Jumat, 15 Juli 2022

 

BENDERA

Cerpen Tri Apriyadi

 

Matahari masih terik sewaktu Doni menemukan bendera merah putih dengan tiang bercat putih ambruk di jalan. Jalanan itu nampak gersang karena musim kemarau yang berkepanjangan. Debu beterbangan ditiup angin dan deru kendaraan. Jalan itu sebenarnya cukup ramai. Banyak orang lewat di jalan itu karena jalan desa yang menghubungkan antar desa. Doni selalu lewat jalan itu sewaktu berangkat maupun pulang dari sekolah.

Tapi entah kenapa tiang bendera yang ambruk itu tidak ada yang mengambil dan merawatnya. Bahkan nampak jelas jejak ban sepeda motor yang melekat di bendera tanda ada yang melindasnya.

Bendera itu nampak lusuh dan kotor. Banyak belepotan noda dan debu. Bendera itu jatuh masih terikat di sebuah batang bambu yang telah patah. Mungkin tertubruk motor atau dirobohkan dengan sengaja oleh anak-anak. Entahlah. Doni tidak terlalu pusing memikirkan sebabnya. Dia lepaskan ikatan yang mengikat di batang bambu. Rupanya si pemasang  mengikat sangat kencang dengan simpul mati yang cukup kuat. Doni agak kesulitan ketika mencoba membuka simpul ikatannya. Setelah nampak jejak ikatan pada tiap simpul ikatan pada tepi bendera sebanyak tiga tempat, tali dapat ia kendorkan dan lepaskan.  Ia ambil bendera itu. Melihat bendera yang kotor ia berniat pulang ke rumah untuk mencucinya. Doni memasukkan bendera itu ke dalam tas dengan sedikit menggeser buku-buku tulis dan pelajaran yang ada di dalam tas. Melapisinya kertas agar tidak mengotori dengan buku-buku yang lain.

Sampai di rumah dia mengeluarkan bendera itu. Dia mengambil air dan sabun. Bu Tiwi, ibu Doni,  melihat nya .

“Apa itu Nak ?” sambil melihat anaknya yang menjinjing sesuatu di tangannya.

“Bendera Buk?” jawab Doni tetap dengan erat menggenggam bendera itu.

“Dari mana bendera itu ? Kenapa dengan benderanya?” Bu Tiwi bertanya dengan sesekali melongok ke dapur untuk menengok apakah air dalam ceret yang ia rebus sudah matang atau belum.

“Tadi nemu di jalan. Jatuh. Kotor. Mau Doni cuci bu”, jawab Doni sambil terus mengangkat ember berisi air. Dan segera mencari sabun deterjen.

Doni mulai mencuci bendera itu. Dia sikat menggunakan pembersih yang dicampur sabun deterjen. Tapi anehnya noda dan kotor itu tidak hilang. Malah noda itu seakan semakin nampak kotor. Doni menyikat lagi sampai berulang-ulang. Tetap saja noda dan kotoran yang menempel itu tidak mau hilang. Bahkan semakin lama kotoran itu seakan menjadi nampak hidup bagai ular yang akan mematuk dirinya. Doni sempat membuang bendera itu dari genggamannya. Sambil terkesiap dia mengusap mukanya dengan air untuk menerangkan pandangan matanya. Bendera itu tetap masih kotor. Hanya semakin bau dengan busa sabun  deterjen yang menyengat hidung karena saking banyaknya.

Doni masih diam terpaku di bangku kecilnya. Sejenak dia diam. Sambil memandang bendera kotor itu. 

Bu Tiwi, heran melihat anaknya yang tidak selesai-selesai mencuci. Dia melihat Doni duduk diam dan bendera masih tergeletak di lantai. Dan masih kotor.

“Kenapa lama sekali Doni kamu mencucinya ?” tanya ibunya.

“Noda dan kotorannnya tidak mau hilang Bu. Malah kayaknya semakin kotor”

“Ya udah nggak usah dicuci aja..Besuk beli aja yang baru. Emangnya itu punya siapa ?”

“Nggak mau Bu, Saya maunya bendera itu dicuci kembali sampai bersih dan saya kembalikan ke tempat semula. Bendera itu punya desa”

“Terserah kamulah kalau begitu. Apa ibu bantu untuk membersihkannya?”

“Nggak usah Bu.. Biar Doni aja”.

Doni terus menyikatnya dengan keras. Bendera itu akhirnya sedikit-demi sedikit mulai pudar kotorannya. Doni nampak lega, sambil dia mengelap wajahnya yang penuh peluh keringat. Dia bilas bendera .       

Selanjutnya bendera dijemur di halaman belakang. Halaman belakang rumah Doni masih cukup luas. Dengan ditanami pohon-pohon yang cukup rindang. Tapi karena kemarau panjang pohon-pohon nampak gersang dan kering. Banyak pohon-pohon yang rantingnya menjadi keras dan kering.

Doni menjemur bendera itu di seutas tali yang dibentangkan pada tiang bambu yang dipasang memanjang. Dibentangkan bendera itu. Dia mencari tempat yang cukup terang agar cepat kering.

Siang itu angin bertiup kencang dan berdebu. Daun-daun beterbangan berhamburan ke segala arah. Angin seakan menyapu apapun hingga beterbangan. Atap dapur yang terbuat dari seng terangkat ke atas seperti mau lepas. Bertubrukan menghasilkan bunyi-bunyian yang cukup memekakkan telinga. Banyak pakaian jemuran yang berrhamburan diterbangkan angin. Termasuk bendera Doni terbang kencang lepas dari tali jemuran. Bendera itu melayang dan tepat tersangkut di salah satu ranting yang berujung tajam. Dengan kuat bendera itu menancap hingga berlobang pada salah satu bagiannya.

Doni keluar rumah. Dia melihat banyak pakaian berjatuhan. Doni mulai memunguti pakaian yang jatuh berhamburan. Dia melihat benderanya  tertancap di salah satu ranting pohon. Dia mengambilnya. Bendera itu sobek di beberapa bagian.

“Bu, masih punya benang putih nggak ya ?”

“Masih. Buat apa Nak ?”

“Mau menjahit bendera. Benderanya sobek  tertancap di ranting karena  tertiup angin kencang tadi”

“Mbok sudah beli aja…dari pada kamu susah-susah untuk menjahitnya. Toh itu bukan milik kita.”

“Nggak Bu. Akan saya jahit saja Bu. Eman-eman karena masih bisa dijahit.”

Doni mengambil jarum dan benang putih. Dan segera menjahitnya. Dengan hati-hati Doni menjahit bendera itu. Tak berapa lama bendera telah tersambung lagi. Masih nampak agak berkisut karena jahitan. Doni cukup puas dengan jahitannya, walaupun ia sempat berdarah jarinya karena tertusuk jarum.

Segera ia menyetrika bendera itu agar nampak halus dan menyamarkan jahitannya. Sesudahnya terlihat cukup halus.

“Besuk akan aku pasang bendera ini di tempat semula” niat Doni.

 

Di malam harinya  Doni termenung. Dia masih memikirkan soal bendera itu.  

“Oya saya ingat kalau kemarin tiang bambu benderanya patah” Doni berpikir untuk mencari pengganti tiang bendera dari bambu.  

“Oya, besuk aku akan ke Mbah Parto saja untuk mengambil bambu yang pas  untuk dijadikan tiang bendera.

Keesokan paginya Doni bergegas menemui Mbah Parto. Kebetulan Mbah Parto sedang berada di pekarangan bambu miliknya.  Pekarangan Mbah Parto terletak di pinggir kali besar. Kanan kiri masih nampak rerimbunan tumbuh-tumbuhan. Masih banyak rumput-rumput liar dan semak belukar. Ditambah dengan papringan dan beberapa pohon Mojo. Tanaman-tanaman liar tumbuh dengan subur setinggi hampir sedada orang dewasa. Pekarangan itu masih nampak singup. Kabarnya masih banyak ular terlihat di sekitar itu.

 

Doni meminta izin Mbah Parto untuk meminta bambu. Setelah mendapat izin, Doni bergegas hendak menebang bambu dengan peralatan yang telah dia siapkan dari rumah. Dia melihat bambu-bambu itu masih banyak yang hijau. Tapi beberapa sudah ada yang agak coklat kering. Dilihatnya ada bambu berukuran kecil tapi agak panjang. Pada batang bambu itu masih banyak lugut yang menempel. Berwarna coklat yang menempel di daun bambunya. Lugut itu bila terkena kulit cukup sakit dan gatal. Dan mudah menempel di kulit. 

Dengan sigap Doni segera saja masuk menyeruak di sela-sela batang bambu. Tanpa kaos tangan dia sibak dan memilih bambu yang ia kehendaki. Nampaknya kulit lengan tangannya sudah mulai tertempel lugut. Terasa perih. Tetapi tak diperdulikan oleh Doni.  Dia terus menyibak dengan goloknya. Dan segera menebang bambu yang dipilihnya. Terdengar suara grubuk sewaktu bambu itu roboh ke samping menindih batang bambu yang lainnya. Doni menyeret ke pinggir batang bambu tersebut. Dia mulai membersihkan lugutnya dan  menghaluskan ros nya dengan gerakan berlawanan arah dengan arah tumbuh daun.

Tidak terasa pada lengannya nampak sayatan-sayatan bambu yang merobek kulitnya hingga berdarah. Hal itu tak ia rasakan.  

Setelahnya ia bawa pulang batang bambu dengan tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Mbah Parto.

Sesampai di rumah dia ambil sisa cat dan segera dikuaskan ke batang bambu tersebut.

Esuk harinya ia bawa bambu beserta bendera itu ke tempat semula. Di lokasi itu nampak tidak ada perubahan. Batang bambu yang patah dulu masih ada di pinggir jalan setelah disingkirkannya. Dia pasang bendera itu pada batang bambunya. Dan ia ikatkan di talinya di beberapa tempat pada batang bambu. Dan dia berdirikan bendera itu. Pada bekas lobang tanamnya.

Bendera nampak berkibar ditiup angin. Melambai-lambai. Masih nampak jahitan bekas robek di kain bendera, Doni tersenyum melihatnya. Dia menghormat seraya berdiri tegak.      

Kulon Progo,  2019 – 2020



Tri Apriyadi,
penggiat sastra di komunitas Sastra-ku dan Forum Sastra-Teater Kulon Progo. Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya  Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...