Sabtu, 26 Desember 2020

K A R Y A

 MARJUDDIN SUAEB

 

 

 

Inspirasi Kopi  

 

Ada yang menggelayut

Tapi tak seterampil semut.

: mencari menyimpan dan merapikan

dalam bilik yang tak pernah sempat tahu..

 

Adakah kenangan pahit

terejawantah di sekedar hitam kopi itu...

 

Tak pernah terpikir perjalanan jauh

dari biji hingga buah panen

sebagaimana impian yang tumbuh kembang

di siang nyata di usia kita...

 

Tak terpikir dan terhayati

apalagi termaknai bagaimana energi gaib matahari

setia rasuk di tahapan hidup sang tumbuhan kebun kopi

Kini setahuku tinggal di sedap seduan

secangkir segelas puas nan panas

Saat diam-diam aroma merasuk

liwati semangat hidup di lenturan asap uap

saat kau buka tutup cangkir gelas itu

 

Duh, luruskan pikir

Dalam minuman secangkir

Atas inspirasi ini hari yang sedang mengalir

 

Yk, 2020

 

 

 

Marjuddin Suaeb, penyair senior Kulonprogo jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi  ini namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016). Puisi masuk di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan, Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Nyanyian Bukit Menoreh,  Membaca Hujan di Bulan Purnama, . Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

 

 

SUYATRI YATRI

 

 

 

Pahitnya Bibir Kopi

 

 Dalam sekam,

menikam

duka hadir diam-diam.

Secangkir kopi tanpa gula

mengental kepahitan

dalam dekap yang senyap meresapi tiap tetes pahitnya

 

 

Tajam menghunjam pisau-pisau menancap dalam gelap

Di sesap rindu menguap bisa dari aromanya

Isak pun nyalakan api keprihatinan

Dan di tungku perapian, cangkir kopi mendidih sesuka hati

Dengan entengnya berkata

"Pahit itu takdirmu maka jangan meminta gula"

 

 

Hening teraduk mengambang ampas hitam

Pori tercabik menjadi air mata penderitaan

dan robusta masih saja panas menggoda

Minta secicip manis sebagai tanda bahagia

Tapi masih saja menampar dinding besi yang basi

"Ampas kopi pantas untuk sampah sepertimu,"

 

Bibir beracun sianida semakin tajam membuat luka

Mencoba menetralisir jiwa dengan kata ikhlas atas kepahitan dunia

 

Rokanhulu, 10102020

  

Suyatri Yatri lahir di Padang Siminyak, 24 Agustus 1979, tinggal di Rokan Hulu Riau. Sudah banyak karya tergabung dalam antologi bersama dan juga karyanya terbit di media cetak dan on line. Pos_el. yatri.yatri03@gmail.com

 ***----------***

 


KIDUNG PAMUNGKAS

 

  

Melabuh Tanya

 

Kopi ini mau kuseduh di mana

Diantara gelas gelas yang berdebu

dan aku malas membersihkan kenanganmu

Tak ingin hilang meski ditelan waktu

 

Rindu ini, sayang

Mau kulabuh di mana

Jika ternyata dermaga tanya

 sesak rapat tak beruang

 

Sesekali aku ingin mengajakmu berdzikir pikir

mengeja rimba pengetahuan hingga akhir

juga keindahan hidup, yang tak pernah redup

 

Apa mesti kuhitung butir hujan satu satu

Lalu, mau berlabuh kemana aku ?

 

Kebumen, 2020

 

Kidung Pamungkas, nama pena dari Sugeng Winarto, lahir di Kebumen 28 Maret 1983.  Pernah kuliah di Akademi Keperawatan Karya Nhakti Husada Yogyakarta. Kini sebagai pelaku supranatural yang mencintai budaya Jawa.

***----------***

 

 

KAK IAN

 

Kopi Terakhir

 

Seperti mata rantai kehidupan duniawi

yang datang pasti akan pergi

yang pergi tidak akan kembali

itu tidak bisa dipungkiri

 

Namun yang tidak kembali

pasti akan terganti!

 

Halnya kopi yang tersaji pagi ini

mungkin tidak ada lagi aroma mewangi

menemani hati yang sedang sunyi

 

Akhirnya kopiku tersaji

dalam tudung nisbi


Jakarta, 0310202

 

Kak Ian,  lahir dan tinggal di Jakarta. Seorang penulis dan aktivis anak yang masih tercatat menjadi mahasiswa semester terakhir jurusan PAI. Founder di Komunitas Pembatas Buku Jakarta (KPBJ). Sedang menekuni menjadi pendongeng. Karya-karyanya sudah termaktub di koran nasional dan lokal. Buku terbarunya,  Hikayat Kota Lockdown (Kumpulan Cerpen,  Sinar Pena Amala, Oktober 2020). 

 ***----------***

Sabtu, 19 Desember 2020

K A R Y A

 MARJUDDIN SUAEB

 


Bahasa Gelap

 

 Siapa punya gelap

Saat samar terlelap

Siapa punya amarah

Saat darah tak terkendali diri

 

Gelap tak selamanya menjara

Samar tak selamanya meragu

 

Gelap bisa terbuat

Samar cara sembunyi

Bahkan kadang memukul

Menjerat ragu

Lalu celaka

 

Yogya 2020.

 

 

Marjuddin Suaeb, penyair senior Kulonprogo jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi  ini namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016). Puisi masuk di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan, Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Nyanyian Bukit Menoreh,  Membaca Hujan di Bulan Purnama, . Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

 

 TRI WAHYUNI

  

 

Selamat Malam

 

 Kita satu jalan. Dalam sunyi

Menebus luka. Dihujani tanda tanya

Menapaki jalan samar

Tercekik harapan. Hilang dicengkam malam

 

Kulonprogo, 06 November 2020

 

Tri Wahyuni, lahir 16 Juni 2001. Mahasiswi UNY ini menarget tiap hari menulis lima puisi.  Bukunya puisinya yang telah terbit: Hujan Merindu, Sajak Cerita Senja, dan Berlutut Di Bawah Kaki Purnama. Karyanya juga masuk di buku antologi bersama, diantaranya: Maha Kata, Bahasa Diam, Kisah Lain Adam dan Hawa, Terbang Dalam Deen Assalam, Menanti Senja,Violin, Sekotak Rasa Palu Donggala, Kluwung, Tilik Wewisik dan Menangkis Intoleransi Melalui Bahasa dan Sastra. Tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

 

  

WAHYU PURWADI

 

 

 Mati Rasa

 

 apa aku sudah hilang logika

atau aku hanya pura pura

apa aku tak lagi mampu menyusun kata

atau aku hanya pura pura

apa aku tak peduli dengannya

atau aku hanya pura pura

apa aku lupa peristiwa

atau aku hanya pura pura

apa aku bukan ahlinya

atau aku hanya pura pura

apa aku tak mampu membedakanya

atau aku hanya pura pura

apa aku bingung karenanya

atau aku hanya pura pura

apa aku sudah lupa warna

atau aku hanya pura pura

putih tak lagi bersih hitam tak lagi kelam

apa itu hanya pura pura

 

Kulonprogo, Desember 2020

 

 

Wahyu Purwadi, lahir di Batang, 23 Agustus 1986. Bagi alumni workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini berpuisi merupakan salah satu kegiatan yang dilakukanya disela-sela mengajar di IKIP PGRI Wates dan sebuah SMK di Bantul. Pernah menjadi Presiden Mahasiswa dan sering orasi di jalan menggunakan puisi. Karyanya masuk di buku Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (Antologi Puisi dan Prosa komunitas Sastra-Ku, 2020). Tinggal di Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

  

 

NABILA  NUR ALDI

 

 

 Afasia

 

Hatinya begitu gelaba

Tatkala melihat wanitanya

Yang sedang merapah

 

Dia yang dahulu sering bercengkrama

Kini diam tak berbahasa

Dia yang dahulu sering membaca

Kini hanya bisa mengeja

 

Ucapnya kini sering tak teratur

Hingga orang sering menyebutnya ngelantur

Padahal dia tidak pernah ngawur

 

Dia sebenarnya ingin berkata

Namun mulut enggan membuka

Dia selalu ingin bertanya

Namun kata tak berhasil terangkai sempurna

 

Dalam otaknya semua begitu sukar

Hingga membuatnya sering tak sadar 

Dalam pikiran tak beraturan

 

Malam makan sudah kapan

Ucapan wanita tua

Pada bayangan di balik jendela

Dengan muka nestapa

 

Tawangsari, 20 September 2020

 

 

Nabila Nur Aldi, lahir di Kulon Progo 8 Februari 2003, adalah pelajar di SMA N 1 Wates. Karyanya masuk di sejumlah buku antologi bersama, diantaranya:  Laskar Essai Menoreh (Balai Bahasa DIY, 2020) dan Ruang Putih Demokrasi (Bawaslu Kulonprogo, 2020). Puisinya juga pernah dimuat rubrik “Kaca” harian Kedaulatan Rakyat. Tinggal di Tawangsari Pengasih.

 

 ***----------***

 

  

YAYUK WAHYUDI

  

Galih

 

Apa yang kau punya

Saat duka nenyapa

Kala kausibak kelam

Dipekatnya malam

Dengan rapuh yang mencekam

Yg makin pekat

Menjerat

Dengan irama tongkat

Berhias air nata setajam kawat

Dalam rintih

Tak jua lilih

Asa tertindih makin pedih

Dengan tongkat aku tertatih

Ditelan.asa yang tak pulih katamu lirih.

Siapa bilang aku sedih

Lihatlah darahku

Kian mendidih

Gigih gigih gigih

          

 Sorjati, 06 November 2020

 

 

Yayuk Wahyudi, nama pena dari Sri Rahayu Yustina S.IP., MA. Lahir di Purworejo 27 Desember 1963. Ia arsiparis di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kulonprogo yang masih meluangkan waktu bergiat di Komunitas Sastra-Ku. Karyanya masuk di sejumlah buku antologi, diantaranya: Weling Sinangling (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2018) dan Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (antologi prosa dan puisi komunitas Sastra-Ku, 2020). Tinggal di Girimulyo Kulonprogo.

 

***----------***


 

Sabtu, 12 Desember 2020

K A R Y A

 

DWI RISWANTO

 

 

Perempuan Penadah Hujan

 

Dan terulang,

Hujan tanpa jeda

Seharian mendekap mesra November yang mulai menua

 

Kembali aku mengingatmu,

Perempuan penadah hujan

Akankah kau kembali lagi,

Membawakan sapu tangan hitam itu kepadaku

yang  basah di kedua ujungnya

Sisa menyeka gerimis yang tertambat malu,

Sembunyi di sudut terpencil kedua matamu

 

"aku baru mengerti setelah kau benar-bebar pergi,

aku baru sadar setelah hujan jatuh bertubi-tubi...."

 

bisikmu tiba-tiba..

 

Kau berhasil merayuku,

Mereguk kenangan yang menggenang di sela riuh hujan

Kau berhasil memaksaku,

Mengayuh sampan yang telah lama aku tambatkan,

Menyelam rindu yang telah aku tenggelamkan dalam-dalam

 

 

Bantul, 29Nov20

 

 

 

Dwi Riswanto, alumni SMA 2 Bantul dan UGM Yogyakarta. Penyuka puisi-puisi Sapardi Djoko Damono ini adalah seorang pustakawan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kulonprogo. Tinggal di Bantul Yogyakarta.

 

***----------***

 

 

AMBAR SETYAWATI

 

 

Jalan Basah Bercahaya

 

Jalan basah bercahaya

Pantulan lampu dan curah hujan membuatnya sempurna

memantulkan siluet pepohonan dan bayangku kala melewatinya

 

Basah dan dingin membalutku

Kupercepat langkah, tak sedikitpun ragu

sesekali merapatkan jaket  sambil memeluk payungmu

 

Angin berhembus nakal

hingga percikan air hujan menyapu wajahku kuyup kekal

 

11 Desember 2020

 

Ambar Setyawati, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1973. Lulusan D3 jurusan Sastra Arab di Fakultas Sastra UI  (1995) dan  S-1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di UT (2001). Sejak 1997 aktif mengajar Bahasa Inggris dan Seni Budaya di beberapa sekolah di Jakarta. Tahun 2011 meninggalkan Jakarta dan mengajar di SMK Ma’arif Nanggulan.  Karya alumni  workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini masuk di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020) dan Suara Hati Guru di Masa Pandemi (2020).

 

 

***----------***

 

 

YUSTINA EKA ASTUTININGSIH

 

 

Rintik Menitik

 

Kala hujan gerimis rintiknya menerpa

Satu-satu berjeda pelan menitik ke alam raya

 

Getar rintiknya selaksa  serpihan rasa

menghunjam pelan pada hati mengembara

Perih sesaat lalu sirna

 

Begitu senantiasa

Melewati masa berteman asa

Ikhlaskan nikmati rintiknya

Bukankah itu membahagia?

 

Kulon Progo, November 2020

 

 

 

Yustina Eka Astutiningsih, lahir di Kulonprogo, 1 April 1976. Penulis dengan aktivitas keseharian mengurus rumah tangga. Senang nulis aforisma, sedang belajar menulis puisi dan cerpen. Karya dari alumni workshop Belajar Menulsi Bersama Jati Moncol ini dimuat di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya. Tinggal  di Giripeni Wates.

 

***----------***

Jumat, 04 Desember 2020

K A R Y A

 

B a b i

 Cerpen Kristin Fourina

 

            Tahun 1970. Keberadaan peternakan babi di dusun itu tidaklah mengganggu. Bahkan, Nur mengenal baik pemilik peternakan babi –yang kandangnya selalu dijaga kebersihannya hingga tak menimbulkan bau menyengat. Kedekatan Nur dengan pemilik kandang babi sebetulnya telah lama terjalin, jauh sebelum akhirnya Nur memutuskan menolak lamarannya dan lebih memilih suaminya yang sekarang. Semua orang paham alasan Nur menolak lamaran Har, pemilik peternakan babi. Tidak lain karena Har memelihara babi yang tentu saja bagi orang tua Nur yang seorang kyai dianggap haram.

            Urusan jodoh—bagi Nur—ada di tangan orang tuanya. Sebetulnya, sudah seringkali Har meyakinkan Nur bahwa meskipun ia memelihara babi, bukan berarti ia tidak sholeh. Bagi Har, peternakan babi itu hanyalah sebuah usaha penyambung hidup yang memang sudah ada secara turun temurun dari nenek moyangnya. Namun, penjelasan Har rupanya tak mengubah keputusan. Bahkan, orang tua Nur telah memiliki calon untuk Nur—yakni suami Nur yang sekarang—yang menurut orang tua Nur lebih terpandang dan tentunya kaya raya.

            Biar saja urusan jodoh diurus oleh orang tuanya. Nur tak mau ambil pusing. Ia hanya merasa tak enak hati pada pemilik peternakan babi karena secara tidak langsung orang tuanya telah merendahkan martabat orang itu. Selanjutnya, kehidupan Nur hanya berkutat pada bagaimana cara menghabiskan uang yang berlimpah dari suaminya setiap bulan. Ia tidak menutup mata pada orang-orang di sekelilingnya. Tidak jarang ia menyumbangkan rejekinya yang berlimpah untuk kegiatan dusun.

            Nur bahkan membagi-bagikan hartanya setiap hari lebaran tiba. Uang yang dibagi-bagikan pada warga sekitar yang kurang mampu tidaklah seberapa dibandingkan rasa syukur tetangganya yang kemudian mendoakan agar Nur sekeluarga semakin diberi kelancaran dalam mencari rejeki. Orang-orang yang sedang membutuhkan biaya banyak dalam waktu mendadak seringkali juga datang ke rumah Nur untuk memperoleh pinjaman. Mereka senang meminjam pada Nur karena waktu pengembalian hutang yang tidak dibatasi dan tanpa bunga. Nur bahkan seringkali mengikhlaskan hutang yang tidak dibayar karena si empunya hutang telah tiada alias meninggal dunia. Jadilah Nur dikenal sebagai istri yang sholehah dan dermawan.

            Suaminya ialah pemilik perkebunan di dusunnya. Sesekali suaminya panen cengkeh tetapi tidak jarang juga panen panili. Terkadang dalam jangka waktu yang lama, suaminya tak panen apa pun. Sama sekali tak panen bukan berarti kekurangan bagi Nur. Pundi-undi uang tetap saja terkumpul di rumah Nur. Ia tak tahu dari mana suaminya mendapatkan uang sebanyak itu padahal perkebunan mereka sedang tak menghasilkan apa pun.

Hanya saja di malam-malam ketika perkebunan tak membawa hasil, Nur selalu melihat suaminya pergi dan kembali ketika hari sudah mulai subuh. Satu kali suaminya beralasan ingin pergi memancing untuk menghilangkan penat. Kali lain, ia mengatakan ingin mencari burung untuk dipelihara di teras rumah agar tidak sepi. Nur hanya mengangguk tiap kali suaminya meminta izin untuk keluar malam.

Suatu malam hujan turun sedemikian derasnya menandai awal musim hujan tiba. Nur menjumpai sebagian besar tanaman palawija yang ia tanam ambruk terkena hempasan angin saat hujan lebat semalam. Dalam kurun beberapa minggu kemudian tanaman palawijanya memang sering berantakan tersapu angin dan hujan. Bahkan, ladang sayurnya tak luput dari terjangan hujan.  

Bagi Nur, kerusakan yang menimpa kebunnya tidaklah amat penting. Namun, beberapa tetangganya rupanya juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan yang dialami Nur. Ladang yang sengaja ditanami sayuran di dekat rumah rusak di sana-sini. Bahkan hal itu juga tetap terjadi meskipun di malam harinya sedang tidak turun hujan. Pada akhirnya, beberapa tetangga mulai mencurigai Har si pemilik peternakan babi. Mereka berpendapat bahwa ladang sayur mereka rusak tidak hanya karena hujan, melainkan juga karena ulah babi yang lepas.

Orang-orang merasa senang ketika suatu malam berhasil memergoki seekor babi berlari merangsek ke dalam ladang sayur milik warga. Setidaknya, dugaan mereka tidak salah. Tiga bulan orang-orang mulai berburu babi yang lepas. Har si pemilik peternakan babi tidak berani melarang karena ia sendiri juga tak merasa kehilangan babi. Hanya saja akhir-akhir itu Nur semakin sering disergap rasa takut karena ia berada di rumah sendiri saat suaminya pergi.

Bulan keempat agaknya menjadi bulan bersejarah bagi dusun Nur. Babi itu tertangkap di ladang sayur milik Nur pada suatu malam yang hujan. Babi itu tampak mengerang kesakitan karena tubuhnya terkena sabetan parang. Di bawah sorot senter, babi itu tampak terpejam entah sadar entah pingsan.

Beberapa saat kemudian, semua orang tiba-tiba tertegun dan beralih menatap Nur dengan rasa tak percaya. Setelah mampu menguasai keadaan, satu-persatu mereka meninggalkan babi itu sambil berbisik dan menggerutu. Hampir hilang kesadaran Nur, membuatnya jatuh terduduk di samping babi yang kini telah beralih rupa menjadi suaminya sendiri.●

Kulonprogo, 2020

 

Kristin Fourina, lahir di Yogyakarta tahun 1987. Alumni FBS UNY ini menulis cerpen di sejumlah media cetak dan online, diantaranya Jawa Pos, Minggu Pagi, Cendana.news dll. Cerpen-cerpenya termuat dalam beberapa buku antologi bersama, diantaranya : Rendezvous di Tepi Serayu (2009), Lelaki yang Dibeli (2011),  Bayang-bayang (2012) Gelar Jagad (2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Bersama suaminya tinggal di Wates Kulonprogo.

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...