Hasutan Mahapatih
Cerpen Tri Apriyadi
Hari itu langit sore di Lumajang nampak mendung. Kepulan debu beterbangan membumbung tinggi ke angkasa terjangan kuda yang dikendali
oleh Nambi. Dengan kebasan tangan ia pecut bokong kudanya untuk melaju lebih
kencang.
Ingin rasanya ia terbang secepat kilat agar cepat sampai di rumahnya.
Hatinya sangat risau mengkhawatirkan kondisi ayahnya. Telah lama ia
mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Tetapi urusannya sebagai Patih
Amangkubumi Majapahit terlalu banyak menyita waktunya. Sampai lama ia belum berkesempatan
menjenguk ayahnya.
Dari kejauhan disela-sela kabut senja, terlihat banyak orang berkumpul
di rumahnya. Pikiran Nambi semakin kalut. Semakin ia tarik tali kekang kudanya agar
cepat sampai.
Sesampai di rumah, nampak di halaman telah siap tumpukan kayu setinggi
orang dewasa. Sayup-sayup kedengaran suara tangis perempuan. Di dalam rumah
tubuh tua ayahnya sudah
terbujur kaku berbalut kain putih di atas altar. Tubuh tua itu sudah siap untuk
dibakar dalam kobaran api mengantar ruh menghadap
Sang Hyang Widi.
Nambi hanya bisa menatap dengan mata sayu. Raut penyesalan yang dalam
tergambar jelas pada wajahnya. Tugas kerajaan
telah merampas nyawa ayahnya.
***
Mahapatih dengan bergegas turun dari kudanya dan masuk menemui Nambi
yang telah usai merapalkan mantra doa untuk ayahnya. Dengan bermuka sedih ia
menghadap Nambi mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ayah Nambi.
“Lebih baik Patih Nambi mengambil cuti lebih lama karena suasana sedang
berduka” saran Mahapatih di sela perbincangan mereka.
Nambi mengerutkan keningnya. Diam. Sesekali mengangguk.
“Bagaimana dengan urusan di kota raja, Mahapatih?”
“Biarlah nanti Paduka Jayanegara mengutus orang menggantikan tugas
Patih“
“Baiklah. Kalau begitu aku utus engkau kembali ke kotaraja untuk meminta
ijin kepada Raja .”
“Siap laksanakan Patih.”
Wajah Mahapatih sangat sumringah. Senyum licik tersungging di bibirnya. Mahapatih
segera bergegas kembali menuju kota raja. Kepala Mahapatih telah muncul
rencana tipu muslihat.
***
“Apa benar yang kau katakan itu
Mahapatih ?” tanya Raja Jayanegara seraya menggepalkan tangannya dengan
kegeraman yang tertahan.
“Benar Paduka. Saya lihat sendiri banyak pasukan bersenjata yang sedang
berlatih menggunakan senjata. Bahkan Patih Nambi sendiri yang melatih mereka.
Apakah itu bukan untuk persiapan memberontak ?” jawab Mahapatih dengan
sungguh-sungguh meyakinkan.
“Tak kusangka Nambi bisa seperti itu“ Raja Jayanegara menggelengkan
kepalanya dan memegang dadanya yang tak sakit.
“Mahapatih. Siapkan pasukan. Kita serang Lumajang” perintah Raja
Jayanegara tiba-tiba tanpa pikir panjang lagi.
“Siap. Laksanakan .” Mahapatih sigap. Hatinya bersorak. Rencanya
berjalan mulus.
***
Suara tempik sorak membahana seiring pasukan Majapahit menyerbui Lumjang.
Pasukan segelar sepapan dengan persenjataan lengkap menyerbu Lumajang. Nambi
yang masih berkabung terkejut mendengar serangan mendadak pasukan Majapahit.
Dia langsung perintahkan kepada prajurit untuk mempertahankan diri dari
serangan tersebut. Ia membangun benteng pertahanan di Gending dan Penjarakan.
Namun keduanya dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Nambi dan keluarganya
akhirnya tewas dalam pertempuran tersebut. Nambi menyusul ayahnya ke alam
baka.
Mahapatih berkacak pinggang penuh kemenangan.
Kulon Progo, Maret 2020
Tri Apriyadi, penggiat
sastra di komunitas Sastra-ku dan Forum Sastra-Teater Kulonprogo. Selain menulis
cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa
cerpennya dimuat di
buku antologi bersama :
Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus
Kota (2020), dan
Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya
Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi
(2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar