Sabtu, 14 November 2020

K A R Y A

 

Sihir Bathara Kala

Cerpen : Liring Anindya Maharani 

 

            Rintik hujan turun membasahi sepanjang Jalan Angkasa. Bau tanah basah menguat bercampur aroma kopi yang kuminum. Meja nomor 29 terlihat begitu penuh sesak dengan buku-buku materi yang harus kulahap habis dalam waktu dua bulan. Sekilas tampak membosankan jika berhadapan dengan tumpukan kertas yang membuat kepala pening. Padahal, realitasnya aku begitu menikmati setiap deretan kalimat yang tercetak pongah di atas lembaran kertas.

Aku mengedarkan pandangan menyapu seluruh sudut kafe langgananku. Rupanya kafe ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Hampir saja aku tidak menemukan bangku kosong yang tersisa di tengah-tengah pengunjung yang sibuk dengan gawai, buku, bahkan canda. Hmm...... tidak begitu buruk, aku harus kembali fokus dengan materi bahasa indonesia-ku. Bibirku tersungging senyum tipis tatkala tulisan dengan tinta sedikit pudar menyembul dari balik buku harianku.

“Jangan pernah protes jika tidak tahu apa itu progres.”

-Bathara Kala-

Kalamandanu Pradipta

 

Sekilas kalimat tersebut tidak memiliki arti yang penting. Sederet kalimat yang bahkan dianggap hiperbola, atau sebuah ungkapan yang mengindikasikan omong kosong belaka. Padahal kalau ditilik dari sudut pandangku, ini adalah semacam sumbu bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Semua orang dapat mengatakan kalimat tersebut, hanya saja perihal rasa yang membedakan. Terima kasih atas segala kalimat ajaibmu yang sukses menjadi abid motivasiku. Kenangan itu menyeruak seperti sebuah kaset yang terputar, indahnya.

###

            Rembang petang dengan awan kelabu menggantung di langit terlihat begitu menawan. Kuangkat kamera ponsel dan membidik lalu lalang kendaraan yang padat merayap hendak pulang pergi. Aku menghela napas kasar mengapa badanku terasa kaku dan lesu. Padahal aku hanya sekadar berdiam diri di ruang OSIS mengerjakan laporan program kerja bulanan. Jiwa lemah! Begitu saja mengeluh, aku bergidik pelan membayangkan jiwa lemahku yang satu ini. Ingin menyangkal, namun realitas begitu kuat. Netraku memincing tatkala melihat segerombolan remaja termasuk dirimu yang tengah sibuk bercanda ria dengan baju almamater sekolah yang sama dengan milikku.

            “Sial,” ucapku lirih dengan gelagat tubuh ketakutan.

            Aku berjalan pelan mendekati gerombolanmu seraya memantapkan sendi-sendi lutut agar tidak jatuh gemetaran di depan teman-temanmu. Semakin dekat, aku dapat merasakan jantungku bedetak kencang serasa ingin melompat dari tempatnya. Aih... perasaan macam apa ini? Mau tidak mau aku harus menyapa kakak kelasku, bukankah itu terdengar bagus?

            “Per... permisi kakak-kakak,” sapaku dengan suara gemetar yang kentara sekali.

            “......”

            “Ya dek.”

Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Satu banding delapan yang menjawab,dan itu hanya suaramu seorang. Aku tersenyum miris seraya melanjutkan langkahku menuju rumah. Masa putih abu-abuku terasa monoton dengan segala tuntunan yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling.

            “Punya kepala pusing, tidak punya kepala serem. Aih, ya sudah terimalah jiwamu yang bolong, kosong, dan melompong,” ucapku seraya bermonolog pada diri sendiri.

###

            Rabu kelabu pukul tujuh, bulan November benar-benar payah. Sudah seminggu ini langit selalu murung seakan mampu melenyapkan segala binar bahagia dari setiap wajah manusia. Aku melepas jaket dan berlari tergesa-gesa memasuki ruang OSIS.

            “Permisi kak,”

            “Maaf tidak sengaja.”

            “Permisi,”

Sudah kesekian kalinya aku mengucapkan kalimat tersebut sembari melangkahkan kaki. Aku harus menyerahkan file program kerja pada koordinator tepat pukul 07.00 –dan aku sudah terlambat sejak lima menit yang lalu. Sesampai di depan pintu, aku sibuk mengatur deru napas yang bersahut-sahutan keluar masuk dari mulut.

            “Reya, mana file prokermu? Kenapa kamu tidak disiplin?!” ucapmu menggelegar menyambut kedatanganku di ruang OSIS. Aku berdiri mematung tidak berani menatap wajahmu.

            “Kenapa tidak segera masuk? Sini! Mana file nya?”

Aku terkesiap merasa serba salah. Lalu, dengan gugup aku menjawab, “Baik kak, ini file nya. Maaf saya terlambat karena bangun kesiangan kak.”

Aku merasa mendapatkan tatapan tajam dari anggota OSIS lain, terkecuali denganmu. Kulihat kamu tersenyum tipis mendengar alasan klasikku. Haha.. ironi bukan?

“Hm, ya sudahlah. Silakan tanda tangan dahulu di tempat Kak Nova ya,” ucapmu seraya beringsut pergi menuju meja kerjamu. Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, kulangkahkan kakiku menuju meja Nova yang tengah menatapku sinis seakan mengobarkan tatapan kebencian.

“Maaf kak, saya ingin tanda tangan pengumpulan proker.”,

“Hallah, jadi bocah aja sok-sokan. Mana tanggung jawabmu? Tidak usah buat alasan bohong bangun kesiangan segala. Kalau tidak bisa diandalkan, kenapa jadi anak organisasi? Mau numpang tenar ya, ngaku! Sama kakak kelas saja tidak sopan, mau jadi apa kamu?” bisik Nova sembari menyilangkan tangannya di depan dada,

“Maaf kak, saya bukan seperti yang kakak duga. Perihal saya terlambat adalah murni kejujuran saya kak. Disini saya salah, tapi tolong jangan mengucapkan kalimat yang mengandung ujaran kebencian terhadap saya,” ucapku lirih tak kalah berbisik.

Kulihat perempuan itu menatapku dengan wajah memerah dan mata melotot sedemikian rupa.

Plak...!!!

Suara tamparan nyaring diikuti teriakanmu memanggil namaku menjadi pusat perhatian di ruangan ini. Aku menatap Nova tidak percaya, sudut bibirku robek dan berkedut perih ketika kusentuh.

            “Wow, terima kasih atas hadiahnya kakak cantik. Saya permisi.”

            Aku bergegas keluar ruangan dengan mata berkaca-kaca. Samar-samar kudengar kamu beradu pendapat yang menurutku sama sekali tidak penting. Aku merasa sangat lelah dengan semuanya di tanah Angkasa. Kakiku melangkah menuju bangku kosong kafe seberang sekolah yang masih sepi oleh pengunjung di pagi mendung. Aku menenggelamkan wajahku di lipatan tangan, dan entah bagaimana bisa tangisku pecah dan terdengar pilu. Aku sama sekali tidak mengharapkan hadirmu kala itu, namun  rupanya takdir berkata lain.

            “Re? Maafkan Kak Nova ya?” bujukmu berusaha mengajakku bicara. Aku terus menangis tanpa mempedulikan kehadiranmu. Sadar kuabaikan, kamu juga memilih bungkam.

            “Kak Kala, Reya capek sekolah di Angkasa. Semua benci Reya. Reya tertekan, dan Reya ingin pindah sekolah.”,

            “Hei bagian mana yang membuatmu tertekan?” selidikmu dengan alis terangkat satu,

            “......”

            Aku tidak segera menjawab pertanyaanmu. Kulemparkan pandanganku menatap awan mendung yang masih setia berada di posisi semula. Benar-benar tanpa binar.

“Reya, Kamu mungkin pernah mendengar sekitarmu berbicara tentang seseorang yang tiba-tiba saja membuatmu merasa jatuh berlebihan atau tak mau lagi menunjukkan atensimu.”

“Mungkin juga pernah merasa tersisihkan karena saat hadirmu, semua orang seperti memusuhimu. Hal itu terkadang membuatmu sedih sepanjang waktu, mempertanyakan diri pada semesta tentang apa yang salah. Atau mungkin kamu juga pernah melihat sekelilingmu seperti menatapmu penuh selidik, menilaimu dari ujung kepala hingga ujung kaki yang seringkali merasa dikuliti hingga kepercayaan dirimu mati begitu saja,” katamu sembari menatap lekat-lekat netraku yang terlihat bengkak selepas menangis.

“Kak, aku benar-benar capek bersekolah di sana. Benar-benar memuakkan dengan segala aturan yang dinilai mengekang,” sahutku parau dengan suara serak yang khas.

“Ssst..Reya boleh berspekulasi tentang itu.  Aku tahu pasti bahwa menjalani saat-saat seperti itu, rasanya ingin saja segera kembali ke rumah dan mengurung diri sepanjang hari atau mungkin angkat kaki dari sini adalah yang terbaik daripada kamu merasa tertekan sebegitu dalamnya disini. Padahal nyatanya, yang mereka tuju bukanlah kamu. Kamu hanya seringkali menjadi yang paling ‘merasa’ disaat orang yang dituju ‘biasa’. Kamu menyakiti diri sendiri, disaat orang yang dituju sibuk berbahagia sendiri. Kamu memberikan label buruk pada dirimu sendiri, disaat orang yang dituju sibuk memperbaiki diri.”

Aku masih saja terdiam menekuri lantai bawah meja nomor 29. Sesekali pikiranku membenarkan jawaban unik yang tak terduga darimu, dengan refleks aku mengajukan pertanyaan yang mampir di benakku,

“Lalu siapa yang kalah disini?”

“Jelas kamu.”

Aku berjengit kaget. Tidak terima dengan pernyataan yang kau ungkapkan pagi itu. Netraku menelisik meminta penjelasan detail dari mulut sadismu.

            “Kenapa? Tidak terima? Hahaha, biar kuberi tahu. Terkadang menjadi tidak peduli dengan segala hal yang menurutmu dapat membunuh karakter dalam diri akan menenangkan daripada menguras pikiran pada sesuatu yang dapat membuatmu menyesal kemudian,” ucapmu lugas dan bebas tanpa cemas.

            “Entah padamu atau bukan, segala penilaian buruk itu dituju, jadikan itu sebagai satu diantara banyak hal yang dapat mengintropeksi dirimu. Bukan malah bungkam dan pasrah terpuruk pada hal yang bahkan kamu sendiri tidak tahu. Hei, kamu hanya membunuh dirimu sendiri untuk hal yang tidak penting sama sekali. Bukankah semua orang memang begitu? Suka mengomentari tanpa pernah menilai diri sendiri. Semoga dirimu menjadi pengecualian di sini.”

“Jadi, teruntuk dirimu yang merasa salah arah,  dan salah presepsi, jangan ‘merasa’ disaat orang lain saja ‘biasa’. Sebab efeknya luar biasa untuk dirimu ke depannya.”

Aku menatap dengan binar kagum, apakah ini benar sosokmu? Atau malah jelmaan jin yang menyamar sebagai dirimu?

“Kak? Namamu tidak selaras dengan perangaimu. Kukira Batara Kala akan selalu terstigma buruk, selalu buruk, dan selamanya buruk.”,

“Bathara Kala? Raksasa?”

“Ya, raksasa yang memakan matahari ketika gerhana datang.”

“Haha Reya, kali ini Kala sedang mendapat jalan terang. Haha... anggap saja begitu,” sahutmu gemas diiringi gelak tawamu yang renyah sehingga tampak gigi putih rapimu yang selalu membuatku geli sendiri.

“Jadi, Bathara Kala telah menyihirku menjadi Reya tangguh di Angkasa?” tanyaku iseng.

“Ya, setidaknya dua tahun sampai kamu menjadi alumni di almamaterku ini. Jangan pernah protes jika tidak tahu apa itu progres ya Re, semangat!" Pungkasmu seraya menepuk pelan kepalaku.

Tepat pagi itu juga, semua perasaan sebal dalam benakku telah menguap begitu saja. Matahari terasa hangat, angin terasa lembut dan senyum pun terus tercetak manis membentuk bulan sabit. Tak ada lagi rasa perih, lelah, atau pun pasrah. Semuanya telah terbayar lunas dengan kalimat-kalimat sakti milikmu. Pagi ini adalah pagi yang akan terus terkenang dalam memoriku. Pagi yang sebelumnya sama sekali tak terlintas kejadian seperti ini. Kalamandanu Pradipta, namamu selalu abid dalam jiwaku.

 

Liring Anindya Maharani,  lahir di Kulonprogo tanggal 4 Januari 2003. Punya hobi membaca, menulis cerita, dan bermain voli. Masih tercatat sebagai siswa  SMA Negeri 2 Wates. Karyanya pernah dimuat di buku antologi bersama, diantaranya "Keluargaku Inspirasiku" (kumpulan cerpen, ISC KP) dan Kluwung Lukisan Maha Cahaya (antologi puisi dan prosa Sastra-Ku, 2020). Beberapa puisi dan cerpennya menjuarai lomba sastra. Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

*** ----- ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...