Chairil dan April
Konon,
momentum tanggal 28 April (tanggal wafatnya penyair Angkatan ’45 Chairil Anwar)
sebagai Hari Puisi Nasional (HPN) masih menjadi perdebatan. Tapi, bagi sejumlah
penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia
puisi.
Tentu bukan
tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum HPN. Dengan tidak
mengecilkan peran dan eksistensi penyair-penyair kita lainnya, mulai dari Amir
Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi
Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko
Pinurbo dan seterusnya, Chairil
Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khasanah sastra (terutama puisi) di
Indonesia.
Pada umumnya,
sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenitng dari Chairil Anwar adalah
“pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga
Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah
bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke
jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting
perkembangan kesusastraan Indonesia, sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar
sebagai Pelopor Angkatan ’45.
Sebenarnya
tidak hanya dari sisi sebagai penyair saja, kita bisa bercermin pada sosok
Chairil Anwar. Dari pengakuan Sri Ajati,
gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya Senja Di Pelabuhan Kecil, kita
bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya
selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat
“Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya
berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang
sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan
hati dan pikiran kami.
Dari sinilah,
sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh beda dengan orang-orang yang berjasa
(pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal
sosok RA Kartini? Bisa jadi, bukan karena RA. Kartini lebih “hebat” daripada
Chairil Anwar. Namun, lebih karena di jaman yang serba pragmatis saat ini
keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di
jaman yang serba susah di mana masih banyak
orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?
Sudah tentu
jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa
menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus
rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem
riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya
dengan membaca puisi.
Pengenalan
puisi pada ranah kehidupan praktis, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah
secara langsung. Namun, paling tidak, pada saat “kesadaran kemanusiaan” kita
genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa
dibangkitkan. Maka, kiranya hanya orang
yang tak beradab saja yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan
HB Jassin, hanya koran bar-bar saja yang tak memberi ruang (rubrik) pada puisi.
Sudah pasti
kita akan tersinggung jika dianggap tidak beradab. Sakit hati dipandang sebagai
bangsa bar-bar. Namun, kita tak risih
sedikitpun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi.
Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat. Ini
berarti, dalam imej masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan
puisi dan keberadaban sebuah bangsa. Mengapa
?
Salah satu jawaban agaknya adalah muatan puisi tak relevan dengan
kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik
menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita
kehidupan.
Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak
lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab,
pasca jaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang
mengusung “puisi sosial”, kini terasa
sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang
menggetarkan. Kebanyakan puisi yang kini hadir, relatif hanya bertutur dan
bergumam pada (dan dengan) dirinya
sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, maka siapa yang
masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.
Dari sinilah
sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan
menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: tiap
episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah
puisi yang “bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk
batin, mengguggah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga
hilang pedih peri..... ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar