Sihir Bathara
Kala
Cerpen :
Liring Anindya Maharani
Rintik
hujan turun membasahi sepanjang Jalan Angkasa. Bau tanah basah menguat
bercampur aroma kopi yang kuminum. Meja nomor 29 terlihat begitu penuh sesak
dengan buku-buku materi yang harus kulahap habis dalam waktu dua bulan. Sekilas
tampak membosankan jika berhadapan dengan tumpukan kertas yang membuat kepala
pening. Padahal, realitasnya aku begitu menikmati setiap deretan kalimat yang
tercetak pongah di atas lembaran kertas.
Aku mengedarkan pandangan menyapu
seluruh sudut kafe langgananku. Rupanya kafe ini sedikit lebih ramai dari
biasanya. Hampir saja aku tidak menemukan bangku kosong yang tersisa di
tengah-tengah pengunjung yang sibuk dengan gawai, buku, bahkan canda. Hmm......
tidak begitu buruk, aku harus kembali fokus dengan materi bahasa indonesia-ku.
Bibirku tersungging senyum tipis tatkala tulisan dengan tinta sedikit pudar
menyembul dari balik buku harianku.
“Jangan pernah protes jika tidak tahu
apa itu progres.”
-Bathara Kala-
Kalamandanu Pradipta
Sekilas kalimat tersebut tidak memiliki
arti yang penting. Sederet kalimat yang bahkan dianggap hiperbola, atau sebuah ungkapan
yang mengindikasikan omong kosong belaka. Padahal kalau ditilik dari sudut
pandangku, ini adalah semacam sumbu bom waktu yang dapat meledak kapan saja.
Semua orang dapat mengatakan kalimat tersebut, hanya saja perihal rasa yang
membedakan. Terima kasih atas segala kalimat ajaibmu yang sukses menjadi abid
motivasiku. Kenangan itu menyeruak seperti sebuah kaset yang terputar,
indahnya.
###
Rembang
petang dengan awan kelabu menggantung di langit terlihat begitu menawan.
Kuangkat kamera ponsel dan membidik lalu lalang kendaraan yang padat merayap
hendak pulang pergi. Aku menghela napas kasar mengapa badanku terasa kaku dan
lesu. Padahal aku hanya sekadar berdiam diri di ruang OSIS mengerjakan laporan
program kerja bulanan. Jiwa lemah! Begitu saja mengeluh, aku bergidik pelan
membayangkan jiwa lemahku yang satu ini. Ingin menyangkal, namun realitas
begitu kuat. Netraku memincing tatkala melihat segerombolan remaja termasuk
dirimu yang tengah sibuk bercanda ria dengan baju almamater sekolah yang sama dengan
milikku.
“Sial,”
ucapku lirih dengan gelagat tubuh ketakutan.
Aku berjalan pelan mendekati
gerombolanmu seraya memantapkan sendi-sendi lutut agar tidak jatuh gemetaran di
depan teman-temanmu. Semakin dekat, aku dapat merasakan jantungku bedetak kencang
serasa ingin melompat dari tempatnya. Aih... perasaan macam apa ini? Mau tidak
mau aku harus menyapa kakak kelasku, bukankah itu terdengar bagus?
“Per...
permisi kakak-kakak,” sapaku dengan suara gemetar yang kentara sekali.
“......”
“Ya
dek.”
Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Satu
banding delapan yang menjawab,dan itu hanya suaramu seorang. Aku tersenyum
miris seraya melanjutkan langkahku menuju rumah. Masa putih abu-abuku terasa
monoton dengan segala tuntunan yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
“Punya
kepala pusing, tidak punya kepala serem. Aih, ya sudah terimalah jiwamu yang
bolong, kosong, dan melompong,” ucapku seraya bermonolog pada diri sendiri.
###
Rabu
kelabu pukul tujuh, bulan November benar-benar payah. Sudah seminggu ini langit
selalu murung seakan mampu melenyapkan segala binar bahagia dari setiap wajah
manusia. Aku melepas jaket dan berlari tergesa-gesa memasuki ruang OSIS.
“Permisi
kak,”
“Maaf
tidak sengaja.”
“Permisi,”
Sudah kesekian kalinya aku mengucapkan
kalimat tersebut sembari melangkahkan kaki. Aku harus menyerahkan file program
kerja pada koordinator tepat pukul 07.00 –dan aku sudah terlambat sejak lima
menit yang lalu. Sesampai di depan pintu, aku sibuk mengatur deru napas yang
bersahut-sahutan keluar masuk dari mulut.
“Reya,
mana file prokermu? Kenapa kamu tidak disiplin?!” ucapmu menggelegar menyambut
kedatanganku di ruang OSIS. Aku berdiri mematung tidak berani menatap wajahmu.
“Kenapa
tidak segera masuk? Sini! Mana file nya?”
Aku terkesiap merasa serba salah. Lalu,
dengan gugup aku menjawab, “Baik kak, ini file nya. Maaf saya terlambat karena
bangun kesiangan kak.”
Aku merasa mendapatkan tatapan tajam
dari anggota OSIS lain, terkecuali denganmu. Kulihat kamu tersenyum tipis
mendengar alasan klasikku. Haha.. ironi bukan?
“Hm, ya sudahlah. Silakan tanda tangan
dahulu di tempat Kak Nova ya,” ucapmu seraya beringsut pergi menuju meja
kerjamu. Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, kulangkahkan kakiku menuju
meja Nova yang tengah menatapku sinis seakan mengobarkan tatapan kebencian.
“Maaf kak, saya ingin tanda tangan
pengumpulan proker.”,
“Hallah, jadi bocah aja sok-sokan. Mana
tanggung jawabmu? Tidak usah buat alasan bohong bangun kesiangan segala. Kalau
tidak bisa diandalkan, kenapa jadi anak organisasi? Mau numpang tenar ya,
ngaku! Sama kakak kelas saja tidak sopan, mau jadi apa kamu?” bisik Nova
sembari menyilangkan tangannya di depan dada,
“Maaf kak, saya bukan seperti yang
kakak duga. Perihal saya terlambat adalah murni kejujuran saya kak. Disini saya
salah, tapi tolong jangan mengucapkan kalimat yang mengandung ujaran kebencian
terhadap saya,” ucapku lirih tak kalah berbisik.
Kulihat perempuan itu menatapku dengan
wajah memerah dan mata melotot sedemikian rupa.
Plak...!!!
Suara tamparan nyaring diikuti
teriakanmu memanggil namaku menjadi pusat perhatian di ruangan ini. Aku menatap
Nova tidak percaya, sudut bibirku robek dan berkedut perih ketika kusentuh.
“Wow,
terima kasih atas hadiahnya kakak cantik. Saya permisi.”
Aku
bergegas keluar ruangan dengan mata berkaca-kaca. Samar-samar kudengar kamu
beradu pendapat yang menurutku sama sekali tidak penting. Aku merasa sangat
lelah dengan semuanya di tanah Angkasa. Kakiku melangkah menuju bangku kosong
kafe seberang sekolah yang masih sepi oleh pengunjung di pagi mendung. Aku
menenggelamkan wajahku di lipatan tangan, dan entah bagaimana bisa tangisku
pecah dan terdengar pilu. Aku sama sekali tidak mengharapkan hadirmu kala itu,
namun rupanya takdir berkata lain.
“Re?
Maafkan Kak Nova ya?” bujukmu berusaha mengajakku bicara. Aku terus menangis
tanpa mempedulikan kehadiranmu. Sadar kuabaikan, kamu juga memilih bungkam.
“Kak
Kala, Reya capek sekolah di Angkasa. Semua benci Reya. Reya tertekan, dan Reya
ingin pindah sekolah.”,
“Hei
bagian mana yang membuatmu tertekan?” selidikmu dengan alis terangkat satu,
“......”
Aku
tidak segera menjawab pertanyaanmu. Kulemparkan pandanganku menatap awan
mendung yang masih setia berada di posisi semula. Benar-benar tanpa binar.
“Reya, Kamu mungkin pernah mendengar
sekitarmu berbicara tentang seseorang yang tiba-tiba saja membuatmu merasa
jatuh berlebihan atau tak mau lagi menunjukkan atensimu.”
“Mungkin juga pernah merasa tersisihkan
karena saat hadirmu, semua orang seperti memusuhimu. Hal itu terkadang
membuatmu sedih sepanjang waktu, mempertanyakan diri pada semesta tentang apa
yang salah. Atau mungkin kamu juga pernah melihat sekelilingmu seperti
menatapmu penuh selidik, menilaimu dari ujung kepala hingga ujung kaki yang
seringkali merasa dikuliti hingga kepercayaan dirimu mati begitu saja,” katamu
sembari menatap lekat-lekat netraku yang terlihat bengkak selepas menangis.
“Kak, aku benar-benar capek bersekolah
di sana. Benar-benar memuakkan dengan segala aturan yang dinilai mengekang,”
sahutku parau dengan suara serak yang khas.
“Ssst..Reya boleh berspekulasi tentang
itu. Aku tahu pasti bahwa menjalani
saat-saat seperti itu, rasanya ingin saja segera kembali ke rumah dan mengurung
diri sepanjang hari atau mungkin angkat kaki dari sini adalah yang terbaik
daripada kamu merasa tertekan sebegitu dalamnya disini. Padahal nyatanya, yang
mereka tuju bukanlah kamu. Kamu hanya seringkali menjadi yang paling ‘merasa’
disaat orang yang dituju ‘biasa’. Kamu menyakiti diri sendiri, disaat orang
yang dituju sibuk berbahagia sendiri. Kamu memberikan label buruk pada dirimu
sendiri, disaat orang yang dituju sibuk memperbaiki diri.”
Aku masih saja terdiam menekuri lantai
bawah meja nomor 29. Sesekali pikiranku membenarkan jawaban unik yang tak
terduga darimu, dengan refleks aku mengajukan pertanyaan yang mampir di
benakku,
“Lalu siapa yang kalah disini?”
“Jelas kamu.”
Aku berjengit kaget. Tidak terima
dengan pernyataan yang kau ungkapkan pagi itu. Netraku menelisik meminta
penjelasan detail dari mulut sadismu.
“Kenapa?
Tidak terima? Hahaha, biar kuberi tahu. Terkadang menjadi tidak peduli dengan
segala hal yang menurutmu dapat membunuh karakter dalam diri akan menenangkan
daripada menguras pikiran pada sesuatu yang dapat membuatmu menyesal kemudian,”
ucapmu lugas dan bebas tanpa cemas.
“Entah
padamu atau bukan, segala penilaian buruk itu dituju, jadikan itu sebagai satu
diantara banyak hal yang dapat mengintropeksi dirimu. Bukan malah bungkam dan
pasrah terpuruk pada hal yang bahkan kamu sendiri tidak tahu. Hei, kamu hanya
membunuh dirimu sendiri untuk hal yang tidak penting sama sekali. Bukankah
semua orang memang begitu? Suka mengomentari tanpa pernah menilai diri sendiri.
Semoga dirimu menjadi pengecualian di sini.”
“Jadi, teruntuk dirimu yang merasa
salah arah, dan salah presepsi, jangan
‘merasa’ disaat orang lain saja ‘biasa’. Sebab efeknya luar biasa untuk dirimu
ke depannya.”
Aku menatap dengan binar kagum, apakah
ini benar sosokmu? Atau malah jelmaan jin yang menyamar sebagai dirimu?
“Kak? Namamu tidak selaras dengan
perangaimu. Kukira Batara Kala akan selalu terstigma buruk, selalu buruk, dan
selamanya buruk.”,
“Bathara Kala? Raksasa?”
“Ya, raksasa yang memakan matahari
ketika gerhana datang.”
“Haha Reya, kali ini Kala sedang
mendapat jalan terang. Haha... anggap saja begitu,” sahutmu gemas diiringi
gelak tawamu yang renyah sehingga tampak gigi putih rapimu yang selalu
membuatku geli sendiri.
“Jadi, Bathara Kala telah menyihirku
menjadi Reya tangguh di Angkasa?” tanyaku iseng.
“Ya, setidaknya dua tahun sampai kamu
menjadi alumni di almamaterku ini. Jangan pernah protes jika tidak tahu apa itu
progres ya Re, semangat!" Pungkasmu seraya menepuk pelan kepalaku.
Tepat pagi itu juga, semua perasaan
sebal dalam benakku telah menguap begitu saja. Matahari terasa hangat, angin
terasa lembut dan senyum pun terus tercetak manis membentuk bulan sabit. Tak
ada lagi rasa perih, lelah, atau pun pasrah. Semuanya telah terbayar lunas
dengan kalimat-kalimat sakti milikmu. Pagi ini adalah pagi yang akan terus
terkenang dalam memoriku. Pagi yang sebelumnya sama sekali tak terlintas
kejadian seperti ini. Kalamandanu Pradipta, namamu selalu abid dalam jiwaku.
Liring Anindya Maharani, lahir di Kulonprogo tanggal 4 Januari
2003. Punya hobi membaca, menulis cerita, dan bermain voli. Masih tercatat
sebagai siswa SMA Negeri 2 Wates.
Karyanya pernah dimuat di buku antologi bersama, diantaranya "Keluargaku Inspirasiku" (kumpulan
cerpen, ISC KP) dan Kluwung Lukisan Maha
Cahaya (antologi puisi dan prosa Sastra-Ku, 2020). Beberapa puisi dan
cerpennya menjuarai lomba sastra. Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.
*** ----- ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar