Sabtu, 06 November 2021

 Pending

Karya : Ragil Prasedewo

             Beberapa kali Suratmi berkunjung ke rumah Ayu, sahabatnya dari kecil yang ternyata menikahi sepupunya. Bukan untuk mencurahkan isi hati namun untuk sekadar mengirimkan pesan singkat karena memang tidak memiliki telepon pintar. Belum punya tepatnya. Bukannya ia tidak ingin mengikuti tren zaman. Anak-anaknya lebih membutuhkan gizi seimbang daripada pulsa atau kuota untuk berpansos ria.

Sudah minggu ketiga sejak terakhir kalinya ke rumah Ayu namun belum juga ada balasan dari Sugi, suami tercinta yang telah meninggalkannya beserta kedua buah hatinya selama kurang lebih dua tahun. Pamitnya bekerja di sebuah kapal milik Tiongkok, namun kemarin ketika menengok berita di televisi kapalnya telah mendarat di Surabaya. Langkahnya cepat, dagunya berulangkali diremasnya, tanda meningkatnya hormon kortisol. Ini adalah hari di mana sepatutnya ia mendapat kabar bahwa seluruh kru telah sampai darat.

Apa jangan-jangan belahan hatinya kini sedang menjalani karantina yang dianjurkan oleh pemerintah? Atau telepon selularnya hilang? Tapi tidak mungkin, kemarin lusa ia lihat tanda centang biru terpampang nyata di layar telepon, itu tandanya telah dibaca oleh penerima. Tapi hari ini status pesan hanya berupa jam dan terakhir kali centang satu.

Beberapa praduga yang kerap kali terlintas di benak Suratmi beberapa kali juga ia mencoba untuk menepis semua itu. Ia tetap berbaik sangka dengan Sang Maha Pemilik Kuasa. Tapi anak-anaknya tidak bisa menunggu lebih lama, kadang Noval sering mengigau karena ikatan batinnya lebih dekat dengan sang bapak. Anehnya, sang adik lebih tenang. Ya, mungkin karena tumbuh kembangnya jarang ditemani oleh bapaknya,

“Bu, bapak kok belum pulang ya?” tanya Noval yang kesekian kali, tepat saat Suratmi telah duduk dari cemasnya.

Sambil mengangkat Noval ke pangkuannya disertai seringai karena beratnya kini telah naik lima kali lipat dari tahun lalu, mungkin memang tipikal tubuhnya mengikuti gen dari Sugi.

“Sabar ya Nak, Bapakmu pasti pulang.”

Senyumnya menutup pembicaraan agar anaknya sedikit lebih tenang meskipun jawabannya tidak seperti yang ia harapkan. Walau Suratmi hanya mengatakan pasti yang menandakan bahwa suatu saat akan pulang namun entah kapan. Ia juga tidak bisa berlama-lama untuk menjaga kepastian menjadi sebuah ketidakpastian, ia juga harus mengusir kecemasan setiap kali mertuanya datang menjenguk Noval, disertai wejangan panas yang selalu ia iyakan.

“Semua juga akan tiba saatnya bu,”

“Tapi anak-anakmu juga butuh gizi, kalau kalian tidak kerja sama bagaimana nasib cucuku?”

Sudah lelah sebenarnya mendengar wejangan dari sang mertua yang ia hormati, Suratmi tidak sekalipun bisa tinggal diam. Ia nekat untuk pergi ke Surabaya demi memastikan kondisi suaminya. Ia sudah tidak bisa menahan sabar tapi juga tidak bisa meluapkan emosi di rumah. Nasib baik ia punya kenalan sewaktu sekolah yang kini bekerja di bagian imigrasi Surabaya. Noval dan si bungsu dititipkan kepada mertuanya dengan berat hati selama sepuluh jam. Menurut rencana perhitungan yang telah ia persiapkan masak-masak semenjak pemerintah mengumumkan ada kasus penularan baru di ibu kota, sepertinya cukup untuk mengetahui kabar, entah manis atau getir yang didapat ia harus tetap kembali dengan tegar.

Empat jam perjalanan pun terasa kebas dan sama sekali tidak memedulikan penumpang lain yang silih berganti bertukar kursi dengan menatapnya heran. Melamun, menunduk, melihat keluar jendela begitu seterusnya. Sejak kelahiran si bungsu memang mertuanya lebih menuntut. Tekanan tersebut membuat Suratmi kembali menjadi buruh di sebuah pabrik roti yang lumayan jauh dari jangkauan buah hatinya. Sebelum pergi pun Sugi berpesan agar tidak perlu bekerja, uang transferan juga sebenarnya lancar jaya. Tapi melalui rekening sang mertua, tiap kali mertuanya berkunjung hanya dibellikan susu dan jajanan untuk Noval dan adiknya. Mungkin banyak kebutuhan yang harus dibebankan, Suratmi tidak mau berpikir macam-macam dan selalu ia usahakan manut akan dawuh dari sang ibu mertua. Karena orangtua satu-satunya hanya tinggal dia. Bapak-Ibu Suratmi sudah lama tiada sejak ia tamat SMA. Maka ia harus sama baktinya ketika sudah menjalin rumah tangga.

***

Kakinya masih bertenaga setelah sampai di sebuah rumah berukuran sedang dengan taman kecil dan sepeda roda tiga yang disinyalir milik Azka, anak Shanti temannya yang bekerja di imigrasi. Ia mencoba mengetuk tiga kali untuk memecah sunyi hingga akhirnya suara televisi di dalam rumah mengecil di sertai dengan langkah kaki menuju pintu menyambut wanita yang sudah kusut lahir batin tak karuan.

“Suratmi?! Kamu sama siapa?”

“Sendiri Shan,”

“Ya ampun, ayo masuklah.”

“Iya, makasih. Maaf sebelumnya mengganggu kamu malam-malam.”

“Aku yang minta maaf, rumahku berantakan, naik apa kamu dari Jogja?”

“Biasa,”

“Mau minum apa?”

“Nda perlu repot-repot, aku cuma sebentar kok.”

“Hus! Mau kemana malam-malam begini, paling juga bus terakhir sudah ndak nyandak. Sudah menginap di sini saja, anggap rumah sendiri.”

“Kasihan Noval nanti kalau saya nda ada di rumah,”

“Kasihan lagi kalau nanti dirimu jatuh sakit kecapekan, apalagi Noval sudah punya adik kan katanya. Percoyo’o mbek aku, boboko ndek kene wae. Sesuk isuk lagi moleh.” dibalasnya hanya dengan anggukan.

Dulu Shanti menjadi teman curhatnya di SMA selain Ayu, baiknya minta ampun. mereka bertiga memang sangat akrab bahkan hingga akhirnya Shanti memilih merantau di Surabaya dan menemukan kekasihnya, dibelikannya travel untuk ia dan Ayu untuk menghadiri pesta pernikahannya. Shanti kembali dengan dua gelas berisi teh panas dan toples berisi emping jagung.

“Nih, aku baru saja menggorengnya tadi sore, cemilan kita waktu sekolah dulu,”

“Iya, jadi kangen masa-masa itu ya.” matanya berbinar menunduk menembus gelas.

“Jadi begini Shan, aku cemas dengan keadaan mas Sugi.”

Shanti terdiam, ia bingung bagaimana akan menceritakan hal ini kepada Suratmi, rencananya akan disampaikan keesokan paginya. Namun takdir ingin mempercepat lajunya, dan kini sahabatnya datang jauh-jauh hanya ingin mengetahui kabar suaminya. Berat sekali mengatakannya hingga lututnya ikut bergetar.

“Suratmi, aku tidak tega bilang hal ini padamu, tadi sore selepas maghrib beritanya baru saja sampai dan akan aku sampaikan besok pagi.”

Suratmi menunduk, air matanya terjatuh satu demi satu membasahi telapak tangannya yang kini berurat tipis.

“Aku coba mengikhlaskan segala hal yang terjadi pada mas Sugi, Shan. Insyaallah aku ikhlas walau berat.” Shanti memeluk erat Suratmi yang kini bergoncang dengan tangisnya,

Istighfar ya mi, suamimu sudah tiada. Jenazahnya pun dibuang ke laut oleh pemilik kapal. Katanya ia juga terterinfeksi." Keduanya menangis, mengisi kepiluan ditengah embun yang mulai membentuk di ujung dedaunan. Bahkan Suratmi tidak bisa melihat senyum terakhir suaminya.

Jogja, 11 Mei 2020

Ragil Prasedewo, Lahir di Jakarta 29 tahun silam. Seorang seniman awam dengan banyak  ide dan ketertarik-an. Mulai dari sastra, seni tari, karawitan, ketoprak hingga batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis pada beberapa sekolah dasar di Kulon Progo. Minatnya pada sastra telah menghasilkan beberapa karya. Puisinya berjudul “Senja di Atas Parangtritis” masuk di buku Antologi Ta’aruf Penyair Muda Indonesia (Soul Media Academy, 2016). Sedangkan Serdadu Api (Guepedia, 2020) adalah antologi puisi tunggalnya. Cerpennya dimuat di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Sastra-Ku) dan Duhkita (PusakaKu, 2021). Jika ingin berinteraksi kepada penulis bisa lewat surel  ragil.iou@gmail.com atau WA 083862730832.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...