Jumat, 26 April 2019

KARYA

ESAI:  MARWANTO


Chairil dan April

            Konon, momentum tanggal 28 April (tanggal wafatnya penyair Angkatan ’45 Chairil Anwar) sebagai Hari Puisi Nasional (HPN) masih menjadi perdebatan. Tapi, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.
Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum HPN. Dengan tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair-penyair kita lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo dan seterusnya, Chairil Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khasanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.  
Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenitng dari Chairil Anwar adalah “pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia, sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.
Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair saja, kita bisa bercermin pada sosok Chairil Anwar.  Dari pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya Senja Di Pelabuhan Kecil, kita bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat “Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Dari sinilah, sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh beda dengan orang-orang yang berjasa (pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini? Bisa jadi, bukan karena RA. Kartini lebih “hebat” daripada Chairil Anwar. Namun, lebih karena di jaman yang serba pragmatis saat ini keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi.  Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di jaman yang serba susah di mana masih banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?
Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.
Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung. Namun, paling tidak, pada saat “kesadaran kemanusiaan” kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan.  Maka, kiranya hanya orang yang tak beradab saja yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya koran bar-bar saja yang tak memberi ruang (rubrik) pada puisi.
Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tidak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-bar.  Namun, kita tak risih sedikitpun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat. Ini berarti, dalam imej masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan keberadaban sebuah bangsa.  Mengapa ?
            Salah satu jawaban agaknya  adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita kehidupan.
            Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab, pasca jaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang mengusung “puisi sosial”, kini  terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang menggetarkan. Kebanyakan puisi yang kini hadir, relatif hanya bertutur dan bergumam pada (dan dengan) dirinya sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, maka siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.   
Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: tiap episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang “bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, mengguggah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga hilang pedih peri..... ***

Jumat, 19 April 2019

KARYA

PUISI HENDRI  SULISTYA


Menang Menjadi Arang
Kalah Menjadi Abu


Rasa lapar
Rasa haus
Keserakahan
Ketamakan
Tipu daya
Kecurangan
Sihir
Culas
Para srigala
Para hyena
Para tikus
Para rayap
Para lintah
Dalam lumbung
Dalam kekuasaan
Dalam kebengengisan
Mendulang asa
Mendulang suara
Mendulang percaya
Mendulang kuasa
Patah
Hancur
Musnah
Satukan kekuatan
Satukan keluarga
Satukan tekad
Hancurkan fitnah
Hancurkan dusta
Hancurkan janji
Hancurkan kebohongan
Cara sudah
Gelora sudah
Rencana sudah
Taktik sudah
Percaturan dimulai
Hancurkan pion
Musnahkan benteng
Leburkan elite
Jatuhkan perdana menteri
Singkirkan ratu
Lengserkan raja
Rakyat murka
Raja durhaka
Kroni merajalela
Musnahkan zionis
Sekuat apa
Sedaya apa
Sekeras apa
Hukum alam bicara
Penguasa semesta murka
Ulama berdoa
Rakyat kesahkan asa
Panggilan jiwa
Bangkitkan nusantara
Kemenangan dirasa
Waktunya musnahkan
Tirani
Penjajah
Pendusta
Penguasa
Satu tekad
Satu asa
Satu rasa
Merongah kayu
Menjadi abu
Bara api
Bara massa
Bara jeritan
Bara penindasan
Bara pembodohan
Musnah....
Hancur...
Porak poranda....

Kauman,  2019


***-------***



 PUISI DWI WINARNO


 Abai Tuai Kehancuran


Biarlah... jika angin harus bergerak sesuka hati
Kebarat, timur, selatan atau keutara
Hempaskan apa yang ada
Sesuaikan diri tanpa harus tersakiti

Tingginya kecepatan karena perbedaan yang tak sewajarnya
Gerak angin hanya ingin seimbangkan keadaan
Panasnya alam kabarkan betapa rakusnya manusia pada ruang

Hilangkan pohon-pohon seakan tak butuh keteduhan
Kosongkan lahan perluas kegundulan
Ganti dengan bangunan bangunan
Semena-mena seakan dewa kekuasaan

Sampah berserakan gantikan rumput ditaman
Mahalnya keindahan alam karena tangan-tangan kita
Curah hujan luapkan air tanpa resapan
Hanyutkan semua angan dan kenyataan

Apa yang salah...
Ketika hujan juga diharapkan
Kita hanya butuh menyesuaikan
Sinergi dengan alam

Kulon Progo, 09 Januari 2019



Jumat, 12 April 2019

KARYA

PUISI  TRIAS TUTI HIDAYANTI


Biru

Merangkai asa
Menggenggam luka
Menjangkau biru
Menimbun pilu

Getar getar jiwa
Semaikan gelora
Kepak sayap sukma
Taburkan hasrat membara

Tiada sua tiada kata
Bulir bening sebagai tanda
Betapa daku mendamba
Kasih yang tiada tara

Biru bisu merindu
Jingga rona merana
Putih hati merintih
Merah nadi mendidih



***-------***


PUISI  AYESHA NUHA AULIYA


Menjilat Paham

Dia masih menjilati sisa sisa hari yang melelahkan
Merunduk memeluk kenaifan

Membentuk tubuhnya serupa payung melengkung
Berharap orang
di depannya terhuyung

Jika kerap kali menjadikan hari-hari jadi melelahkan
Apapun yang dilakukan tak ada bedanya lagi dengan kegagalan

Menikmati hidup bukan seperti orang-orang lupa diri atau gila, kan?

Seharusnya
Manusia paham makna kehidupan

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...