Tears for My Earth
Cerpen: Okti Setiyani
Semilir angin
yang menghempas pepohonan sudah tidak tersisa. Keheningan pagi diiringi cicitan
burung sudah sirna. Langit yang biru pun sudah berubah memerah. Yang tersisa
adalah manusia yang bertahan hidup dengan berbagai cara.
Aku membuka jendela kamarku dan melihat
sekeliling. Rumahku bisa dibilang biasa saja, tentu karena semua orang memiliki
desain yang hampir mirip. Di mana rumah bertingkat dua, berukuran kurang lebih
20 x 20 dengan halaman dan kolam renang. Lalu sebuah rumah akan diselubungi
oleh kaca tebal yang melindungi kami dari sengatan sinar matahari sekaligus
sebagai penampung energi surya dan mengubahnya menjadi listrik.
Mungkin saat berada di dalam rumah, aku
merasa baik-baik saja. Namun, saat keluar keluar dari selubung kaca, aku sangat
miris melihat Bumi-ku. Ibu mengatakan bahwa saat aku berumur lima tahun,
pemerintah menyatakan bahwa Bumi sudah berada di puncak kehancuran. Di mana awan
tidak lagi berwarga biru, melainkan merah dan membuat mata yang memandangnya merasa
tak nyaman.
Pemerintah mengatakan bahwa hal ini
disebabkan fenomena hamburan Raleigh yang sudah berubah, dulu cahaya matahari
dihamburkan oleh partikel atmosfer, lalu panjang gelombang cahaya terkecil
berwarna biru, tetapi sekarang semua berubah karena atmosfer sudah tidak lagi
menghamburkan cahaya terkecil melainkan berukuran sedang yang membuat langit
berwarna merah.
Lain halnya dengan air laut, air laut yang
biru sudah berubah kemerahan, hal ini disebabkan oleh molekul air yang sudah
tidak seperti dulu lagi, di mana air menyerap foton dari cahaya, molekul air
sudah tercemar dan akhirnya memantulkan warna merah yang menyeramkan. Juga
dengan tanah yang memerah karena masam.
Aku pernah memimpikan hidup di masa
lalu. Kakek pernah bilang bahwa rumah-rumah di masa lalu menggunakan bambu dan
kayu, sedangkan atapnya menggunakan genting. Di mana-mana ada pohon dan hewan,
bahkan di dalam rumah pun ada hewan seperti tikus, kecoa dan nyamuk. Dulu
manusia sangat benci dengan nyamuk dan lalat yang menganggu mereka. Namun,
sekarang di masa ini semua orang sangat menginginkan untuk melihat hewan-hewan
dan keadaan di masa lalu, di mana sekarang yang tertinggal di Bumi hanyalah
manusia-manusia yang menyedihkan karena ulah moyang mereka yang merusak Bumi.
“Anne.... Ibu udah panggil mekanik tadi,
nanti kalau ada yang datang kamu temui ya, soalnya mesin udara kita di ruang
makan mati satu....”
Suara Ibu terdengar dari ruang tamu,
memantul-mantul hingga ke kamarku.
“Ibu berangkat kerja dulu ya....”
Imbuhnya lagi. Ibuku adalah seorang
wanita karir yang bekerja di kantor pemerintah pusat dengan misi-misi yang
menurutku agak aneh, salah satunya menemukan planet baru.
“Iya, Bu....”
Jawabku dengan helaan napas, bukan
karena malas tetapi karena miris akan hidup kami yang bergantung pada sebuah
mesin penghasil udara.
Tiba-tiba suara bel terdengar, aku
langsung mengambil masker udara dan memakainya. Kakiku melangkah keluar selubung
kaca dan seorang pria dengan pakaian bak astronot berdiri tegap di sana.
“Benar rumah Bu Alkana?” tanyanya
dengan suara yang tertahan di helmnya.
“Iya, Pak, silahkan masuk....”
Ya, akan aku katakan bahwa udara yang
aku hirup tidak lagi berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan, melainkan buatan
mesin. Hingga setiap manusia di Bumi ini memiliki mesin penghasil udara dan menggunakan
masker udara jika keluar rumah. Tidak ada pepohonan dan tumbuhan, juga tidak
ada hewan yang hidup. Hanya ada manusia satu-satunya makhluk hidup yang
menginjakkan kaki di bumi yang seperti ini.
Mekanik itu akhirnya melepaskan helm
besarnya, membuatku sadar bahwa ia sudah tak lagi muda, mungkin berumur sekitar
50 tahun atau lebih. Aku mengamati pria paruh baya itu mengotak-atik mesin
penghasil udara. Tiba-tiba terbesit bermacam-macam pertanyaan di kepalaku.
“Pak.... apa Bapak pernah melihat pohon?” tanyaku ragu-ragu.
“Pernah.” jawabnya singkat tanpa
menoleh dengan tangan sibuk membongkar mesin.
“Wah, keren....” Mataku melebar, aku
semakin penasaran, pasalnya Ibu bilang, ia belum pernah melihat pohon, hanya
kakek dan nenekku saja yang pernah melihatnya secara langsung.
“Saya juga pernah melihat binatang.”
imbuhnya tanpa diminta.
“Ha? Kok bisa?” tanyaku semakin
penasaran, pasalnya binatang sudah terlebih dahulu musnah dibandingkan
tumbuhan.
Tiba-tiba decitan pintu terdengar,
membuat fokus kami tertuju pada asal suara. Seorang wanita dengan rambut
sebahu, berkaca mata dan berpenampilan formal berjalan tergesa-gesa ke arah
kami, ya, itulah Ibu. Napasnya terlihat tidak stabil dan raut wajahnya
menandakan ada hal mendesak yang harus segera diungkapkan.
“Ada apa Bu?” tanyaku spontan sambil
berjalan mendekati Ibu yang masih terengah-engah di depan kami.
Ibu terlihat menelan ludahnya dengan
susah payah. “Anne, kita menjadi salah satu keluarga yang pertama
diberangkatkan ke planet baru!”
“Ha?”
Aku,
Ibu dan Ayah sudah siap dengan barang-barang kami. Tidak banyak, karena
pemerintah sudah menyiapkan fasilitas lengkap di planet baru itu, planet yang
disebut-sebut sebagai New World. Saat
aku menoleh pada orang tuaku, mereka terlihat sangat bahagia dengan keputusan
ini, sedangkan aku merasa sangat kasihan pada tanah air yang harus aku
tinggalkan. Seolah manusia menempatinya hanya untuk merusaknya, dan setelah
rusak manusia dengan mudahnya meninggalkannya. Kami perlahan mendekati pesawat
besar yang bentuknya seperti piring, memiliki sepuluh roda dan memiliki suara
yang berderu-deru. Perlahan-lahan kami menaiki anak tangga untuk masuk ke
dalamnya, tetapi saat menaiki tangga teratas, kaki kiriku tersandung dan
tubuhku terasa oleng ke belakang.
Aku tersentak, mataku yang terbuka
lebar dan langsung menatap langit-langit kamarku yang penuh sarang laba-laba. Ingatan
akan mimpi yang mengerikan itu berputar-putar di kepalaku. Rangkaian demi
rangkaian kejadiannya terekam jelas di benakku. Aku langsung beranjak dan
membuka jendela – mataku melihat pemandangan pepohonan yang hijau, sangat
menyenangkan dan melegakan. Ya, aku sadar bahwa bumi akan seperti dalam mimpiku
apabila manusia tidak merawatnya.
Aku menghela napas, meraih buku setebal 400 halaman di nakas dan membukanya. Ya, aku harus kembali pada kenyataan bahwa aku hanyalah mahasiswa Biologi semester tiga yang akan segera menghadapi ujian akhir semester.
Okti Setiyani, Duta Nasional Mahasiswa Inspiratif DIY ini merupakan alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia sudah memiliki beberapa antologi cerpen dari kompetisi menulis, juga sebuah novel berjudul “Touch The Sky” dan sekarang ini sedang menunggu cetakan novel keduanya “Campus Puzzle”. Ia dapat dihubungi melalui email oktisetiyani1999@gmail.com dan Instagram @okti_setiyani08.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar