yang singkat itu waktu, yang menipu itu dunia....” _Imam Al Ghazali_

 

“Apa aku sudah meninggal?” gumamku setelah mendudukan diri dan melihat sekeliling. Indera penglihatanku menangkap kamar bercat biru muda yang terlihat cerah seperti langit karena jendela telah diterobos sinar hangat matahari pagi. Aku berada di kamar berukuran empat kali tiga meter yang rapi, tak berantakan dan berdebu seperti ingatan kamar yang tercetak jelas di kepalaku.

            Tanganku meraba seprai bermotif mawar besar berwarna merah muda, terasa lembut dan hangat. Kulangkahkan kakiku turun dari ranjang, dinginnya ubin langsung merambat ke kaki telanjangku. Aku berdiri di depan kaca besar yang membuatku bisa melihat diriku dari ujung kaki hingga kepala. Jilbab masih menempel di kepalaku, menutupi aurat yang selalu kujaga dengan sekuat tenaga. Namun, ada yang berbeda. Baju yang kukenakan, mengapa aku mengenakan piama, padahal seingatku tidak pernah memilikinya. Setelah itu, kuperhatikan wajahku di cermin jernih itu. Senyum lebarku terukir. Wajahku yang lama tidak mendapatkan perawatan, terlihat bersih dan terawat.

            Sejurus kemudian terdengar ketukan dari pintu kamar, aku langsung berjalan mendekat dengan penasaran, tepatnya ketakutan. Bisa saja mereka adalah pria-pria dengan senapan di genggamannya. Siap membasmi siapa saja yang tak patuh pada keinginan mereka.

“Siapa?” tanyaku diiringi decitan pintu yang terbuka, lalu menampakkan wajah asing seorang perempuan paruh baya.

            “Loh, kok baru bangun? Kamu sekolah kan hari ini?” tanyanya sambil menepuk pundakku kasar, tetapi anehnya aku bisa merasakan kasih sayang dari tepukan itu. Tepukan yang sudah lama tak kurasakan.

            “Ha? Sekolah?” gumamku kebingungan, sudah lama aku berhenti dari sekolah karena ancaman bahaya, karena sekolah-sekolah di lingkunganku sudah roboh ditelan ledakan bom.

            “Cepat mandi terus sarapan!” Perempuan paruh baya berwajah ramah dan keibuan itu menarik lenganku, lalu mendorongku memasuki kamar mandi, beberapa langkah dari kamar yang tadi kutempati.

        Dari aku bangun, lalu mandi, sarapan dan sekarang berangkat sekolah, semuanya membuatku yakin bahwa tadi malam aku benar-benar terkena bom yang jatuh tepat di atas tempatku tertidur. Membuatku pergi meninggalkan negara dengan penuh ketakutan, ancaman dan air mata. Lalu, aku tiba di tempat asing. Tapi terasa seperti surge. Ya, surga bagi anak yang sejak kecil dibesarkan dalam negara penuh konflik.

          Gedung-gedung roboh, pepohonan hangus, tantara bersenapan yang siap meluncurkan timah panasnya, dan tangisan anak yang biasanya menghiasi pagiku. Kali ini tak ada. Semua itu digantikan semilir angin dingin yang menggoyangkan pepohonan, hangatnya matahari yang merangkak naik, canda tawa orang-orang, hamparan sawah, kicauan burung dan anak-anak yang berangkat ke sekolah dengan seragam putih merah, putih biru dan putih abu-abu. Pagi itu aku juga mengenakan seragam putih abu-abu dengan kerudung putih.

            Aku benar-benar menikmati langkah kaki pelanku yang menapaki setapak kecil berlumut. Bersama semilir angin pagi yang menggoyangkan pepohonan, lalu mengugurkan daunnya. Ditambah kehangatan sinar matahari pagi yang menerobos sela-sela pepohonan, dan akhirnya menerpa wajahku. Lalu perjalananku berujung pada halte bus di samping hamparan sawah dengan burung berkicauan mencari penghidupan.

            Bus dengan asap hitam bergerak meninggalkan rumah-rumah desa, termasuk rumah yang tadi kutinggali. Kuharap itu rumahku. Hamparan sawah pun berganti dengan gedung tinggi dan kendaraan lalu lalang. Di sini tak ada suara letusan senapan. Tak ada tangisan kehilangan dan darah perjuangan melawan ketidakadilan. Hanya ada wajah-wajah ramah yang kujumpai di sana sini. Termasuk wajah yang sejak tadi kuperhatikan. Seorang pria berseragam putih abu-abu sama sepertiku.

Wajahnya memancarkan aura yang menyenangkan dan ramah, mungkin juga karena ketampanannya yang di atas rata-rata. Namun, ia seperti monyet yang bergelantungan di dalam bus, karena ia berdiri dengan satu tangan berpengangan pada pegangan bus untuk menahan berat badannya. Setelah kupikir-pikir, inilah pertama kali aku merasa dan memikirkan tentang seorang pria. Mungkin karena dalam kericuhan dan hidup yang hanya untuk bertahan hidup, tidak sempat aku memikirkannya.

            Tiba-tiba bus berhenti mendadak, membuat tubuhku terdorong ke depan. Untung,  tanganku sigap membuat pertahanan, sehingga aku selamat dari benturan antara kepala dan kursi di depanku. Namun, saat aku menoleh, pria berseragam putih abu-abu tadi sudah tersungkur di tengah-tengah bus, langsung mengundang gelak tawa seluruh penumpang pagi itu. Termasuk aku.

            Seperti mimpi, aku berada di dalam kelas bercat krem dengan teman-teman sebaya yang ramah. Terasa seperti pengalaman paling menyenangkan dalam hidupku. Makan bersama mereka, dan beribadah dengan tenang dalam masjid. Ditambah sosok itu lagi, pria putih abu-abu yang membuat jantungku berdegup kencang, bukan karena bom atau senapan, melainkan jatuh cinta.

            Azan pun berkumandang, membuatku tersentak. Saat aku membuka mata, yang kujumpai adalah langit-langit berdebu sebuah bangunan tua. Air mataku meneteas tanpa perintah. “Cuma mimpi?” tanyaku pada Allah yang telah memberikan bunga mimpi yang sangat indah, entah dengan pesan apa.

            Itu adalah mimpi yang terasa begitu nyata dan menyenangkan. Namun, aku tetap bersyukur dengan keadaanku sekarang ini. Ya, kusadari bahwa dalam bahaya atau kenyamanan, semuanya memiliki rintangannya sendiri-sendiri. Hidup dengan bayang-bayang penuh bahaya, membuat Allah terasa begitu dekat. Sedangkan dalam kenyamanan, aku malah mengingat seorang pria.



Okti Setiyani,
 gadis kelahiran 1999 ini adalah seorang guru SMP di Kulon Progo. Hobinya menendang, memukul, membaca, menulis dan mengkhayalIa sudah menerbitkan dua novel yang berjudul Touch The Sky dan Campus Puzzle, juga beberapa cerpen dalam kompetisi menulis. Masih kepo dengan manusia yang satu ini? Ia bisa dihubungi melalui instagram @okti_setiyani08 dan email oktisetiyani1999@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...