Sabtu, 29 Januari 2022

K A R Y A

 

Hasutan Mahapatih

Cerpen Tri Apriyadi

 

Hari itu langit sore di Lumajang nampak mendung.  Kepulan debu beterbangan membumbung tinggi ke angkasa terjangan kuda yang dikendali oleh Nambi. Dengan kebasan tangan ia pecut bokong kudanya untuk melaju lebih kencang.

Ingin rasanya ia terbang secepat kilat agar cepat sampai di rumahnya. Hatinya sangat risau mengkhawatirkan kondisi ayahnya. Telah lama ia mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Tetapi urusannya sebagai Patih Amangkubumi Majapahit terlalu banyak menyita waktunya. Sampai lama ia belum berkesempatan menjenguk ayahnya.

Dari kejauhan disela-sela kabut senja, terlihat banyak orang berkumpul di rumahnya. Pikiran Nambi semakin kalut. Semakin ia tarik tali kekang kudanya agar cepat sampai.

Sesampai di rumah, nampak di halaman telah siap tumpukan kayu setinggi orang dewasa. Sayup-sayup kedengaran suara tangis perempuan. Di dalam rumah tubuh tua ayahnya sudah terbujur kaku berbalut kain putih di atas altar. Tubuh tua itu sudah siap untuk dibakar dalam kobaran api  mengantar ruh menghadap Sang Hyang Widi.

Nambi hanya bisa menatap dengan mata sayu. Raut penyesalan yang dalam tergambar jelas pada  wajahnya. Tugas kerajaan telah merampas nyawa ayahnya.

***

Mahapatih dengan bergegas turun dari kudanya dan masuk menemui Nambi yang telah usai merapalkan mantra doa untuk ayahnya. Dengan bermuka sedih ia menghadap Nambi mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ayah Nambi.

“Lebih baik Patih Nambi mengambil cuti lebih lama karena suasana sedang berduka” saran Mahapatih di sela perbincangan mereka.

Nambi mengerutkan keningnya. Diam. Sesekali mengangguk.

“Bagaimana dengan urusan di kota raja, Mahapatih?”

“Biarlah nanti Paduka Jayanegara mengutus orang menggantikan tugas Patih“

“Baiklah. Kalau begitu aku utus engkau kembali ke kotaraja untuk meminta ijin kepada Raja .”

“Siap laksanakan Patih.”

Wajah Mahapatih sangat sumringah. Senyum licik tersungging di bibirnya. Mahapatih segera bergegas kembali menuju kota raja. Kepala Mahapatih telah muncul rencana  tipu muslihat.

***

“Apa benar yang kau katakan itu  Mahapatih ?” tanya Raja Jayanegara seraya menggepalkan tangannya dengan kegeraman yang tertahan.

“Benar Paduka. Saya lihat sendiri banyak pasukan bersenjata yang sedang berlatih menggunakan senjata. Bahkan Patih Nambi sendiri yang melatih mereka. Apakah itu bukan untuk persiapan memberontak ?” jawab Mahapatih dengan sungguh-sungguh meyakinkan.

“Tak kusangka Nambi bisa seperti itu“ Raja Jayanegara menggelengkan kepalanya dan memegang dadanya yang tak sakit.

“Mahapatih. Siapkan pasukan. Kita serang Lumajang” perintah Raja Jayanegara tiba-tiba tanpa pikir panjang lagi.

“Siap. Laksanakan .” Mahapatih sigap. Hatinya bersorak. Rencanya berjalan mulus.

***

Suara tempik sorak membahana seiring pasukan Majapahit menyerbui Lumjang. Pasukan segelar sepapan dengan persenjataan lengkap menyerbu Lumajang. Nambi yang masih berkabung terkejut mendengar serangan mendadak pasukan Majapahit.

Dia langsung perintahkan kepada prajurit untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut. Ia membangun benteng pertahanan di Gending dan Penjarakan. Namun keduanya dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Nambi dan keluarganya akhirnya tewas dalam pertempuran tersebut. Nambi menyusul ayahnya ke alam baka. 

Mahapatih berkacak pinggang penuh kemenangan.

 

Kulon Progo, Maret 2020

 


Tri Apriyadi, penggiat sastra di komunitas Sastra-ku dan Forum Sastra-Teater Kulonprogo. Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya  Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.

Sabtu, 22 Januari 2022

 

K A R Y A

 

SULTAN MUSA

 

 Sorai Berhembus  Pada Laut

; catatan  kecil seorang  lelaki  pelaut

 

Tersimpan banyak sabda

Menyapa erat di sukma

Menyatu tanpa suara

Merangkul kabut rasa

Seakan mengajak bicara

 

Terlihat ruang lega

Menyelipkan sayup damba

Walau menahan lelah curiga

Bersimbah angan tak berdaya

Derap gelap menyisakan hampa

 

Hangatnya  kadangkala  mengunyah  nelangsa

Menyusuri  berapi – api  terbuai  warna

Setidaknya  ada  yang  terbaca

Walau  semu  membeku  di raba

Menggerutu  tak  kunjung  jumpa

 

Tak  pernahkah ada

Ternyanyikan  perapian  nada

Bahwa, di laut  banyak  tersimpan doa

Bertalian  pada  satu  nama

Kepada  Ilahi  Sang  Maha  Penguasa

 

#2021

 

SULTAN MUSA berasal dari Samarinda Kalimantan Timur. Tulisannya tersiar diberbagai platform media daring & luring. Karya tunggalnya "Candramawa"(2017), "Petrikor"(2019), "Sedjiwa Membuncah"(2020) & versi e-book "Mendjamu Langit Rekah" (2020), terbaru di 2021 "Titik  Koma".

 

 

*****______*****

 

 SUYATRI YATRI

 

Pahitnya Bibir Rasa Kopi

 

Dalam sekam,

menikam

duka hadir diam-diam.

Secangkir kopi tanpa gula

mengental kepahitan

Dalam dekap yang senyap meresapi setiap tetes pahitnya

 

 

Tajam menghujam pisau-pisau menancap dalam gelap

Disesap rindu menguap bisa dari aromanya

Isak pun nyalakan api keprihatinan

Dan di tungku perapian, cangkir kopi mendidih sesuka hati

Dengan entengnya ia berkata

"Pahit itu takdirmu maka jangan meminta gula"

 

 Hening teraduk mengambang ampas hitam

Pori tercabik menjadi air mata penderitaan

dan robusta masih saja panas menggoda

Minta secicip manis sebagai tanda bahagia

Tapi masih saja menampar dinding besi yang basi

"Ampas kopi pantas untuk sampah sepertimu,"

 

Bibir beracun sianida semakin tajam membuat luka

Mencoba menetralisir jiwa dengan kata ikhlas atas kepahitan dunia

 

Rokanhulu, 10102020

 

Suyatri Yatri, lahir di Padang Siminyak 24 Agustus 1979. Berasal dari Pagaruyung Batusangkar Sumatera Barat. Berdomisili di Rokan Hulu Riau. Bekerja sebagai guru di SMP Negeri I Rambah Rokan Hulu Riau. Tutor di PKBM Damai Sejahtera Ujungbatu. Aktif dalam gerakan pegiat literasi Rokan Hulu. Karyanya berupa puisi dan cerpen banyak di muat tersebar di media cetak dan online. Karya tunggalnya yang terbaru adalah kumpulan puisi Mendulang Nusantara (Pusaka-Ku, 2021 ).

 

 

*****_____*****

 

 LATIFAH JAHRO

 

 Hilang

 

Langkah-langkah kaki yang terdengar

Kemudian hilang

Gelak tawa yang terdengar

Kemudian hilang

Senyum indah yang terpancar

Kemudian hilang

 

Hangat genggaman yang terasa

Kemudian hilang

Pelukan manja di dada yang terasa

Kemudian hilang

Wajah indah yang mempesona

Kemudian hilang

 

Hilang...

Hilang...

Hilang...

Semua tak kan pernah kembali padaku

Jalan pulang ditelan waktu

 

(2020)

 

Latifah Jahro, lahir di Kulonprogo, 22 Desember 1992. Pendidikan terakhirnya adalah S1 pendidikan Bahasa Jawa. Kesehariannya adalah guru Bahasa Jawa di SMA N 1 Wates. Tulisannya pernah di majalah  Djaka Lodang. Karyanya juga masuk di buku Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY), juga menghiasi laman Sastra-ku dan  latifahpancanakauny.blogspot.com. Tinggal di Kokap Kulonprogo.

  




Sabtu, 15 Januari 2022

 

K A R Y A

 

ARIS SETIYANTO

 

Menuju Langit

buat : Bambang

 

di langit—di tempat-tempat yang tinggi,

kau pasti temukan matahari

akulah matahari itu

 

kau pasti rapuh dan ingin bunuh diri;

jatuh ke bumi

tapi,

bukalah matamu saat

kau baca puisiku.

 

Maguwo, 05 November 2021

 

Aris Setiyanto lahir 12 Juni 1996. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas (2020) dan Ketika Angin Berhembus (2021). Puisinya juga termuat di beberapa media daring maupun cetak.


******______****** 


FIRMAN WALLY

 

Nitu-Nitu Alifuru

 

laut selalu bersetia dengan asinnya

ombak terus bergemuruh dalam doa dan rindu

di kaki sungai bebatuan bersemedi

menyambut lahirnya pancaroba

 

detik pada waktu terus menitik

mengulang kembali kisah luka yang pernah ada

di laut jazirah sejarah berkisah

luka-luka yang mengalirkan darah

atas sejarah adat dan budaya

 

tradisi selalu digelarkan setahun sekali

menyambut nitu-nitu alifuru

yang melenggang dayung dari pulau seberang

menuju pulang

kapur, telur putih, daun sirih, dupa-dupa

mewangi di atas loyang

penyambutan dimulai

kesurupan di berbagai daerah

untuk mereka yang sedarah

yang mati, lahir kembali karena cinta

 

leu oo takan hulan tahali

 

tahoku, 05 juni 2021

 

Firman Wally, penyair kelahiran Maluku Tengah tanggal 3 April. Lulusan Jurusan Sastra dan Bahasa Universitas Patimura Ambon. Buku antologi puisi tunggalnya berjudul Lelaki Leihitu (2021).

 

******_____*****


LIRING ANINDYA MAHARANI

 

Kunang-kunang

 

 

Atas nama mata yang berembun,

kuraih tangannya yang merenta

berbisik untuk menunda temu

sejenak

yang barangkali akan memintal sepi

aku melangkah menjauh

saling melepas lambaian sampai jumpa

tunggu, sungguhkah aku kuat?

 

Yogyakarta, 5 Januari 2020


 Liring Anindya Maharani, biasa di panggil Liring, lahir di Kulonprogo tanggal 4 Januari 2003. Punya hobi membaca, menulis cerita, dan bermain voli. Karyanya pernah di muat di antologi cerpen "Keluargaku Inspirasiku" yang diadakan oleh ISC KP, antologi bersama Duhkita (2021) dan beberapa puisinya pernah menjuarai dan dimuat di media online. Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 



Sabtu, 08 Januari 2022

K A R Y A

J a n j i

Dening : D Eros Sudarjono

 

        Doran pancing sing ana tangane isih anteng. Sedhela disawang timba cilik ana cedhak sikile. "Wis entuk lima!" batin atine. "Loro apa telu engkas wis cukup gawe lawuh sore mengko", dheweke nerusake nggone ngucap njero batin.

        Sabendina, sawise rampung nandangi pakaryan omah, Yu Siati ajeg mancing iwak ana kali sandhing omahe. Karo lungguh ndhuwur buk bekas bangunan kreteg dalanan sepur jaman Landa sing isih katon bakuh. Kiwa tengene ngrembuyung ketel barongan pring kuning. Papan sing banget kepenak kanggo ngadhem sisan mancing. Olehe iwak kena kanggo lawuh mirunggan wayah sorene.

        Yu Siati wis suwe anggone bebrayan karo Cak Mat. Bojo jaka lara sing tansah setya lan gemati senajan ora kaparingan momongan dening Gusti. Sawise kliwat rongpuluh taun anggone bara nyambutgawe ana kutha, kekarone banjur mutusake bali lan manggon omah tinggalane wong tuwane Yu Siati.

        Urip sarwa prasaja ana ndesa. Sabarang gawe dilakoni dening Yu Siati, wondene Cak Mat tetep nerusake nyambutgawe ana kutha. Saben seminggu sepisan bali mulih sambang omah.

        Setu sore, kaya adat saben, Cak Mat bali teka panggonane nyambutgawe. Buyaran kerja jam 1 awan, dheweke bablas menyang terminal. Ngebis udakara rong jam nganti tekan omah. Sabubare reresik awak, dheweke banjur lungguh ana emper sinambi udud.

        "Wedange, Kang!" Yu Siati alok karo nyelehne gelas isi wedang sing isih kumebul sedhep.

        "He em...," Cak Mat semaur alon.

        "Esuk mau Yu Ning mrene, Kang!" kandhane Yu Siati karo mapan lungguh sandhinge sing lanang.

        "Isih ngomongne jagone apa piye?" Cak Mat takon karo ngiling wedang nang ndhuwur lepek.

        Pancen sedhela maneh arep ana pilihan lurah ing desane kono. Pilihan lurah sing saiki padha karo sadurunge. Ngantene mung ana loro. Lurah sing saiki isih njabat karo Kang Tomo, dudha sing wis ambal ping telu iki nyalon dadi lurah.

        " Lha ya genah ta Cak!" aloke Yu Siati. "Nek jagone kuwi dadi, Yu Ning jelase bakal melu ngrasakake kepenak. Sembarang program teka pemerintah dheweke mesthi bakal katut," sambunge Yu Siati teges.

        "Yen dheweke katut kecandhak programe pemerintah apa ya banjur kelingan karo nasibe awak dhewe ngene iki?" Cak Mat isih nyambung tekon kanthi kalem.

        "Yu Ning mau ya ngomong nek nganti Kang Tomo kepilih, dheweke janji yen jenenge awak dhewe bakal dikatutna program bedhah rumah lho kang!" Yu Siati rada ndhesek sajak karo kepengin ngerti piye panemune bojone.

         Cak Mat unjal ambegan landhung. Pancen wis dingerteni dening kabeh wong sadesa menawa antarane Kang Tomo calon lurah lan Yu Ning ana sesambungan tresna sasuwene iki. Nanging senajan isih kapernah brayat karo keluwargane, Cak Mat lan Yu Siati ora tau aruh-aruh bab kuwi.

        Kang Tomo, adhine kepala dusun Gempol, pancen isih grengseng olehe kepengin dadi lurah. Sepisanan nyalon ora kasil. Limang taun candhake dibaleni maneh. Ngantene ana loro pada kuwate. Asile suwarane Kang Tomo mung kalah wolung biting karo mungsuhe. Sabubare pilihan akeh suwara sing padha nyalahake Kang Tomo amerga isih gegandhengan rapet karo Yu Ning. Kamangka Yu Ning isih nduweni bojo sah.

        "Awak dhewe kudu nduweni pendhirian kang gumathok!" ujare Cak Mat sawise rada suwe meneng.

        "Aja mung krana iming-iming entuk ragad banjur awak dhewe kleru milih pemimpin," sambunge.

        Yu Siati wis ora semaur maneh. Apa sing diucapake bojone pancen bener senajan batin atine isih durung bisa nampa kabeh mau. Omah tinggalan wong tuwane wis klebu omah tuwa. Wis wayahe ndandani kareben yen sedulur-dulure padha sambang ora ngisin-isini. Nanging dheweke uga ora wani mancahi apa sing dadi kekarepane sing lanang.

        Esuk iku, Yu Siati lagi tandang gawe ana pawon nalika krungu swara uluk salam.

        "Nggiiiiih mangga!" semaure rada banter teka pawon. Dheweke setengah mlayu menyang mbale.

        "Owalaaaahh, kowe ta Di! Ana apa?" takone Yu Siati bareng ngerti yen dhayohe mau tibake Nardi, anake Yu Ning.

        "Kula dikengken Make ngeteraken niki!" kandhane karo ngelungna bungkusan kresek gedhe werna abang.

        "Apa iki?" Yu Siati takon karo setengah rada bingung merga ora ngerti karepe Nardi.

        "Sanjange Make wau niki panduman saking nggene Pak Tomo, calon lurah niku lho! Mangke Make nggih ajeng mriki kiyambak. Kula namung dikengken ngedum sembakone mawon," jawabe Nardi njlentrehna karepe.

        "Oo...  nek ngono ya wis tak tampa barange !" tembunge Yu Siati sawise Nardi kandha kaya ngono mau.

        "Ngomong karo Make, Lik Ti maturnuwun wis dibagehi panduman sembakone ya!"

        "Nggih, Lik ! Sampun, kula ajeng nerusaken ngedum sembako niki!" ujare Nardi karo nguripake sepedha montore. Ing mburine katon ana kranjang plastik isih kebak bungkusan.

        Salungane Nardi, Yu Siati banjur ndelengi isine bungkusan. Beras limang kilo, gula rong kilo, mie kuning cap Merak sepuluh bungkus banjur amplop werna putih sumlempit njero bungkusan. Isine dhuwit satus ewuan salembar.

        Dheweke meneng sauntara. Pikirane nglambyar tekan ngendi-ngendi.

        "Ee..... pancen ya wis jamak lumrahe jaman saiki! Kabeh-kabeh sarwa diregani dhuwit!" batin atine Yu Siati.

        "Ora perduli kepiye mengko dadine olehe ngatur pemerintahan lan nata rakyate, sing baku bisa menang pilihan senajan kudu kanthi nukoni swara." Kabeh mau mung kocap njero batinne Yu Siati. Dheweke bali mlebu pawon, nerusake olehe tandang gawe sing pancen durung rampung.

        Kaya sing diomongake Nardi, sorene Yu Ning mara ning omahe Yu Siati. Saliyane menehi katrangan perkara dum-duman sembako, uga kandha yen nganti jagone klakon dadi ora bakalan lali karo janjine ndhisik bakal diajokake melu program bedhah rumah. Bubar crita akeh-akeh nganti meh karotengah jam, Yu Ning pamitan karo ndlesepna amplop maneh ana tangane Yu Siati.

        "Ee.... wong ya diwenehi! Ya anggep wae lagi nemu rejeki!" grenenge Yu Siati mungkasi anggone mikir.

        Cak Mat ora njawab piye-piye nalika mulih teka kutha dikandhani sing wedok bab panduman amplop kuwi mau.

        "Awak dhewe ora tau ndremis njaluk bantuan teka pemerintah. Wong pancen kabeh mau wis ana sing kajibah ngatur. Lan maneh uga gumantung rejeki teka Gusti Allah!" ujare Cak Mat.

        "Aku karo kowe iki mung saderma ngleksanakake apa sing dadi kuwajibane awake dhewe, menjadi warga masyarakat yang baik," sambunge karo mesem.

        Pancen wis tinakdir menawa Kang Tomo sing pungkasane klakon kepilih dadi lurah desa Karanggempol. Nalika bubaran anggone panitia ngetung kecik swara ana bale desa, keprungu surak mbata rubuh pendhukunge Kang Tomo. Nganti seminggu omahe kebak dhayoh. Wiwit teka nom-noman sing padha ndhukung, sesepuh desa nganti perangkat desa liya uga pejabat teka kecamatan pada mara menehi pangayubagya.

        Awan kuwi, kaya adat saben, Yu Siati lungguh ana buk bekas kreteg dalanan sepur jaman Landa cedhak omahe karo nyekel doran pancing.

        "Tibake janji karo wong cilik ki ra ana ajine ya, Kang!" kandhane.

        Cak Mat sing lungguh sandhinge karo ngakep rokoke mung mesem krungu aloke bojone.

        "Mula wiwit ndhisik aku wis ngomong ta! Aja nganti awak dhewe iki njagakake marang janji. Apamaneh janji para penggedhe sing akeh-akehe mung adol omong. Golek bathi kanggo nyugihna awake dhewe!" jawabe Cak Mat.

        "Yen isih durung dadi kaya-kaya sundhul langit olehe ngobral janji. Nanging yen wis klakon manggon kepenak sing mesthi banjur lali karo bibit kawite! Kuwi wis jamak lumrahe, Dhik!" sambunge kalem.

        "Ning kok ya kebangeten temen, Kang! Sing wis nduweni penghasilan mubru kaya Yu Ning kae malah entuk bantuan bedhah rumah. Lha awak dhewe iki?" Yu Siati katon isih durung bisa nrimakake.

        "Kabeh iku kuwasane Gusti, Dhik! Sugih mlarat dudu pathokan dianggep wong becik!" ujare Cak Mat ngedhem atine sing wedok.

        "Tetep muji syukur marang kabeh peparinge, kuwi bakal bisa menehi katentreman njero ati," Cak Mat nerusake kandhane.

        Yu Siati mung manthuk-manthuk karo masang cacing ana pucuk pancinge.

        Wis kliwat telung taun teka pilihan lurah. Nanging aja maneh kok mlebu dhaftar sing arep entuk bantuan bedhah rumah, kecathet keluwarga sing ora mampu wae ya ora. Kamangka Yu Ning sing tau ngomongake bab janji kuwi mau saiki wis manggon omah gedhong asil saka entuke bantuan bedhah rumah.

        Apa pancen nasibe wong cilik kabeh kudu kaya ngono?

        Lamat-lamat keprungu lagune Hetty Koes Endang teka adohan. "Janji janji.... Tinggal janji..... Bulan madu hanya mimpi....... "

 



D' Eros Sudarjono, lahir di Jombang 1970. Jebolan Fak. Bahasa & Sastra Inggris, selain menulis gurit dan puisi juga melukis (sketsa). Puluhan karyanya sudah diterbitkan dalam beberapa antologi. Beberapa naskah juga pernah dimuat dalam beberapa media cetak dan elektronik. Akun medsos : Didik Eros Sudarjono (fb/ig)

Sabtu, 01 Januari 2022

 K A R Y A

 

 

SUGIYARTI

 

Pungkas Warsa

 

Mecaki dawaning wengi

Metani lampah laku kawuri

Kanyata Dzat kang murbeng jagad

Tan kendhat paring rohmat mring umat

Sedaya titah datan kapiji

Antuk nugrahaning Gusti

 

Gusti Illahi Robbi..

Mugi anampi atur syukur kawula..

Muhung dhedhepe ngarsa Paduka Allah

Berkah ingkang tansah lumintu

....

Katetepna margining gesang ingkang leres

Tumujweng swarga langgeng ing benjangipun

Bilih prapteng wancinipun, bukur pengarip-arip

Damar Gusti nuntun njampangi

( Aamin... )


KP, 29 Desember 2021


Sugiyarti, kesehariannya mengajar di SMP Negeri 2 Lendah. Hobi pada seni dan sastra.  Tinggal di Brosot Galur Kulonprogo.



***___***


ERNA DWI ASTUTI

 

Warsa Enggal

 

Mecaki dawaning wengi

Metani sakabehing kang wis dumadi

Ora perlu digetuni

Dadekna sinauning ati

 

Urip rejeki jodho lan pati

Kabeh wis ginaris ing pepesthi

Manungsa mung sakderma nglampahi

Gusti kang paring idi

 

Ora bisa suwala apamaneh sulaya

Terus ngupaya lan mbudidaya

Manut dalane Kang Maha Kuasa

Mugi pinaringan berkahing warsa

 

Banjarsari, 2022

 

Erna Dwi Astuti, seorang ibu rumah tangga yang menyenangi dunia tulis-menulis. Tulisannya, terutama geguritan telah dimuat di sejumlah media. Tinggal di Banjarsari, Samigaluh, Kulon Progo.

 

 ***___***


MARJUDIN SUAEB

 

Kidung Kolosandhung

 

 

Kasandhunging rata. Rata - rata nyandhung

Amung supe lampah laku tateng asami

Koloyuswa wus pinesthi pinestheng pintan

Pintan tan sami amung krana tresna lair

 

Lairing jabang bayi binarung tirtaning suci

Suci lair suci batin kantun anjagi angabekti

Bekti wutah rah nagari tangga tepalih sami

Tangga atetanggan  awit hiya sira hiya ingsun ..... hiya ingsun hiya sira.

 

Sun piji pinujeng rataning margi

Sun puja sun puji sangarsane kersa

Kersaning Gusti lenggahing githok iki

Tan saged pethal pithil samu papan lir

 

Lebura kasandhung

Lepasa kasandhing

Ajura kang ajer

Lebura kang lebar

Lebara rampung

Mentasa tuntas

Panjang ilang

Ilang suwung

Suwung

Wung

Awang-uwung

Ananing awang-uwung. Linenggahan

kalungguhan agung. Agung kaagungan jati

Kadya pok pucuking ali-ali. Tan lali

Elinga. Sira lair tumekeng pati

 

Pati. Taberia taliti liding dongeng sejati.

Kawiwit wiwit kawiwitan pok mulaning urip

Maring ngarsamu Gusti. Surating fatekhah.

Atur kita kanggo kita sami.

 

Sinebut dateng penjenengan Pengeran

kita manembah. Sinebat kita., boten kula

Mila jalma jalmi amung titah sadermi

Ngibadah kula inggih kagem asami

 

Papanggihan kepanggih sami

Sauger sami sami sami-sami suwung

Sangsaya suwung sinuwungan

suwung tan pinanggih nadyan kepanggih

 

 

Yk.2021

 

 Marjudin Suaeb, adalah nama pena dari Marjudin Muhammad Jalal Sayuthi. Pendidikan terakhirnya di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi ini tulisannya dimuat sejumlah koran Jogja Semarang, Jakarta. Sering baca puisi dari kampung ke kampung, dari kampus ke kampus. Namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Menjadi narasumber berbagai kegiatan sastra. Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016) dan Teka Teki Abadi (Tonggak Pustaka, 2021). Puisi lain terkumpul di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan (penyair Insani), Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Pendapa taman siswa, Nyanyian Bukit Menoreh,  dan Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya ( Sastra-Ku, 2020), Duhkita (Pusaka-Ku, 2021). Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

***___***


SITI WAHYUNI

 

Setitik Harap

 

Darimana aku harus menggambarkan rasaku saat ini

Tahun dimana penuh tersirat duka

Tahun dimana penuh dengan gundah gulana

Di penghujung tahun masih ada rasa gamang untuk melaluinya

 

Waktu demi waktu telah berganti merangkak

Sampailah di penghujung tahun di bulan Desember

Phobiaku mungkinlah berlebihan

Melalui akhir masa bersemayam duka

 

Tahun baru dibuka berselimut kedukaan

Telah dua belas kali tanggal satu berlalu

Namun rasa sakit tetap saja hadir menghantuiku

Mungkin juga buat kami yang kehilanganmu

 

Saat ini tahun telah berganti

Perjalanan satu tahun kemarin telah mengajarkanku

Pada rasa, tanggung jawab dan pada makna waktu bersamamu

Semoga menjadi pelajaran untuk waktu yang akan datang bagiku

 

Tahun baru ku bungkus setitik harap

Berharap menjadi sebuah doa diakhir waktu

Harapku semoga badai berlalu berganti dengan indahnya pelangi

seperti hadirnya pelangi setelah turunnya hujan di siang hari

 

KP,  Desember 2021

 

Siti Wahyuni, lahir di Kulonprogo 22 Februari 1976. Alumni UNY (Pendidikan Geografi) dan UT (PGSD). Saat ini mengajar di SD Negeri Percobaan 4. Menulis puisi sejak SMP. Puisinya termuat di buku Duhkita (Antologi Komunitas Sastra-Ku, 2021). Tinggal di Kedungdowo Wates.
 

 

 

 

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...