Sabtu, 13 Maret 2021

K A R Y A

 

RESENSI BUKU

MENAFSIR MENAKSIR WAKTU

Oleh : Inung Setyami

 

-------------------------------------

Judul Buku     : Menaksir Waktu

Penulis             : Marwanto

Cetakan         : Maret, 2021

Tebal               : xii + 82 halaman

Penerbit          : Pusaka_Ku

ISBN              :  978-623-6054-25-3

-------------------------------------

 

Membaca sekumpulan puisi dalam antologi Menaksir Waktu yang ditulis oleh Marwanto, saya merasa sedang menyambangi rimba belantara kata-kata yang eksotis, liar, dan luas. Ada banyak hal yang bisa dikulik di dalamnya.

Menaksir Waktu memuat sejumlah puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1992-2002.  Puisi-puisi yang terhimpun selama 10 tahun ini seakan merupakan sumblimasi banyak hal yang dialami baik secara lagsung maupun tidak langsung oleh penulisnya. Puisi-puisi dalam buku ini tampaknya sederhana apabila hanya dilihat dari judulnya saja yang sebagian besar ditulis lugas, misalnya Menghadiri Pesta, Kepada Sawah, Cermin, Menuju Vredeburg dan judul judul yang lain. Tampak seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Namun apabila dicermati lebih dalam pada larik-lariknya, ternyata tak sederhana yang dibayangkan. Puisi-puisi ini sarat akan makna baik secara implisit maupun eksplisit.

Puisi-puisi yang ditulis penggagas komunitas Lumbung Aksara dan komunitas Sastra-ku ini, pada setiap susunan diksi seakan mampu menjadi ruang singgah untuk berkontemplasi bagi pembaca, baik tentang kehidupan sosial, politik, budaya, dan religious ketuhanan, yang kemudian  (mungkin) mampu mengantarkan pembacanya pada ruang katarsis.

Berkaitan dengan religious ketuhanan, Marwanto seakan mengajak pembaca untuk mengenali Sang Pencipta dan mendekap rasa syukur tanpa menggurui apalagi menggombali. Inilah yang kadang paling sulit dilakukan oleh penulis. Sebab dengan lepas kendali, bisa saja seorang penulis menggurui pembacanya melalui kata-kata yang diramunya itu tanpa ia sadari. Gambaran religious ketuhanan tampak pada beberapa penggalan puisi berikut.

Allah, lapangkan degup dada//memejam dari lomba yang fana//bila satu lekuk huruf pun khilaf//turunkan sayap-sayap malaikat//memelihara ayat (Marwanto, 2021: 48)

Malam adalah pintu gerbang//dengan sajadah tergelar panjang//lalu kita menuju air wudhu//merontokkan beribu debu (Marwanto, 2021: 57)

…pasir pun tasbih bersaut-saut//…ikan pun tahlil bertalu-talu//…kirimkan suara azan//sebagai bekal kencan dengan peradaban (Marwanto, 2021: 66)

Namun sebenarnya ia tahu di stasiun mana kereta ini nantinya berhenti: pada sajak pagi, ketika Tuhan mengirimku setangkai melati (Marwanto, 2021: 68)

Beberapa penggalan puisi di atas menggambarkan kedekatan dan ingatan kepada Sang Pencipta dengan gaya bahasa yang memesona.  Dapat dimaknai bahwa  beberapa puisi yang ditulis Marwanto menggaungkan tema-tema ketuhanan, yaitu menunaikan bersuci dan kewajiban sholat sebagai umat Islam, mempercayai datangnya kematian sebagai takdir ilahi dan memahami bahwa keramaian dunia ini sesungguhnya hanyalah kefanaan yang kadang atau bahkan tidak semua orang mampu menyadari itu.

Melihat rekam jejak kepenulisannya, tampaknya puisi menjadi salah satu yang hidup dalam jiwa penulisnya. Marwanto meramu kata-kata tentu tak lepas dari dirinya, ia menuliskan beberapa tempat yang barangkali pernah dikunjungi, dikenal, atau bahkan yang  mengesankan bagi dirinya. Ketersentuhannya dengan tempat-tempat ini kemudian menjadi moment tersendiri dan berpengaruh bagi proses kreatifnya. Bahkan nuansa desa sebagai bagian dari tempat kelahirannya di Kulon Progo, tidak berjarak dalam karya-karyanya.

Menyelami puisi-puisi dalam buku antologi ini, akan ditemukan nuansa desa khususnya sawah yang ditulis beberapa kali, kritik sosial, dan religious ketuhanan. Dalam karya-karyanya, penulis begitu runtut menuliskan tempat tempat (saya menemukan Malioboro, Temanggung, Jombang, Sragen, Solo, Banyumas, Pacitan, dll) yang terbingkai secara puitis. Agaknya penulis lebih memilih menulis dari luar dengan menengok realitas sosial melalui kedalaman perasaan dan pikirannya. Bukan semata-mata menulis dari dalam, atau anggap saja sekedar meluahkan tentang rasa dalam diri yang diungkapkan ke luar sebagai bentuk curhatan.

Marwanto melalui puisi-puisinya mampu menyodorkan hal-hal yang luas, yang menyentuh nurani dan pikirannya atas realitas yang ditemuinya, kritik sosial misalnya. Wujud  kritik sosial dalam puisi-puisinya dapat dilihat dalam penggalan puisi “Dari Jalanan Pengemis pun Mengerang” dan “Daun-Daun Samping rumah”, tampak sebagai berikut:

Pengemis yang melenggang di jalanan//Selalu mengacungkan tangannya pada orang dalam sedan//Adalah wajah duka negeri ini//Kemarin atau nanti pasti muncul sendiri.

Pengemis yang  mendesis di tritis-tritis pertokoan adalah hiasan pembangunan pada sebuah negeri yang sulit merasakan tangis dan rintihan orang-orang pinggiran. (Marwanto, 2021: 45)

Memandang sejuknya daun-daun samping rumah, mengingatkan pada lembaran bumiku yang belum tersentuh sampah-sampah industri//para remaja memang telah dirayu cerita-cerita dari Batam, Malaysia, Arab, Hongkong atau Taiwan//Namun hamparan sawah-sawah perawan masih setia merengek minta digauli tak henti-henti. (Marwanto, 2021: 64)

Pada penggalan puisi tersebut, seakan hendak berbicara bahwa ada hal hal ironis. Negeri ini kaya, gemah ripah loh jinawi katanya, namun kenyataannya pengemis masih berkeleleran di jalan-jalan besar. Gedung-gedung dibangun makin membumbung, tapi kaum papa masih ada juga yang mengerang menangis di tritis-tritis. Salah satu contoh gambaran ketidakseimbangan antara pesatnya pembangunan dan kesejahteraan.

Mungkin realitas ini yang digunakan penulis sebagai background dalam proses kreatifnya mencipta puisi. Sebut saja hal semacam ini sebagai “gudang pengetahuan” penulisnya dalam mengolah realitas yang dijumpainya. Bisa saja penulis mengungkapkan “banyak pengemis//mereka lapar belum makan//di bawah gedung-gedung megah tangannya tengadah meminta minta”, namun dengan menulis seperti itu, lantas apa bedanya puisi dengan laporan berita? Nah disinilah kelihaian penulis bermain diksi untuk menyampaikan maksud secara estetis.

Pada penggalan puisi selanjutnya, Marwanto menungkapkan kritik sosial tentang kondisi desa yang mulai kehilangan para pemudanya. Para pemuda lebih banyak yang tergiur menjadi TKI dan TKW ke luar negeri. Sawah dan ladang bukan lagi menjadi impian dan mulai ditinggalkan. Hal ini digambarkan dengan diksi yang segar “para remaja memang telah dirayu cerita-cerita dari Batam, Malaysia, Arab, Hongkong atau Taiwan”.

Sebagian besar puisi yang ditulis Marwanto dalam buku Menaksir Waktu pekat dalam penggunaan gaya bahasa, ada juga yang menggunakan bahasa secara lugas. Hal yang perlu digarisbawahi adalah betapa penting kepekatan bahasa dalam berpuisi. Puisi-puisi yang dihadirkan lewat penggunaan, citra, dan lambang akan mampu membuat puisi menjadi lebih estetis dan prismatis atau kaya makna. Bukankah itulah keunikan dan keistimewaan sebuah puisi? Pinjam ungkapan Sapardi: “Puisi itu ingin mengatakan begini tetapi dengan cara begitu.” Maka puisi-puisi Marwanto ini, sudah seperti yang diungkapkan Sapardi yaitu ingin mengatakan begini dengan cara begitu.      

Puisi-puisi dalam Menaksir Waktu karya Marwanto juga kaya akan metafor untuk menyampaikan maksud tertentu. Tidak ada kata-kata yang kehadirannya digiring dengan paksa sebagai pondasi puisi-puisi yang ditulisnya. Puisi-puisi ini menurut saya memiliki diksi-diksi yang pas untuk menyampaiakan maksud yang ingin diungkapkan dan memberi efek puitis yang ingin dicapai.

Melalui diksi-diksi yang digunakan, pembaca akan tahu bagaimana dan seberapa daya cipta seorang penulis. Puisi puisi dalam Menaksir Waktu menggunakan gaya bahasa yang bervariasi, yaitu adanya penggunaan gaya bahasa metafora, hiperbola, simile, personifikasi dan lain sebagainya yang dirasa kehadirannya cukup pas. Tidak berlebihan tidak pula kekurangan.  Penggunaan gaya bahasa, tampak pada puisi berjudul Menaksir Waktu berikut.

Pagi adalah lapang dada//yang mesti diterima dengan sederhana//dan tanah yang basah mengawali hari menuju payah//bagai anak-anak menyimak dewasa tak luput dari petuah//apakah waktu, seperti yang kita angankan pada jarum jam// seperti yang ditunggu orang tua dan kereta berjalan (Marwanto, 2021: 33).

Terdapat penggunaan gaya bahasa metafora, personifikasi, dan simile. Gaya bahasa metafora pada larik “Pagi adalah lapang dada”. Waktu pagi hari, waktu yang masih segar, diibaratkan serupa lapang dada atau kesabaran. Gaya bahasa personifikasi terdapat pada larik “Tanah yang basah mengawali hari menuju payah”. Pada larik tersebut, tanah digambarkan seakan seperti manusia yang mampu beraktivitas. Larik larik berikutnya, terdapat penggunaan kata “seperti” sebagai simile, yaitu “seperti yang kita angankan pada jarum jam” dan “seperti yang ditunggu orangtua dan kereta berjalan” untuk mengibaratkan waktu.

Dapat dipahami bahwa waktu kian meluncur, melesat bergerak meski terasa lambat ataupun cerpat. Tak ada seorangpun yang mampu menghalangi pergerakan waktu. Pergerakan waktu, oleh penulis disimbolkan sebagai jarum jam, diibaratkan sebagai kereta berjalan. Melalui puisi-puisinya, Marwanto menghadirkan gaya bahasa dengan luwes, mengalir antara diksi yang satu dengan yang lain, menimbulkan keterjalinan hingga mampu mencapai efek estetik dalam puisi-puisinya. 

Ibarat mencecap makanan, membaca Menaksir Waktu seakan kita disuguhi makanan yang enak namun juga sehat dan bergizi. Bukan makanan instan yang lebih sering hanya memesona pada kemasannya saja. Akhir kata: bacalah buku ini segera!

Kulon Progo, 13 Maret 2021.

 

Inung Setyami, S.S.,M.A. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara (Kaltara). Buku terbarunya, Kritik Sastra (nonfiksi), Melankolia Bunga-Bunga (Antologi Cerpen, 2020) Distikon Rasa (Antologi Puisi, 2021), Kisah Si Rawit (Novel Anak, 2021), Bulan Terjebak di Mata Seekor Kucing (Antologi Cerpen, 2021), dan Dongeng Bulan dan Nyanian Hujan (Antologi Puisi Anak, 2021).  Saat ini kandidat doktor  di Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...