Jumat, 04 Desember 2020

K A R Y A

 

B a b i

 Cerpen Kristin Fourina

 

            Tahun 1970. Keberadaan peternakan babi di dusun itu tidaklah mengganggu. Bahkan, Nur mengenal baik pemilik peternakan babi –yang kandangnya selalu dijaga kebersihannya hingga tak menimbulkan bau menyengat. Kedekatan Nur dengan pemilik kandang babi sebetulnya telah lama terjalin, jauh sebelum akhirnya Nur memutuskan menolak lamarannya dan lebih memilih suaminya yang sekarang. Semua orang paham alasan Nur menolak lamaran Har, pemilik peternakan babi. Tidak lain karena Har memelihara babi yang tentu saja bagi orang tua Nur yang seorang kyai dianggap haram.

            Urusan jodoh—bagi Nur—ada di tangan orang tuanya. Sebetulnya, sudah seringkali Har meyakinkan Nur bahwa meskipun ia memelihara babi, bukan berarti ia tidak sholeh. Bagi Har, peternakan babi itu hanyalah sebuah usaha penyambung hidup yang memang sudah ada secara turun temurun dari nenek moyangnya. Namun, penjelasan Har rupanya tak mengubah keputusan. Bahkan, orang tua Nur telah memiliki calon untuk Nur—yakni suami Nur yang sekarang—yang menurut orang tua Nur lebih terpandang dan tentunya kaya raya.

            Biar saja urusan jodoh diurus oleh orang tuanya. Nur tak mau ambil pusing. Ia hanya merasa tak enak hati pada pemilik peternakan babi karena secara tidak langsung orang tuanya telah merendahkan martabat orang itu. Selanjutnya, kehidupan Nur hanya berkutat pada bagaimana cara menghabiskan uang yang berlimpah dari suaminya setiap bulan. Ia tidak menutup mata pada orang-orang di sekelilingnya. Tidak jarang ia menyumbangkan rejekinya yang berlimpah untuk kegiatan dusun.

            Nur bahkan membagi-bagikan hartanya setiap hari lebaran tiba. Uang yang dibagi-bagikan pada warga sekitar yang kurang mampu tidaklah seberapa dibandingkan rasa syukur tetangganya yang kemudian mendoakan agar Nur sekeluarga semakin diberi kelancaran dalam mencari rejeki. Orang-orang yang sedang membutuhkan biaya banyak dalam waktu mendadak seringkali juga datang ke rumah Nur untuk memperoleh pinjaman. Mereka senang meminjam pada Nur karena waktu pengembalian hutang yang tidak dibatasi dan tanpa bunga. Nur bahkan seringkali mengikhlaskan hutang yang tidak dibayar karena si empunya hutang telah tiada alias meninggal dunia. Jadilah Nur dikenal sebagai istri yang sholehah dan dermawan.

            Suaminya ialah pemilik perkebunan di dusunnya. Sesekali suaminya panen cengkeh tetapi tidak jarang juga panen panili. Terkadang dalam jangka waktu yang lama, suaminya tak panen apa pun. Sama sekali tak panen bukan berarti kekurangan bagi Nur. Pundi-undi uang tetap saja terkumpul di rumah Nur. Ia tak tahu dari mana suaminya mendapatkan uang sebanyak itu padahal perkebunan mereka sedang tak menghasilkan apa pun.

Hanya saja di malam-malam ketika perkebunan tak membawa hasil, Nur selalu melihat suaminya pergi dan kembali ketika hari sudah mulai subuh. Satu kali suaminya beralasan ingin pergi memancing untuk menghilangkan penat. Kali lain, ia mengatakan ingin mencari burung untuk dipelihara di teras rumah agar tidak sepi. Nur hanya mengangguk tiap kali suaminya meminta izin untuk keluar malam.

Suatu malam hujan turun sedemikian derasnya menandai awal musim hujan tiba. Nur menjumpai sebagian besar tanaman palawija yang ia tanam ambruk terkena hempasan angin saat hujan lebat semalam. Dalam kurun beberapa minggu kemudian tanaman palawijanya memang sering berantakan tersapu angin dan hujan. Bahkan, ladang sayurnya tak luput dari terjangan hujan.  

Bagi Nur, kerusakan yang menimpa kebunnya tidaklah amat penting. Namun, beberapa tetangganya rupanya juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan yang dialami Nur. Ladang yang sengaja ditanami sayuran di dekat rumah rusak di sana-sini. Bahkan hal itu juga tetap terjadi meskipun di malam harinya sedang tidak turun hujan. Pada akhirnya, beberapa tetangga mulai mencurigai Har si pemilik peternakan babi. Mereka berpendapat bahwa ladang sayur mereka rusak tidak hanya karena hujan, melainkan juga karena ulah babi yang lepas.

Orang-orang merasa senang ketika suatu malam berhasil memergoki seekor babi berlari merangsek ke dalam ladang sayur milik warga. Setidaknya, dugaan mereka tidak salah. Tiga bulan orang-orang mulai berburu babi yang lepas. Har si pemilik peternakan babi tidak berani melarang karena ia sendiri juga tak merasa kehilangan babi. Hanya saja akhir-akhir itu Nur semakin sering disergap rasa takut karena ia berada di rumah sendiri saat suaminya pergi.

Bulan keempat agaknya menjadi bulan bersejarah bagi dusun Nur. Babi itu tertangkap di ladang sayur milik Nur pada suatu malam yang hujan. Babi itu tampak mengerang kesakitan karena tubuhnya terkena sabetan parang. Di bawah sorot senter, babi itu tampak terpejam entah sadar entah pingsan.

Beberapa saat kemudian, semua orang tiba-tiba tertegun dan beralih menatap Nur dengan rasa tak percaya. Setelah mampu menguasai keadaan, satu-persatu mereka meninggalkan babi itu sambil berbisik dan menggerutu. Hampir hilang kesadaran Nur, membuatnya jatuh terduduk di samping babi yang kini telah beralih rupa menjadi suaminya sendiri.●

Kulonprogo, 2020

 

Kristin Fourina, lahir di Yogyakarta tahun 1987. Alumni FBS UNY ini menulis cerpen di sejumlah media cetak dan online, diantaranya Jawa Pos, Minggu Pagi, Cendana.news dll. Cerpen-cerpenya termuat dalam beberapa buku antologi bersama, diantaranya : Rendezvous di Tepi Serayu (2009), Lelaki yang Dibeli (2011),  Bayang-bayang (2012) Gelar Jagad (2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Bersama suaminya tinggal di Wates Kulonprogo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...