Senin, 25 Juli 2022

K A R Y A

 

MARJUDDIN SUAEB

 

 

 

 

Abad Chairil Anwar

 

 

Angka. Tak hitung tanggal.

Satu persatu tanggal

Jatuh hitung. Jatuh masa.

Jatuh dihitung rugi.

 

Rugi. Kecuali bijak.

Kebijakan terjaga

Terjaga saling kritik.

Kritik cinta manis.

 

Manis semanis puisi Chairil.

Chairil Anwar. Tanda tanggalan

Seabad. Masih hangat.

Hangat sehangat semangat

 

Semangat jaman.

Satu nyata. Ternyata.

Tak sekedar ada.

Tapi mengadai.

 

Mengadai merdeka

Bebas tindas

Tindas jerit keras

Jiwa lepas landas

 

Yk.2022

 

 


Marjuddin Suaeb,
penyair kelahiran Kulonprogo ini pernah berproses di Persada Studi Klub (PSK) Yogyakarta asuhan Umbu Landu Paranggi tahun 1970-an Puisinya tersebar di media cetak dan online, serta buku antologi bersama. Alumni IKIP Yogya (sekarang UNY) ini sewaktu mahasiswa sering baca puisi dari kota ke kota dan kampus ke kampus. Buku puisi tunggalnya: Bulan Bukit Menoreh (2016) dan Teka-Teki Abadi (2021). Kini membina komunitas Sastra-Ku.  

 

***____________***

 

 

 

 

 FAJAR  R  AYUNINGTYAS

 

 

 

 

Sampai Seribu Tahun Lagi

                          ;Chairil

 

 

Ziarah ke unggun-timbun sajak

seratus tahun pertama

sepi masih mengoyak

keterasingan cinta sekolah rendah

hampa kamar

kerdip lilin

dan senja pelabuhan

seperti dulu

 

Tapi bukan menunda kekalahan

hidup kini perkara harapan

ajal muda bukan menyerah

;kau jadi tengara

dibaca sejarah

 

Seratus tahun pertama

dikutuksumpahi Eros

kau tetap jalang

meradang menerjang

mengembara dalam hasrat

puisi-puisi abad

setelah derai cemara

yang jauh

 

sampai seribu tahun lagi, seperti maumu

 

Yogyakarta, 250722

 

 


Fajar R Ayuningtyas,
penyair kelahiran Kulonprogo ini mulai beraktivitas di dunia sastra lewat komunitas Lumbung Aksara sekitar tahun 2007. Menulis puisi, cerpen, dan masih berusaha merampungkan novel perdanannya. Lukisan Gelombang  (2021) adalah buku kumpulan cerpen tunggalnya.  Selain dimuat sejumlah media cetak dan online, puisinya pernah memenangi lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kulonprogo. Kesehariannya  sebagai aparat kalurahan di salah satu wilayah pantai selatan Kulonprogo.

 

 

***____________***

 

 

 

 

SANTI ASESANTI

 

 

 

 

Aku Ingin

(Untuk Chairil)

 

 

Sedalam inginmu yang meradang menerjang hingga menguliti segala pedih perih sampai seribu tahun lagi

 

Aku pun ingin

Menerkam segala nyala dalam dada menjadi sekumpulan bintang berkerlip membunuh jelaga malam yang begitu angkuh sampai masa tiada berkuasa

 

Darimu Si Binatang Jalang

Dari kumpulannya terbuang

Aku pun ingin

Memungut serpihan luka mengejanya sampai usai meski dalam terbata membuang semua air mata menjadikannya sungai beraroma kesturi

 

Aku pun ingin menutup semua bujuk rayu dan  menjadi seutuh aku

Sepertimu yang tak mau seorang kan merayu

 

Juli 2020

 

 


Santi Asesanti,
penyair kelahiran Kulonprogo ini  menyelesaikan sarjana pendidikan di UAD Yogyakarta (2005).  Puisinya  selain pernah memenangi lomba cipta puisi Dinas Kebudayaan Kulonprogo juga masuk di sejumlah buku antologi bersama, di antaranya Cerita Hujan dan Bintang (GoresanPena, 2015), Dalam Secangkir Kopi (Pena House, 2016), Kedai Kopi Sastra (Penerbit BBK, 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020), Tanah Air Puisi (2021). Antologi puisi tunggalnya Purnama Bulan November (2020) dan Lorong Ingatan(2021). Kesehariannya mengajar di SD N Gadingan Wates Kulonprogo.

 

***____________***

 

Jumat, 15 Juli 2022

 

BENDERA

Cerpen Tri Apriyadi

 

Matahari masih terik sewaktu Doni menemukan bendera merah putih dengan tiang bercat putih ambruk di jalan. Jalanan itu nampak gersang karena musim kemarau yang berkepanjangan. Debu beterbangan ditiup angin dan deru kendaraan. Jalan itu sebenarnya cukup ramai. Banyak orang lewat di jalan itu karena jalan desa yang menghubungkan antar desa. Doni selalu lewat jalan itu sewaktu berangkat maupun pulang dari sekolah.

Tapi entah kenapa tiang bendera yang ambruk itu tidak ada yang mengambil dan merawatnya. Bahkan nampak jelas jejak ban sepeda motor yang melekat di bendera tanda ada yang melindasnya.

Bendera itu nampak lusuh dan kotor. Banyak belepotan noda dan debu. Bendera itu jatuh masih terikat di sebuah batang bambu yang telah patah. Mungkin tertubruk motor atau dirobohkan dengan sengaja oleh anak-anak. Entahlah. Doni tidak terlalu pusing memikirkan sebabnya. Dia lepaskan ikatan yang mengikat di batang bambu. Rupanya si pemasang  mengikat sangat kencang dengan simpul mati yang cukup kuat. Doni agak kesulitan ketika mencoba membuka simpul ikatannya. Setelah nampak jejak ikatan pada tiap simpul ikatan pada tepi bendera sebanyak tiga tempat, tali dapat ia kendorkan dan lepaskan.  Ia ambil bendera itu. Melihat bendera yang kotor ia berniat pulang ke rumah untuk mencucinya. Doni memasukkan bendera itu ke dalam tas dengan sedikit menggeser buku-buku tulis dan pelajaran yang ada di dalam tas. Melapisinya kertas agar tidak mengotori dengan buku-buku yang lain.

Sampai di rumah dia mengeluarkan bendera itu. Dia mengambil air dan sabun. Bu Tiwi, ibu Doni,  melihat nya .

“Apa itu Nak ?” sambil melihat anaknya yang menjinjing sesuatu di tangannya.

“Bendera Buk?” jawab Doni tetap dengan erat menggenggam bendera itu.

“Dari mana bendera itu ? Kenapa dengan benderanya?” Bu Tiwi bertanya dengan sesekali melongok ke dapur untuk menengok apakah air dalam ceret yang ia rebus sudah matang atau belum.

“Tadi nemu di jalan. Jatuh. Kotor. Mau Doni cuci bu”, jawab Doni sambil terus mengangkat ember berisi air. Dan segera mencari sabun deterjen.

Doni mulai mencuci bendera itu. Dia sikat menggunakan pembersih yang dicampur sabun deterjen. Tapi anehnya noda dan kotor itu tidak hilang. Malah noda itu seakan semakin nampak kotor. Doni menyikat lagi sampai berulang-ulang. Tetap saja noda dan kotoran yang menempel itu tidak mau hilang. Bahkan semakin lama kotoran itu seakan menjadi nampak hidup bagai ular yang akan mematuk dirinya. Doni sempat membuang bendera itu dari genggamannya. Sambil terkesiap dia mengusap mukanya dengan air untuk menerangkan pandangan matanya. Bendera itu tetap masih kotor. Hanya semakin bau dengan busa sabun  deterjen yang menyengat hidung karena saking banyaknya.

Doni masih diam terpaku di bangku kecilnya. Sejenak dia diam. Sambil memandang bendera kotor itu. 

Bu Tiwi, heran melihat anaknya yang tidak selesai-selesai mencuci. Dia melihat Doni duduk diam dan bendera masih tergeletak di lantai. Dan masih kotor.

“Kenapa lama sekali Doni kamu mencucinya ?” tanya ibunya.

“Noda dan kotorannnya tidak mau hilang Bu. Malah kayaknya semakin kotor”

“Ya udah nggak usah dicuci aja..Besuk beli aja yang baru. Emangnya itu punya siapa ?”

“Nggak mau Bu, Saya maunya bendera itu dicuci kembali sampai bersih dan saya kembalikan ke tempat semula. Bendera itu punya desa”

“Terserah kamulah kalau begitu. Apa ibu bantu untuk membersihkannya?”

“Nggak usah Bu.. Biar Doni aja”.

Doni terus menyikatnya dengan keras. Bendera itu akhirnya sedikit-demi sedikit mulai pudar kotorannya. Doni nampak lega, sambil dia mengelap wajahnya yang penuh peluh keringat. Dia bilas bendera .       

Selanjutnya bendera dijemur di halaman belakang. Halaman belakang rumah Doni masih cukup luas. Dengan ditanami pohon-pohon yang cukup rindang. Tapi karena kemarau panjang pohon-pohon nampak gersang dan kering. Banyak pohon-pohon yang rantingnya menjadi keras dan kering.

Doni menjemur bendera itu di seutas tali yang dibentangkan pada tiang bambu yang dipasang memanjang. Dibentangkan bendera itu. Dia mencari tempat yang cukup terang agar cepat kering.

Siang itu angin bertiup kencang dan berdebu. Daun-daun beterbangan berhamburan ke segala arah. Angin seakan menyapu apapun hingga beterbangan. Atap dapur yang terbuat dari seng terangkat ke atas seperti mau lepas. Bertubrukan menghasilkan bunyi-bunyian yang cukup memekakkan telinga. Banyak pakaian jemuran yang berrhamburan diterbangkan angin. Termasuk bendera Doni terbang kencang lepas dari tali jemuran. Bendera itu melayang dan tepat tersangkut di salah satu ranting yang berujung tajam. Dengan kuat bendera itu menancap hingga berlobang pada salah satu bagiannya.

Doni keluar rumah. Dia melihat banyak pakaian berjatuhan. Doni mulai memunguti pakaian yang jatuh berhamburan. Dia melihat benderanya  tertancap di salah satu ranting pohon. Dia mengambilnya. Bendera itu sobek di beberapa bagian.

“Bu, masih punya benang putih nggak ya ?”

“Masih. Buat apa Nak ?”

“Mau menjahit bendera. Benderanya sobek  tertancap di ranting karena  tertiup angin kencang tadi”

“Mbok sudah beli aja…dari pada kamu susah-susah untuk menjahitnya. Toh itu bukan milik kita.”

“Nggak Bu. Akan saya jahit saja Bu. Eman-eman karena masih bisa dijahit.”

Doni mengambil jarum dan benang putih. Dan segera menjahitnya. Dengan hati-hati Doni menjahit bendera itu. Tak berapa lama bendera telah tersambung lagi. Masih nampak agak berkisut karena jahitan. Doni cukup puas dengan jahitannya, walaupun ia sempat berdarah jarinya karena tertusuk jarum.

Segera ia menyetrika bendera itu agar nampak halus dan menyamarkan jahitannya. Sesudahnya terlihat cukup halus.

“Besuk akan aku pasang bendera ini di tempat semula” niat Doni.

 

Di malam harinya  Doni termenung. Dia masih memikirkan soal bendera itu.  

“Oya saya ingat kalau kemarin tiang bambu benderanya patah” Doni berpikir untuk mencari pengganti tiang bendera dari bambu.  

“Oya, besuk aku akan ke Mbah Parto saja untuk mengambil bambu yang pas  untuk dijadikan tiang bendera.

Keesokan paginya Doni bergegas menemui Mbah Parto. Kebetulan Mbah Parto sedang berada di pekarangan bambu miliknya.  Pekarangan Mbah Parto terletak di pinggir kali besar. Kanan kiri masih nampak rerimbunan tumbuh-tumbuhan. Masih banyak rumput-rumput liar dan semak belukar. Ditambah dengan papringan dan beberapa pohon Mojo. Tanaman-tanaman liar tumbuh dengan subur setinggi hampir sedada orang dewasa. Pekarangan itu masih nampak singup. Kabarnya masih banyak ular terlihat di sekitar itu.

 

Doni meminta izin Mbah Parto untuk meminta bambu. Setelah mendapat izin, Doni bergegas hendak menebang bambu dengan peralatan yang telah dia siapkan dari rumah. Dia melihat bambu-bambu itu masih banyak yang hijau. Tapi beberapa sudah ada yang agak coklat kering. Dilihatnya ada bambu berukuran kecil tapi agak panjang. Pada batang bambu itu masih banyak lugut yang menempel. Berwarna coklat yang menempel di daun bambunya. Lugut itu bila terkena kulit cukup sakit dan gatal. Dan mudah menempel di kulit. 

Dengan sigap Doni segera saja masuk menyeruak di sela-sela batang bambu. Tanpa kaos tangan dia sibak dan memilih bambu yang ia kehendaki. Nampaknya kulit lengan tangannya sudah mulai tertempel lugut. Terasa perih. Tetapi tak diperdulikan oleh Doni.  Dia terus menyibak dengan goloknya. Dan segera menebang bambu yang dipilihnya. Terdengar suara grubuk sewaktu bambu itu roboh ke samping menindih batang bambu yang lainnya. Doni menyeret ke pinggir batang bambu tersebut. Dia mulai membersihkan lugutnya dan  menghaluskan ros nya dengan gerakan berlawanan arah dengan arah tumbuh daun.

Tidak terasa pada lengannya nampak sayatan-sayatan bambu yang merobek kulitnya hingga berdarah. Hal itu tak ia rasakan.  

Setelahnya ia bawa pulang batang bambu dengan tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Mbah Parto.

Sesampai di rumah dia ambil sisa cat dan segera dikuaskan ke batang bambu tersebut.

Esuk harinya ia bawa bambu beserta bendera itu ke tempat semula. Di lokasi itu nampak tidak ada perubahan. Batang bambu yang patah dulu masih ada di pinggir jalan setelah disingkirkannya. Dia pasang bendera itu pada batang bambunya. Dan ia ikatkan di talinya di beberapa tempat pada batang bambu. Dan dia berdirikan bendera itu. Pada bekas lobang tanamnya.

Bendera nampak berkibar ditiup angin. Melambai-lambai. Masih nampak jahitan bekas robek di kain bendera, Doni tersenyum melihatnya. Dia menghormat seraya berdiri tegak.      

Kulon Progo,  2019 – 2020



Tri Apriyadi,
penggiat sastra di komunitas Sastra-ku dan Forum Sastra-Teater Kulon Progo. Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya  Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.


Sabtu, 09 Juli 2022

 

K A R Y A

 

 MUHAMMAD FATKHUL A

 

Janjiku

.

 

              janji 'ku ini

        membulat kuat

    pada pertalian akad,

  tak 'kan merasai putus

 selama embusan napas

  masih merasuk bebas,

    akan s'lamanya erat

       sebelum si maut

           menjemput.

 

       biar pun          masalah

  kerap datang  menghantam,

 mahligai cinta 'ku tetap utuh,

   tak 'kan merasakan rapuh

       hingga detak jantung

           tak mampu lagi

                mengetuk

                    dada.

 

Kasih, ijab telah tergelar

suara 'sah' menggelegar

Bukti sejatinya kesungguhan

tersuratnya ikrar pada Tuhan

 

Mari, kita setubuhi rumah tangga

dengan berselimut pada rida-Nya

Semoga melahirkan bahagia

dan tumbuh hingga ke surga

 

Jombang, Mei 2022

 

Muhammad Fatkhul A. nama pena dari M. Fatkhul Arisfudin. Lahir dan tinggal di Jombang, Jawa Timur. Tidak ada yang istimewa dari sosok Muhammad Fatkhul A. Ia hanyalah seseorang yang baru saja belajar menekuni dunia literasi, khususnya puisi. Racikan aksara yang ia olah baru menyajikan ±20 Antologi bersama. Ia berharap setiap tulisan yang dihidangkannya dapat memberi manfaat untuk pembaca dan juga dirinya sendiri. Jika ingin lebih dalam mengenalnya, bisa lewat jalur ke no. WA: 085851263177

 

=========

 

HIDA AK

 

Dapur Ibu

 

siulan air mendidih di panci ibu yang bening

sendok dan cangkir berdenting

tangan ibu berseling, seduhkan teh dan kopi

 

asap mengepul di awan magic com

beras direbus, nasi mematang

biar perut bapak, perut anak, perut siapa yang lapar jadi kenyang

 

di kuali, kerumunan tumbuhan beradu

perangi spatula yang sedang menohoknya

ibu menyayur, lidah menjulur

perut bapak, perut anak, perut siapa saja mujur

tak dengkur

 

profesi ibu, adalah koki

bikin perut hoki

 

Pacitan, 1443 H

 

 Hida AK,  lahir di Batang 16 April 2001. Perempuan yang memiliki hobi membaca dan menulis ini adalah alumnus RA, MI dan MTs Tholabuddin Masin, serta lulusan Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan. Ia belajar puisi di Asqa Imagination School (AIS), juara 3 Anugerah COMPETER 2022, sebuah ajang sastra yang pemenangnya diumumkan per 1 Januari. Tunak di Community Pena Terbang (COMPETER) – Indonesia. IG: @hidaak16.

 

=========

 

DEANDRA MARHENDRA

 

Terhapus Enyahkan Jiwa

 

 

Semua terhapus, entah apa aku bisa

Berdiri lagi di pelupuk suara-suara

Tentu membayangi jiwa, meluluhkan rasa

Memoriku seakan ditelan prasangka

 

Terlumat genangan hujan yang turun

Malam dibawah genang, remukan lamun

Bulan tak bergeming diusung pilu

Terpeluk mendung petang terguncang semu

 

Kulon Progo, 23 Desember 2021

 

Deandra Marhaendra, suka sekali dipanggil Andra. Lahir 19 tahun lalu tepatnya pada tanggal 12 April 2002 di Kota Wates, Yogyakarta. Si jutek yang hobi olahraga ini bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses. Beberapa puisinya masuk dlam Antologi Puisi Ibu Bumi Bapa Angkasa (Disbud KP, 2021).  Belum lama berhasil menjadi juara 2 Lomba Cipta Puisi Nasional yang diselenggarakan oleh Sastra Media. Kicauannya kadang terselip di akun Facebook Andra dema dan akun Instagram deandra_48. Sekarang bertempat tinggal di Gang Mina, RT 04, RW 15, Klayonan Kedunggong, Wates, Kulon Progo, DIY. Andra dapat di hubungi di no. telp: 088216636931 atau no WA : 083103569522

 

=========

 

EVITA EKA SEPTIANI

 

Hulu ke Hilir

 

Sebelum lahir

Dari hulu ke hilir

Kelana setir

 

Kulon Progo, 09 Juli 2022

 

Lantai Berjalan

 

Pagi ke senja

Bagai lantai berjalan

Susuri malam

 

Kulon Progo, 09 Juli 2022

 


Evita Eka Septiani,
lahir di Kulon Progo, 11 September 2001, adalah mahasiswi UNY. Nama pena nya Evita Afida Hidayah.  Beberapa puisinya masuk ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry  (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Pernah menjuarai Lomba puisi Haiku. Kumpulan puisi terbarunya telah terbit dengan judul Jika Hujan Berwana Biru. Penulis mulai mengikuti beberapa kelas menulis online sejak kelas X SMA. Tinggal di Karangsewu, Galur, Kulon Progo.

Sabtu, 02 Juli 2022

K A R Y A

DIDIK KOMAIDI

 

Qasidah Burung

 

 

Burung terpekur di hutan rimba

Membaca cuaca

Mengaji sunyi

 

Burung yang menyanyikan lagu tentang kota

Yang terkotori oleh mesin dan industri

Sungai dicekik polusi ikan-ikan mati

Pepohonan menjelma tiang-tiang besi

Berbuah lampu-lampu merkuri

Sedangkan listrik membunuh bulan di malam hari

Menggusur kunang-kunang dari pesta malam

Burung pun kembali terpeku di pucuk pohon

 

Membaca gelombang

Menghitung zikir ilalang

 

Didik Komaidi, lahir di Magetan tahun 1973. Saat ini sedang menempuh program studi doktoral di UIN Sunan Kaljaga. Karyanya berupa puisi cerpen dan esai telah terbit dalam bentuk buku maupun di media cetak dan oline. Mengajar di MAN 1 Kulonprogo

 

***____________***

 

 

 

FIRMAN WALLY

 

Kunang-Kunang

 

 

Kuingat dulu

saat lampu-lampu jalan

belum berbagi cahanya

di mata kami hanyalah

cahaya kunang-kunang yang setia

hinggap di mata kami, di mata kita

 

Di pohon yang tinggi seperti mimpi-mimpi

dan juga renda seperti hati papa

kunang-kunang ada di situ

menerangi yang gulita

menemani kami, pelengkap cerita

 

Kini saat lampu-lampu jalan

ada di mana-mana

kunang-kunang entah ke mana?

 

Tahoku, 25 Juni 2022

 

Firman Wally, penyair kelahiran Tahoku, Maluku Tengah. Lulusan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Patimura Ambon. Puisinya tersebar di sejumlah media massa dan buku antologi bersama. Buku puisi tunggalnya Lelaki Leihitu. Mengajar di SMA N 27 Maluku.

 

***____________***

 

 

RAHAJENG

 

Gerobak Kayu

 

 

lelaki rimpuh merangkai tiap-tiap langkah

dari ufuk timur menuju ke barat

berbalik arah ke utara lalu selatan

menarik gerobak

menempuh jarak tak terbatas

 

keringat hangat berderai di sekujur tubuh

lirih terabaikan

teringat keluh kesah seorang anak

menanti ia pulang

 

tentang rasa manusiawi

tak perlu meresapi apa yang belum diberi

bersyukur dengan segala yang sudah dimiliki

kembali kepada nikmatNya

 


 Rahajeng Wydhartiningsih, lahir di Probolinggo 12 April 1989. Aktif di Asqa Imagination School (AIS), Community Pena Terbang (Competer), dan Kelas Puisi Alit (KPUL). Juara 2 dan 3 di Asqa Book Award 2021. Bisa dihubungi via IG @rah.ajeng12

 ***____________***


 

DJESICA AN-NUR

 

Sujud Digital

 

 

Seribu, dua ribu

Baru dan baru

Sejak bangun hingga kembali fajar tidur

Tak pernah ucap kata syukur

 

Sepetak layar kamera

Menyorot lalu disaksikan dunia

Menjadi penggoda para remaja hingga lansia

 

Yang barusan lahir lupa di kaki ibu ada surga

Yang lahir sejak zaman purba lupa badan yang menua

Tak heran jika untuk uang

Segala lagu liuk tubuh

Ditaruh di etalase pinggir sosial media

Terpenting cuan, cuan dan cuan

Tak peduli pada label dirinya

Tak peduli semua akan ditimbang tuhan

 

Diberi opsi kanan atau kiri?

Semua dituruti

 

Apakah malu jika tak mengikuti?

Lantas apa yang terjadi jika semua merajai gengsi

Seakan jabatan nasi sudah direbut oleh gengsi

 

'' Hei semua, kita tak selamanya ada di sini

cepat atau lambat pasti akan mati"

 

untuk apa meladeni gengsi?

perbanyak doa

sujud pada sang pencipta

  

Kulonprogo, 2022

 

 


Djessica An-Nur,
 belajar di SMA N 1 Pengasih Kulonprogo.  Aktif di Regas dan komunitas Sastra-Ku

 

***____________***

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...