P
e n a S a n t
r i
Cerpen Evita Eka Septiani
Samar-samar terdengar gemericik air langit mulai menyadarkan
seorang gadis remaja yang duduk di teras depan kelas sebuah sekolah. Seorang
remaja berpakaian putih abu-abu dengan kain putih yang menghias anggun menutupi
kepala sehingga menambah cantiknya. Ia bernama Fatimah.
Ia berasal dari keluarga yang tinggal di pelosok desa yang
rela merantau ke luar provinsi demi mewujudkan mimpi belajar di pesantren. Ia
kini sadar akan keberadaannya di kota sekar jagat ini bukanlah sekedar
mimpi suram tiada ujung. Tak terasa seberkas air mata jatuh menimpa atas
selembar kertas yang ia bawa setiap waktu luang ditorehkannya tinta di
sela-sela kesibukannya sebagai santriwati.
Tetes air mata bahagia karena Allah Yang Maha Bijaksana
telah mengabulkan untaian doanya untuk mengaji di pesantren impiannya di
Lasem. Pesantren yang bercirikan unik
dengan tiga warna budaya yang menghiasi arsitektur bangunannya. Santrinya pun
beragam suku dan bahasa, dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur ada di
sana guna menimba ilmu agama serta ilmu pengetahuan ilmiah.
Di kejauhan, ia melihat seorang santri dari arah kelas
tahfids utara masjid. Santri tersebut berjalan tergopoh-gopoh seakan dikejar
sesuatu menuju ke arah tempat Fatimah berdiri. Secara tak sengaja, ia berpapasan
dan menyenggol pena Fatimah yang sedang dipegang untuk menulis. Sehingga,
seketika pena Fatimah jatuh kemudian tumpukan buku yang dibawa santri itu jatuh
berserakan. Fatimah pun merasa kaget,
“Astaghfirullahal’adzim...,
maafkan saya, saya tak sengaja”. Segera Fatimah mengambil buku-buku yang
berserakan tadi, lalu santri itu langsung mengambil buku bawaannya tadi dan
berkata,.
“Tidak perlu minta maaf ukhty, saya yang justru minta
maaf, saya tadi tergesa-gesa”.
Ia berkata sambil tampakkan senyum ramahnya kepada Fatimah.
Saat itu, Fatimah melihat siapakah santri itu, ternyata dia Syarif. Syarif pun
mengambil pena Fatimah yang jatuh terlempar setelah buku telah tertata,
kemudian Fatimah tercengang sambil menerima pena itu. Syarif lalu bertanya.
“Mengapa kamu memandangku seperti itu,? sadarlah Fatimah”.
“Astaghfirullah Ya Allah, ma...af Rif,” jawab Fatimah agak
gugup. Syarif segera pergi dan beranjak menuju asrama laki-laki mengambil
Al-qurannya di kamarnya.
”Sudah ya Fat, aku sudah ditunggu Pak Kyai Zuhud”, ucap
Syarif sebelum berlalu dari tempat itu.
Adzan ‘Asar berkumandang dari masjid
pondok, semua santri dan santriwati meski berbeda-beda asalnya, namun menjadi
satu untuk mendatangi panggilan Allah Yang Maha Agung. Seusai salat, tiba-tiba
Syarif dipanggil oleh Pak Kyai Zuhud karena ayahnya mengunjunginya dengan
membawa kabar duka, ibu Syarif tadi pagi jatuh sakit, penyakit kangkernya
kambuh kemudian terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kata ayah Syarif, ibunya
ingin bertemu Syarif segera, maka Syarif dijemput ayah untuk menemui ibunya.
Seketika itu juga, ia menangis dan dengan berat hati harus mohon izin untuk
tidak mengikuti kegiatan di pesantren beberapa waktu ke depan.
Fatimah melihat dari jauh kepergian
Syarif bersama ayahnya. Ia merasa iba kepada Syarif yang harus menerima
kenyataan ibu yang sangat dicintainya menderita sakit. Syarif sangat terpukul.
Apalagi, Syarif dari keluarga kurang mampu. Fatimah dengan idenya yang ia
dapatkan melihat poster lomba membuat cerpen dakwah yang akan mendapat reward yang
lumayan. Bersegaralah ia mengambil pena kesayangannya mengambil langkah seribu
membuat cerpen tersebut dengan mengolah segudang imajinasi yang bergelimang di
otak Fatimah.
Beberapa hari kemudian, lomba cipta
cerpen dakwah beberapa waktu itu pun diumumkan. Pengumuman ditempelkan di papan
pengumuman. Ketika Fatimah melihat pengumuman tersebut ia merasa kaget,
bahagia, bersyukur,dan beberapa rasa lainnya yang tidak menentu di hatinya.
Sontak ia mengucap kalimat tahmid seraya bersujud, “alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Ya Allah terima kasih, syukurku
kupanjatkan pada-Mu.”
Fatimah tak perdulikan ada orang lain ataupun temannya yang
melewati tempat itu. Fatimah di dalam pengumuman itu,tertulis bahwa ia meraih
juara I. Akan tetapi, yang membuat ia bahagia dan bersyukur, ialah niatnya
ingin membantu meringankan biaya perawatan ibu Syarif yang sedang terkapar tak
berdaya di atas kasur rumah sakit. Paginya, panitia lomba tersebut mengrimkan
hadiah untuk Fatimah melewati pos yang disampaikan pada pemilik pondok pesantren
itu, yaitu Pak Kyai Zuhud.
Sang raja siang mulai menyurutkan
senyum wajahnya seakan bersujud beribadah pada Allah. Kala itu, setelah Fatimah
dari masjid ia pergi menemui Pak Kyai Zuhud pengurus sekaligus pemilik pondok
pesantren tersebut. Di ruangan beliau, Pak Kyai menyerahkan hadiah lomba cerpen
dakwah padanya. Fatimah menerima hadiah tersebut dengan senang hati, bersyukur,
serta rendah hati.
“Selamat ya Fatimah, barakallah semoga mendapat
berkah, bermanfaat dan jangan lupa orang-orang sekitarmu,” pesan Pak Kyai
Zuhud.
“Nggih Pak Kyai, pangestune panjenengan. Terima
kasih Pak,” ucap Fatimah.
Fatimah menitipkan sesuatu kepada
teman dekat Syarif, Rahman memimpin perwakilam keluarga pesantren yang akan
menjenguk ibu Syarif di rumah sakit. Sesampainya rombongan di rumah sakit,
Rahman menyampaikan titipan dari Fatimah pada Syarif. Syarif membuka amplop
itu, kemudian ia mendapatkan sejumlah uang yang lumayan banyak cukup untuk
membayar perawatan ibu di rumah sakit.
Selain itu, ia menemukan selembar kertas berisi kata-kata
Fatimah yang disusun oleh tarian pena Fatimah dengan apiknya, penulis pesantren
yang sempat memikat hatinya. Seuntai sajak Fatimah pun dibaca oleh Syarif :
Kawan
Pengagum
Senja menyapa langit tiga warna
Seakan memberi salam tak terduga
Senja mulai berduka
Kelabu selimuti senyum tawa senja
Seorang kawan dari jauh hari
Tak mampu lihat kawannya sedih hati
Apa boleh buat si lemah diri ini
Hanya sang pengagum hati
Ingin nampak kawannya senyum kembali
Aku rasa sedih jika ibumu pelipur hatimu
sakit
Hati rasa ingin bantu meski sedikit
Terimalah sedikit rezeki ini
Tuk ringankan beban pemberat senyum
hati
Semoga Allah meridhai
Sang ibu sehat kembali
Hingga kau dapat kembali di sini
Menemani pena ini menari-nari
Karna aku hanya sebatas kawan pengagum
hati
Dari
Fatimah
Seketika air mata Syarif tak bisa
terbendung lagi. Ia terharu akan sajak tulisan Fatimah. “Terima kasih atas
kebaikanmu Fatimah, aku belum bisa membalas kebaikanmu. Semoga Sang Khaliq,
Allah SWT yang akan membalas segala kebaikanmu dengan pahala yang setimpal
kebajikanmu. Aamiin.“
Syarif bersyukur dipertemukan teman seperti Fatimah. Dalam
surat Fatimah itu, Syarif merasakan ungkapan cinta yang tulus yang diukir
dengan goresan pena oleh Fatimah untuk kawan-kawannya meski masing-masing
berbeda latar ekonomi, suku, bahasa namun saling menyanyangi antarsesama tanpa pandang bulu.
Evita Afida Hidayah nama pena dari Evita Eka Septiani, lahir di
Kulon Progo, 11 September 2001, adalah mahasiswi UNY. Beberapa puisinya masuk
ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry
(2018), Paradigma Imaji I Welcome
September (2018), Tak Terucap (2018),
Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018),
Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Tinggal di Galur Kulonprogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar