Sabtu, 26 Maret 2022

 

K A R Y A

 

 EVITA EKA SEPTIANI

 

Banjir Menggenang Virus Berenang

 

Genangan air

Mengundang kuman ganas

Virus berenang

 

Kulon Progo, April 2020

 

 

Banjir Surut Wabah Menyerang

 

Banjir pun surut

Namun gelabah datang

Virus mengancam

 

Kulon Progo, April 2020

 

Jangan Unfollow Toleransi

 

 Gawai berteriak

Twitter mengelak

Instagram menginjak

YouTube menggertak

Facebook menghentak

WhatsApp pun terisak

 

Benci merebak

Seperti pertarungan kapak

Mengapa dunia maya menggila?

Sejak virus covid-19 merebak

Kondisi pesan medsos pun tak enak

 

Nusantara bahkan mancanegara bergolak

Harga diri terinjak-injak, toleran makin tertolak

 

Jangan kau unfollow toleransi

kunci berdirinya negeri

 

Kulon Progo, 18 Desember 2020

 

Evita Eka Septiani, lahir di Kulon Progo, 11 September 2001, adalah mahasiswi UNY. Beberapa puisinya masuk ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry  (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020), Duhkita (2021). Tinggal di Galur Kulon Progo.

  

*****_____*****

  

ARIS SETYANTO

 

Peristiwa Merindukanmu

 

kerling matamu tertanggal

di antara rimbun bunga-bunga

duduk di pematang taman,

kau pastikan kebekuan tak jatuh

di punggungku malam itu

saat halimun berangsur turun

 

sudah hampir sepekan

aku hanyut dalam kerinduan

peristiwa merindukanmu

tak pernah sebegini pilu

pulang dan peluklah hatiku

kasih, kehilangmu sungguh ambigu.

 

Maguwo, 21 November 2021

 

Kesepian Adalah Sajak Paling Nelangsa

untuk : Tri Lestari

 

telah lama tak semuka

masihkah di meja kerja itu

kau jahit pakaian

yang nantinya akan selalu aku kenakan

 

kesepian hadir sebanyak gugur hujan

pagi ini, kutemukan kau berbaring di langit

membandingkan pada tubuhku

hangat mentari atau gambaran dirimu

yang sampai di tanah hatiku.

 

Maguwo, 04 Desember 2021

 

Aris Setiyanto lahir 12 Juni 1996. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas (2020) dan Ketika Angin Berhembus (2021). Puisinya juga termuat di beberapa media daring maupun cetak.

Sabtu, 19 Maret 2022

KARYA PERSEMAIAN


Beberapa waktu lalu, laman Sastra-Ku sering memuat karya persemaian, yakni karya-karya dari penulis yang relatif masih mengawali proses dalam menulis. Edisi minggu ini, laman Sastra-Ku kembali memuat tiga puisi karya persemaian.

 

*****_____*****


YASIN MANIK HAWA

 

Napak Tilas

 

Rangkaian abjad diikat makna

mengolah cipta rasa karsa

tuk berlabuh lembaran karya

yang dilisankan ke intisari raga

walau raga dirimu tlah tergilas angin

namun rasa menapak terpatri

Membekas kubangan dalam merah trotoar tamansiswa 

Yang kalau ditimpa hujan kan jadi genangan

Atau menjelma jadi kenangan

 

Yogyakarta, 6 Maret  2021

 


Yasin Manik Hawa
(biasa dipanggila Hawa), lahir 18 tahun lalu di Kulon Progo 11 Desember 2003, pelajar di SMAN 1 Sentolo. Menyukai musik dan tanaman. Minat menulis puisi sejak masuk SMA.  Terlebih dengan mengikuti Bimtek Cipta Puisi kategori SMA pada Maret tahun lalu, membuatnya ingin mempelajari puisi lebih dalam.  Tinggal di Tanjungharjo, Nanggulan, Kulon Progo.

 

*****_____*****

 

ERNAWATI AFRINA PANDIANGAN

 

Keindahan Alam Indonesia

 

Hamparan pantai yang berpasir

bersama angin yang berdesir

di sanalah camar turun mampir

Bersama senja mulai terukir

 

Hamparan sawah yang indah

Ditemani kicauan kutilang

Burung-burung terbang rendah

Pesona tidak kepalang.

 

Di Gunung orang-orang merenung

Memandang Alam di bawah

Tampak negerinya yang sentosa

penduduknya hidup sejahtera.

 

Ernawati Afrina Pandiangan, lahir di Tanjungbalai 12 April 2000. Berdomisli di Tanjungbalai Asahan. Memiliki nama pena Murni Ariesty. Hobi menulis sejak sekolah dasar, seperti menulis Puisi dan  Artikel. Anak pertama dari 2 bersaudara ini saat ini  sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa semester 3, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar.  Facebook: Ernawati Pandiangan, Email:ernawatiafrinapandiangan20@gmail.com

 

*****_____*****

 

FERA WAHYU PUSPITA

 

Kilat Dan Hujan Deras

 

Guyuran air di atas genteng

Lama kelamaan terjun di atas tanah

Membasahi muka bumi

Airmu nan elok besarnya

Hingga berlari ke arah sungai

Gelombang air tiada hentinya

Terdengar suara dentuman air sungai

 

Tiba-tiba terdengar pecutan petir

Yang datang dengan tidak sopan

Dengan lancangnya kau kejutkan manusia

Tanpa merasa bersalah

Kau bagaikan harimau yang mengamuk

Menjadikan semua orang terkurung dan membisu

 

Pecutan petir semakin menggelegar

Hujan semakin tak terkendali

Air di sungai semakin deras

Bagaikan sebuah lautan

Membuat jantung ini bagaikan gelombang lautan

Raga ini sangat ketakutan

Tiada seorang pun yang berani keluar

 

Pagerharjo, Senin 01 November 2021

 

Fera Wahyu Puspita, siswi SMP N 4 Samigaluh. 


Sabtu, 12 Maret 2022

K A R Y A

 Tears for My Earth

Cerpen: Okti Setiyani

 

Semilir angin yang menghempas pepohonan sudah tidak tersisa. Keheningan pagi diiringi cicitan burung sudah sirna. Langit yang biru pun sudah berubah memerah. Yang tersisa adalah manusia yang bertahan hidup dengan berbagai cara.

 

Aku membuka jendela kamarku dan melihat sekeliling. Rumahku bisa dibilang biasa saja, tentu karena semua orang memiliki desain yang hampir mirip. Di mana rumah bertingkat dua, berukuran kurang lebih 20 x 20 dengan halaman dan kolam renang. Lalu sebuah rumah akan diselubungi oleh kaca tebal yang melindungi kami dari sengatan sinar matahari sekaligus sebagai penampung energi surya dan mengubahnya menjadi listrik.

Mungkin saat berada di dalam rumah, aku merasa baik-baik saja. Namun, saat keluar keluar dari selubung kaca, aku sangat miris melihat Bumi-ku. Ibu mengatakan bahwa saat aku berumur lima tahun, pemerintah menyatakan bahwa Bumi sudah berada di puncak kehancuran. Di mana awan tidak lagi berwarga biru, melainkan merah dan membuat mata yang memandangnya merasa tak nyaman.

Pemerintah mengatakan bahwa hal ini disebabkan fenomena hamburan Raleigh yang sudah berubah, dulu cahaya matahari dihamburkan oleh partikel atmosfer, lalu panjang gelombang cahaya terkecil berwarna biru, tetapi sekarang semua berubah karena atmosfer sudah tidak lagi menghamburkan cahaya terkecil melainkan berukuran sedang yang membuat langit berwarna merah.

Lain halnya dengan air laut, air laut yang biru sudah berubah kemerahan, hal ini disebabkan oleh molekul air yang sudah tidak seperti dulu lagi, di mana air menyerap foton dari cahaya, molekul air sudah tercemar dan akhirnya memantulkan warna merah yang menyeramkan. Juga dengan tanah yang memerah karena masam.

Aku pernah memimpikan hidup di masa lalu. Kakek pernah bilang bahwa rumah-rumah di masa lalu menggunakan bambu dan kayu, sedangkan atapnya menggunakan genting. Di mana-mana ada pohon dan hewan, bahkan di dalam rumah pun ada hewan seperti tikus, kecoa dan nyamuk. Dulu manusia sangat benci dengan nyamuk dan lalat yang menganggu mereka. Namun, sekarang di masa ini semua orang sangat menginginkan untuk melihat hewan-hewan dan keadaan di masa lalu, di mana sekarang yang tertinggal di Bumi hanyalah manusia-manusia yang menyedihkan karena ulah moyang mereka yang merusak Bumi.

“Anne.... Ibu udah panggil mekanik tadi, nanti kalau ada yang datang kamu temui ya, soalnya mesin udara kita di ruang makan mati satu....”

Suara Ibu terdengar dari ruang tamu, memantul-mantul hingga ke kamarku.

“Ibu berangkat kerja dulu ya....”

Imbuhnya lagi. Ibuku adalah seorang wanita karir yang bekerja di kantor pemerintah pusat dengan misi-misi yang menurutku agak aneh, salah satunya menemukan planet baru.

“Iya, Bu....”

Jawabku dengan helaan napas, bukan karena malas tetapi karena miris akan hidup kami yang bergantung pada sebuah mesin penghasil udara.

Tiba-tiba suara bel terdengar, aku langsung mengambil masker udara dan memakainya. Kakiku melangkah keluar selubung kaca dan seorang pria dengan pakaian bak astronot berdiri tegap di sana.

“Benar rumah Bu Alkana?” tanyanya dengan suara yang tertahan di helmnya.

“Iya, Pak, silahkan masuk....”

Ya, akan aku katakan bahwa udara yang aku hirup tidak lagi berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan, melainkan buatan mesin. Hingga setiap manusia di Bumi ini memiliki mesin penghasil udara dan menggunakan masker udara jika keluar rumah. Tidak ada pepohonan dan tumbuhan, juga tidak ada hewan yang hidup. Hanya ada manusia satu-satunya makhluk hidup yang menginjakkan kaki di bumi yang seperti ini.

Mekanik itu akhirnya melepaskan helm besarnya, membuatku sadar bahwa ia sudah tak lagi muda, mungkin berumur sekitar 50 tahun atau lebih. Aku mengamati pria paruh baya itu mengotak-atik mesin penghasil udara. Tiba-tiba terbesit bermacam-macam pertanyaan di kepalaku. “Pak.... apa Bapak pernah melihat pohon?” tanyaku ragu-ragu.

“Pernah.” jawabnya singkat tanpa menoleh dengan tangan sibuk membongkar mesin.

“Wah, keren....” Mataku melebar, aku semakin penasaran, pasalnya Ibu bilang, ia belum pernah melihat pohon, hanya kakek dan nenekku saja yang pernah melihatnya secara langsung.

“Saya juga pernah melihat binatang.” imbuhnya tanpa diminta.

“Ha? Kok bisa?” tanyaku semakin penasaran, pasalnya binatang sudah terlebih dahulu musnah dibandingkan tumbuhan.

Tiba-tiba decitan pintu terdengar, membuat fokus kami tertuju pada asal suara. Seorang wanita dengan rambut sebahu, berkaca mata dan berpenampilan formal berjalan tergesa-gesa ke arah kami, ya, itulah Ibu. Napasnya terlihat tidak stabil dan raut wajahnya menandakan ada hal mendesak yang harus segera diungkapkan.

“Ada apa Bu?” tanyaku spontan sambil berjalan mendekati Ibu yang masih terengah-engah di depan kami.

Ibu terlihat menelan ludahnya dengan susah payah. “Anne, kita menjadi salah satu keluarga yang pertama diberangkatkan ke planet baru!”

“Ha?”

            Aku, Ibu dan Ayah sudah siap dengan barang-barang kami. Tidak banyak, karena pemerintah sudah menyiapkan fasilitas lengkap di planet baru itu, planet yang disebut-sebut sebagai New World. Saat aku menoleh pada orang tuaku, mereka terlihat sangat bahagia dengan keputusan ini, sedangkan aku merasa sangat kasihan pada tanah air yang harus aku tinggalkan. Seolah manusia menempatinya hanya untuk merusaknya, dan setelah rusak manusia dengan mudahnya meninggalkannya. Kami perlahan mendekati pesawat besar yang bentuknya seperti piring, memiliki sepuluh roda dan memiliki suara yang berderu-deru. Perlahan-lahan kami menaiki anak tangga untuk masuk ke dalamnya, tetapi saat menaiki tangga teratas, kaki kiriku tersandung dan tubuhku terasa oleng ke belakang.

Aku tersentak, mataku yang terbuka lebar dan langsung menatap langit-langit kamarku yang penuh sarang laba-laba. Ingatan akan mimpi yang mengerikan itu berputar-putar di kepalaku. Rangkaian demi rangkaian kejadiannya terekam jelas di benakku. Aku langsung beranjak dan membuka jendela – mataku melihat pemandangan pepohonan yang hijau, sangat menyenangkan dan melegakan. Ya, aku sadar bahwa bumi akan seperti dalam mimpiku apabila manusia tidak merawatnya.

Aku menghela napas, meraih buku setebal 400 halaman di nakas dan membukanya. Ya, aku harus kembali pada kenyataan bahwa aku hanyalah mahasiswa Biologi semester tiga yang akan segera menghadapi ujian akhir semester.


Okti Setiyani, Duta Nasional Mahasiswa Inspiratif DIY ini merupakan alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia sudah memiliki beberapa antologi cerpen dari kompetisi menulis, juga sebuah novel berjudul “Touch The Sky” dan sekarang ini sedang menunggu cetakan novel keduanya “Campus Puzzle”. Ia dapat dihubungi melalui email oktisetiyani1999@gmail.com dan Instagram @okti_setiyani08. 



Sabtu, 05 Maret 2022

K A R Y A

 

MARJUDDIN SUAEB

 

Kidungane Kodhok

 

Handhodhoka lamun bingung

Tiyang ndhodhok wruh kawruhan

Wruh wineruh sakeng kawruh

Nora gampang wruhing diri jati.

 

Tiyang ndhodhok kalah ngawon

Tan ngawon kawoning kawon

Sawatawis ngawon antuk bawon

Sasampun panen buruh panen

 

Sangsaya bingung api-api jaya

Jaya jayaning wong pincang

Sangsaya lumayu sangsaya cilaka

cilaka kasandang kasandhung-sandhung

 

Yk. 2022


Marjudin Suaeb, adalah nama pena dari Marjudin Muhammad Jalal Sayuthi. Pendidikan terakhirnya di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi ini tulisannya dimuat sejumlah koran Jogja Semarang, Jakarta. Sering baca puisi dari kampung ke kampung, dari kampus ke kampus. Namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Menjadi narasumber berbagai kegiatan sastra. Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016) dan Teka Teki Abadi (Tonggak Pustaka, 2021). Puisi lain terkumpul di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan (penyair Insani), Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Pendapa taman siswa, Nyanyian Bukit Menoreh,  dan Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.


*****______*****

 

 YAYUK WAHYUDI

 

Jaranan

 

Jarane jaran bopong Sing numpaki Dhenok deblong

Jarane  jaran kepang Sing numpaki klambi abang

Sing dioyak keplantrang-plantrang

Mlayune nunjang-nunjang

 

Dhuk nong dhuk nong

Nabrak tembok bathuke nonong

Dhuk nong dhuk nong

Kecemplung jurang

Untune ompong

Dhuk nong dhuk nong

Nadyan kurang

Aja nyolong

 

Jamane uwis kuwur

Mripate lamur dha Ra jujur

Sing cilik  padha nganggur

Akeh pejabat padha makmur

Pungkasaning ngedhuk sumur

Yen kalepyan kanggo njegur

Elinga Kabeh bakal mlebu kubur*

 

Sorjati , Feb 2022

 

Yayuk Wahyudi, adalah nama pena dari Sri Rahayu Yustina S.IP., MA. Lahir di Purworejo 27 Desember 1963. Disela-sela ketugasan sebagai PNS di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kulonprogo masih meluangkan waktu bergiat di Komunitas Sastra-Ku dan Forum Sastra-Teater Kabupaten Kulon Progo. Karyanya masuk di sejumlah buku antologi, diantaranya: Weling Sinangling (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2018) dan Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Pernah terlibat dalam tim penulisan sejumlah buku di Dinas Kebudayaan Kulon Progo. Tinggal di Girimulyo Kulon Progo.

 

*****______*****

 

SUGIYARTI

 

Gurit sore

( kagem Rusia lan Ukraina)

 

Mas Rus lan dik Ina,

Bebrayan mono kudu linandesan ati, kapti, lan karti

Ati sajodho nyawiji ing kapti,

Lumah kurep tan cidra janji, kembul bujana saliring karti

 

Kapti mrentul tulus ngati

Mahanani pakarti datan nguciwani..

E... tembunge Jawa sinebut,  donya  kaya mung sagodhong kelor

 

Ora eling yen lumaku mono bisa kesandhung ing tawang lan bisa kabentus ing rata

 

Genea lakumu sakloron ora tuwajuh

Guyup rukunmu ilang merga seneng laku nyimpang

Prasapamu bareng sakloron salawase,

Ilang kasaput bathuk klimis lambe abang

 

Saiki ngaruara wis kaya tan ana guna

Thole lan Gendhuk..

 

Semonoa tak dherekke

dhedhepe muhung sihing Hyang Widhi

Linambaran ati suci 

Minta sraya ruwating bumi

Sirna ilang pepalang

Sinawang  padhang sinandhang...

 

KP, 28-2-22

 

Sugiyarti, kesehariannya mengajar di SMP Negeri 2 Lendah. Hobi pada seni dan sastra.  Tinggal di Brosot Galur Kulon Progo. 

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...