BENDERA
Cerpen Tri Apriyadi
Matahari masih terik sewaktu Doni menemukan bendera
merah putih dengan tiang bercat putih ambruk di jalan. Jalanan itu nampak
gersang karena musim kemarau yang berkepanjangan. Debu beterbangan ditiup angin
dan deru kendaraan. Jalan itu sebenarnya cukup ramai. Banyak orang lewat di
jalan itu karena jalan desa yang menghubungkan antar desa. Doni selalu lewat
jalan itu sewaktu berangkat maupun pulang dari sekolah.
Tapi entah kenapa tiang bendera yang ambruk itu tidak
ada yang mengambil dan merawatnya. Bahkan nampak jelas jejak ban sepeda motor
yang melekat di bendera tanda ada yang melindasnya.
Bendera itu nampak lusuh dan kotor. Banyak belepotan
noda dan debu. Bendera itu jatuh masih terikat di sebuah batang bambu yang
telah patah. Mungkin tertubruk motor atau dirobohkan dengan sengaja oleh
anak-anak. Entahlah. Doni tidak terlalu pusing memikirkan sebabnya. Dia
lepaskan ikatan yang mengikat di batang bambu. Rupanya si pemasang mengikat
sangat kencang dengan simpul mati yang cukup kuat. Doni agak kesulitan ketika
mencoba membuka simpul ikatannya. Setelah nampak jejak ikatan pada tiap simpul
ikatan pada tepi bendera sebanyak tiga tempat, tali dapat ia kendorkan dan
lepaskan. Ia ambil bendera itu. Melihat bendera yang kotor ia
berniat pulang ke rumah untuk mencucinya. Doni memasukkan bendera itu ke dalam
tas dengan sedikit menggeser buku-buku tulis dan pelajaran yang ada di dalam
tas. Melapisinya kertas agar tidak mengotori dengan buku-buku yang lain.
Sampai di rumah dia mengeluarkan bendera itu. Dia
mengambil air dan sabun. Bu Tiwi, ibu Doni, melihat nya .
“Apa itu Nak ?” sambil melihat anaknya yang menjinjing
sesuatu di tangannya.
“Bendera Buk?” jawab Doni tetap dengan erat menggenggam
bendera itu.
“Dari mana bendera itu ? Kenapa dengan benderanya?” Bu
Tiwi bertanya dengan sesekali melongok ke dapur untuk menengok apakah air
dalam ceret yang ia rebus sudah matang atau belum.
“Tadi nemu di jalan. Jatuh. Kotor. Mau Doni cuci bu”,
jawab Doni sambil terus mengangkat ember berisi air. Dan segera mencari sabun
deterjen.
Doni mulai mencuci bendera itu. Dia sikat menggunakan
pembersih yang dicampur sabun deterjen. Tapi anehnya noda dan kotor itu tidak
hilang. Malah noda itu seakan semakin nampak kotor. Doni menyikat lagi sampai
berulang-ulang. Tetap saja noda dan kotoran yang menempel itu tidak mau hilang.
Bahkan semakin lama kotoran itu seakan menjadi nampak hidup bagai ular yang
akan mematuk dirinya. Doni sempat membuang bendera itu dari genggamannya.
Sambil terkesiap dia mengusap mukanya dengan air untuk menerangkan pandangan
matanya. Bendera itu tetap masih kotor. Hanya semakin bau dengan busa
sabun deterjen yang menyengat hidung karena saking banyaknya.
Doni masih diam terpaku di bangku kecilnya. Sejenak
dia diam. Sambil memandang bendera kotor itu.
Bu Tiwi, heran melihat anaknya yang tidak
selesai-selesai mencuci. Dia melihat Doni duduk diam dan bendera masih
tergeletak di lantai. Dan masih kotor.
“Kenapa lama sekali Doni kamu mencucinya ?” tanya
ibunya.
“Noda dan kotorannnya tidak mau hilang Bu. Malah
kayaknya semakin kotor”
“Ya udah nggak usah dicuci aja..Besuk beli aja yang
baru. Emangnya itu punya siapa ?”
“Nggak mau Bu, Saya maunya bendera itu dicuci kembali
sampai bersih dan saya kembalikan ke tempat semula. Bendera itu punya desa”
“Terserah kamulah kalau begitu. Apa ibu bantu untuk
membersihkannya?”
“Nggak usah Bu.. Biar Doni aja”.
Doni terus menyikatnya dengan keras. Bendera itu
akhirnya sedikit-demi sedikit mulai pudar kotorannya. Doni nampak lega, sambil
dia mengelap wajahnya yang penuh peluh keringat. Dia bilas bendera
.
Selanjutnya bendera dijemur di halaman belakang.
Halaman belakang rumah Doni masih cukup luas. Dengan ditanami pohon-pohon yang
cukup rindang. Tapi karena kemarau panjang pohon-pohon nampak gersang dan
kering. Banyak pohon-pohon yang rantingnya menjadi keras dan kering.
Doni menjemur bendera itu di seutas tali yang
dibentangkan pada tiang bambu yang dipasang memanjang. Dibentangkan bendera
itu. Dia mencari tempat yang cukup terang agar cepat kering.
Siang itu angin bertiup kencang dan berdebu. Daun-daun
beterbangan berhamburan ke segala arah. Angin seakan menyapu apapun hingga
beterbangan. Atap dapur yang terbuat dari seng terangkat ke atas seperti mau
lepas. Bertubrukan menghasilkan bunyi-bunyian yang cukup memekakkan telinga.
Banyak pakaian jemuran yang berrhamburan diterbangkan angin. Termasuk bendera
Doni terbang kencang lepas dari tali jemuran. Bendera itu melayang dan tepat
tersangkut di salah satu ranting yang berujung tajam. Dengan kuat bendera itu
menancap hingga berlobang pada salah satu bagiannya.
Doni keluar rumah. Dia melihat banyak pakaian
berjatuhan. Doni mulai memunguti pakaian yang jatuh berhamburan. Dia melihat
benderanya tertancap di salah satu ranting pohon. Dia mengambilnya.
Bendera itu sobek di beberapa bagian.
“Bu, masih punya benang putih nggak ya ?”
“Masih. Buat apa Nak ?”
“Mau menjahit bendera. Benderanya
sobek tertancap di ranting karena tertiup angin kencang
tadi”
“Mbok sudah beli aja…dari pada kamu susah-susah untuk
menjahitnya. Toh itu bukan milik kita.”
“Nggak Bu. Akan saya jahit saja Bu. Eman-eman karena
masih bisa dijahit.”
Doni mengambil jarum dan benang putih. Dan segera
menjahitnya. Dengan hati-hati Doni menjahit bendera itu. Tak berapa lama
bendera telah tersambung lagi. Masih nampak agak berkisut karena jahitan. Doni
cukup puas dengan jahitannya, walaupun ia sempat berdarah jarinya karena
tertusuk jarum.
Segera ia menyetrika bendera itu agar nampak halus dan
menyamarkan jahitannya. Sesudahnya terlihat cukup halus.
“Besuk akan aku pasang bendera ini di tempat semula”
niat Doni.
Di malam harinya Doni termenung. Dia masih
memikirkan soal bendera itu.
“Oya saya ingat kalau kemarin tiang bambu benderanya
patah” Doni berpikir untuk mencari pengganti tiang bendera dari
bambu.
“Oya, besuk aku akan ke Mbah Parto saja untuk
mengambil bambu yang pas untuk dijadikan tiang bendera.
Keesokan paginya Doni bergegas menemui Mbah Parto.
Kebetulan Mbah Parto sedang berada di pekarangan bambu
miliknya. Pekarangan Mbah Parto terletak di pinggir kali besar.
Kanan kiri masih nampak rerimbunan tumbuh-tumbuhan. Masih banyak rumput-rumput
liar dan semak belukar. Ditambah dengan papringan dan beberapa
pohon Mojo. Tanaman-tanaman liar tumbuh dengan subur setinggi
hampir sedada orang dewasa. Pekarangan itu masih nampak singup.
Kabarnya masih banyak ular terlihat di sekitar itu.
Doni meminta izin Mbah Parto untuk meminta bambu.
Setelah mendapat izin, Doni bergegas hendak menebang bambu dengan peralatan
yang telah dia siapkan dari rumah. Dia melihat bambu-bambu itu masih banyak
yang hijau. Tapi beberapa sudah ada yang agak coklat kering. Dilihatnya ada
bambu berukuran kecil tapi agak panjang. Pada batang bambu itu masih
banyak lugut yang menempel. Berwarna coklat yang menempel di
daun bambunya. Lugut itu bila terkena kulit cukup sakit dan
gatal. Dan mudah menempel di kulit.
Dengan sigap Doni segera saja masuk menyeruak di
sela-sela batang bambu. Tanpa kaos tangan dia sibak dan memilih bambu yang ia
kehendaki. Nampaknya kulit lengan tangannya sudah mulai tertempel lugut. Terasa
perih. Tetapi tak diperdulikan oleh Doni. Dia terus menyibak dengan
goloknya. Dan segera menebang bambu yang dipilihnya. Terdengar suara grubuk
sewaktu bambu itu roboh ke samping menindih batang bambu yang lainnya. Doni
menyeret ke pinggir batang bambu tersebut. Dia mulai membersihkan lugutnya
dan menghaluskan ros nya dengan gerakan berlawanan arah dengan arah
tumbuh daun.
Tidak terasa pada lengannya nampak sayatan-sayatan
bambu yang merobek kulitnya hingga berdarah. Hal itu tak ia
rasakan.
Setelahnya ia bawa pulang batang bambu dengan tidak
lupa ia mengucapkan terima kasih pada Mbah Parto.
Sesampai di rumah dia ambil sisa cat dan segera
dikuaskan ke batang bambu tersebut.
Esuk harinya ia bawa bambu beserta bendera itu ke
tempat semula. Di lokasi itu nampak tidak ada perubahan. Batang bambu yang
patah dulu masih ada di pinggir jalan setelah disingkirkannya. Dia pasang
bendera itu pada batang bambunya. Dan ia ikatkan di talinya di beberapa tempat
pada batang bambu. Dan dia berdirikan bendera itu. Pada bekas lobang tanamnya.
Bendera nampak berkibar ditiup angin. Melambai-lambai.
Masih nampak jahitan bekas robek di kain bendera, Doni tersenyum melihatnya.
Dia menghormat seraya berdiri tegak.
Kulon Progo, 2019 – 2020
Tri Apriyadi, penggiat sastra di komunitas Sastra-ku
dan Forum Sastra-Teater Kulon Progo.
Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya
dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor
Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku
kumpulan cerpen tunggalnya Maafkan, Aku
Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.