Sabtu, 27 November 2021

 K A R Y A

 

MARJUDDIN SUAEB

 

Doa Alit Ulah Budhi

 

Niat sawiji memetri budaya jati.

Budaya laku dan laku budaya.

Dalam detik tak henti mengalir bersama lampah laku alam. Laku alam milikmu Gusti. Laku alam oleh cita cipta rasa karsa kami. Laku olah jiwa olah rasa olah cipta dalam laku bimbinganmu Gusti.

 

Gusti. Ijinkan kami melakui jalan itu.

Jalan memanusiai insan sejati kami.

Oleh setiap lampah laku sawiji satu

dalam gerak akrab alami..

Seiring sejalan dalam bimbingan

..ulah budi budaya tangan ketentuan garismu .Gusti.

Satu di jalan kami

Sawiji menyatu miara membina menghiduphidupkan bersamamu Gusti

......

 

Yk 2021

Marjudin Suaeb, adalah nama pena dari Marjudin Muhammad Jalal Sayuthi. Pendidikan terakhirnya di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi ini tulisannya dimuat sejumlah koran Jogja Semarang, Jakarta. Sering baca puisi dari kampung ke kampung, dari kampus ke kampus. Namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Menjadi narasumber berbagai kegiatan sastra. Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016) dan Teka Teki Abadi (Tonggak Pustaka, 2021). Puisi lain terkumpul di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan (penyair Insani), Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Pendapa taman siswa, Nyanyian Bukit Menoreh,  dan Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

*****-----*****

 


YAYUK WAHYUDI

 

Kado di Ruang Tunggu

 

Cicakpun boleh berdecak

Kenapa aku tak boleh berucap

Sepatah kata saja

Letusan sejuta duka

Mengapa kau ragu

Saat ku ingin berlalu

Relakan saja lepas bayangku

Bukankah tak ada lagi ruang itu  untukku

Andai saja kau mengerti

Langkah kaki lewati hari

Tiada jeda mengukir mimpi

Kenapa kini kau ragu ingin berlalu

Meski pernah kau bisikkan

Aku titik akhir petualangan mu

Diterminal biru Ku menunggu

Namun lalu-lalang petualang bermata jalang

Bagai pedang menghujam kalbu

Berlalu melempar kado  cerita pilu

Tinggalkan pesan segelas madu cuma mimpiku

              Sorjati, Nop 2921

 

Yayuk Wahyudi, adalah nama pena dari Sri Rahayu Yustina S.IP., MA. Lahir di Purworejo 27 Desember 1963. Disela-sela ketugasan sebagai PNS di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kulonprogo masih meluangkan waktu bergiat di Komunitas Sastra-Ku dan Forum Sastra-Teater Kabupaten Kulon Progo. Karyanya masuk di sejumlah buku antologi, diantaranya: Weling Sinangling (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2018) dan Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2019). Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Saat ini tinggal di Girimulyo Kulon Progo.

 

*****-----*****


FERA WAHYU PUSPITA

 

Petir dan Hujan Deras

 

Guyuran air di atas genteng

Lama kelamaan terjun di atas tanah

Membasahi muka bumi

Airmu nan elok besarnya

Hingga berlari ke arah sungai

Gelombang air tiada hentinya

Dentuman air sungai terdengar jelas

 

Tiba-tiba terdengar pecutan petir

Yang datang dengan tidak sopan

Dengan lancangnya kau kejutkan manusia

Tanpa merasa bersalah

Suaramu bagaikan harimau yang mengamuk

Menjadikan semua orang terpaku dan membisu

 

Pecutan petir semakin menggelegar

Hujan semakin tak terkendali

Air di sungai semakin deras

Bagaikan sebuah lautan

Membuat jantung ini bagaikan gelombang lautan

Raga ini sangat ketakutan

Tiada yang berani keluar sarang

 

Pagerharjo, November-2021

 

Fera Wahyu Puspita, siswi  SMP N 4 Samigaluh


*****-----*****


YATI DEO

 

"Maju Terus Pantang Mundur"

 

Asaku yang terbang ke angkasa

Mimpiku kusemayamkan di antara awan

Cita-cita kusembunyikan di antara mega yang membiru

Gemintang hanya menyaksikan tersenyum semu

Suatu saat kan kujemput dengan senyuman manis

Bentangan sayap patah untuk kembali utuh

Tiada kuinginkan rona mata yang berkaca-kaca

 

Duhai mentari ..., masih dimanakah? kejora yang kudamba

 

Wahai rembulan ..., kenapa? Kau tertawa manja

 

Ketika rintik hujan disambut kelabu angkasa

Saat gulita malam tanpa dihiasi bayang-bayang gemintang

 

Rintangan terbingkai kawat berduri mengikat erat

Cita-cita pun, inginkan terbang tinggi mencapai nirwana

Kaki serta tangan terikat kawat berkarat

 

Rasaku itu masih, selalu hidup tak akan pernah mengubur diri

 

Hingga jagat raya akan selalu menyaksikannya

Sampai keinginan itu, menyatakannya untuk nyata

Maju terus pantang mundur tak akan undur

 

Medan perang untuk bertempur melabai-lambai

Kesatria sejati pantang untuk lari

Berdiri tegak kokohkan langkah

 

Menggapai awan tertinggi meraih mimpi-mimpi

Untuk menunjukan sifat ahlaq terpuji

Simpati pribadi yang patut diteladani

 

Rangkasbitung,Banten 02112021

 

Yati Deo, adalah nama pena dari  Oyat Hayati, anak pertama dari dua bersaudara lahir dan dibesarkan di Ciamis Jabar, tanggal 13 Januari 1984.  Pendidikan terakhir SMA/sederajat. Pernah berpengalaman sebagai QC di PT Garmen. Moto hidupnya selalu optimis dalam menggapai cita-cita dalam meraih mimpi. Saat ini berdomisili di Lebak Rangkasbitung, Banten.

 

*****-----*****


YUNI SUKARTINAH

 

Cinta dan Setia

 

 

Ku duduk termenung

Menatap sinar tertutup mendung

Ku terdiam lalu bersenandung

Karena hati sedang di rundung

                        Mungkin ini sebuah ujian

                        Tuk melatih kesetiaan

                        Tuk melatih kesabaran

                        Agar kelak tak gelagapan

Tak mudah dijalani

Namun semua terikat janji

Rela dan ikhlas dasar utama

Tuk jalani ini semua

                        Kadang rindu menghimpit dada

                        Seakan hati ini tersiksa

                        Disini ku berdoa

                        Tuk mengiringi cinta kita

 

 

 

Sabtu, 20 November 2021

 

K A R Y A

NYAI DEWI BARDAL DERSANALA

 

Welinge Simbah

 

Ngger putuku bocah ayu

Iki jaman jamane lagi era eru

Kalabendu wus lumaku

Akeh pejabat morale bejat

Wong pangkat  mburu drajat

Lali sumpah dadi wakile rakyat

 

Akeh wong cilik  kanggo ancik ancik nggayuh unggul

Pawitan manising tembung bisa ngobong pari salumbung

 

Ngger putuku bocah bagus

Elinga pituture wong tuwa

Pigunakna unggah ungguh  basa lan tata krama

Kuwi sarana meper hawa angkara murka

 

Aja kulina dakwen

Open tembung kang ora piguna.

Muna muni den ngati ati

Pamrihe bisa slamet lakumu

Tumuju dalan bener tekan duk ing nguni

 

Aja keblinger janji manis ubaling apus krama

Tundhone ing samengko mung gawe perih

Yen pancen kanggo mbelani bener

Labuhana wani kanthi wutahing getih.

 

Nyai Dewi Bardal Dersanala, adalah nama pena dari Bardal, S.Pd.Jas yang saat ini kesehariannya mengajar sebagai Guru Olahraga Kesehatan. Aktif sebagai Pelestari Budaya Kraton, penulis sastra, penulis naskah drama kethoprak, penyanyi campursari, sinden, dhalang ruwat, rias pengantin, pendongeng bocah, dll. Buku yang pernah ditulis yaitu Oncek oncek Pala kependhem (berisikan Sejarah Dusun Cekelan, Sejarah Ki Sodewa). Karyanya berupa cerkak, geguritan, macapatan permah dimuat majalah Mekarsari, harian Kedaulatan Rakyat. Geguritannya dimuat di buku Weling Sinangling (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY 2018) dan Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( SastraKu, 2020), Duhkita ( Pusaka-Ku, 2021). Tinggal di Dayakan, Pengasih, Kulon Progo.


************________***********


ERNA DWI ASTUTI

 

Kadang Tani

 

Saka guru ekonomining negri

Nandur pari amrih amratani

Nggulawenthah ngrupti pratiwi

 

Linambaran niat kang suci

Marda mardikaning sesami

Palawija pinangka sarana

Mbudidaya marga pangupajiwa

 

Esuk enjang sorene sonten

Adus kringet ora kinten-kinten

Cukat trengginas sanak lan kadang

Tetep tumandang sanadyan akeh pepalang

Memuji ngandhapake atur

Mugi tuwuh kang sarwa tinandur


Banjarsari, 2021

 

Erna Dwi Astuti, seorang ibu rumah tangga yang menyenangi dunia tulis-menulis. Tulisannya, terutama geguritan telah dimuat di sejumlah media. Tinggal di Banjarsari, Samigaluh, Kulon Progo. 


*************----------***********


JENG ROSE

 

Kidung Lelaku

 

Sumeleting surya datan dadi pepalang

Anggonku lumaku ngetutake rasa

Kang wus  ora kuwawa menawa mung dak simpen

Ing sajroning dhadha

Munggah mudhun menggak-menggoking dalan

Datan gawe kedher anggonku bakal tetirah ngilangke sengker

 

Sawetara wektu anggonku lumaku

Bagaskara tumungkul ngudhari rasa

Sumiliring angin anggawa aruming dupa

Saya cetha keprungu kidung umbul donga

Alon aku tumapak ing paseban

 

Ing kono Ndika wus lenggah sawetara

Soroting netra kang kebak perbawa

Pasuryan sumunar kadya lintang

Solah bawa kang prasaja

Nedahake menawa Ndika priyagung kang tansah dadi tuladha

Tumrap sedaya kawula

 

Alusing budi lan kawaskithan katon nyawiji

Ora selak ati wus kayungyun

Kepengen nyesep ilining madu

Nyadhong wutahing ngelmu

Kang bisa kanggo sangu anggonku lumaku

Lan neges jatining agesang

                                                                                    Kembang Lampir, 22 Agustus 2021



Jeng Rose, adalah nama yang selalu disertakan dalam setiap karya perempuan bernama asli Rusmiyati. Dengan bekal ijazah S1 PGSD Universitas Terbuka UPBJJ Yogyakarta ia mengabdi sebagai Guru Tidak Tetap di SDN 2 Pandowan Galur KP sejak 2007. Geguritannya dimuat diantaranya di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( SastraKu, 2020), Duhkita ( Pusaka-Ku, 2021). Selain bidang Sastra Jawa ia juga menggeluti bidang seni tari (Alumni Akademi Seni Budaya Yogyakarta 2016), karawitan dan seniwati kethoprak . Saat ini tinggal di Galur, Kulon Progo.






Sabtu, 13 November 2021

K A R Y A

 

AGOES ANDIKA, ASK

 

 

 

Perempuan Pencari Bunga

 

 

Berapa tempat sudah kau sapu dan

menyapihnya jadi senyum pagi ini

semua terbuka dan memanggil perlahan

      "disini bunga ini akan tumbuh lagi"

memberi makna perburuan bisu

tidak dengan bahasa

atau lukisan aneh di matamu

 

tangan  bermain satu persatu di tanah

memungut keseharian pada niat itu

dan tetap merunduk

menangkar subuh

memasukkan bungabunga ke hati

dari naungan pepohonan berjejer

 

esok terlahir pagi yang lain

saat kau mengenal bahasa

dan mendengarnya dengan baik

    "bunga disini selalu menunggumu"

 

rumah tua, juli 2021

  

Agoes Andika, Ask. Lahir di Br. Baleagung Singaraja Bali, 5 maret 1963, anak sulung dari tiga bersaudara. Menulis puisi sejak di bangku SLTP dan berlanjut saat menetap di Mataram tahun 1981, dibimbing oleh Putu Arya Tirtawirya dan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1987 pernah diundang membaca puisi di TIM Jakarta bersama penyair tanah air lainnya. Sejak 2017 menetap di Singaraja Bali.

 

***----------***

 

 

SUS S. HARDJONO

 

 

 

Bulan Hujan

 

Telah selesai percakapan dengan hujan .

Tak lagi menggemuruh. Seakan menjauhi

Langit .

 

 

Hujan itu ragu -ragu ia tak menemukan kalimat pembuka

Percakapan yang pas. Hanya diam .

 

Dunia terasa sempit , seperti hidung yang diketubung tabung .

Tabung tabung gelembung udara yang mulai kering .

Udara yang mengelilingiku kemana aku berada di luar jangkauan tanganmu.

Dan aku seperti tersesat di hutan mimpi tak bisa keluar .

 

hujan bercakap sendiri. Iseng sendiri . Keyakinan sudah tak ada ujung .

Seperti jalan buntu dan kembali menyusuri ujung waktu .

Aku melihat orang-orang  menunduk . Orang orang sekeliling menjauh tak lagi merangkuli dan berjabat tangan . Kita begitu asiing satu sama lain

 

wajahnya terlihat cemas dan ketakutan .Takut mendekat .Seperti kesulitan

dimana udara dimana aku bisa mendapatkan udara terbuka, seperti surat surat terbuka yang

 

Sragen, 21

 

Sus S. Hardjono, alumni jurusan Bahasa dan Sastra FKIP UNS Solo. Memperoleh beberapa penghargaan di antaranya: Prasidatama Kategori Pendidik (Balai Bahasa Jateng, 2017) dan Prasidatama Kategori Puisi (Balai Bahasa Jateng, 2020). Buku Puisi terbarunya, Taman Rahasia (2021). Mengajar di MAN 1 Sragen Jawa Tengah.

 

 ***----------***

 

 

 

Eva Nurul Khasanah

 

 

 

Lebih Dulu Tiada

 

 

kau tersenyum lebar

ceria dalam racikan tawa

tegap setegar awan

sebentar lagi menjadi butiran hujan

 

siapa sangka?

siapa duga?

 

sedang kausimpan kesampingkan

dia sebenar-benar rasa

hingga menjadi sehambar suasana

antara senyum dan tetes air mata

yang belum sempat ada

namun, lebih dulu tiada

 

Yogyakarta, 17 Juni 2021

  

 


Eva Nurul Khasanah,
lahir tgl 1 Juni 1999, mahasiswi Prodi PBSI Universitas PGRI Yogyakarta (UPY).  Puisi berjudul "105 Kata untuk Mimpi Ku" mendapat juara 3 di Pekan Jurnalistik yang diadakan kampusnya. Karyanya tersiar di sejumlah media online dan antologi bersama.  Sekretaris komunitas Sastra-Ku ini tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

Sabtu, 06 November 2021

 Pending

Karya : Ragil Prasedewo

             Beberapa kali Suratmi berkunjung ke rumah Ayu, sahabatnya dari kecil yang ternyata menikahi sepupunya. Bukan untuk mencurahkan isi hati namun untuk sekadar mengirimkan pesan singkat karena memang tidak memiliki telepon pintar. Belum punya tepatnya. Bukannya ia tidak ingin mengikuti tren zaman. Anak-anaknya lebih membutuhkan gizi seimbang daripada pulsa atau kuota untuk berpansos ria.

Sudah minggu ketiga sejak terakhir kalinya ke rumah Ayu namun belum juga ada balasan dari Sugi, suami tercinta yang telah meninggalkannya beserta kedua buah hatinya selama kurang lebih dua tahun. Pamitnya bekerja di sebuah kapal milik Tiongkok, namun kemarin ketika menengok berita di televisi kapalnya telah mendarat di Surabaya. Langkahnya cepat, dagunya berulangkali diremasnya, tanda meningkatnya hormon kortisol. Ini adalah hari di mana sepatutnya ia mendapat kabar bahwa seluruh kru telah sampai darat.

Apa jangan-jangan belahan hatinya kini sedang menjalani karantina yang dianjurkan oleh pemerintah? Atau telepon selularnya hilang? Tapi tidak mungkin, kemarin lusa ia lihat tanda centang biru terpampang nyata di layar telepon, itu tandanya telah dibaca oleh penerima. Tapi hari ini status pesan hanya berupa jam dan terakhir kali centang satu.

Beberapa praduga yang kerap kali terlintas di benak Suratmi beberapa kali juga ia mencoba untuk menepis semua itu. Ia tetap berbaik sangka dengan Sang Maha Pemilik Kuasa. Tapi anak-anaknya tidak bisa menunggu lebih lama, kadang Noval sering mengigau karena ikatan batinnya lebih dekat dengan sang bapak. Anehnya, sang adik lebih tenang. Ya, mungkin karena tumbuh kembangnya jarang ditemani oleh bapaknya,

“Bu, bapak kok belum pulang ya?” tanya Noval yang kesekian kali, tepat saat Suratmi telah duduk dari cemasnya.

Sambil mengangkat Noval ke pangkuannya disertai seringai karena beratnya kini telah naik lima kali lipat dari tahun lalu, mungkin memang tipikal tubuhnya mengikuti gen dari Sugi.

“Sabar ya Nak, Bapakmu pasti pulang.”

Senyumnya menutup pembicaraan agar anaknya sedikit lebih tenang meskipun jawabannya tidak seperti yang ia harapkan. Walau Suratmi hanya mengatakan pasti yang menandakan bahwa suatu saat akan pulang namun entah kapan. Ia juga tidak bisa berlama-lama untuk menjaga kepastian menjadi sebuah ketidakpastian, ia juga harus mengusir kecemasan setiap kali mertuanya datang menjenguk Noval, disertai wejangan panas yang selalu ia iyakan.

“Semua juga akan tiba saatnya bu,”

“Tapi anak-anakmu juga butuh gizi, kalau kalian tidak kerja sama bagaimana nasib cucuku?”

Sudah lelah sebenarnya mendengar wejangan dari sang mertua yang ia hormati, Suratmi tidak sekalipun bisa tinggal diam. Ia nekat untuk pergi ke Surabaya demi memastikan kondisi suaminya. Ia sudah tidak bisa menahan sabar tapi juga tidak bisa meluapkan emosi di rumah. Nasib baik ia punya kenalan sewaktu sekolah yang kini bekerja di bagian imigrasi Surabaya. Noval dan si bungsu dititipkan kepada mertuanya dengan berat hati selama sepuluh jam. Menurut rencana perhitungan yang telah ia persiapkan masak-masak semenjak pemerintah mengumumkan ada kasus penularan baru di ibu kota, sepertinya cukup untuk mengetahui kabar, entah manis atau getir yang didapat ia harus tetap kembali dengan tegar.

Empat jam perjalanan pun terasa kebas dan sama sekali tidak memedulikan penumpang lain yang silih berganti bertukar kursi dengan menatapnya heran. Melamun, menunduk, melihat keluar jendela begitu seterusnya. Sejak kelahiran si bungsu memang mertuanya lebih menuntut. Tekanan tersebut membuat Suratmi kembali menjadi buruh di sebuah pabrik roti yang lumayan jauh dari jangkauan buah hatinya. Sebelum pergi pun Sugi berpesan agar tidak perlu bekerja, uang transferan juga sebenarnya lancar jaya. Tapi melalui rekening sang mertua, tiap kali mertuanya berkunjung hanya dibellikan susu dan jajanan untuk Noval dan adiknya. Mungkin banyak kebutuhan yang harus dibebankan, Suratmi tidak mau berpikir macam-macam dan selalu ia usahakan manut akan dawuh dari sang ibu mertua. Karena orangtua satu-satunya hanya tinggal dia. Bapak-Ibu Suratmi sudah lama tiada sejak ia tamat SMA. Maka ia harus sama baktinya ketika sudah menjalin rumah tangga.

***

Kakinya masih bertenaga setelah sampai di sebuah rumah berukuran sedang dengan taman kecil dan sepeda roda tiga yang disinyalir milik Azka, anak Shanti temannya yang bekerja di imigrasi. Ia mencoba mengetuk tiga kali untuk memecah sunyi hingga akhirnya suara televisi di dalam rumah mengecil di sertai dengan langkah kaki menuju pintu menyambut wanita yang sudah kusut lahir batin tak karuan.

“Suratmi?! Kamu sama siapa?”

“Sendiri Shan,”

“Ya ampun, ayo masuklah.”

“Iya, makasih. Maaf sebelumnya mengganggu kamu malam-malam.”

“Aku yang minta maaf, rumahku berantakan, naik apa kamu dari Jogja?”

“Biasa,”

“Mau minum apa?”

“Nda perlu repot-repot, aku cuma sebentar kok.”

“Hus! Mau kemana malam-malam begini, paling juga bus terakhir sudah ndak nyandak. Sudah menginap di sini saja, anggap rumah sendiri.”

“Kasihan Noval nanti kalau saya nda ada di rumah,”

“Kasihan lagi kalau nanti dirimu jatuh sakit kecapekan, apalagi Noval sudah punya adik kan katanya. Percoyo’o mbek aku, boboko ndek kene wae. Sesuk isuk lagi moleh.” dibalasnya hanya dengan anggukan.

Dulu Shanti menjadi teman curhatnya di SMA selain Ayu, baiknya minta ampun. mereka bertiga memang sangat akrab bahkan hingga akhirnya Shanti memilih merantau di Surabaya dan menemukan kekasihnya, dibelikannya travel untuk ia dan Ayu untuk menghadiri pesta pernikahannya. Shanti kembali dengan dua gelas berisi teh panas dan toples berisi emping jagung.

“Nih, aku baru saja menggorengnya tadi sore, cemilan kita waktu sekolah dulu,”

“Iya, jadi kangen masa-masa itu ya.” matanya berbinar menunduk menembus gelas.

“Jadi begini Shan, aku cemas dengan keadaan mas Sugi.”

Shanti terdiam, ia bingung bagaimana akan menceritakan hal ini kepada Suratmi, rencananya akan disampaikan keesokan paginya. Namun takdir ingin mempercepat lajunya, dan kini sahabatnya datang jauh-jauh hanya ingin mengetahui kabar suaminya. Berat sekali mengatakannya hingga lututnya ikut bergetar.

“Suratmi, aku tidak tega bilang hal ini padamu, tadi sore selepas maghrib beritanya baru saja sampai dan akan aku sampaikan besok pagi.”

Suratmi menunduk, air matanya terjatuh satu demi satu membasahi telapak tangannya yang kini berurat tipis.

“Aku coba mengikhlaskan segala hal yang terjadi pada mas Sugi, Shan. Insyaallah aku ikhlas walau berat.” Shanti memeluk erat Suratmi yang kini bergoncang dengan tangisnya,

Istighfar ya mi, suamimu sudah tiada. Jenazahnya pun dibuang ke laut oleh pemilik kapal. Katanya ia juga terterinfeksi." Keduanya menangis, mengisi kepiluan ditengah embun yang mulai membentuk di ujung dedaunan. Bahkan Suratmi tidak bisa melihat senyum terakhir suaminya.

Jogja, 11 Mei 2020

Ragil Prasedewo, Lahir di Jakarta 29 tahun silam. Seorang seniman awam dengan banyak  ide dan ketertarik-an. Mulai dari sastra, seni tari, karawitan, ketoprak hingga batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis pada beberapa sekolah dasar di Kulon Progo. Minatnya pada sastra telah menghasilkan beberapa karya. Puisinya berjudul “Senja di Atas Parangtritis” masuk di buku Antologi Ta’aruf Penyair Muda Indonesia (Soul Media Academy, 2016). Sedangkan Serdadu Api (Guepedia, 2020) adalah antologi puisi tunggalnya. Cerpennya dimuat di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku) dan Duhkita (PusakaKu, 2021). Jika ingin berinteraksi kepada penulis bisa lewat surel  ragil.iou@gmail.com atau WA 083862730832.

 

 

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...