Pending
Karya : Ragil
Prasedewo
Sudah minggu ketiga sejak terakhir kalinya ke rumah Ayu namun
belum juga ada balasan dari Sugi, suami tercinta yang telah meninggalkannya
beserta kedua buah hatinya selama kurang lebih dua tahun. Pamitnya bekerja di
sebuah kapal milik Tiongkok, namun kemarin ketika menengok berita di televisi
kapalnya telah mendarat di Surabaya. Langkahnya cepat, dagunya berulangkali diremasnya, tanda
meningkatnya hormon kortisol. Ini adalah hari di mana sepatutnya ia mendapat kabar bahwa
seluruh kru telah sampai darat.
Apa jangan-jangan belahan hatinya kini sedang menjalani
karantina yang dianjurkan oleh pemerintah? Atau telepon selularnya hilang? Tapi
tidak mungkin, kemarin lusa ia lihat tanda centang biru terpampang nyata di
layar telepon, itu tandanya telah dibaca oleh penerima. Tapi hari ini status
pesan hanya berupa jam dan terakhir kali centang satu.
Beberapa praduga yang kerap kali terlintas di benak Suratmi
beberapa kali juga ia mencoba untuk menepis semua itu. Ia tetap berbaik sangka dengan Sang Maha
Pemilik Kuasa. Tapi anak-anaknya tidak bisa menunggu lebih lama, kadang Noval
sering mengigau karena ikatan batinnya lebih dekat dengan sang bapak. Anehnya, sang adik lebih tenang. Ya, mungkin karena tumbuh kembangnya
jarang ditemani oleh bapaknya,
“Bu, bapak kok belum pulang ya?” tanya Noval yang kesekian
kali, tepat saat Suratmi telah duduk dari cemasnya.
Sambil mengangkat Noval ke pangkuannya disertai seringai
karena beratnya kini telah naik lima kali lipat dari tahun lalu, mungkin memang
tipikal tubuhnya mengikuti gen dari Sugi.
“Sabar ya Nak,
Bapakmu pasti pulang.”
Senyumnya
menutup pembicaraan agar anaknya sedikit lebih tenang meskipun jawabannya tidak
seperti yang ia harapkan. Walau Suratmi hanya mengatakan pasti yang menandakan
bahwa suatu saat akan pulang namun entah kapan. Ia juga tidak bisa berlama-lama
untuk menjaga kepastian menjadi sebuah ketidakpastian, ia juga harus mengusir
kecemasan setiap kali mertuanya datang menjenguk Noval, disertai wejangan panas
yang selalu ia iyakan.
“Semua juga akan tiba saatnya bu,”
“Tapi anak-anakmu juga butuh gizi, kalau kalian tidak kerja
sama bagaimana nasib cucuku?”
Sudah
lelah sebenarnya mendengar wejangan dari sang mertua yang ia hormati, Suratmi
tidak sekalipun bisa tinggal diam. Ia nekat untuk pergi ke Surabaya demi
memastikan kondisi suaminya. Ia sudah tidak bisa menahan sabar tapi juga tidak
bisa meluapkan emosi di rumah. Nasib baik ia punya kenalan sewaktu sekolah yang
kini bekerja di bagian imigrasi Surabaya. Noval dan si bungsu dititipkan kepada
mertuanya dengan berat hati selama sepuluh jam. Menurut rencana perhitungan
yang telah ia persiapkan masak-masak semenjak pemerintah mengumumkan ada kasus
penularan baru di ibu kota, sepertinya cukup untuk mengetahui kabar, entah
manis atau getir yang didapat ia harus tetap kembali dengan tegar.
Empat jam perjalanan pun terasa kebas dan sama sekali tidak
memedulikan penumpang lain yang silih berganti bertukar kursi dengan menatapnya
heran. Melamun, menunduk, melihat keluar jendela begitu seterusnya. Sejak
kelahiran si bungsu memang mertuanya lebih menuntut. Tekanan tersebut membuat
Suratmi kembali menjadi buruh di sebuah pabrik roti yang lumayan jauh dari jangkauan
buah hatinya. Sebelum pergi pun Sugi berpesan agar tidak perlu bekerja, uang
transferan juga sebenarnya lancar jaya. Tapi melalui rekening sang mertua, tiap
kali mertuanya berkunjung hanya dibellikan susu dan jajanan untuk Noval dan
adiknya. Mungkin banyak kebutuhan yang harus dibebankan, Suratmi tidak mau
berpikir macam-macam dan selalu ia usahakan manut akan dawuh dari sang ibu
mertua. Karena orangtua satu-satunya hanya tinggal dia. Bapak-Ibu Suratmi sudah
lama tiada sejak ia tamat SMA. Maka ia harus sama baktinya ketika sudah
menjalin rumah tangga.
***
Kakinya masih bertenaga setelah sampai di sebuah rumah
berukuran sedang dengan taman kecil dan sepeda roda tiga yang disinyalir milik
Azka, anak Shanti temannya yang bekerja di imigrasi. Ia mencoba mengetuk tiga
kali untuk memecah sunyi hingga akhirnya suara televisi di dalam rumah mengecil
di sertai dengan langkah kaki menuju pintu menyambut wanita yang sudah kusut
lahir batin tak karuan.
“Suratmi?! Kamu sama siapa?”
“Sendiri Shan,”
“Ya ampun, ayo masuklah.”
“Iya, makasih. Maaf sebelumnya mengganggu kamu malam-malam.”
“Aku yang minta maaf, rumahku berantakan, naik apa kamu dari
Jogja?”
“Biasa,”
“Mau minum apa?”
“Nda perlu repot-repot, aku cuma sebentar kok.”
“Hus! Mau kemana malam-malam begini, paling juga bus
terakhir sudah ndak
nyandak. Sudah menginap di sini saja, anggap
rumah sendiri.”
“Kasihan Noval nanti kalau saya nda ada di rumah,”
“Kasihan lagi kalau nanti dirimu jatuh sakit kecapekan,
apalagi Noval sudah punya adik kan katanya. Percoyo’o mbek aku, boboko ndek
kene wae. Sesuk isuk lagi moleh.” dibalasnya hanya dengan anggukan.
Dulu Shanti menjadi teman curhatnya di SMA selain Ayu,
baiknya minta ampun. mereka bertiga memang sangat akrab bahkan hingga akhirnya
Shanti memilih merantau di Surabaya dan menemukan kekasihnya, dibelikannya
travel untuk ia dan Ayu untuk menghadiri pesta pernikahannya. Shanti kembali
dengan dua gelas berisi teh panas dan toples berisi emping jagung.
“Nih, aku baru saja menggorengnya tadi sore, cemilan kita
waktu sekolah dulu,”
“Iya, jadi kangen masa-masa itu ya.” matanya berbinar
menunduk menembus gelas.
“Jadi begini Shan, aku cemas dengan keadaan mas Sugi.”
Shanti terdiam, ia bingung bagaimana akan menceritakan hal
ini kepada Suratmi, rencananya akan disampaikan keesokan paginya. Namun takdir
ingin mempercepat lajunya, dan kini sahabatnya datang jauh-jauh hanya ingin
mengetahui kabar suaminya. Berat sekali mengatakannya hingga lututnya ikut
bergetar.
“Suratmi, aku tidak tega bilang hal ini padamu, tadi sore
selepas maghrib beritanya baru saja sampai dan akan aku sampaikan besok pagi.”
Suratmi menunduk, air matanya terjatuh satu demi satu
membasahi telapak tangannya yang kini berurat tipis.
“Aku coba mengikhlaskan segala hal yang terjadi pada mas
Sugi, Shan. Insyaallah aku ikhlas walau berat.” Shanti memeluk erat Suratmi
yang kini bergoncang dengan tangisnya,
“Istighfar ya mi,
suamimu sudah tiada. Jenazahnya pun dibuang ke laut oleh
pemilik kapal. Katanya ia juga terterinfeksi."
Keduanya menangis, mengisi kepiluan
ditengah embun yang mulai membentuk di ujung dedaunan. Bahkan Suratmi tidak
bisa melihat senyum terakhir suaminya.
Jogja, 11 Mei 2020
Ragil Prasedewo, Lahir di Jakarta 29 tahun silam. Seorang seniman awam dengan banyak ide dan ketertarik-an. Mulai dari sastra, seni tari, karawitan, ketoprak hingga batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis pada beberapa sekolah dasar di Kulon Progo. Minatnya pada sastra telah menghasilkan beberapa karya. Puisinya berjudul “Senja di Atas Parangtritis” masuk di buku Antologi Ta’aruf Penyair Muda Indonesia (Soul Media Academy, 2016). Sedangkan Serdadu Api (Guepedia, 2020) adalah antologi puisi tunggalnya. Cerpennya dimuat di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku) dan Duhkita (PusakaKu, 2021). Jika ingin berinteraksi kepada penulis bisa lewat surel ragil.iou@gmail.com atau WA 083862730832.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar