Jumat, 27 November 2020

K A R Y A

 

MARJUDIN SUAEB

 

 

 

 

Gunemaning Pangilon

 
  

Yen wus tutug ing panyawang

Sun takoni kadi pundi sliramu

Trus ing ri dina iki arep ngapa

Kanggo apa ngayani sapa.

 

Den waspadakna jroning pangilon

Kadar amung kaca bening sok angiwi

Rasa rasanen rasakna rasane ngaurip

Sadina saratri sapira laku sae laku ala

 

Aywa mesam-mesem  ngujiwat awak

Anggunggung diri kebat kliwat.

Yitna yuwana lena kena

Sadina saratri sapira laku sae laku ala

 

Saka ngendi sliramu

Menyang ngendi paranira

Apa pira sangunira..yayi.

Sadina sawengi sapira sangu

 

Yk.2019

 

Marjuddin Suaeb, penyair senior Kulonprogo jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi  ini namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016). Puisi masuk di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan, Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Nyanyian Bukit Menoreh,  Membaca Hujan di Bulan Purnama, . Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

 

 

ENES PRIBADI

 

 

 

Sapu Lebu

 

 

Menawa udan pladhu

Dudu kuwi kang tinuju

Marga tata lair banjir

Kabeh saeka kapti

Golek pentasan kanggo minggir

 

Sapu lebu kuwi

ujude mung prasaja

Udan sawetara

kanggo mbusak tepak

kang wis tinata

Kabeh lali

Tepak apa kang wis dadi

 

Sapu lebu

Oh sapu lebu

 

Depok, 02 Desember 2019                                                

 

Enes Pribadi, pensiunan PNS yang di tahun 1998-an pernah mendirikan  Sanggar Seni Sastra Kulon Progo (Sangsisaku) bersama Grilyadi (penyiar radio Andalan Muda Wates). Setelah Sangsisaku vakum tahun 2000-an, ia sering terlibat di kegiatan Forum Sastra dan Teater Kulonprogo serta komunitas Sastra-Ku. Puisinya selain pernah terbit di sejumlah koran dan majalah di Yogya, Semarang, Surabaya dan jakarta, juga masuk di buku Antariksa Dada, Nyanyian Bukit Menoreh dan Gondomanan 15. Kini selain sibuk bertani, ia sesekali masih menulis. Baginya, puisi hanya sekedar 'isen-isen urip'.

 

***----------***

 

 

INDRATI SAYUTO

 

 

 

Nggayuh Lintang Alihan


Nalika netra wiwit isis

angin tumiyup tipis nembus idep  tumengeng wiyati

kairing ndlidiring rumus kombinatorik

manjinging angka kang kasetel maneka warna

thukul maewu-ewu permutasi

 

ah….apa wis padha ngetung akehing klepyan,

kandeling kaluputan, dawaning kanisthan,

nggedibeling kadurakan ?

Jare manungsa diwajibke nguyak panjangka

nggayuh kamulyan ngudi kapinteran manjing kawegigan

neter kawasisan ?

Para winasis ngendika ora ana manungsa kang ora bisa

datan ana titah kang kaprah

amung padha neturu utek,

angelus kruma ngrembakakake rasa memeng

amomong pangangen budeng

engga jagade peteng sansaya dangu ora mudheng

Nanging....nalika tangan kumlawe

suku jinjit tur ancik-ancik dhuwuring kekarepan

kamulyan iku datan  keconggah tangan

pindha lintang alihan

tan bisa kapesthekake orbite, wektune

apa tetep kudu dibacutake ?

 

( wayah sore ing tamansiswa 2019)

 

 

Indrati Sayuto,   lahir di Kulonprogo 6 Juni 1973. Saat ini guru bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Pengasih. Pernah menjadi Juara III Guru Berprestasi SMP Kulonprogo (2008) dan Juara II Menulis Naskah Budi Pekerti Dinas Kebudayaan DIY (2009). Sejumlah karyanya telah dimuat di buku antologi, diantaranya: Kidung Karangkitri (Antologi Geguritan Disbud DIY, 2020). Tinggal di Gotakan Panjatan Kulonprogo.

 

***----------***

 

 

 

 

Sabtu, 21 November 2020

K A R Y A

 

EVA NURUL KHASANAH

 

 

 

 

Ayat Pandemi

 

Ada fajar pun senja

Ada timur pun barat

Ada aku pun kamu

Diantaranya rindu

 

Menatap sembilu makin sendu

Dan buku-buku itu, mulai mencatat

Sanksi dan saksi

Tak ada yang berubah dari kemarin?

Kecuali ayat pandemi

Itupun desakan tak mendesak

Makin semerbak bertimbul riak

Sosok demi sosok timbul tenggelam

Hilang bagai buih di lautan

dipandang, dibuang tak berguna

 

Di ujung angka, tak ada pasti jumlahnya

Di ujung angka, tak terhingga

Akankah duka ada artinya?

Dan kecewa tak bernyawa

Teriak, bertindak

Kenang kami pada seseorang yang hilang

Lenyap, tanpa pasti sebab

Dengan hati sedikit kecut tapi tak lucut

Unjuk rasa, kuasa ada di tangannya

Berkarya?

Tersandung belitan standar tak sejajar, tak wajar

 

Kami tak bernyawa, atas luka ditambah corona

Di atas bangsa, dan muda milik kita

Dunia hanya perlu tau sewajarnya

Bahwa senja, nanti fajar

Tenggelam nanti terbit

Aku nanti kamu

Bangkit

 

Mendekati gila?

 

 

Yogyakarta, 31 Oktober 2020

 

Eva Nurul Khasanah, lahir di Kulonprogo 1 Juni 1999, mahasiswi Prodi PBSI Universitas PGRI Yogyakarta (UPY).  Puisi berjudul "105 Kata untuk Mimpi Ku" mendapat juara 3 di Pekan Jurnalistik yang diadakan oleh UKM Jurnalistik Persada UPY. Disela-sela kuliah ia masih menyempatkan untuk menulis, mengajar TPA, berorganisasi dan bekerja sebagai penjahit. Tinggal di Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

 

 

ROHMAT

 

 

 

Pesona

 

 

Bila huruf punya kekuatan

Tentu kata lebih hebat

Bila kalimat punya daya

Tentu bait syair lebih dahsyat

 

Lihatlah intonasi mampu mengubah arti

Nyanyian kidung menebar makna

Intonasi menjadi  mendung

Membuat risau setiap makhluk

 

Syair dan lagu menjadi hujan

Datangkan air yang suci

Para dewa berbaris memikul hikmah

Samudra kata jadi lautan cahaya

 

Bergejolak alam semesta

Pertanda hayati  selalu ada

Dengan kalimat dan kata-kata

Maha indah maha sempurna

 

Lendah, 19 Oktober 2020

 

Rohmat, jebolan UIN Sunan Kalijaga. Pernah menekuni berbagai bidang pekerjaan: buruh, petani, pedagang, pendamping budaya, Korcam di Dewan Kebudayaan Kulonprogo dan Forum Seni Religi Kulonprogo. Beberapa puisi pernah dimuat laman Sastra-Ku dan buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya. Saat ini tercatat sebagai imam besar di masjid dusun Kwarakan, Sidorejo, Lendah.

 

***----------***

 

 

EVITA AH

 

 

 

Senja Pilu

Rona merah menghiasi angkasa

Mega berarak berkumpul padu

Burung-burung berhambur pulang

Lukisan indah sang Pencipta

Mengalun di hati dengan pilu

 

Sang bunga mulai sembunyi

Sinar pagi ditelan bumi

Aku termenung di balik layar sunyi

Kenang sinar rembulan pelelap mimpi

 

Langit biru pun memerah

Senyum ikut memuram

Pilu menghias wajah gelisah

Suasana senja pun temaram

 

Aku melewati senja ini

Meski pilu mengiringi hati

Berteman sunyi

Di balik mendung hitam

Disusul hujan basahi kuburan

 

Kulon Progo, 2020

 

 

Evita Afida Hidayah  nama pena dari Evita Eka Septiani, lahir di Kulon Progo, 11 September 2001, adalah mahasiswi UNY. Beberapa puisinya masuk ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry  (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Tinggal di Galur Kulonprogo

 

***----------***

Sabtu, 14 November 2020

K A R Y A

 

Sihir Bathara Kala

Cerpen : Liring Anindya Maharani 

 

            Rintik hujan turun membasahi sepanjang Jalan Angkasa. Bau tanah basah menguat bercampur aroma kopi yang kuminum. Meja nomor 29 terlihat begitu penuh sesak dengan buku-buku materi yang harus kulahap habis dalam waktu dua bulan. Sekilas tampak membosankan jika berhadapan dengan tumpukan kertas yang membuat kepala pening. Padahal, realitasnya aku begitu menikmati setiap deretan kalimat yang tercetak pongah di atas lembaran kertas.

Aku mengedarkan pandangan menyapu seluruh sudut kafe langgananku. Rupanya kafe ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Hampir saja aku tidak menemukan bangku kosong yang tersisa di tengah-tengah pengunjung yang sibuk dengan gawai, buku, bahkan canda. Hmm...... tidak begitu buruk, aku harus kembali fokus dengan materi bahasa indonesia-ku. Bibirku tersungging senyum tipis tatkala tulisan dengan tinta sedikit pudar menyembul dari balik buku harianku.

“Jangan pernah protes jika tidak tahu apa itu progres.”

-Bathara Kala-

Kalamandanu Pradipta

 

Sekilas kalimat tersebut tidak memiliki arti yang penting. Sederet kalimat yang bahkan dianggap hiperbola, atau sebuah ungkapan yang mengindikasikan omong kosong belaka. Padahal kalau ditilik dari sudut pandangku, ini adalah semacam sumbu bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Semua orang dapat mengatakan kalimat tersebut, hanya saja perihal rasa yang membedakan. Terima kasih atas segala kalimat ajaibmu yang sukses menjadi abid motivasiku. Kenangan itu menyeruak seperti sebuah kaset yang terputar, indahnya.

###

            Rembang petang dengan awan kelabu menggantung di langit terlihat begitu menawan. Kuangkat kamera ponsel dan membidik lalu lalang kendaraan yang padat merayap hendak pulang pergi. Aku menghela napas kasar mengapa badanku terasa kaku dan lesu. Padahal aku hanya sekadar berdiam diri di ruang OSIS mengerjakan laporan program kerja bulanan. Jiwa lemah! Begitu saja mengeluh, aku bergidik pelan membayangkan jiwa lemahku yang satu ini. Ingin menyangkal, namun realitas begitu kuat. Netraku memincing tatkala melihat segerombolan remaja termasuk dirimu yang tengah sibuk bercanda ria dengan baju almamater sekolah yang sama dengan milikku.

            “Sial,” ucapku lirih dengan gelagat tubuh ketakutan.

            Aku berjalan pelan mendekati gerombolanmu seraya memantapkan sendi-sendi lutut agar tidak jatuh gemetaran di depan teman-temanmu. Semakin dekat, aku dapat merasakan jantungku bedetak kencang serasa ingin melompat dari tempatnya. Aih... perasaan macam apa ini? Mau tidak mau aku harus menyapa kakak kelasku, bukankah itu terdengar bagus?

            “Per... permisi kakak-kakak,” sapaku dengan suara gemetar yang kentara sekali.

            “......”

            “Ya dek.”

Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Satu banding delapan yang menjawab,dan itu hanya suaramu seorang. Aku tersenyum miris seraya melanjutkan langkahku menuju rumah. Masa putih abu-abuku terasa monoton dengan segala tuntunan yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling.

            “Punya kepala pusing, tidak punya kepala serem. Aih, ya sudah terimalah jiwamu yang bolong, kosong, dan melompong,” ucapku seraya bermonolog pada diri sendiri.

###

            Rabu kelabu pukul tujuh, bulan November benar-benar payah. Sudah seminggu ini langit selalu murung seakan mampu melenyapkan segala binar bahagia dari setiap wajah manusia. Aku melepas jaket dan berlari tergesa-gesa memasuki ruang OSIS.

            “Permisi kak,”

            “Maaf tidak sengaja.”

            “Permisi,”

Sudah kesekian kalinya aku mengucapkan kalimat tersebut sembari melangkahkan kaki. Aku harus menyerahkan file program kerja pada koordinator tepat pukul 07.00 –dan aku sudah terlambat sejak lima menit yang lalu. Sesampai di depan pintu, aku sibuk mengatur deru napas yang bersahut-sahutan keluar masuk dari mulut.

            “Reya, mana file prokermu? Kenapa kamu tidak disiplin?!” ucapmu menggelegar menyambut kedatanganku di ruang OSIS. Aku berdiri mematung tidak berani menatap wajahmu.

            “Kenapa tidak segera masuk? Sini! Mana file nya?”

Aku terkesiap merasa serba salah. Lalu, dengan gugup aku menjawab, “Baik kak, ini file nya. Maaf saya terlambat karena bangun kesiangan kak.”

Aku merasa mendapatkan tatapan tajam dari anggota OSIS lain, terkecuali denganmu. Kulihat kamu tersenyum tipis mendengar alasan klasikku. Haha.. ironi bukan?

“Hm, ya sudahlah. Silakan tanda tangan dahulu di tempat Kak Nova ya,” ucapmu seraya beringsut pergi menuju meja kerjamu. Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, kulangkahkan kakiku menuju meja Nova yang tengah menatapku sinis seakan mengobarkan tatapan kebencian.

“Maaf kak, saya ingin tanda tangan pengumpulan proker.”,

“Hallah, jadi bocah aja sok-sokan. Mana tanggung jawabmu? Tidak usah buat alasan bohong bangun kesiangan segala. Kalau tidak bisa diandalkan, kenapa jadi anak organisasi? Mau numpang tenar ya, ngaku! Sama kakak kelas saja tidak sopan, mau jadi apa kamu?” bisik Nova sembari menyilangkan tangannya di depan dada,

“Maaf kak, saya bukan seperti yang kakak duga. Perihal saya terlambat adalah murni kejujuran saya kak. Disini saya salah, tapi tolong jangan mengucapkan kalimat yang mengandung ujaran kebencian terhadap saya,” ucapku lirih tak kalah berbisik.

Kulihat perempuan itu menatapku dengan wajah memerah dan mata melotot sedemikian rupa.

Plak...!!!

Suara tamparan nyaring diikuti teriakanmu memanggil namaku menjadi pusat perhatian di ruangan ini. Aku menatap Nova tidak percaya, sudut bibirku robek dan berkedut perih ketika kusentuh.

            “Wow, terima kasih atas hadiahnya kakak cantik. Saya permisi.”

            Aku bergegas keluar ruangan dengan mata berkaca-kaca. Samar-samar kudengar kamu beradu pendapat yang menurutku sama sekali tidak penting. Aku merasa sangat lelah dengan semuanya di tanah Angkasa. Kakiku melangkah menuju bangku kosong kafe seberang sekolah yang masih sepi oleh pengunjung di pagi mendung. Aku menenggelamkan wajahku di lipatan tangan, dan entah bagaimana bisa tangisku pecah dan terdengar pilu. Aku sama sekali tidak mengharapkan hadirmu kala itu, namun  rupanya takdir berkata lain.

            “Re? Maafkan Kak Nova ya?” bujukmu berusaha mengajakku bicara. Aku terus menangis tanpa mempedulikan kehadiranmu. Sadar kuabaikan, kamu juga memilih bungkam.

            “Kak Kala, Reya capek sekolah di Angkasa. Semua benci Reya. Reya tertekan, dan Reya ingin pindah sekolah.”,

            “Hei bagian mana yang membuatmu tertekan?” selidikmu dengan alis terangkat satu,

            “......”

            Aku tidak segera menjawab pertanyaanmu. Kulemparkan pandanganku menatap awan mendung yang masih setia berada di posisi semula. Benar-benar tanpa binar.

“Reya, Kamu mungkin pernah mendengar sekitarmu berbicara tentang seseorang yang tiba-tiba saja membuatmu merasa jatuh berlebihan atau tak mau lagi menunjukkan atensimu.”

“Mungkin juga pernah merasa tersisihkan karena saat hadirmu, semua orang seperti memusuhimu. Hal itu terkadang membuatmu sedih sepanjang waktu, mempertanyakan diri pada semesta tentang apa yang salah. Atau mungkin kamu juga pernah melihat sekelilingmu seperti menatapmu penuh selidik, menilaimu dari ujung kepala hingga ujung kaki yang seringkali merasa dikuliti hingga kepercayaan dirimu mati begitu saja,” katamu sembari menatap lekat-lekat netraku yang terlihat bengkak selepas menangis.

“Kak, aku benar-benar capek bersekolah di sana. Benar-benar memuakkan dengan segala aturan yang dinilai mengekang,” sahutku parau dengan suara serak yang khas.

“Ssst..Reya boleh berspekulasi tentang itu.  Aku tahu pasti bahwa menjalani saat-saat seperti itu, rasanya ingin saja segera kembali ke rumah dan mengurung diri sepanjang hari atau mungkin angkat kaki dari sini adalah yang terbaik daripada kamu merasa tertekan sebegitu dalamnya disini. Padahal nyatanya, yang mereka tuju bukanlah kamu. Kamu hanya seringkali menjadi yang paling ‘merasa’ disaat orang yang dituju ‘biasa’. Kamu menyakiti diri sendiri, disaat orang yang dituju sibuk berbahagia sendiri. Kamu memberikan label buruk pada dirimu sendiri, disaat orang yang dituju sibuk memperbaiki diri.”

Aku masih saja terdiam menekuri lantai bawah meja nomor 29. Sesekali pikiranku membenarkan jawaban unik yang tak terduga darimu, dengan refleks aku mengajukan pertanyaan yang mampir di benakku,

“Lalu siapa yang kalah disini?”

“Jelas kamu.”

Aku berjengit kaget. Tidak terima dengan pernyataan yang kau ungkapkan pagi itu. Netraku menelisik meminta penjelasan detail dari mulut sadismu.

            “Kenapa? Tidak terima? Hahaha, biar kuberi tahu. Terkadang menjadi tidak peduli dengan segala hal yang menurutmu dapat membunuh karakter dalam diri akan menenangkan daripada menguras pikiran pada sesuatu yang dapat membuatmu menyesal kemudian,” ucapmu lugas dan bebas tanpa cemas.

            “Entah padamu atau bukan, segala penilaian buruk itu dituju, jadikan itu sebagai satu diantara banyak hal yang dapat mengintropeksi dirimu. Bukan malah bungkam dan pasrah terpuruk pada hal yang bahkan kamu sendiri tidak tahu. Hei, kamu hanya membunuh dirimu sendiri untuk hal yang tidak penting sama sekali. Bukankah semua orang memang begitu? Suka mengomentari tanpa pernah menilai diri sendiri. Semoga dirimu menjadi pengecualian di sini.”

“Jadi, teruntuk dirimu yang merasa salah arah,  dan salah presepsi, jangan ‘merasa’ disaat orang lain saja ‘biasa’. Sebab efeknya luar biasa untuk dirimu ke depannya.”

Aku menatap dengan binar kagum, apakah ini benar sosokmu? Atau malah jelmaan jin yang menyamar sebagai dirimu?

“Kak? Namamu tidak selaras dengan perangaimu. Kukira Batara Kala akan selalu terstigma buruk, selalu buruk, dan selamanya buruk.”,

“Bathara Kala? Raksasa?”

“Ya, raksasa yang memakan matahari ketika gerhana datang.”

“Haha Reya, kali ini Kala sedang mendapat jalan terang. Haha... anggap saja begitu,” sahutmu gemas diiringi gelak tawamu yang renyah sehingga tampak gigi putih rapimu yang selalu membuatku geli sendiri.

“Jadi, Bathara Kala telah menyihirku menjadi Reya tangguh di Angkasa?” tanyaku iseng.

“Ya, setidaknya dua tahun sampai kamu menjadi alumni di almamaterku ini. Jangan pernah protes jika tidak tahu apa itu progres ya Re, semangat!" Pungkasmu seraya menepuk pelan kepalaku.

Tepat pagi itu juga, semua perasaan sebal dalam benakku telah menguap begitu saja. Matahari terasa hangat, angin terasa lembut dan senyum pun terus tercetak manis membentuk bulan sabit. Tak ada lagi rasa perih, lelah, atau pun pasrah. Semuanya telah terbayar lunas dengan kalimat-kalimat sakti milikmu. Pagi ini adalah pagi yang akan terus terkenang dalam memoriku. Pagi yang sebelumnya sama sekali tak terlintas kejadian seperti ini. Kalamandanu Pradipta, namamu selalu abid dalam jiwaku.

 

Liring Anindya Maharani,  lahir di Kulonprogo tanggal 4 Januari 2003. Punya hobi membaca, menulis cerita, dan bermain voli. Masih tercatat sebagai siswa  SMA Negeri 2 Wates. Karyanya pernah dimuat di buku antologi bersama, diantaranya "Keluargaku Inspirasiku" (kumpulan cerpen, ISC KP) dan Kluwung Lukisan Maha Cahaya (antologi puisi dan prosa Sastra-Ku, 2020). Beberapa puisi dan cerpennya menjuarai lomba sastra. Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.

 

*** ----- ***

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...