B
a
b
i
Tahun 1970. Keberadaan peternakan babi di dusun itu tidaklah mengganggu. Bahkan, Nur mengenal baik pemilik peternakan babi –yang kandangnya selalu dijaga kebersihannya hingga tak menimbulkan bau menyengat. Kedekatan Nur dengan pemilik kandang babi sebetulnya telah lama terjalin, jauh sebelum akhirnya Nur memutuskan menolak lamarannya dan lebih memilih suaminya yang sekarang. Semua orang paham alasan Nur menolak lamaran Har, pemilik peternakan babi. Tidak lain karena Har memelihara babi yang tentu saja bagi orang tua Nur yang seorang kyai dianggap haram.
Urusan jodoh—bagi Nur—ada di tangan
orang tuanya. Sebetulnya, sudah seringkali Har meyakinkan Nur bahwa meskipun ia
memelihara babi, bukan berarti ia tidak sholeh. Bagi Har, peternakan babi itu
hanyalah sebuah usaha penyambung hidup yang memang sudah ada secara turun
temurun dari nenek moyangnya. Namun, penjelasan Har rupanya tak mengubah
keputusan. Bahkan, orang tua Nur telah memiliki calon untuk Nur—yakni suami Nur
yang sekarang—yang menurut orang tua Nur lebih terpandang dan tentunya kaya
raya.
Biar saja urusan jodoh diurus oleh
orang tuanya. Nur tak mau ambil pusing. Ia hanya merasa tak enak hati pada
pemilik peternakan babi karena secara tidak langsung orang tuanya telah
merendahkan martabat orang itu. Selanjutnya, kehidupan Nur hanya berkutat pada
bagaimana cara menghabiskan uang yang berlimpah dari suaminya setiap bulan. Ia
tidak menutup mata pada orang-orang di sekelilingnya. Tidak jarang ia
menyumbangkan rejekinya yang berlimpah untuk kegiatan dusun.
Nur bahkan membagi-bagikan hartanya
setiap hari lebaran tiba. Uang yang dibagi-bagikan pada warga sekitar yang
kurang mampu tidaklah seberapa dibandingkan rasa syukur tetangganya yang
kemudian mendoakan agar Nur sekeluarga semakin diberi kelancaran dalam mencari
rejeki. Orang-orang yang sedang membutuhkan biaya banyak dalam waktu mendadak
seringkali juga datang ke rumah Nur untuk memperoleh pinjaman. Mereka senang
meminjam pada Nur karena waktu pengembalian hutang yang tidak dibatasi dan
tanpa bunga. Nur bahkan seringkali mengikhlaskan hutang yang tidak dibayar
karena si empunya hutang telah tiada alias meninggal dunia. Jadilah Nur dikenal
sebagai istri yang sholehah dan dermawan.
Suaminya ialah pemilik perkebunan di
dusunnya. Sesekali suaminya panen cengkeh tetapi tidak jarang juga panen
panili. Terkadang dalam jangka waktu yang lama, suaminya tak panen apa pun.
Sama sekali tak panen bukan berarti kekurangan bagi Nur. Pundi-undi uang tetap
saja terkumpul di rumah Nur. Ia tak tahu dari mana suaminya mendapatkan uang
sebanyak itu padahal perkebunan mereka sedang tak menghasilkan apa pun.
Hanya
saja di malam-malam ketika perkebunan tak membawa hasil, Nur selalu melihat
suaminya pergi dan kembali ketika hari sudah mulai subuh. Satu kali suaminya
beralasan ingin pergi memancing untuk menghilangkan penat. Kali lain, ia
mengatakan ingin mencari burung untuk dipelihara di teras rumah agar tidak
sepi. Nur hanya mengangguk tiap kali suaminya meminta izin untuk keluar malam.
Suatu
malam hujan turun sedemikian derasnya menandai awal musim hujan tiba. Nur
menjumpai sebagian besar tanaman palawija yang ia tanam ambruk terkena hempasan
angin saat hujan lebat semalam. Dalam kurun beberapa minggu kemudian tanaman
palawijanya memang sering berantakan tersapu angin dan hujan. Bahkan, ladang
sayurnya tak luput dari terjangan hujan.
Bagi
Nur, kerusakan yang menimpa kebunnya tidaklah amat penting. Namun, beberapa
tetangganya rupanya juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan yang
dialami Nur. Ladang yang sengaja ditanami sayuran di dekat rumah rusak di
sana-sini. Bahkan hal itu juga tetap terjadi meskipun di malam harinya sedang
tidak turun hujan. Pada akhirnya, beberapa tetangga mulai mencurigai Har si
pemilik peternakan babi. Mereka berpendapat bahwa ladang sayur mereka rusak
tidak hanya karena hujan, melainkan juga karena ulah babi yang lepas.
Orang-orang
merasa senang ketika suatu malam berhasil memergoki seekor babi berlari
merangsek ke dalam ladang sayur milik warga. Setidaknya, dugaan mereka tidak
salah. Tiga bulan orang-orang mulai berburu babi yang lepas. Har si pemilik
peternakan babi tidak berani melarang karena ia sendiri juga tak merasa
kehilangan babi. Hanya saja akhir-akhir itu Nur semakin sering disergap rasa
takut karena ia berada di rumah sendiri saat suaminya pergi.
Bulan
keempat agaknya menjadi bulan bersejarah bagi dusun Nur. Babi itu tertangkap di
ladang sayur milik Nur pada suatu malam yang hujan. Babi itu tampak mengerang
kesakitan karena tubuhnya terkena sabetan parang. Di bawah sorot senter, babi
itu tampak terpejam entah sadar entah pingsan.
Beberapa saat kemudian, semua orang tiba-tiba tertegun dan beralih menatap Nur dengan rasa tak percaya. Setelah mampu menguasai keadaan, satu-persatu mereka meninggalkan babi itu sambil berbisik dan menggerutu. Hampir hilang kesadaran Nur, membuatnya jatuh terduduk di samping babi yang kini telah beralih rupa menjadi suaminya sendiri.●
Kulonprogo, 2020
Kristin Fourina, lahir di Yogyakarta tahun 1987. Alumni FBS UNY ini menulis
cerpen di sejumlah media cetak dan online, diantaranya Jawa Pos, Minggu Pagi, Cendana.news dll. Cerpen-cerpenya termuat
dalam beberapa buku antologi bersama, diantaranya : Rendezvous di Tepi Serayu (2009), Lelaki yang Dibeli (2011), Bayang-bayang (2012) Gelar Jagad (2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Bersama suaminya tinggal di
Wates Kulonprogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar