Sabtu, 06 Maret 2021

K A R Y A

YAYUK WAHYUDI

 

 

 

 

Tangis Gerimis

 

 

saat aku terlempar

di tengah laut,  menggelepar

hiu-hiu lapar

mencabik dengan sangar

aku tercekam

dunia tenggelam

menyeretku dalam kelam

aroma air amis mengikis

menelusup dalam cerita yang tertepis

dan hiasan tangis gerimis

        

Sorjati, Feb 21

 

 

/2019/

 

 

Yayuk Wahyudi, nama pena dari Sri Rahayu Yustina MM, seorang ASN di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kulonprogo. Sejumlah puisi dan geguritannya sudah terbit di puluhan buku antologi bersama.

 

***----------***

 

 

 

 

WAHYU PURWADI

 

 

 

Kepercayaan

 

Matahari takkan pernah marah walau awan menutupinya

Sinar rembulan takkan pernah padam walau mendung menghalanginya

Sebab mereka tahu jikalau bumi selalu merindukanya..

 

Pal 18 Lendah, 1 Maret 2021

 

 

Wahyu Purwadi, lahir di Batang kini tinggal di Lendah Kulonprogo. Sejumlah puisinya masuk di buku antologi bersama, diantaranya Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020).

 

 

***----------***

 

 

 

WULAN TRI PUJI UTAMI

 

 

 

Anak Bersepeda

 

                                   

sepeda itu melaju

bersama Tuannya yang kurus legam

sungguh kontras dengan beban

se-kotak roti lembut seputih salju

 

iringan musik bersua dengan doanya

“semoga laris...laris

gawai hitam tergeletak di keranjang sepeda

sesekali matanya melirik ke dalamnya

sesaat dia berhenti

mengetik: absen HADIR”

 

lalu dia kayuh lagi

berharap pelajaran sekolah hari ini

tidak sebanyak kemarin lusa

yang membuat rotinya

hanya laku tiga buah saja

 

Kulonprogo,  2021

 

 

 

Wulan Tri Puji Utami, dosen di IKPI PGRI Wates, lahir di Magelang namun saat ini tinggal di Pengasih Kulonprogo.

 

***----------***


Jumat, 26 Februari 2021

K A R Y A

 

P e n a    S a n t r i

Cerpen Evita Eka Septiani

 

        Samar-samar terdengar gemericik air langit mulai menyadarkan seorang gadis remaja yang duduk di teras depan kelas sebuah sekolah. Seorang remaja berpakaian putih abu-abu dengan kain putih yang menghias anggun menutupi kepala sehingga menambah cantiknya. Ia bernama Fatimah.

Ia berasal dari keluarga yang tinggal di pelosok desa yang rela merantau ke luar provinsi demi mewujudkan mimpi belajar di pesantren. Ia kini sadar akan keberadaannya di kota sekar jagat ini bukanlah sekedar mimpi suram tiada ujung. Tak terasa seberkas air mata jatuh menimpa atas selembar kertas yang ia bawa setiap waktu luang ditorehkannya tinta di sela-sela kesibukannya sebagai santriwati.

Tetes air mata bahagia karena Allah Yang Maha Bijaksana telah mengabulkan untaian doanya untuk mengaji di pesantren impiannya di Lasem.  Pesantren yang bercirikan unik dengan tiga warna budaya yang menghiasi arsitektur bangunannya. Santrinya pun beragam suku dan bahasa, dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur ada di sana guna menimba ilmu agama serta ilmu pengetahuan ilmiah.

        Di kejauhan, ia melihat seorang santri dari arah kelas tahfids utara masjid. Santri tersebut berjalan tergopoh-gopoh seakan dikejar sesuatu menuju ke arah tempat Fatimah berdiri. Secara tak sengaja, ia berpapasan dan menyenggol pena Fatimah yang sedang dipegang untuk menulis. Sehingga, seketika pena Fatimah jatuh kemudian tumpukan buku yang dibawa santri itu jatuh berserakan. Fatimah pun merasa kaget,

 “Astaghfirullahal’adzim..., maafkan saya, saya tak sengaja”. Segera Fatimah mengambil buku-buku yang berserakan tadi, lalu santri itu langsung mengambil buku bawaannya tadi dan berkata,.

“Tidak perlu minta maaf ukhty, saya yang justru minta maaf, saya tadi tergesa-gesa”.

Ia berkata sambil tampakkan senyum ramahnya kepada Fatimah. Saat itu, Fatimah melihat siapakah santri itu, ternyata dia Syarif. Syarif pun mengambil pena Fatimah yang jatuh terlempar setelah buku telah tertata, kemudian Fatimah tercengang sambil menerima pena itu. Syarif lalu bertanya.

“Mengapa kamu memandangku seperti itu,? sadarlah Fatimah”.

“Astaghfirullah Ya Allah, ma...af Rif,” jawab Fatimah agak gugup. Syarif segera pergi dan beranjak menuju asrama laki-laki mengambil Al-qurannya di kamarnya.

”Sudah ya Fat, aku sudah ditunggu Pak Kyai Zuhud”, ucap Syarif sebelum berlalu dari tempat itu.

            Adzan ‘Asar berkumandang dari masjid pondok, semua santri dan santriwati meski berbeda-beda asalnya, namun menjadi satu untuk mendatangi panggilan Allah Yang Maha Agung. Seusai salat, tiba-tiba Syarif dipanggil oleh Pak Kyai Zuhud karena ayahnya mengunjunginya dengan membawa kabar duka, ibu Syarif tadi pagi jatuh sakit, penyakit kangkernya kambuh kemudian terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kata ayah Syarif, ibunya ingin bertemu Syarif segera, maka Syarif dijemput ayah untuk menemui ibunya. Seketika itu juga, ia menangis dan dengan berat hati harus mohon izin untuk tidak mengikuti kegiatan di pesantren beberapa waktu ke depan.

            Fatimah melihat dari jauh kepergian Syarif bersama ayahnya. Ia merasa iba kepada Syarif yang harus menerima kenyataan ibu yang sangat dicintainya menderita sakit. Syarif sangat terpukul. Apalagi, Syarif dari keluarga kurang mampu. Fatimah dengan idenya yang ia dapatkan melihat poster lomba membuat cerpen dakwah yang akan mendapat reward yang lumayan. Bersegaralah ia mengambil pena kesayangannya mengambil langkah seribu membuat cerpen tersebut dengan mengolah segudang imajinasi yang bergelimang di otak  Fatimah.

            Beberapa hari kemudian, lomba cipta cerpen dakwah beberapa waktu itu pun diumumkan. Pengumuman ditempelkan di papan pengumuman. Ketika Fatimah melihat pengumuman tersebut ia merasa kaget, bahagia, bersyukur,dan beberapa rasa lainnya yang tidak menentu di hatinya. Sontak ia mengucap kalimat tahmid seraya bersujud, “alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Ya Allah terima kasih, syukurku kupanjatkan pada-Mu.”

Fatimah tak perdulikan ada orang lain ataupun temannya yang melewati tempat itu. Fatimah di dalam pengumuman itu,tertulis bahwa ia meraih juara I. Akan tetapi, yang membuat ia bahagia dan bersyukur, ialah niatnya ingin membantu meringankan biaya perawatan ibu Syarif yang sedang terkapar tak berdaya di atas kasur rumah sakit. Paginya, panitia lomba tersebut mengrimkan hadiah untuk Fatimah melewati pos yang disampaikan pada pemilik pondok pesantren itu, yaitu Pak Kyai Zuhud.

            Sang raja siang mulai menyurutkan senyum wajahnya seakan bersujud beribadah pada Allah. Kala itu, setelah Fatimah dari masjid ia pergi menemui Pak Kyai Zuhud pengurus sekaligus pemilik pondok pesantren tersebut. Di ruangan beliau, Pak Kyai menyerahkan hadiah lomba cerpen dakwah padanya. Fatimah menerima hadiah tersebut dengan senang hati, bersyukur, serta rendah hati.

“Selamat ya Fatimah, barakallah semoga mendapat berkah, bermanfaat dan jangan lupa orang-orang sekitarmu,” pesan Pak Kyai Zuhud.

Nggih Pak Kyai, pangestune panjenengan. Terima kasih Pak,” ucap Fatimah.

            Fatimah menitipkan sesuatu kepada teman dekat Syarif, Rahman memimpin perwakilam keluarga pesantren yang akan menjenguk ibu Syarif di rumah sakit. Sesampainya rombongan di rumah sakit, Rahman menyampaikan titipan dari Fatimah pada Syarif. Syarif membuka amplop itu, kemudian ia mendapatkan sejumlah uang yang lumayan banyak cukup untuk membayar perawatan ibu di rumah sakit.

Selain itu, ia menemukan selembar kertas berisi kata-kata Fatimah yang disusun oleh tarian pena Fatimah dengan apiknya, penulis pesantren yang sempat memikat hatinya. Seuntai sajak Fatimah pun dibaca oleh Syarif :

 

Kawan Pengagum

 

Senja menyapa langit tiga warna

Seakan memberi salam tak terduga

Senja mulai berduka

Kelabu selimuti senyum tawa senja

Seorang kawan dari jauh hari

Tak mampu lihat kawannya sedih hati

Apa boleh buat si lemah diri ini

Hanya sang pengagum hati

Ingin nampak kawannya senyum kembali

Aku rasa sedih jika ibumu pelipur hatimu sakit

Hati rasa ingin bantu meski sedikit

Terimalah sedikit rezeki ini

Tuk ringankan beban pemberat senyum hati

Semoga Allah meridhai

Sang ibu sehat kembali

Hingga kau dapat kembali di sini

Menemani pena ini menari-nari

Karna aku hanya sebatas kawan pengagum hati

                                                                                                            Dari

                                                                                                         Fatimah

 

            Seketika air mata Syarif tak bisa terbendung lagi. Ia terharu akan sajak tulisan Fatimah. “Terima kasih atas kebaikanmu Fatimah, aku belum bisa membalas kebaikanmu. Semoga Sang Khaliq, Allah SWT yang akan membalas segala kebaikanmu dengan pahala yang setimpal kebajikanmu. Aamiin.“

Syarif bersyukur dipertemukan teman seperti Fatimah. Dalam surat Fatimah itu, Syarif merasakan ungkapan cinta yang tulus yang diukir dengan goresan pena oleh Fatimah untuk kawan-kawannya meski masing-masing berbeda latar ekonomi, suku, bahasa namun saling menyanyangi antarsesama  tanpa pandang bulu.


Evita Afida Hidayah  nama pena dari Evita Eka Septiani, lahir di Kulon Progo, 11 September 2001, adalah mahasiswi UNY. Beberapa puisinya masuk ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry  (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Tinggal di Galur Kulonprogo

 

 

Sabtu, 20 Februari 2021

K A R Y A

 IDK RAKA KUSUMA

 

  

Seloka di Suecapura

  

Danghyang Sekar Angsana

Danghyang Sekar Angsana

aku ke sini mencari seruling

peninggalan leluhur

berwarna putihkuning

dibalut janur

dan lontar bening

 

akan kutiup ketika purnama

di sudut timur laut halaman

roh nenek moyang semua

agar datang membawa persembahan

 

ditandai tembang

wahai juru panggil kami datang

membawa sesaji

untuk kami persembahkan

pusaka warisan keramat

di tanganmu tergenggam erat

merdu bersuara

agar suci

agar abadi

menyucikan

mengabadikan

keturunan semua

 

tunjukkan di mana

jika di tanah terpendam

kugali dengan tangan raga

jika di udara terpendam

kugali dengan tangan jiwa

 

tunjukkan di mana

jangan sampai lewat senjakala

dalam gulita

seketika aku tiada

 

/2019/

 

 

IDK Raka Kusuma, lahir di Klungkung (Bali) 21 November 1957. Sahabat dekat Umbu Landu Paranggi ini puisi-puisinya pernah dimuat di sejumlah media cetak, diantaranya: Bali Post, Sinar Harapan, Mingu Pagi, Berita Buana, Karya Bhakti, Suara NTB dan lain-lain. Ia menulis sastra dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali Sastrawan yang kini mukim di Amlapura ini pernah meraih penghargaan Rancage di tahun 2002.

 ***----------***

 

 

 NURUL LATHIFFAH

 

  

Sunyi yang Membangun Cinta

; sementara aku menapaki jalan asing yang

belum pernah kumengerti sebelumnya

 

sunyi membangun cinta, sebelum matahari

mengirimkan cahaya-cahaya

kerlip yang hangat

 

sunyi membangun cinta

sementara ufuk cemburu berwarna kemerahan

sementara tepi langit mulai kehilangan warna sabar

kita semakin lindap di ruang ruang

kau menujuku

aku menujumu

tetapi saling tidak bertemu

ada sunyi yang membangun cinta lain

            di tanah kelahiran yang basah oleh asin

:cemburu kuanyam menjadi sajadah

ruang tengadah

            bagi sekujur tubuh yang hampa mawadah

 

Gunungkidul, 3 Oktober 2019

 

 

Nurul Lathiffah, lahir di Kulon Progo pada 21 September 1989. Menulis esai, puisi, cerpen, dan artikel di media massa, baik lokal dan nasional. Kini tinggal di Gunungkidul dan menggagas Kelas Menulis di Madrasah Diniyah Baitul Hikmah. Puisi-puisinya, selain dibukukan di antologi bersama Puisi Menolak Lupa (2011), Lintang Panjer Wengi (2009), Gregah (2019), juga  pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Koran Merapi, SKH Kedaulatan Rakyat, dll. Kini, berproses menyelesaikan studi magister psikologi di UMB Yogyakarta

 ***----------***

 

  

DITA WIRONO

 

 

Kepada Amalia Dita

 

 Dalam riuh banyak kepala

Ada satu pertanyaan sama

Mengapa namamu yang kupilih

Masih tersemat indah dalam lorong waktu terkunci bersama nadi

Meski engkau telah pergi tinggalkan nisan

diantara banyak pusara ditengah pemakaman sepi

 

Polosku masih mencintaimu meski dengan rasa takut

Perasaan yang tak bisa kuucap namun liar kutulis

Tentang perempuan pemilik surga yang lain

Tempat di mana segala doa dan pengampunan

menjadi satu-satunya arah sebab tangah bertengadah

 

Puan,

Denganku kamu hanya harus percaya,

Bahwa kado bukan hanya tentang perayaan,

atau pemberian  suatu kejadian peristiwa

yang kita tunggu dan harapkan setelah sekian lama.

Bisa saja

Dia ada sebagai kejutan atau ungkapan kata cinta

Dan untukmu aku memilih kalimat baris kelima

paragraf ketiga dari tulisan ini

Sederhana, namun semoga  engkau menerimanya

Sebagaimana takdir-takdir perpisahan yang lain

Dan kelak jika penghujan  telah kembali

Kan kutulis sajak sajak tanpa kalimat sedih lagi

Seperti sebuah keyakinan pertemuan di surga nanti

 

Kokap, 4 Oktober 2020

 

 Dita Wirono, lahir di Kulonprogo tanggal 24 April. Pernah bercita-cita menjadi seorang Jurnalis, tapi ditentang oleh orang tuanya. Menyukai dunia fotografi dan  literasi sejak SD. Lebih memilih menggunakan nama pena sebab tak pernah percaya diri dengan tulisannya. Bekerja di sebuah lembaga non Pemerintah. Penggiat  dan kontributor web di tempat tinggalnya. Pemilik Instagram Epitaf Sunyi.  Bukunya: Langkah Sunyi (Novel, 2019),  karyanya juga masuk di buku antologi: Kitab Asmaradhana (antologi puisi komunitas Sastra Saraswati), dan Kluwung Lukisan Maha Cahaya (antologi prosa dan puisi komunitas Sastra-Ku, 2020).  Tinggal di Kokap Kulonprogo.


Sabtu, 13 Februari 2021

K A R Y A

 SUYATRI YATRI

 

  

Tilawah Cinta

  

Setegar akar mencengkeram di tubuh bumi

Demikian juga jiwa mengenal Dia dengan yakin di dada

 

Setiap desah napas adalah zikir mengalir dipoles bibir

Bersenda gurau dalam hening di langgam tahajud

Melantunkan ayat syahdu penuh rindu

Tengadah meminta segenggam cinta bertabur ampunan

 

Embun membasah berbinar bahagia

Menggelar aroma muhabbah dari pantulan tilawah

Memercik pasrah di atas sajadah

Bermandikan cahaya doa

Dan gemerincing sayap  mendekat dengan senyum manis bertabur bahagia

 

Bukit Gombak, 27122020

 

 Suyatri Yatri lahir di Padang Siminyak, 24 Agustus 1979, tinggal di Rokan Hulu Riau. Sudah banyak karya tergabung dalam antologi bersama dan juga karyanya terbit di media cetak dan on line. Pos_el. yatri.yatri03@gmail.com

 ***----------***

 

 

 CUNONG NUNUK SURAJA

 

 Xtine 92 04.22

 

hujan menghambur di beranda

menjejakkan butir kenangan melati

aroma bergulat di kursi goyang

memperebutkan cerita sebelum bobo

 

perjalanan terhalang hujan melintang

menyemburkan bercak lumpur rawa

wilayah kerbau berkubang mesra

hingga senja menuliskan isyarat

 

rumah tanpa jendela di tengah ladang

sibuk meneliti atap jerami setahun

berloncatan rayap putih ke tanah lesap

 

langit masih menyimpan warna kelabu

kesunyian membeku di bangku rumah ladang

pemandangan tak terekam pengembara

 

Bulaksumur 2020

 

 Cunong Nunuk Suraja, alumni Magister Humaniora dalam bidang Susastra UI Jakarta. Sejak pensiun dari dosen di FKIP-Universitas Ibn Khaldun Bogor tahun 2016 ia aktif berselancar di dunia maya. Juga mengolah tanah dan menanam palawija. Sajak-sajaknya termuat di beberapa antologi bersama antara lain Jogja 5,9 Skala Ritcher (2006), G 30 September (2009), Gempa Padang (2010), Senandung Bandung Jilid 3 (2011), Bangga aku jadi rakyat Indonesia (2011), Suara-suara yang terpinggirkan (2012), dll. Tinggal di  Bogor Jawa Barat.

 ***----------***

 

 

ANA NAQF

 

Penyatuan

 

Kasih,

Sukmamu mendayu dalam gerimis

Setelah mendung pekat semalam

Menyatu bersama aroma petrikor

Tak menghilang meski hujan tlah usai

 

Dalam kuntum yang baru saja bermekaran engkau lagi hidup

Terus menyemai benih yang baru

 

Kasih...

Dalam gerimis ini kita menyatu

Melawan berjuta langkah dan sembilu

 

Kulonprogo, 10-2-2021

 

Ana Naqf, punya nama asli Ajru Fajriyah, lahir di Kulonprogo 4 November 1992. Lulusan madrasah aliyah yang suka menulis puisi ini tinggal di Sangkrek Hargorejo Kokap Kulonprogo.

 

 ***----------***

 

 

EVA NURUL KHASANAH

 

 

Misteri Cinta

 

Cinta tetaplah misteri

Definisi dengan segala teka-teki

yang masih digandrungi

Di teliti jutaan jiwa

yang berhasil lahir ke dunia.

 

Melalui dekap hangat

yang nyaman, cinta akan tumbuh

Melewati dingin, kejam, dan bengis hidup

cinta tiada sirna  

 

Justru salah paham yang disalahpahamkan

jadi alasan menyalahkan cinta.

Sedang jiwa mengaku dalam relung hati

dirinya keliru tak mampu memahami cinta

 

Cinta

Kata sederhana simbol kasih dan sayang

Sering menjebak seseorang

untuk seakan bijak, bukan?

 

Sidorejo, 01 Januari 2020

 

 Eva Nurul Khasanah, lahir di Kulonprogo 1 Juni 1999, mahasiswi Prodi PBSI Universitas PGRI Yogyakarta (UPY).  Puisi berjudul "105 Kata untuk Mimpi Ku" mendapat juara 3 di Pekan Jurnalistik yang diadakan oleh UKM Jurnalistik Persada UPY. Disela-sela kuliah ia masih menyempatkan untuk menulis, mengajar TPA, berorganisasi dan bekerja sebagai penjahit. Tinggal di Lendah Kulonprogo.

 ***----------***

  K A R Y A   EVA NURUL KHASANAH   Pergi   Dari gedung-gedung bertingkat itu ku lihat kau hilang dalam keramaian diatas huru...