Rakit Misno
Cerpen Imam
Wahyudi
Misno
mendongak ke atas. Mendung hitam bergulung-gulung, hujan deras segera turun.
Setelah kemarau panjang, hujan seperti akan menumpahkan rindu beratnya pada
tanah dan tetumbuhan.
Laki-laki ceking,
dekil dan berambut gondrong awut-awutan itu berjalan pelan ke halaman. Ia
tersenyum menatap seonggok benda di hadapannya. Anjing kampung kurus
kesayangannya terus mengitari kakinya, sesekali moncong binatang itu
kembang-kempis mengendus benda tersebut. Cengengesan Misno bergumam pada Pleki.
“Perahu kita
sudah hampir jadi, Pleki. Saatnya sebentar lagi tiba. Kita akan mengingatkan
orang-orang. Jangan sampai terlambat!”
Benda yang ia
sebut sebagai perahu, senyatanya adalah beberapa lonjor bambu yang disusun ala
kadarnya. Mungkin malah lebih tepat bila disebut rakit.
***
Orang-orang
berpakaian perlente itu mendatangi rumah Pak Lurah dengan tergesa. Seperti ada
sesuatu yang penting.
“Bagaimana
Pak Lurah, apa sudah bisa dikondisikan?”
“Tenang.
Tenang, Pak Weng. Hanya tinggal si gila itu yang belum bisa diatasi. Nanti saya
akan putar otak untuk menyingkirkannya.”
“Pokoknya
saya tahu beres saja. Tahun ini villa itu sudah harus berdiri.”
“Siap. Siap, Pak
Weng.”
Laki-laki
yang dipanggil Pak Weng itu adalah seorang pengusaha dari kota. Ia dengan
koleganya telah menyulap bukit-bukit yang mengitari Desa Jurangjero menjadi
surga bagi para pelancong. Tempat hiburan modern beserta villa mewah bertebaran
di lereng yang dulunya hutan lebat tersebut tanpa mempertimbangkan keseimbangan
alam dan lingkungan.
Masih ada
lahan kosong di salah satu lereng bukit. Tanah milik pemuda yang dianggap gila
karena ditinggal mati dengan tragis oleh
kedua orang tuanya dahulu. Ya, tanah milik Misno. Ia tak mau melepaskan tanah
tersebut berapapun harganya.
***
“Akan ada
banjir besar menerjang desa ini!”
“Apa kau
bilang. Kalau bicara dipikir dulu. Dasar sinting!”
“Percayalah!
Aku telah mendapatkan bisikan halus waktu semedi di Goa Kalong.”
“Kau dari
hari ke hari makin gila, Misno!”
“Aku seperti
Nuh dengan perahunya yang akan menyelamatkan kalian. Aku tidak pernah dendam,
walau kalian pernah membiarkan orang tuaku mati dihantam tanah longsor dahulu.”
“Ah, Misno.
Semakin parah Kau berhalusinasi. Sana pergi!”
Orang-orang
tak menggubris Misno. Bahkan ia menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Misno tak
putus asa. Ia terus bicara kepada siapa saja yang ditemuinya. Tentang hujan
tiada henti yang akan melongsorkan bukit-bukit yang mengitari Desa Jurangjero.
Tentang air besar yang akan menenggelamkan Desa Jurangjero. Dan tentu saja,
ajakan untuk naik perahu bersamanya bila bencana itu tiba. Namun orang-orang
tetap menganggapnya gila. Tak disadari oleh Misno, bahaya lain sedang mengintai
dirinya.
***
Misno
ditemukan tak bernyawa di semak belukar dekat rumahnya. Pleki terlihat sedih,
terus mengitari tubuh Misno.
“Siapa yang
membunuh Misno?”
“Mungkin dia
tidak dibunuh. Dia kena azab seperti orang tuanya karena suka klenik dan sering
bertapa di hutan. Konon ia menyembah batu dan pohon-pohon.”
“Masa begitu?
Menurutku dia dibunuh.”
“ Ah, tak
tahulah. Yang penting keluarga kita baik-baik saja…”
Kematian
Misno menjadi pembicaraan orang-orang, namun tetap saja tersaput kabut misteri,
sampai kemudian mereka melupakannya.
***
Hujan turun
tiada henti. Berhari-hari. Terus tiada henti. Suatu hari menjelang fajar,
bukit-bukit yang mengitari Desa Jurangjero runtuh. Desa Jurangjero yang serupa
ceruk dikelilingi perbukitan itu lenyap
terendam air. Orang-orang tak bisa menyelamatkan diri. Terdengar suara-suara
gaib, melolong menyayat hati.
Beberapa hari
kemudian, ketika hujan reda dan air mulai surut, terlihat sebuah rakit
mengapung pelan. Seekor anjing kurus basah kuyup kepayahan diatasnya. Binatang
itu satu-satunya yang selamat dalam petaka tersebut.
Kp, Desember 2020
Imam Wahyudi, cerpen dan cerkaknya dimuat di sejumlah
media cetak dan online, juga buku antologi bersama, diantaranya: Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru
(Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota
Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), dan Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan
DIY). Salah satu ASN di Pemkab
Kulonprogo ini inggal di Wates dan Pengasih.