RESENSI BUKU
MENAFSIR
MENAKSIR WAKTU
Oleh : Inung Setyami
-------------------------------------
Judul Buku : Menaksir Waktu
Penulis :
Marwanto
Cetakan : Maret, 2021
Tebal : xii + 82 halaman
Penerbit : Pusaka_Ku
ISBN : 978-623-6054-25-3
-------------------------------------
Membaca sekumpulan puisi dalam antologi Menaksir Waktu yang ditulis oleh Marwanto, saya merasa sedang menyambangi rimba belantara kata-kata yang eksotis, liar, dan luas. Ada banyak hal yang bisa dikulik di dalamnya.
Menaksir Waktu memuat sejumlah puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1992-2002. Puisi-puisi yang terhimpun selama 10 tahun ini
seakan merupakan sumblimasi banyak hal yang dialami baik secara lagsung maupun
tidak langsung oleh penulisnya. Puisi-puisi dalam buku ini tampaknya sederhana apabila
hanya dilihat dari judulnya saja yang sebagian besar ditulis lugas, misalnya Menghadiri Pesta, Kepada Sawah, Cermin, Menuju Vredeburg dan judul judul yang
lain. Tampak seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Namun apabila dicermati lebih dalam pada
larik-lariknya, ternyata tak sederhana yang dibayangkan.
Puisi-puisi ini sarat akan makna baik secara implisit maupun eksplisit.
Puisi-puisi yang
ditulis penggagas komunitas Lumbung
Aksara dan komunitas Sastra-ku
ini, pada setiap susunan diksi seakan mampu menjadi ruang singgah untuk
berkontemplasi bagi pembaca, baik tentang kehidupan sosial, politik, budaya, dan
religious ketuhanan, yang kemudian (mungkin)
mampu mengantarkan pembacanya pada ruang katarsis.
Berkaitan dengan
religious ketuhanan, Marwanto seakan mengajak pembaca untuk mengenali Sang
Pencipta dan mendekap rasa syukur tanpa menggurui apalagi menggombali. Inilah
yang kadang paling sulit dilakukan oleh penulis. Sebab dengan lepas kendali,
bisa saja seorang penulis menggurui pembacanya melalui kata-kata yang diramunya
itu tanpa ia sadari. Gambaran religious ketuhanan tampak pada beberapa penggalan
puisi berikut.
Allah, lapangkan degup dada//memejam dari lomba yang
fana//bila satu lekuk huruf pun khilaf//turunkan sayap-sayap
malaikat//memelihara ayat
(Marwanto, 2021: 48)
Malam adalah pintu gerbang//dengan sajadah tergelar
panjang//lalu kita menuju air wudhu//merontokkan beribu debu (Marwanto, 2021: 57)
…pasir pun tasbih bersaut-saut//…ikan pun tahlil bertalu-talu//…kirimkan
suara azan//sebagai bekal kencan dengan peradaban (Marwanto, 2021: 66)
Namun sebenarnya ia tahu di stasiun mana kereta ini nantinya
berhenti: pada sajak pagi, ketika Tuhan mengirimku setangkai melati (Marwanto, 2021: 68)
Beberapa penggalan
puisi di atas menggambarkan kedekatan dan ingatan kepada Sang Pencipta dengan
gaya bahasa yang memesona. Dapat
dimaknai bahwa beberapa puisi yang
ditulis Marwanto menggaungkan tema-tema ketuhanan, yaitu menunaikan bersuci dan
kewajiban sholat sebagai umat Islam, mempercayai datangnya kematian sebagai
takdir ilahi dan memahami bahwa keramaian dunia ini sesungguhnya hanyalah
kefanaan yang kadang atau bahkan tidak semua orang mampu menyadari itu.
Melihat rekam
jejak kepenulisannya, tampaknya puisi menjadi salah satu yang hidup dalam jiwa
penulisnya. Marwanto meramu kata-kata tentu tak lepas dari dirinya, ia
menuliskan beberapa tempat yang barangkali pernah dikunjungi, dikenal, atau
bahkan yang mengesankan bagi dirinya. Ketersentuhannya
dengan tempat-tempat ini kemudian menjadi moment tersendiri dan berpengaruh
bagi proses kreatifnya. Bahkan nuansa desa sebagai bagian dari tempat kelahirannya
di Kulon Progo, tidak berjarak dalam karya-karyanya.
Menyelami
puisi-puisi dalam buku antologi ini, akan ditemukan nuansa desa khususnya sawah
yang ditulis beberapa kali, kritik sosial, dan religious ketuhanan. Dalam
karya-karyanya, penulis begitu runtut menuliskan tempat tempat (saya menemukan Malioboro,
Temanggung, Jombang, Sragen, Solo, Banyumas, Pacitan,
dll) yang terbingkai secara puitis. Agaknya penulis lebih memilih menulis dari
luar dengan menengok realitas sosial melalui kedalaman perasaan dan pikirannya.
Bukan semata-mata menulis dari dalam, atau anggap saja sekedar meluahkan
tentang rasa dalam diri yang diungkapkan ke luar sebagai bentuk curhatan.
Marwanto melalui
puisi-puisinya mampu menyodorkan hal-hal yang luas, yang menyentuh nurani dan
pikirannya atas realitas yang ditemuinya, kritik sosial misalnya. Wujud kritik sosial dalam puisi-puisinya dapat
dilihat dalam penggalan puisi “Dari Jalanan Pengemis pun Mengerang” dan
“Daun-Daun Samping rumah”, tampak sebagai berikut:
Pengemis yang melenggang di jalanan//Selalu mengacungkan
tangannya pada orang dalam sedan//Adalah wajah duka negeri ini//Kemarin atau
nanti pasti muncul sendiri.
Pengemis yang
mendesis di tritis-tritis pertokoan adalah hiasan pembangunan pada
sebuah negeri yang sulit merasakan tangis dan rintihan orang-orang pinggiran. (Marwanto, 2021: 45)
Memandang sejuknya daun-daun samping rumah, mengingatkan
pada lembaran bumiku yang belum tersentuh sampah-sampah industri//para remaja memang telah dirayu cerita-cerita dari Batam,
Malaysia, Arab, Hongkong atau Taiwan//Namun hamparan sawah-sawah perawan masih setia merengek minta digauli tak henti-henti. (Marwanto, 2021: 64)
Pada penggalan
puisi tersebut, seakan hendak
berbicara bahwa ada hal hal ironis. Negeri ini kaya, gemah ripah loh jinawi katanya, namun kenyataannya pengemis masih
berkeleleran di jalan-jalan besar. Gedung-gedung dibangun makin membumbung,
tapi kaum papa masih ada juga yang mengerang menangis di tritis-tritis. Salah
satu contoh gambaran ketidakseimbangan antara pesatnya pembangunan dan
kesejahteraan.
Mungkin realitas
ini yang digunakan penulis sebagai background
dalam proses kreatifnya mencipta puisi. Sebut saja hal semacam ini sebagai
“gudang pengetahuan” penulisnya dalam mengolah realitas yang dijumpainya. Bisa
saja penulis mengungkapkan “banyak pengemis//mereka lapar belum makan//di bawah
gedung-gedung megah tangannya tengadah meminta minta”, namun dengan menulis seperti
itu, lantas apa bedanya puisi dengan laporan berita? Nah disinilah kelihaian
penulis bermain diksi untuk menyampaikan maksud secara estetis.
Pada penggalan
puisi selanjutnya, Marwanto menungkapkan kritik sosial tentang kondisi desa
yang mulai kehilangan para pemudanya. Para pemuda lebih banyak yang tergiur
menjadi TKI dan TKW ke luar negeri. Sawah dan ladang bukan lagi menjadi impian
dan mulai ditinggalkan. Hal ini digambarkan dengan diksi yang segar “para
remaja memang telah dirayu cerita-cerita
dari Batam, Malaysia, Arab, Hongkong atau Taiwan”.
Sebagian besar
puisi yang ditulis Marwanto dalam buku Menaksir
Waktu pekat dalam penggunaan gaya bahasa, ada juga yang menggunakan bahasa
secara lugas. Hal yang perlu digarisbawahi adalah betapa penting kepekatan
bahasa dalam berpuisi. Puisi-puisi yang dihadirkan lewat penggunaan, citra, dan
lambang akan mampu membuat puisi menjadi lebih estetis dan prismatis atau kaya
makna. Bukankah itulah keunikan dan keistimewaan sebuah puisi? Pinjam ungkapan
Sapardi: “Puisi itu ingin mengatakan begini tetapi dengan cara begitu.” Maka
puisi-puisi Marwanto ini, sudah seperti yang diungkapkan Sapardi yaitu ingin
mengatakan begini dengan cara begitu.
Puisi-puisi
dalam Menaksir Waktu karya Marwanto juga kaya akan metafor untuk menyampaikan
maksud tertentu. Tidak ada kata-kata yang kehadirannya digiring dengan paksa
sebagai pondasi puisi-puisi yang ditulisnya. Puisi-puisi ini menurut saya
memiliki diksi-diksi yang pas untuk menyampaiakan maksud yang ingin diungkapkan
dan memberi efek puitis yang ingin dicapai.
Melalui
diksi-diksi yang digunakan, pembaca akan tahu bagaimana dan seberapa daya cipta
seorang penulis. Puisi puisi dalam Menaksir
Waktu menggunakan gaya bahasa yang bervariasi, yaitu adanya penggunaan gaya
bahasa metafora, hiperbola, simile, personifikasi dan lain sebagainya yang
dirasa kehadirannya cukup pas. Tidak berlebihan tidak pula kekurangan. Penggunaan gaya bahasa, tampak pada puisi
berjudul Menaksir Waktu berikut.
Pagi adalah lapang dada//yang mesti diterima dengan
sederhana//dan tanah yang basah mengawali hari menuju payah//bagai anak-anak
menyimak dewasa tak luput dari petuah//apakah waktu, seperti yang kita angankan
pada jarum jam// seperti yang ditunggu orang tua dan kereta berjalan (Marwanto, 2021: 33).
Terdapat
penggunaan gaya bahasa metafora, personifikasi, dan simile. Gaya bahasa
metafora pada larik “Pagi adalah lapang dada”. Waktu pagi hari, waktu yang
masih segar, diibaratkan serupa lapang dada atau kesabaran. Gaya bahasa
personifikasi terdapat pada larik “Tanah yang basah mengawali hari menuju
payah”. Pada larik tersebut, tanah digambarkan seakan seperti manusia yang
mampu beraktivitas. Larik larik berikutnya, terdapat penggunaan kata “seperti”
sebagai simile, yaitu “seperti yang kita angankan pada jarum jam” dan “seperti
yang ditunggu orangtua dan kereta berjalan” untuk mengibaratkan waktu.
Dapat dipahami
bahwa waktu kian meluncur, melesat bergerak meski terasa lambat ataupun cerpat.
Tak ada seorangpun yang mampu menghalangi pergerakan waktu. Pergerakan waktu,
oleh penulis disimbolkan sebagai jarum jam, diibaratkan sebagai kereta
berjalan. Melalui puisi-puisinya, Marwanto menghadirkan gaya bahasa dengan
luwes, mengalir antara diksi yang satu dengan yang lain, menimbulkan
keterjalinan hingga mampu mencapai efek estetik dalam puisi-puisinya.
Ibarat mencecap
makanan, membaca Menaksir Waktu seakan
kita disuguhi makanan yang enak namun juga sehat dan bergizi. Bukan makanan
instan yang lebih sering hanya memesona pada kemasannya saja. Akhir kata: bacalah buku ini segera!
Kulon
Progo, 13 Maret 2021.
Inung
Setyami, S.S.,M.A. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara (Kaltara). Buku
terbarunya, Kritik Sastra (nonfiksi),
Melankolia Bunga-Bunga (Antologi
Cerpen, 2020) Distikon Rasa (Antologi
Puisi, 2021), Kisah Si Rawit (Novel
Anak, 2021), Bulan Terjebak di Mata
Seekor Kucing (Antologi Cerpen, 2021), dan Dongeng Bulan dan Nyanian Hujan (Antologi Puisi Anak, 2021). Saat ini kandidat doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar