Kado Kemenangan
Cerpen Marwanto
Pada
ulang tahunnya yang ke duapuluh tujuh,
laki-laki itu mendapat kado sebuah puisi dari sahabat tercinta
kulihat pohon yang basah
bersanding di batu
:diam,
mereka berbaris
menghamparkan kehidupan
:pasrah
kutatap mereka
kusadari diriku
adakah di sini
arti sebuah eksistensi ?
Puisi
itu berjudul Lagu Batu. Dikirim dalam amplop tertutup dibawa burung yang
terbang tinggi. Setelah melewati mega-mega, burung tadi hinggap di
bebatuan halaman belakang sebuah rumah.
Di situ, seorang laki-laki sedang berlatih yoga.
Melihat
ada amplop putih polos yang baru saja dijatuhkan seekor burung, ia segera
menghampiri lalu membukanya. Setelah mem-baca isinya ia memekik membelah angkasa:
“aku bukan batu. Aku adalah rajawali yang terbang
tinggi.....!!”
Ia
berontak, menjelajah cakrawala.
***
Sepuluh
tahun kemudian, dua lelaki itu duduk di taman. Mereka tentu masih ingat tentang
puisi itu, seperti halnya pesan yang terlanjur terukir di batu nisan. Dan kini,
untuk sesaat, mereka saling diam. Gemercik air di kolam memijit urat-urat yang
kelelahan. Matahari di ufuk Barat tinggal seperempat. Dengan semburat kuning
tembaga mengintip pergelaran jagad.
“Sebenarnya
kita belum terlalu tua ya ?”
“Iya....”
“Tapi, ubanmu mulai nongol tanpa malu-malu...tuh.”
“Dan
kau, cepat masuk angin......”
“Ha...ha...ha....” Keduanya terkekeh.
“Mengapa
manusia sekarang cepat tua ya?”
“Tidak
juga !”
“Cuma
gampang menyerah maksudmu !?”
“Emh.....,
kita terlanjur punya banyak penyakit....”
“Padahal, sepertinya baru kemarin
kau menyelesaikan kitab Karl Marx, Nietzsche,
Freud...”
“Dan,....ah, aku masih ingat betul, bagaimana kau
kelabakan menghadapi seranganku dan mati-matian membela Tuhan....”
“Ingat
betul ?”
“Ya,
malam sabtu yang larut ! Emm...... pertengahan Juni”.
“Tapi
waktu itu kita belum selesai !”
“Benar,
meski begitu kau hanya bisa menyuguhkan keindahan norma, bukan tajamnya analisa.”
“Ehmmm.....”
“Dan
sejak itu kita agak berjarak memang.
Sebab kau menjadi sering keluar masuk masjid kampus bersama
orang-orang berjenggot. Padahal......”
“Padahal
Karl Marx juga berewok dan berjenggot kan
?”
“Tepat,
ha...ha......haaa......”
***
Sepuluh
tahun mereka jarang bertemu muka. Hanya beberapa surat yang menyapa. Dan
akhir-akhir ini pesan di gawai belaka. Dalam surat maupun pesan di gawai,
mereka tak hanya bertukar kabar. Tapi diskusi tentang jalan yang sesak oleh
semak belukar.
O ya, mereka pernah
sekali bertemu: di Solo Jawa Tengah, di awal tahun milenium. Sebuah reuni
kecil. Meski cuma dihadiri lima orang,
itu sebuah reuni yang komplit: ada birokrat, pekerja sosial (aktivisLSM), seniman, pengusaha, dan pendidik yang merangkap
seorang ustad.
Reuni itu juga tak
lama. Sebuah siang yang pendek. Diisi sedikit diskusi dan makan ala kocek
mahasiswa. Lalu diakhiri sholat dan doa
bareng yang dipimpin peserta tertua. Dalam sholat bareng itu ternyata hanya
diikuti empat orang. Sementara yang seorang asyik menikmati es krim.
***
“Oya,
bagaimana kabar teman-temanmu di el.... ?”
“Maaf,
apa kita tidak punya tema lain ?”
“Aee,
ada apa denganmu kawan......”
“Prosesku
amat panjang sobat”
“Maksudmu, bukan hanya dengan mereka saja sehingga kau
......”
“Aku
memang pernah menyangsikan Tuhan......”
“Tidak,
kau seorang atheis sejati !”
“Seberapa jauh
kau mengerti tentang ateis ?”
“Buktinya,
reuni di Solo itu !”
“Hanya
itukah ? Sekali lagi, prosesku amat
panjang dan berliku kawan !”
“Sepanjang
batu menjadi rajawali......?”
“Aku
memang anak batu. Tapi bisa jadi rajawali. Dan aku pernah terbang tinggi”
“Sangat
tinggi sehingga kau lupa sesungguhnya
derajat kepala cuma serendah tanah ?”
“Tapi.....”
“Tapi
apa ?”
Ia
diam sesaat. Dadanya megap-megap. Seperti bendungan yang menahan luapan air
membuncah.
“Tapi....... kini semua itu telah berakhir !”
Dan
kini bendungan itu benar-benar ambrol, menyerah. Airnya menyebar ke segala
arah.
“Kau
tak lagi seekor rajawali ?”
“Terserah
apa kau sebut, rajawali atau kembali jadi batu. Yang jelas, semua itu telah berakhir..”
“Berakhir
?”
“Ya,
ketika aku merasa telah kalah... “
“Emmm....,
maksudmu ?”
“Saat
itu anakku lahir “
“Lalu....”
“Aku
tak tahu persis, apakah saat itu aku kembali jadi batu, tapi...”
“Tapi
apa ?”
“Saat
itu aku, aku tak hanya merasa merdu mendengar suara azan...”
“Jadi...?”
“Aku
hendak mengumandangkannya !”
Kembali
hening. Ada sedikit ragu yang tergambar dari bola mata lelaki itu.
“Tapi
kau masih diliputi rasa ragu ?”
“Ahh..
emmm. Sudah sering aku mendengar suara azan,
tapi baru saat itu aku ingin mengumandangkannya...”
“Dan.....
cuba kutebak. Kau pasti langsung bisa kan ?”
“Mengapa
kau tahu ?”
“Sebab,
Tuhan tak pernah menutup pintu bagi hamba yang ingin mengetukNya”
“Benar,
aku langsung bisa. Meski, meski mungkin
kurang sempurna.”
“Dan
kau mengumandangkannya di telinga anakmu”
“Iya, aku pertama
kali mengumandangkan adzan di telinga anakku. Disaksikan derai air mata
isteriku.”
Kedua
lelaki itu menghela napas panjang. Matahari di ufuk Barat telah terbenam. Suara
azan Maghrib mulai berkumandang, tanda buka puasa penghabisan telah tiba. Ya,
besok Idul Fitri akan tiba. Beberapa orang tampak berdatangan di mushola kecil
yang terletak di ujung halaman rumah. Setelah menghabiskan satu kurma, salah
satu dari lelaki itu bangkit dari duduk.
“Mengapa tergesa ?”
“Bukannya tergesa, aku cuma mau ke mushola....”
“Ke
mushola ?”
“Ya,
bolehkah aku mengumandangkan azan di musholamu?”
Mereka
berangkulan. Setelah melepaskan pelukannya, lelaki itu mengeluarkan sesuatu
dari dalam tasnya: sebuah kopiah
“Kau
ingat ini ?”
“Pasti
kawan“
“Saat
kau memberikan sebagai kado pernikahanku, aku merasa belum akan menyerah. Dan
memang, saat itu aku tak menyerah, meski kau tulis di kado itu Tuhan telah
mengetukku di acara akad nikah. Sejak itu, aku pikir selamanya tak akan
menyerah, tak akan kalah.....”
“Tidak
kawan, itu bukan kekalahan, tapi kelahiran. Dan itulah kemenangan sejati. Kau telah menemukan
eksistensi !”
Dua
lelaki itu berjalan beriringan menuju mushola. Disambut gema takbir yang
menggelora di penjuru jagad raya......***
Wisma
Aksara, 2006
Marwanto, menulis esai, cerpen, puisi, opini, dan resensi buku
yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos,
Kedaulatan Rakyat, Pos Bali, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro
Sulawesi, Suara Karya, Harian Jogja, Suara Merdeka, Solopos),
majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Hai), tabloid (Adil)
buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi,
detikcom, cendananews, lensasastra, dll). Buku cerpen terbarunya: Aroma Wangi Anak-anak Serambi (2021). Mengetuai
Forum Sastra-Teater Kulonprogo serta membina komunitas Sastra-Ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar