Sabtu, 12 Maret 2022

K A R Y A

 Tears for My Earth

Cerpen: Okti Setiyani

 

Semilir angin yang menghempas pepohonan sudah tidak tersisa. Keheningan pagi diiringi cicitan burung sudah sirna. Langit yang biru pun sudah berubah memerah. Yang tersisa adalah manusia yang bertahan hidup dengan berbagai cara.

 

Aku membuka jendela kamarku dan melihat sekeliling. Rumahku bisa dibilang biasa saja, tentu karena semua orang memiliki desain yang hampir mirip. Di mana rumah bertingkat dua, berukuran kurang lebih 20 x 20 dengan halaman dan kolam renang. Lalu sebuah rumah akan diselubungi oleh kaca tebal yang melindungi kami dari sengatan sinar matahari sekaligus sebagai penampung energi surya dan mengubahnya menjadi listrik.

Mungkin saat berada di dalam rumah, aku merasa baik-baik saja. Namun, saat keluar keluar dari selubung kaca, aku sangat miris melihat Bumi-ku. Ibu mengatakan bahwa saat aku berumur lima tahun, pemerintah menyatakan bahwa Bumi sudah berada di puncak kehancuran. Di mana awan tidak lagi berwarga biru, melainkan merah dan membuat mata yang memandangnya merasa tak nyaman.

Pemerintah mengatakan bahwa hal ini disebabkan fenomena hamburan Raleigh yang sudah berubah, dulu cahaya matahari dihamburkan oleh partikel atmosfer, lalu panjang gelombang cahaya terkecil berwarna biru, tetapi sekarang semua berubah karena atmosfer sudah tidak lagi menghamburkan cahaya terkecil melainkan berukuran sedang yang membuat langit berwarna merah.

Lain halnya dengan air laut, air laut yang biru sudah berubah kemerahan, hal ini disebabkan oleh molekul air yang sudah tidak seperti dulu lagi, di mana air menyerap foton dari cahaya, molekul air sudah tercemar dan akhirnya memantulkan warna merah yang menyeramkan. Juga dengan tanah yang memerah karena masam.

Aku pernah memimpikan hidup di masa lalu. Kakek pernah bilang bahwa rumah-rumah di masa lalu menggunakan bambu dan kayu, sedangkan atapnya menggunakan genting. Di mana-mana ada pohon dan hewan, bahkan di dalam rumah pun ada hewan seperti tikus, kecoa dan nyamuk. Dulu manusia sangat benci dengan nyamuk dan lalat yang menganggu mereka. Namun, sekarang di masa ini semua orang sangat menginginkan untuk melihat hewan-hewan dan keadaan di masa lalu, di mana sekarang yang tertinggal di Bumi hanyalah manusia-manusia yang menyedihkan karena ulah moyang mereka yang merusak Bumi.

“Anne.... Ibu udah panggil mekanik tadi, nanti kalau ada yang datang kamu temui ya, soalnya mesin udara kita di ruang makan mati satu....”

Suara Ibu terdengar dari ruang tamu, memantul-mantul hingga ke kamarku.

“Ibu berangkat kerja dulu ya....”

Imbuhnya lagi. Ibuku adalah seorang wanita karir yang bekerja di kantor pemerintah pusat dengan misi-misi yang menurutku agak aneh, salah satunya menemukan planet baru.

“Iya, Bu....”

Jawabku dengan helaan napas, bukan karena malas tetapi karena miris akan hidup kami yang bergantung pada sebuah mesin penghasil udara.

Tiba-tiba suara bel terdengar, aku langsung mengambil masker udara dan memakainya. Kakiku melangkah keluar selubung kaca dan seorang pria dengan pakaian bak astronot berdiri tegap di sana.

“Benar rumah Bu Alkana?” tanyanya dengan suara yang tertahan di helmnya.

“Iya, Pak, silahkan masuk....”

Ya, akan aku katakan bahwa udara yang aku hirup tidak lagi berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan, melainkan buatan mesin. Hingga setiap manusia di Bumi ini memiliki mesin penghasil udara dan menggunakan masker udara jika keluar rumah. Tidak ada pepohonan dan tumbuhan, juga tidak ada hewan yang hidup. Hanya ada manusia satu-satunya makhluk hidup yang menginjakkan kaki di bumi yang seperti ini.

Mekanik itu akhirnya melepaskan helm besarnya, membuatku sadar bahwa ia sudah tak lagi muda, mungkin berumur sekitar 50 tahun atau lebih. Aku mengamati pria paruh baya itu mengotak-atik mesin penghasil udara. Tiba-tiba terbesit bermacam-macam pertanyaan di kepalaku. “Pak.... apa Bapak pernah melihat pohon?” tanyaku ragu-ragu.

“Pernah.” jawabnya singkat tanpa menoleh dengan tangan sibuk membongkar mesin.

“Wah, keren....” Mataku melebar, aku semakin penasaran, pasalnya Ibu bilang, ia belum pernah melihat pohon, hanya kakek dan nenekku saja yang pernah melihatnya secara langsung.

“Saya juga pernah melihat binatang.” imbuhnya tanpa diminta.

“Ha? Kok bisa?” tanyaku semakin penasaran, pasalnya binatang sudah terlebih dahulu musnah dibandingkan tumbuhan.

Tiba-tiba decitan pintu terdengar, membuat fokus kami tertuju pada asal suara. Seorang wanita dengan rambut sebahu, berkaca mata dan berpenampilan formal berjalan tergesa-gesa ke arah kami, ya, itulah Ibu. Napasnya terlihat tidak stabil dan raut wajahnya menandakan ada hal mendesak yang harus segera diungkapkan.

“Ada apa Bu?” tanyaku spontan sambil berjalan mendekati Ibu yang masih terengah-engah di depan kami.

Ibu terlihat menelan ludahnya dengan susah payah. “Anne, kita menjadi salah satu keluarga yang pertama diberangkatkan ke planet baru!”

“Ha?”

            Aku, Ibu dan Ayah sudah siap dengan barang-barang kami. Tidak banyak, karena pemerintah sudah menyiapkan fasilitas lengkap di planet baru itu, planet yang disebut-sebut sebagai New World. Saat aku menoleh pada orang tuaku, mereka terlihat sangat bahagia dengan keputusan ini, sedangkan aku merasa sangat kasihan pada tanah air yang harus aku tinggalkan. Seolah manusia menempatinya hanya untuk merusaknya, dan setelah rusak manusia dengan mudahnya meninggalkannya. Kami perlahan mendekati pesawat besar yang bentuknya seperti piring, memiliki sepuluh roda dan memiliki suara yang berderu-deru. Perlahan-lahan kami menaiki anak tangga untuk masuk ke dalamnya, tetapi saat menaiki tangga teratas, kaki kiriku tersandung dan tubuhku terasa oleng ke belakang.

Aku tersentak, mataku yang terbuka lebar dan langsung menatap langit-langit kamarku yang penuh sarang laba-laba. Ingatan akan mimpi yang mengerikan itu berputar-putar di kepalaku. Rangkaian demi rangkaian kejadiannya terekam jelas di benakku. Aku langsung beranjak dan membuka jendela – mataku melihat pemandangan pepohonan yang hijau, sangat menyenangkan dan melegakan. Ya, aku sadar bahwa bumi akan seperti dalam mimpiku apabila manusia tidak merawatnya.

Aku menghela napas, meraih buku setebal 400 halaman di nakas dan membukanya. Ya, aku harus kembali pada kenyataan bahwa aku hanyalah mahasiswa Biologi semester tiga yang akan segera menghadapi ujian akhir semester.


Okti Setiyani, Duta Nasional Mahasiswa Inspiratif DIY ini merupakan alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia sudah memiliki beberapa antologi cerpen dari kompetisi menulis, juga sebuah novel berjudul “Touch The Sky” dan sekarang ini sedang menunggu cetakan novel keduanya “Campus Puzzle”. Ia dapat dihubungi melalui email oktisetiyani1999@gmail.com dan Instagram @okti_setiyani08. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...