Senin, 02 Mei 2022

Kado Kemenangan

Cerpen Marwanto

 

 

Pada ulang tahunnya yang ke duapuluh tujuh,   laki-laki itu mendapat kado sebuah puisi dari sahabat tercinta

 

kulihat pohon yang basah

bersanding di batu

:diam,

mereka berbaris

menghamparkan kehidupan

:pasrah

kutatap mereka

kusadari diriku

adakah di sini

arti sebuah eksistensi ?

 

Puisi itu berjudul Lagu Batu. Dikirim dalam amplop tertutup dibawa burung yang terbang tinggi. Setelah melewati mega-mega, burung tadi hinggap di bebatuan  halaman belakang sebuah rumah. Di situ, seorang laki-laki sedang berlatih yoga.

Melihat ada amplop putih polos yang baru saja dijatuhkan seekor burung, ia segera menghampiri lalu membukanya. Setelah mem-baca  isinya ia memekik membelah angkasa:

 “aku bukan batu. Aku adalah rajawali yang terbang tinggi.....!!” 

Ia berontak, menjelajah cakrawala.

***

            Sepuluh tahun kemudian, dua lelaki itu duduk di taman. Mereka tentu masih ingat tentang puisi itu, seperti halnya pesan yang terlanjur terukir di batu nisan. Dan kini, untuk sesaat, mereka saling diam. Gemercik air di kolam memijit urat-urat yang kelelahan. Matahari di ufuk Barat tinggal seperempat. Dengan semburat kuning tembaga mengintip pergelaran jagad.

            “Sebenarnya kita belum terlalu tua ya ?”

            “Iya....”

            “Tapi,  ubanmu mulai nongol tanpa malu-malu...tuh.”

            “Dan kau,  cepat masuk angin......”

            “Ha...ha...ha....”  Keduanya terkekeh.

            “Mengapa manusia sekarang cepat tua ya?”

            “Tidak juga !”

            “Cuma gampang menyerah maksudmu !?”

            “Emh....., kita terlanjur punya banyak penyakit....”

            “Padahal, sepertinya baru kemarin kau menyelesaikan kitab Karl Marx, Nietzsche,  Freud...”

            “Dan,....ah,  aku masih ingat betul, bagaimana kau kelabakan menghadapi seranganku dan mati-matian membela Tuhan....”

            “Ingat betul ?”

            “Ya, malam sabtu yang larut ! Emm...... pertengahan Juni”.

            “Tapi waktu itu kita belum selesai !”

            “Benar, meski begitu kau hanya bisa menyuguhkan keindahan norma, bukan  tajamnya analisa.”

            “Ehmmm.....”

            “Dan sejak itu kita agak berjarak memang.  Sebab kau menjadi sering keluar masuk masjid kampus bersama orang-orang  berjenggot.  Padahal......”

            “Padahal Karl Marx juga berewok dan berjenggot kan  ?”

            “Tepat, ha...ha......haaa......”

***

            Sepuluh tahun mereka jarang bertemu muka. Hanya beberapa surat yang menyapa. Dan akhir-akhir ini pesan di gawai belaka. Dalam surat maupun pesan di gawai, mereka tak hanya bertukar kabar. Tapi diskusi tentang jalan yang sesak oleh semak belukar.

O ya, mereka pernah sekali bertemu: di Solo Jawa Tengah, di awal tahun milenium. Sebuah reuni kecil. Meski cuma dihadiri  lima orang, itu sebuah reuni yang komplit: ada birokrat, pekerja sosial (aktivisLSM), seniman,  pengusaha, dan pendidik yang merangkap seorang ustad.

Reuni itu juga tak lama. Sebuah siang yang pendek. Diisi sedikit diskusi dan makan ala kocek mahasiswa. Lalu  diakhiri sholat dan doa bareng yang dipimpin peserta tertua. Dalam sholat bareng itu ternyata hanya diikuti empat orang. Sementara yang seorang asyik menikmati es krim.

***

            “Oya, bagaimana kabar  teman-temanmu di  el.... ?”

            “Maaf, apa kita tidak punya tema lain ?”

            “Aee, ada apa denganmu kawan......”

            “Prosesku amat panjang sobat”

            “Maksudmu,  bukan hanya dengan mereka saja sehingga kau ......”

            “Aku memang pernah menyangsikan Tuhan......”

            “Tidak, kau seorang  atheis sejati !”

            “Seberapa  jauh  kau mengerti tentang ateis ?”

            “Buktinya, reuni di Solo itu  !”

            “Hanya itukah ?  Sekali lagi, prosesku amat panjang dan berliku kawan !”

            “Sepanjang batu menjadi rajawali......?”

            “Aku memang anak batu. Tapi bisa jadi rajawali. Dan aku pernah terbang tinggi”

            “Sangat tinggi sehingga kau lupa  sesungguhnya derajat kepala cuma serendah tanah ?”

            “Tapi.....”

            “Tapi apa ?”

            Ia diam sesaat. Dadanya megap-megap. Seperti bendungan yang menahan luapan air membuncah.

            “Tapi.......  kini semua itu telah berakhir !”

            Dan kini bendungan itu benar-benar ambrol, menyerah. Airnya menyebar ke segala arah.

            “Kau tak lagi seekor rajawali ?”

            “Terserah apa kau sebut, rajawali atau kembali jadi batu. Yang jelas,  semua itu telah berakhir..”

            “Berakhir ?”

            “Ya, ketika aku merasa telah kalah... “

            “Emmm...., maksudmu ?”

            “Saat itu anakku lahir “

            “Lalu....”

            “Aku tak tahu persis, apakah saat itu aku kembali jadi batu, tapi...”

            “Tapi apa ?”

            “Saat itu aku, aku tak hanya merasa merdu mendengar suara azan...”

            “Jadi...?”

            “Aku hendak mengumandangkannya !”

            Kembali hening. Ada sedikit ragu yang tergambar dari bola mata lelaki itu.

            “Tapi kau masih diliputi rasa ragu ?”

            “Ahh.. emmm. Sudah sering aku mendengar suara azan,  tapi baru saat itu aku ingin mengumandangkannya...”

            “Dan..... cuba kutebak. Kau pasti langsung bisa kan ?”

            “Mengapa kau  tahu ?”

            “Sebab, Tuhan tak pernah menutup pintu bagi hamba yang ingin mengetukNya”

            “Benar, aku langsung  bisa. Meski, meski mungkin kurang sempurna.”

            “Dan kau mengumandangkannya di telinga anakmu”

            “Iya,  aku pertama  kali mengumandangkan adzan di telinga anakku. Disaksikan derai air mata isteriku.”

            Kedua lelaki itu menghela napas panjang. Matahari di ufuk Barat telah terbenam. Suara azan Maghrib mulai berkumandang, tanda buka puasa penghabisan telah tiba. Ya, besok Idul Fitri akan tiba. Beberapa orang tampak berdatangan di mushola kecil yang terletak di ujung halaman rumah. Setelah menghabiskan satu kurma, salah satu dari lelaki itu  bangkit dari duduk.

            “Mengapa  tergesa ?”

            “Bukannya  tergesa, aku cuma mau ke mushola....”

            “Ke mushola ?”

            “Ya, bolehkah aku mengumandangkan azan di musholamu?”

            Mereka berangkulan. Setelah melepaskan pelukannya, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya:  sebuah kopiah

            “Kau ingat ini ?”

            “Pasti kawan“

            “Saat kau memberikan sebagai kado pernikahanku, aku merasa belum akan menyerah. Dan memang, saat itu aku tak menyerah, meski kau tulis di kado itu Tuhan telah mengetukku di acara akad nikah. Sejak itu, aku pikir selamanya tak akan menyerah, tak akan kalah.....”

            “Tidak kawan, itu bukan kekalahan, tapi kelahiran. Dan itulah  kemenangan sejati. Kau telah menemukan eksistensi !”

            Dua lelaki itu berjalan beriringan menuju mushola. Disambut gema takbir yang menggelora di penjuru jagad raya......***

Wisma Aksara, 2006

 

 

Marwanto, menulis  esai, cerpen, puisi, opini, dan resensi buku yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pos Bali, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro Sulawesi, Suara Karya, Harian Jogja, Suara Merdeka, Solopos), majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Hai), tabloid (Adil) buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi, detikcom, cendananews, lensasastra, dll). Buku cerpen terbarunya: Aroma Wangi Anak-anak Serambi (2021). Mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo  serta membina komunitas Sastra-Ku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...