Jumat, 26 Februari 2021

K A R Y A

 

P e n a    S a n t r i

Cerpen Evita Eka Septiani

 

        Samar-samar terdengar gemericik air langit mulai menyadarkan seorang gadis remaja yang duduk di teras depan kelas sebuah sekolah. Seorang remaja berpakaian putih abu-abu dengan kain putih yang menghias anggun menutupi kepala sehingga menambah cantiknya. Ia bernama Fatimah.

Ia berasal dari keluarga yang tinggal di pelosok desa yang rela merantau ke luar provinsi demi mewujudkan mimpi belajar di pesantren. Ia kini sadar akan keberadaannya di kota sekar jagat ini bukanlah sekedar mimpi suram tiada ujung. Tak terasa seberkas air mata jatuh menimpa atas selembar kertas yang ia bawa setiap waktu luang ditorehkannya tinta di sela-sela kesibukannya sebagai santriwati.

Tetes air mata bahagia karena Allah Yang Maha Bijaksana telah mengabulkan untaian doanya untuk mengaji di pesantren impiannya di Lasem.  Pesantren yang bercirikan unik dengan tiga warna budaya yang menghiasi arsitektur bangunannya. Santrinya pun beragam suku dan bahasa, dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur ada di sana guna menimba ilmu agama serta ilmu pengetahuan ilmiah.

        Di kejauhan, ia melihat seorang santri dari arah kelas tahfids utara masjid. Santri tersebut berjalan tergopoh-gopoh seakan dikejar sesuatu menuju ke arah tempat Fatimah berdiri. Secara tak sengaja, ia berpapasan dan menyenggol pena Fatimah yang sedang dipegang untuk menulis. Sehingga, seketika pena Fatimah jatuh kemudian tumpukan buku yang dibawa santri itu jatuh berserakan. Fatimah pun merasa kaget,

 “Astaghfirullahal’adzim..., maafkan saya, saya tak sengaja”. Segera Fatimah mengambil buku-buku yang berserakan tadi, lalu santri itu langsung mengambil buku bawaannya tadi dan berkata,.

“Tidak perlu minta maaf ukhty, saya yang justru minta maaf, saya tadi tergesa-gesa”.

Ia berkata sambil tampakkan senyum ramahnya kepada Fatimah. Saat itu, Fatimah melihat siapakah santri itu, ternyata dia Syarif. Syarif pun mengambil pena Fatimah yang jatuh terlempar setelah buku telah tertata, kemudian Fatimah tercengang sambil menerima pena itu. Syarif lalu bertanya.

“Mengapa kamu memandangku seperti itu,? sadarlah Fatimah”.

“Astaghfirullah Ya Allah, ma...af Rif,” jawab Fatimah agak gugup. Syarif segera pergi dan beranjak menuju asrama laki-laki mengambil Al-qurannya di kamarnya.

”Sudah ya Fat, aku sudah ditunggu Pak Kyai Zuhud”, ucap Syarif sebelum berlalu dari tempat itu.

            Adzan ‘Asar berkumandang dari masjid pondok, semua santri dan santriwati meski berbeda-beda asalnya, namun menjadi satu untuk mendatangi panggilan Allah Yang Maha Agung. Seusai salat, tiba-tiba Syarif dipanggil oleh Pak Kyai Zuhud karena ayahnya mengunjunginya dengan membawa kabar duka, ibu Syarif tadi pagi jatuh sakit, penyakit kangkernya kambuh kemudian terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kata ayah Syarif, ibunya ingin bertemu Syarif segera, maka Syarif dijemput ayah untuk menemui ibunya. Seketika itu juga, ia menangis dan dengan berat hati harus mohon izin untuk tidak mengikuti kegiatan di pesantren beberapa waktu ke depan.

            Fatimah melihat dari jauh kepergian Syarif bersama ayahnya. Ia merasa iba kepada Syarif yang harus menerima kenyataan ibu yang sangat dicintainya menderita sakit. Syarif sangat terpukul. Apalagi, Syarif dari keluarga kurang mampu. Fatimah dengan idenya yang ia dapatkan melihat poster lomba membuat cerpen dakwah yang akan mendapat reward yang lumayan. Bersegaralah ia mengambil pena kesayangannya mengambil langkah seribu membuat cerpen tersebut dengan mengolah segudang imajinasi yang bergelimang di otak  Fatimah.

            Beberapa hari kemudian, lomba cipta cerpen dakwah beberapa waktu itu pun diumumkan. Pengumuman ditempelkan di papan pengumuman. Ketika Fatimah melihat pengumuman tersebut ia merasa kaget, bahagia, bersyukur,dan beberapa rasa lainnya yang tidak menentu di hatinya. Sontak ia mengucap kalimat tahmid seraya bersujud, “alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Ya Allah terima kasih, syukurku kupanjatkan pada-Mu.”

Fatimah tak perdulikan ada orang lain ataupun temannya yang melewati tempat itu. Fatimah di dalam pengumuman itu,tertulis bahwa ia meraih juara I. Akan tetapi, yang membuat ia bahagia dan bersyukur, ialah niatnya ingin membantu meringankan biaya perawatan ibu Syarif yang sedang terkapar tak berdaya di atas kasur rumah sakit. Paginya, panitia lomba tersebut mengrimkan hadiah untuk Fatimah melewati pos yang disampaikan pada pemilik pondok pesantren itu, yaitu Pak Kyai Zuhud.

            Sang raja siang mulai menyurutkan senyum wajahnya seakan bersujud beribadah pada Allah. Kala itu, setelah Fatimah dari masjid ia pergi menemui Pak Kyai Zuhud pengurus sekaligus pemilik pondok pesantren tersebut. Di ruangan beliau, Pak Kyai menyerahkan hadiah lomba cerpen dakwah padanya. Fatimah menerima hadiah tersebut dengan senang hati, bersyukur, serta rendah hati.

“Selamat ya Fatimah, barakallah semoga mendapat berkah, bermanfaat dan jangan lupa orang-orang sekitarmu,” pesan Pak Kyai Zuhud.

Nggih Pak Kyai, pangestune panjenengan. Terima kasih Pak,” ucap Fatimah.

            Fatimah menitipkan sesuatu kepada teman dekat Syarif, Rahman memimpin perwakilam keluarga pesantren yang akan menjenguk ibu Syarif di rumah sakit. Sesampainya rombongan di rumah sakit, Rahman menyampaikan titipan dari Fatimah pada Syarif. Syarif membuka amplop itu, kemudian ia mendapatkan sejumlah uang yang lumayan banyak cukup untuk membayar perawatan ibu di rumah sakit.

Selain itu, ia menemukan selembar kertas berisi kata-kata Fatimah yang disusun oleh tarian pena Fatimah dengan apiknya, penulis pesantren yang sempat memikat hatinya. Seuntai sajak Fatimah pun dibaca oleh Syarif :

 

Kawan Pengagum

 

Senja menyapa langit tiga warna

Seakan memberi salam tak terduga

Senja mulai berduka

Kelabu selimuti senyum tawa senja

Seorang kawan dari jauh hari

Tak mampu lihat kawannya sedih hati

Apa boleh buat si lemah diri ini

Hanya sang pengagum hati

Ingin nampak kawannya senyum kembali

Aku rasa sedih jika ibumu pelipur hatimu sakit

Hati rasa ingin bantu meski sedikit

Terimalah sedikit rezeki ini

Tuk ringankan beban pemberat senyum hati

Semoga Allah meridhai

Sang ibu sehat kembali

Hingga kau dapat kembali di sini

Menemani pena ini menari-nari

Karna aku hanya sebatas kawan pengagum hati

                                                                                                            Dari

                                                                                                         Fatimah

 

            Seketika air mata Syarif tak bisa terbendung lagi. Ia terharu akan sajak tulisan Fatimah. “Terima kasih atas kebaikanmu Fatimah, aku belum bisa membalas kebaikanmu. Semoga Sang Khaliq, Allah SWT yang akan membalas segala kebaikanmu dengan pahala yang setimpal kebajikanmu. Aamiin.“

Syarif bersyukur dipertemukan teman seperti Fatimah. Dalam surat Fatimah itu, Syarif merasakan ungkapan cinta yang tulus yang diukir dengan goresan pena oleh Fatimah untuk kawan-kawannya meski masing-masing berbeda latar ekonomi, suku, bahasa namun saling menyanyangi antarsesama  tanpa pandang bulu.


Evita Afida Hidayah  nama pena dari Evita Eka Septiani, lahir di Kulon Progo, 11 September 2001, adalah mahasiswi UNY. Beberapa puisinya masuk ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry  (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Tinggal di Galur Kulonprogo

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...