Sabtu, 18 Desember 2021

 

MELAWAN MASA LALU

Cerpen Okti Setyani

 

 

“Bekerja keras bukanlah sebuah ungkapan, akan tetapi ialah pembuktian. Cita-cita bukanlah sekedar angan, akan tetapi sebuah tujuan kehidupan.

Di mana saat engkau merasa sendiri dalam dunia yang kejam dan terlalu menyilaukan, di situlah ilmu akan memberikan rasa aman atau setidaknya ia akan memberikanmu perisai dan sebilah pedang untuk bertahan dan payung agar kau tak tersilaukan.”

_Imam Maulana Al-Fatih_


               Jajaran mobil mewah hingga bobrok ada di sini. Mulai dari Range Rover, Rubicon hingga Avanza. Merah, hitam hingga samar-samar warnanya. Aku sudah hafal beragam  merek mobil, motor hingga sepeda. Jika ada kuis menyebutkan lima macam merek mobil atau motor, jelas aku jagonya. Bukan seorang sales, apalagi pemilik rental mobil. Hanya seonggok tulang dengan balutan daging dan otot.

        Kemeja putih dengan dasi merah garis-garis, bersepatu pantofel hitam mengilap, ditambah jas hitam penuh wibawa, tentu hanya akan mengundang gelak tawa. Bahkan bisa jadi aku diangkut petugas berseragam putih-putih rumah sakit jiwa, atau malah viral di media sosial dengan headline ‘Seorang Penjual Koran Di Jogja Mulai Tidak Sehat”.

            Yang berjas almamater biru tua, bersepatu pantofel dan mengendarai motor matik, pastilah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Di sisi lainnya, gadis berjilbab dusty pink berkorsa biru tua dengan lambang bunga kuning berdaun di salah satu lengannya, pastilah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Dan pria yang mengendarai motor ninja hijau, berkorsa hitam dengan tulisan kapslok di punggung, bertuliskan Gajah Mada University, sudah barang tentu.

              Beruntung!

       Dengan spesialisasi masing-masing rekan-rekanku mulai beraksi sepagi ini, pukul setengah enam. Mulai dari penjual tahu sumedang, gantungan kunci, tongsis dan air mineral, sudah bergerilya mengaduk-aduk jalanan di sepanjang lampu merah. Padahal matahari masih malu-malu, angin masih dingin menerpa, namun jalanan sudah macet. Dikerumuni manusia dengan berbagai tujuan untuk mengisi kehidupannya.

Aku berjalan menuruni trotoar saat lampu lalu lintas berubah merah, kendaraan mulai memadat, mengklakson tak sabar, bahkan ada yang nekat menerobos, tentu saja dengan pertimbangan matang-matang karena tak tampak sesosok pun petugas polisi. Saatnya aku beraksi. “Koran?” ujarku sambil mengangkat satu gulung koran harian Jogja.

Manusia itu berbeda-beda tabiatnya, ada yang tak menganggap, sekadar melirik sekilas, bahkan menutup jendela mobilnya. Apa susahnya sekadar menggeleng sambil tersenyum ramah. Dan tekadku untuk menghentikan warisan kebodohan pada anak cucu sudah bulat. Anakku harus memiliki pendidikan yang tinggi, kehidupan yang berkecukupan, masa depan cerah di dunia dan akhirat. Inilah ikrarku saat jiwa ini benar-benar sudah lelah dengan kebodohan yang membelenggu diri sendiri.

Jalanan menampakkan fatamorgana. Macet semakin menjadi-jadi. Suara klakson memekakan telinga. Sengatan sinar ultraviolet ada pada puncak kejayaannya. Dahaga juga mulai menjajah tenggorokan. Kubuka tas ransel lusuh yang tadi kuletakkan sembarangan di pot tanaman pinggir trotoar. Meraih sebotol air putih yang kubawa dari rumah. Juga sebungkus nasi goreng buatan putriku, sungguh nikmat.

            “Alhamdulillah…” ujarku saat pantat ini menyentuh trotoar, rasanya hangat. Tepat di bawah pohon asam rindang aku melepas lelah yang sudah menghujam tulang. Hanya rasa syukur yang akan menyelamatkan diri dari tikaman rasa ketidakadilan, iri, dengki dan pesimis. Ya, sangatlah tepat. “Madhang sikik Le…” ujarku pada seorang pemuda seusia putriku, tujuh belas tahun, ia berhenti bersekolah dan memutuskan bekerja dengan menjual kerupuk. Sungguh miris hidup ini.

Nggeh Pak,” jawabnya takzim kemudian berlalu menawarkan barang dagangannya pada para pegguna jalan.

Suara gesekan antara rantai, pedal dan bagian-bagian sepeda yang berkarat mengerumuni telinga. Menjadi alarm bahwa sang tulang punggung sudah kembali ke rumah. Polusi di Jogja sudah mulai menyesakkan, kendaraan dan manusia sudah memadati kota kecil yang terkenal dengan keramahan masyarakatnya. Dengan kayuhan pelan, pertanda sisa tenaga mulai menipis, aku menjadi salah satu pelopor pecinta lingkungan. Tepatnya karena keadaan, himpitan kemiskinan.

Rumah kecil yang berada di gang sempit, diapit rumah bertingkat nan mewah di sampingnya, bercat hijau yang mulai pudar, dan ubinnya retak-retak karena sudah terlalu lama menopang penghuninya yang tak kunjung berkembang. “Assalamu’alaikum…” ujarku sambil menyenderkan sepeda tuaku pada tembok samping rumah.

       Setelah Zahra membukakan pintu, aku duduk di kursi kayu yang tak diplitur, lalu mengibas-ngibaskan topi lusuh untuk menghilangkan panas yang mulai terasa. Kuraih kipas kecil yang berada di bawah meja, kuhidupkan. Suara angin yang berputar masuk ke gendang telinga, memberikan sensasi sejuk hanya dengan mendengarnya. Angin menerpa wajah, leher dan beberapa bagian tubuhku. Cukup nyaman.

         Suara dentingan, tumbukan antara gelas dan sendok membuatku segan untuk beranjak. Tentu saja pertanda air akan datang. Sejurus kemudian seorang gadis berumur tujuh belas tahun, memakai jilbab coklat dan kaos lengan panjang yang tidak jelas warnanya karena pudar, berjalan menuju ruang tamu dengan membawa nampan dengan dua gelas air teh hangat di atasnya. “Niki Pak, diminum dulu…”

           Melihat putriku, Zahra, aku pun teringat akan ikrarku. Sebuah ikrar yang tiba-tiba saja muncul di tengah kemacetan lalu lintas. Saat jiwa benar-benar lelah dengan hidup yang tak kunjung berubah. Saat hati mulai tersayat dengan tabiat. Dan saat aku muak dengan kebodohan yang membutakan. “Nduk, kamu mau lanjut ke mana? UGM opo UIN?” tanyaku santai sambil menyeruput teh manis buatannya.

           Ia tersenyum getir. “Ndak usah, Pak…” ucapnya dengan nada normal, namun aku tahu ada sebuah belati yang seolah menikam gadis itu saat mengatakannya.

           “Lho kok begitu?”

           “Kerja saja, Pak…”

         “Nduk, lihatlah Bapakmu ini, mau jadi apa kamu kalo ndak kuliah?” Nada bicaraku mulai meninggi. Aku sangat benci mendengar niat putri semata wayangku yang akan mewarisi kebodohan turun-temurun ini. Kebodohan yang hanya bisa ditumpas dengan mewah nan mahalnya pendidikan.

            Hening sejenak. Gelagatnya yang polos, sifat ceria, namun suka berdrama seolah baik-baik saja. Padahal aku tahu ia memiliki api yang berkobar di dalam sana, meraung-raung haus pendidikan, meronta-ronta minta diselamatkan. Keadaan memang suka bercanda dengan cita-cita. Mencoba memberi bayang suram akan keinginan kuat. Menghancurkan harapan yang telah lama di pupuk. Menghempas niat yang sudah terbangun kokoh dari awal. Tak akan kubiarkan putriku senasib denganku, manusia yang dikungkung kebodohan karena keterbatasan.

           Memang benar, aku seorang ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Kerja mati-matian demi memenuhi kebutuhan, bahkan terkadang tetap saja kurang. “Nduk, ndak usah berpikir aneh-aneh, rezeki Allah yang ngatur, insyaallaah Bapakmu kuat nguliahin kamu…” ujarku sambil menatapnya dengan tegas. Mencoba menyalurkan tekad kuat.

      “Bapak, kuliah iku mahal …” Seolah tertonjok oleh kenyataan. Namun dinding pertahananku terlalu kokoh hanya untuk ditabrak oleh masalah ekonomi, hal biasa bagi manusia.

***

           Dan seperti roda yang berputar. Setelah kesulitan, pastilah ada kemudahan. Kulirik gadis ayu berjilbab di jok sampingku, seorang dosen yang berpendidikan tinggi, Zahra. Sudah kubilang bahwa hidup memang suka bercanda, bukan?

Kuturunkan jendela mobil, pantulan cahaya langsung menerpa. Wajah Jogja sudah berbeda, lebih moderen dan panas, sumpek. Namun mereka: tukang koran, minuman, gantungan kunci dan lainnya, masih bertahan. Karena alasan yang sederhana, yaitu perjuangannya di masa lalu kurang keras. Saat aku berjualan koran di siang hari dan membuat kerajinan di malam hari demi memperjuangkan pendidikan putriku, mereka terlalu santai. Bahkan mengabaikan pendidikan yang memang harus dibayar mahal.

“Koran, Pak…” ujarku sambil melambai-lambaikan tangan pada seorang pria paruh baya, tukang koran yang berlalu lalang menawarkan koran di depan sana. “Berapa Pak?” tanyaku lagi saat ia mendekat.

            “Lima ribu,” ujarnya ngos-ngosan sambil sesekali menyeka keringat yang berlinangan di wajahnya. “Mau yang apa Pak?” Ia menunjukkan berbagai jenis koran yang tersampir di lengan kecoklatan nan keriputnya.

            “Kompas saja…”

         Seorang mantan penjual koran membeli koran. Hidup memang lucu. Suka bercanda dengan segala kesulitannya. Membayang-bayangi dengan kegelapan yang menakutkan, padahal kalau saja optimis dan terus berjalan, ternyata bayangan gelap itu membahagiakan.  

         Dulu aku melihat manusia yang duduk di mobil mewah adalah mereka yang beruntung, sedangkan aku tidak. Namun sekarang aku melihat mereka sebagai orang yang telah berhasil merayu Tuhannya dengan doa dan kerja keras tiada terkira. Perjuangan kami tidak mudah, air mata dan keringat darah haruslah tumpah. Makan sekali sehari, hingga makan berlauk garam, pernah kami lalui. Zahra juga membantu perekonomian dengan berjualan makanan di kampusnya. Saat malam Minggu berjualan bunga di Malioboro. Dan sesekali membantuku berjualan koran.

Rasa syukur dan huznuzan-lah penguat langkah kami melalui semua ini. Dan dengan terus-menerus merayu Sang Khaliq, menggodanya dengan melangitkan bertubi-tubi doa nan kerja keras.


Okti Setiyani, lahir 22 tahun yang lalu dan saat ini sedang menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga. Hobinya menulis, membaca, memukul, menendang dan mengkhayal. Ia merupakan ketua Komunitas Pena Indonesia, Duta Nasional Mahasiswa Inspiratif DIY dan kiprahnya di dunia literasi menghasilkan novel solo juga beberapa antologi cerpen. Masih kepo dengan manusia yang satu ini? Penulis dapat dihubungi melalui instagram @okti_setiyani08 atau email oktisetiyani1999@gmail.com.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...