Opera
Sarmun
Cerpen Tri Apriyadi
Siang itu di pinggiran ibu kota panas terik menyengat. Sarmun berjalan
gontai sambil tangannya menyeka keringat yang bercucuran di mukanya. Kemeja
pembungkus badannya yang kurus nampak basah. Wajahnya pucat. Di samping karena panasnya mentari, hatinya
juga gerah. Dia barusan saja kehilangan pekerjaan. Dia di PHK dari perusahaan
dimana dia bekerja sebagai salah satu karyawannya. Perusahaan tempat dia
bekerja menyatakan diri bangkrut. Perusahaan sudah tidak bisa membiayai produksi
dan membayar upah dan gaji pegawai dan karyawan. Pandemi Corona telah menghantam
telak perusahaan yang bergerak di bidang sepatu itu.
Sarmun berjalan lesu pulang menuju rumah kontrakannya. Di sepanjang
perjalanan Sarmun terus memikirkan apa yang harus dikatakannya pada Surti,
istrinya dirumah. Dia sangat sedih membayangkan raut wajah istri dan anaknya bila
mendengar kabar buruk ini.
Sarmun adalah tulang punggung keluarganya. Ia dan istrinya merantau dari
kampung ke ibu kota tanpa bekal ketrampilan yang cukup. Telah lebih dari lima tahun ia hidup di kota dengan dua anak. Istrinya
hanya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus dua orang anaknya yang masih
kecil-kecil. Sesekali Surti menerima cucian dari tetangganya yang ia kerjakan setelah
menidurkan anak-anaknya. Penghasilannya tidak seberapa. Hanya cukup buat jajan
anaknya saja.
Sesampai di rumah, Sarmun melihat anak-anaknya baru tidur. Istrinya
terlihat masih sibuk di dapur untuk membuat masakan dan mencuci pakaian milik
tetangga.
“Kenapa Mas, kok jam segini sudah pulang? Sakit Mas ?” tanya Surti ketika melihat suaminya sudah duduk di
kursi sambil mendelosorkan kakinya. Suaminya nampak lemas.
Sarmun belum membalas. Dia hanya diam sambil matanya redup menatap wajah
istrinya.
Surti seketika berbalik ke belakang mengambilkan segelas teh hangat.
“Ini diminum dulu Mas. Biar agak enakan” Surti menyuguhkan teh hangat di
meja depan suaminya. Sambil
mengambil tempat duduk di samping suaminya. Sarmun agak tergagap dan segera
menyeruput tehnya. Terasa kehangatan mengalir ke kerongkongan hingga ke perut.
Sarmun cukup tenang.
“Nganu Sur…” Sarmun untuk beberapa saat tidak meneruskan kalimatnya. Dia
menatap wajah istrinya. “Aku di PHK oleh perusahaan. Karena dampak Corona”
Surti mendengarkan. Kemudian sejenak diam. Raut mukanya menyiratkan kekagetan yang tertahan.
Berganti kesedihan. Bayangan kelam langsung menyeruak dalam
pikirannya. Alam bawah sadarnya langsung terbayang akan
semakin sulitnya melangsungkan hidup keluarganya. Terutama untuk merawat
anak-anaknya. Ketika suaminya masih kerja saja hidup keluarganya pas-pasan. Upahnya
hanya cukup untuk mengontrak rumah kecil di tengah perkampungan yang sewanya
tiap tahun terus bertambah dan kebutuhan makan sehari-hari saja. Belum untuk
membelikan susu untuk anak bungsunya. Itu bisa tercukupi ketika ia dapat upah
dari mencuci dan mensetrika pakaian dari para tetangga.
Tapi Surti bisa memakluminya. Ia telah mendengar tentang wabah virus
Corona dari ibu-ibu tetangganya ketika ngobrol di warung ketika belanja.
“Ya sudah. Mau bagaimana lagi.
Memang lagi begini keadaaanya. Tetangga kita juga banyak yang di PHK juga
karena pabriknya pada tutup. Kalau saya sih bisa menerima mas. Tidak masalah. Tetapi
anak-anakmu itu yang aku pikirkan. Mereka masih kecil. Belum tahu apa-apa soal
kesulitan hidup. Apalagi wabah penyakit” Surti berusaha menenangkan hati
suaminya. Sambil melihat dua orang anaknya yang lagi tidur di kasur tipis yang
sudah kotor.
Sarmun cukup lega. Surti mau menerima kabar ini dengan tenang. Itulah
salah satu yang disukai Sarmun dari Surti : sabar, nriman.. Ia merasa
tidak salah memilih Surti menjadi istrinya.
“Coba besuk usaha cari kerja lagi aja. Siapa tahu ada yang mau
menerimamu kerja” kata Surti memberikan usul.
“Iya Sur. Besuk saya tak cari kerja.” jawab Sarmun semangat.
Keesokan hari nya, pagi-pagi buta Sarmun sudah berangkat ke luar rumah.
Ia berkeliling untuk mencari kerja. Di beberapa jalan kampung yang ia lalui, sudah
mulai ada yang ditutup jalannya dengan spanduk panjang bertulisan: KAMPUNG INI
SEMENTARA DILOCKDOWN. Terpaksa kadang kala dia harus memutar haluan untuk
menuju tempat tujuan. Sesampai di sebuah perusahaan/pabrik, sering ia mendapat
info tidak menerima karyawan lagi. Malah sebaliknya akan merumahkan banyak karyawan.
Dalam seminggu ini Sarmun mendapati kenyataan itu. Telah banyak perusahaan
/ pabrik yang ia datangi menolaknya. Tapi Sarmun tidak berputus asa. Dia terus
berkeliling untuk mencari kerja. Bayangan anak-anaknya yang menjadi semangat
dirinya.
Suatu pagi Sarmun tidak keluar rumah. Dia merasa capek hari itu. Sarmun
duduk termenung di rumahnya. Tiba-tiba dia kaget mendengar pintu rumahnya di
ketuk.
“Tok..tok…tok.. Sarmun…Surti”. Terdengar suara perempuan agak kencang
dari luar
“Ya. Sebentar.” Sarmun menjawab sambil membuka pintunya. Terlihat Bu
Minah, pemilik rumah kontrakannya, telah berdiri di depan pintu.
“Kebetulan kamu ada dirumah, Sarmun. Langsung saja ya.. Gini aku mau menanyakan
bayaran kontrakan rumah ini. Sewa tahun ini khan sudah habis pada dua bulan yang
lalu. Kapan mau bayar ? Secepatnya ya.. Kalau tidak, bisa cari kontrakan yang
lain. Soalnya ada orang lain yang lagi cari rumah kontrakan juga” kata bu Minah
tanpa basa-basi memberondong bagai senapan mesin. Suaranya keras tapi agak
kurang jelas karena terhalang masker warna hijau muda yang menutupi mulutnya.
Seketika kata-kata bu Minah seperti palu godam yang menghantam-hantam
kepala Sarmun. Serasa ada banyak bintang berputar di sekeliling kepalanya. Kepalanya
jadi pusing.
“Maafkan bu Minah. Kami belum punya uang. Saya sudah di PHK dari perusahaan.
Dan belum dapat kerjaan lagi. Tolong beri waktu lagi ya. Kami mohon.” Sarmun memohon dengan suara yang agak kelu
tercekat di tenggorokan.
Bu Minah diam sejenak.
“Ee.. Baiklah. Aku maklumi. Aku kasih waktu satu bulan lagi ya.. Bener
lho ya.. Jika tidak, silahkan cari rumah kontrakan yang lain. Sekarang banyak
yang lagi cara kontrakan yang kecil kayak gini. Saya tunggu ya…” kata Bu Minah
lalu pergi tanpa pamit.
Sarmun hanya diam. Matanya menatap kosong ke arah perempuan tambun itu sampai menghilang
dari pandangan di tikungan jalan kampung. Pikirannya berkecamuk berbagai rasa :
dikejar-kejar, putus asa dan cemas. Dia terduduk di kursi. Nafasnya agak
tersengal-sengal . Asmanya kambuh kembali.
***
Sarmun masih mencoba berusaha. Setiap hari dia masih berkeliling mencari
pekerjaan. Tapi selalu gagal. Tidak ada perusahaan atau pabrik yang menambah
karyawan baru. Bahkan kebanyakan mengurangi karyawan.
Waktu sebulan hampir berlalu.
Pada suatu malam, Sarmun berbicara dengan istrinya di ruang tamu. Hanya
di terangi nyala lilin pengganti lampu karena pemutusan listrik sejak tadi
pagi.
“Sur, aku telah habis. Aku tidak dapat bekerja lagi. Dimana-mana
perusahaan sudah tidak menerima karyawan lagi. Bahkan mengurangi karyawan.
Banyak perusahaan yang kolaps. Semua karena Corona. Aku tidak tahu lagi apa
yang harus aku lakukan untuk mencukupi kebutuhan kita” keluh Sarmun sambil
memegangi kepala dan terpekur.
Surti tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada dua anaknya yang
telah tertidur lelap kelelahan seharian bermain.
“Aku juga tidak bisa membantu lagi mas. Tetangga sudah tidak ada yang
meminta bantuan untuk mencucikan pakaiannya. Kebanyakan mereka lebih banyak
bekerja di rumah dan punya waktu mencuci pakaiannnya sendiri”kata
Surti.
“Tak mengapa, Sur. Aku tahu.”
“Terus kita harus bagaimana? Bagaimana dengan anak-anak? Apalagi
sebentar lagi pasti bu Minah akan menagih uang kontrakan rumah”
“Itu yang paling aku pikirkan.”
“Terus ?”
Sarmun terdiam sebentar. Sejurus kemudian dia berkata, “Gimana kalau kita
pulang kampung saja. Tidak ada yang bisa kita perbuat disini. Beban hidup di
kota semakin lama akan semakin berat dengan kondisi seperti ini. Kita tidak
akan sanggup memanggulnya jika berlama-lama di kota. Terutama aku khawatir
tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup anak-anak kita. Kalau di kampung mungkin
tidak seberat ini bebannya. Gimana Surti ?”
“Aku nurut saja Mas kalau menurutmu itu lebih baik”
“Baiklah kalau begitu. Beberapa hari lagi kita berangkat”
***
Tetapi bukan hal yang mudah juga
pulang kampung dalam keadaan wabah seperti ini.
Semua daerah memperketat aturan bagi perantau yang mudik ke kampung
halamannya. Para pemudik diharuskan untuk untuk melakukan isolasi mandiri. Tidak
boleh bergaul dengan orang lain selama dua minggu. Harus berdiam diri di rumah dan
tidak diperbolehkan pergi kemana-mana terlebih dahulu..
Begitu juga dengan Sarmun sekeluarga. Sesampai di rumah kampung
halamannya, dia langsung di datangi oleh
pamong desa dan tokoh masyarakat setempat.
“Mun, untuk kebaikannya kita semua seluruh warga sini, saya minta kamu
sekeluarga tidak usah kemana-mana dulu ya. Dirumah aja dulu sementara waktu.
Isolasi.“ pinta pak Parto, Kepala Dukuh mewakili.
“Iya pak. Kami paham kok. Kami akan patuhi sesuai dengan aturan pak”
jawab Sarmun dengan jelas.
“Nha begitu lebih baik. Biar kita semua sehat aman bebas penyakit.
Termasuk kelurgamu. Terutama bapakmu itu”
“Iya pak”
Sarmun lantas memandang bapaknya yang sudah tua. Memang, di rumah, tinggal
bapaknya yang sudah tua dan satu adik perempuannya. Ibunya telah lama meninggal
karena penyakit asma yang telah menggerogoti tubuhnya selama
bertahun-tahun.
***
Selama kurang lebih dua minggu dia dan keluarganya pun mengurung diri di
dalam rumah. Hari-hari ia jalani dengan kehati-hatian sesuai dengan arahan dan
petunjuk dari petugas medis kecamatan yang terus memantaunya. Dia berharap tidak
membawa wabah penyakit yang dapat menyebar menjangkiti keluarga yang
dicintainya.
Selama masa isolasi Sarmun merasa sehat-sehat saja. Beberapa tetangga
juga sempat menjenguknya hanya sekedar untuk mengetahui keadaannya. Dengan
bantuan adik perempuannya dan beberapa tetangga, Sarmun bisa melewati masa
isolasinya.
Setelahnya, Sarmun berpikir keras tentang bagaimana melanjutkan hidupnya
di kampung. Keluarganya bukan keluarga yang berkecukupan. Bapaknya hanya punya sepetak sawah yang dikerjakan
tetangga dengan sistem bagi hasil. Bapaknya sudah tidak mampu mengerjakannya
sendiri. Sarmun sendiri merasa tidak bisa lagi mengolah sawah. Dia sudah lama
tidak pernah mencangkul dan bercocok tanam selama di kota. Sarmun belum tahu
mau kerja apa di kampung. Keseringan
Sarmun berpikir terlalu serius, menjadikan kepalanya pusing. Tak jarang
penyakit asma –‘warisan ibunya- nya kambuh karenanya.
Akhirnya, atas izin bapaknya, dia menggadaikan surat sawahnya untuk di
belikan sepeda motor. Sarmun mencoba peruntungan dengan menjadi tukang ojek.
Dia mangkal dekat terminal kecamatan. Sarmun bekerja sangat keras. Dia
berangkat pagi dan pulang malam. Dia merasa beban tanggungannya sangat berat.
Selain harus menghidupi keluarganya, dia juga harus membayar cicilan untuk
menebus surat sawahnya.
Dalam ngojek, Sarmun tidak pilih-pilih penumpang. Semua penumpang ia
layani. Tidak memandang berasal dari mana dan tujuannya kemana. Banyak teman
kerjanya nya yang tidak berani melakukannya. Sarmun tidak memperdulikannya. Tekadnya
hanya satu : mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Karenanya Sarmun sering abai terhadap kondisi kesehatannya.
Surti sesekali mengingatkan
suaminya.
“Jangan lupa jaga kondisi kesehatanmu Mas. Istirahat kalau capek. Jangan kamu paksakan. Ingat
asmamu lho”
“Iya, aku tahu. Aku begini biar surat sawahnya bisa cepat ku tebus.
Nggak enak sama bapak dan Murni, adikku. Bagaimanapun Murni juga punya hak atas sawah
itu.
“Iya. Tapi ini khan baru ada wabah penyakit”
“Aku ingat itu. Tenang saja.”
***
Beberapa hari ini Sarmun tidak kerja. Badannya demam. Dan batuk-batuk. Asmanya
kambuh lagi. Nafasnya tersengal-sengal. Batuknya semakin menjadi. Semakin hari bertambah
parah. Lantas ia memeriksakan diri ke puskesmas kemudian dirujuk ke rumah
sakit. Hal yang dikhawatirkan terjadi : Sarmun dinyatakan positif terkena virus
Corona.
Saat itu juga Sarmun langsung di isolasi. Tidak berapa lama kabar itu
telah menyebar. Media massa dan sosial telah mengabarkan. Keluarganya menjadi
sorotan. Keluarganya ikut diisolasi. Dalam beberapa waktu, keluarga telah dapat menjalani
isolasi dan dinyatakan sembuh. Sedangkan Sarmun dengan kondisi bawaan penyakit
dan keterbatasan peralatan di rumah sakit, nyawa Sarmun tidak tertolong. Dengan
cepat, jenazahnya dikebumikan di pemakaman yang disembunyikan waktunya. Hanya keluarganya yang tahu.
Surti dan keluarganya hanya bisa melihat dari jauh ketika jenazah Sarmun
dikebumikan. Sambil menggendong dan menggandeng dua anaknya yang masih
kecil-kecil, Surti hanya bisa terisak lirih. Surti hanya bisa nrimo.
Kulon Progo, April 2020
Tri Apriyadi, lahir di Salatiga, 8 April 1976. Aktivitas
sehari-harinya adalah pegiat di lembaga nirlaba yang konsen di isu lingkungan
kehutanan & kebencanaan. Disela-sela kesibukannya masih menyempatkan
untuk menulis cerpen dan puisi Alumni Sosiologi UGM ini aktif Komunitas Sastra-Ku dan
Forum Sastra dan Teater Kulon Progo. Buku kumpulan cerpen yang telah terbit Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi
(Guepedia, 2020). Tinggal di Wates Kulonprogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar