MARJUDDIN SUAEB
Inspirasi Kopi
Ada yang
menggelayut
Tapi tak
seterampil semut.
: mencari
menyimpan dan merapikan
dalam bilik
yang tak pernah sempat tahu..
Adakah kenangan
pahit
terejawantah di
sekedar hitam kopi itu...
Tak pernah
terpikir perjalanan jauh
dari biji
hingga buah panen
sebagaimana
impian yang tumbuh kembang
di siang nyata
di usia kita...
Tak terpikir
dan terhayati
apalagi
termaknai bagaimana energi gaib matahari
setia rasuk di
tahapan hidup sang tumbuhan kebun kopi
Kini setahuku
tinggal di sedap seduan
secangkir
segelas puas nan panas
Saat diam-diam
aroma merasuk
liwati semangat
hidup di lenturan asap uap
saat kau buka
tutup cangkir gelas itu
Duh, luruskan
pikir
Dalam minuman
secangkir
Atas inspirasi
ini hari yang sedang mengalir
Yk,
2020
Marjuddin
Suaeb, penyair senior Kulonprogo jebolan Persada Studi
Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi
ini namanya tercatat di buku Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Buku
antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit
Menoreh (Sabdamedia, 2016). Puisi masuk di sejumlah buku antologi
diantaranya Gunungan, Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima
Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Nyanyian Bukit
Menoreh, Membaca Hujan di Bulan Purnama, . Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019).
Tinggal di Bumirejo Lendah Kulonprogo.
***----------***
SUYATRI YATRI
Pahitnya Bibir Kopi
menikam
duka hadir diam-diam.
Secangkir kopi tanpa
gula
mengental kepahitan
dalam dekap yang
senyap meresapi tiap tetes pahitnya
Tajam menghunjam
pisau-pisau menancap dalam gelap
Di sesap rindu
menguap bisa dari aromanya
Isak pun nyalakan api
keprihatinan
Dan di tungku
perapian, cangkir kopi mendidih sesuka hati
Dengan entengnya berkata
"Pahit itu
takdirmu maka jangan meminta gula"
Hening teraduk
mengambang ampas hitam
Pori tercabik menjadi
air mata penderitaan
dan robusta masih
saja panas menggoda
Minta secicip manis
sebagai tanda bahagia
Tapi masih saja
menampar dinding besi yang basi
"Ampas kopi
pantas untuk sampah sepertimu,"
Bibir beracun sianida
semakin tajam membuat luka
Mencoba menetralisir
jiwa dengan kata ikhlas atas kepahitan dunia
Rokanhulu,
10102020
Suyatri Yatri lahir di Padang
Siminyak, 24 Agustus 1979, tinggal di Rokan Hulu Riau. Sudah banyak karya
tergabung dalam antologi bersama dan juga karyanya terbit di media cetak dan on
line. Pos_el. yatri.yatri03@gmail.com
KIDUNG PAMUNGKAS
Melabuh Tanya
Kopi ini mau kuseduh di mana
Diantara gelas
gelas yang berdebu
dan aku malas
membersihkan kenanganmu
Tak ingin
hilang meski ditelan waktu
Rindu ini,
sayang
Mau kulabuh di
mana
Jika ternyata
dermaga tanya
sesak rapat tak beruang
Sesekali aku
ingin mengajakmu berdzikir pikir
mengeja rimba
pengetahuan hingga akhir
juga keindahan
hidup, yang tak pernah redup
Apa mesti
kuhitung butir hujan satu satu
Lalu, mau berlabuh
kemana aku ?
Kebumen,
2020
Kidung Pamungkas, nama pena dari Sugeng Winarto, lahir di Kebumen 28 Maret 1983. Pernah kuliah di Akademi Keperawatan Karya Nhakti Husada Yogyakarta. Kini sebagai pelaku supranatural yang mencintai budaya Jawa.
***----------***
KAK IAN
Kopi Terakhir
Seperti mata rantai kehidupan duniawi
yang datang
pasti akan pergi
yang pergi
tidak akan kembali
itu tidak bisa
dipungkiri
Namun yang
tidak kembali
pasti akan
terganti!
Halnya kopi
yang tersaji pagi ini
mungkin tidak
ada lagi aroma mewangi
menemani hati
yang sedang sunyi
Akhirnya kopiku
tersaji
dalam tudung
nisbi
Jakarta, 0310202
Kak Ian, lahir dan tinggal di Jakarta. Seorang penulis dan aktivis anak yang masih tercatat menjadi mahasiswa semester terakhir jurusan PAI. Founder di Komunitas Pembatas Buku Jakarta (KPBJ). Sedang menekuni menjadi pendongeng. Karya-karyanya sudah termaktub di koran nasional dan lokal. Buku terbarunya, Hikayat Kota Lockdown (Kumpulan Cerpen, Sinar Pena Amala, Oktober 2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar