ESAI MARJUDIN SUAEB
Alam Puisi
Apakah kita pernah membayangkan bahwa PUISI itu sebagai sebuah alam. Bila saja puisi itu semacam alam maka bisa kita bedakan ke dalam berbagai tingkatan.
Pertama, tingkat alam benda. Di tingkat ini ada pada tataran kata kalimat yang sudah bisa mewakili maksud.
Kedua, tingkat tumbuh-tumbuhan. Di tingkat ini sang subyek mengasosiasi diri sebagai tumbuh-tumbuhan sesuai dengan tingkat dan perilaku hidup tumbuh-tumbuhan.
Ketiga, tingkat manusia. Di tingkat ini sang subyek mengasosiasi dengan perilaku hidup dan kehidupan dengan segala laku nafsu dan cita-cita keluhurannya
Keempat, alam Ruh. Di tingkat ini puisi memperlihatkan perilaku alam ruhani batin manusia. Namun bisa juga alam ruh dunia gaib dengan segala perilaku kehidupannya. Alam keempat ini juga merupakan alam ideal yang maha segala atau alam ketuhanan yang Maha Tak Terbatas.
Kesemuanya ini bisa terlahirkan liwat PUISI yang terlahir oleh PENYAIR. Ini hanya salah satu bagian saja dari unsur puitika. Demikian, kiranya bisa menjadi pedoman... ..
(kalau sekiranya tidak jelas, silakan ambil kaca kemudian tanya pada yang di hadapanya).
Jumat, 05 April 2019
Jumat, 29 Maret 2019
KARYA
CERPEN KRISTIN FOURINA
Mbok
Darmi dan Pohon Mahoni
Ketakutan
terbuka di wajah Mbok Darmi begitu warga ramai-ramai hendak merobohkan pohon mahoni
miliknya. Ia minta tolong pada Pak RT agar warga tidak meneruskan merobohkan
pohon itu.
“Saya
cuma mengawal proses pelebaran jalan yang sudah direncanakan,” ia lalu
menghindar dari Mbok Darmi.
Setiap
mata mencoba mengikuti ke mana pun Pak RT mengayunkan kaki. Sudah hampir lima
tahun pohon mahoni itu bertahan di halaman belakang rumah Mbok Darmi.
“Untuk
apa pohon mahoni itu dipertahankan, Mbok?” tanya Abdul yang rumahnya tak begitu
jauh dari rumah Mbok Darmi.
“Saya
tidak mau pohon mahoni itu dirobohkan.”
“Tetapi
untuk apa?”
“Sudah
jelas pohon mahoni itu milik saya. Itu hak saya. Demi hak saya, kalau boleh
pohon mahoni itu tetap dibiarkan hidup.”
“Nanti
Mbok Darmi bisa disangka tidak mau mendukung pelebaran jalan.”
Waktu
terpaksa terasa berjalan dengan sangat lamban. Bingkisan uang sebagai ganti
untung penebangan pohon tiba-tiba sudah ada di hadapan Mbok Darmi.
“Kalau
Bapak-bapak ini nekat merobohkan pohon mahoni, saya juga bisa berbuat nekat,”
kata Mbok Darmi. Dan ternyata Mbok Darmi benar-benar bertindak nekat. Warga
kaget ketika Mbok Darmi melingkarkan kedua tangannya memeluk batang pohon mahoni
miliknya seperti memeluk dan mempertahankan hidup suaminya sendiri.
“Mau
apa, Mbok?” seru Pur yang sedari tadi memegang gergaji mesin.
“Kalau
mau merobohkan pohon mahoni ini, robohkan juga saya.”
“Buat
apa mempertahankan pohon yang sudah tua, Mbok?”
“Untuk
anak saya, untuk cucu saya.”
Warga
sempat bertanya-tanya apa hubungannya antara kehadiran pohon mahoni itu dengan
anak dan cucu Mbok Darmi. Sejak lama Mbok Darmi memang telah ditinggal pergi oleh
suaminya. Dari dulu Mbok Darmi tinggal bersama anak perempuannya yang bisu.
Selama itu Mbok Darmi tampak tak pernah berusaha mencari keberadaan suaminya.
Mungkin terlalu sering ia tersakiti oleh perilaku suaminya yang suka mabuk dan
main judi, pun main perempuan.
Dan yang
mengherankan, tak lama setelah suami Mbok Darmi tak terlihat, anak perempuan Mbok
Darmi memiliki bayi. Dan bayi itu terlahir cacat. Tak sedikit ucapan prihatin
diterima oleh Mbok Darmi. Orang-orang tersentak oleh kelahiran bayi cacat itu.
Menurut Mbok Darmi peristiwa itu sudah menjadi takdirnya, anaknya, dan cucunya.
Anak perempuan Mbok Darmi sendiri tidak bisa dikonfirmasi perihal siapa ayah
kandung bayinya karena ia memang tak bisa bicara.
Suatu ketika
sudah berdiri sebatang pohon mahoni di belakang rumah Mbok Darmi tanpa seorang
pun menyadari. Siapa pun tak akan sadar karena sedekat apa pun rumah mereka
tetap saja ada jarak puluhan meter yang memisahkan rumah-rumah di dusun itu.
Hanya saja Mbok Darmi sering terlihat tersenyum sendiri sambil memandang pohon mahoni itu. Pernah
seorang menegur Mbok Darmi sejak kapan ada pohon mahoni tumbuh di situ. Maka
jawab Mbok Darmi, “Yaaah, di dusun kita pohon apa pun bisa tumbuh tidak
mengenal waktu.”
Dan yang menegur
hanya bergumam, “Oh.”
***
Setelah
menyadari kalau Mbok Darmi memang membangkang, dengan menggeleng-gelengkan
kepala Pak Dukuh menyuruh warga untuk merobohkan paksa pohon mahoni itu.
“Bukannya saya
tidak menghormati hak Mbok Darmi sebagai pemilik pohon mahoni ini, tetapi
bicara soal pelebaran jalan berarti juga bicara tentang kepentingan orang
banyak. Ya, meskipun merampas hak pribadi, kepentingan orang banyak memang
harus didahulukan dan dipentingkan.”
“Bagaimanapun
ini adalah pohon mahoni saya!” suara Mbok Darmi menggelegar.
“Bila tetap
tidak mau, apa boleh buat.”
Sedemikian lama
tarik-menarik antara warga dengan Mbok Darmi terjadi. Tapi tak disangka, salah
seorang dari warga menjerit. Rupanya ia terkena sabetan pisau dapur Mbok Darmi.
Entah sejak kapan Mbok Darmi menyelipkan sebilah pisau dapur di balik bajunya.
Untuk apa Mbok
Darmi mati-matian mempertahankan satu pohon mahoni di belakang rumahnya?
Padahal ada lebih dari lima puluh pohon mahoni telah dimiliki Mbok Darmi di
pekarangan kosong miliknya yang jaraknya seratus meter dari rumahnya. Seumur
hidup baru sekali itu warga melihat perilaku Mbok Darmi yang di luar nalar.
Lebih-lebih ia dikenal sebagai orang yang sabar, ramah, dan dermawan.
Lantaran
terkejut karena rupanya pisau dapurnya telah berhasil melukai orang lain, Mbok
Darmi jatuh terduduk di bawah pohon mahoni miliknya. Kesempatan itu dimanfaatkan
oleh warga untuk meringkus Mbok Darmi menjauhi pohon mahoni. Keringat
bermunculan di dahi Mbok Darmi. Satu persatu mengalir turun ke pipi disusul
keringat-keringat yang lain. Matanya memancarkan ketakutan sekaligus
penyesalan. Kepalanya menunduk tak berani memandang gergaji mesin yang mulai
dinyalakan. Mulutnya membisu. Ia menyerah sudah.
Dan seperti yang
telah diduga sebelumnya oleh Mbok Darmi, Narto yang sedang menyelesaikan
tugasnya mencongkel akar pohon mahoni mendadak gelisah. Berkali-kali ia
memandang lubang bekas congkelan akar pohon mahoni dan Mbok Darmi. Ia berjalan
mendekati Mbok Darmi dan berhenti di sampingnya. Ia mendesah sambil
memperhatikan Mbok Darmi.
“Ah, saya tidak
mengerti, Mbok.”
Pak RT mendekat
dan menyahut, “Apa, Mas Narto?”
“Maaf kalau saya
salah menebak,” katanya sambil menyodorkan plastik, “Saya rasa ini seperti
tulang tengkorak manusia.”
“Apa?”
“Tapi saya tidak
yakin. Hanya menurut saya.”
Mbok Darmi masih
membisu.
“Betul, Pak RT?”
tanya Pak Dukuh mendekat.
Pak RT
memberanikan diri membuka bungkusan plastik yang disodorkan Narto.
“Mengapa bisa
ada tengkorak manusia di bawah pohon mahoni itu?” tanya Pak RT setelah melihat
isi plastik.
“Tetapi itu
tengkorak kepala milik siapa?” Pak Dukuh berbisik. Kemudian ia ganti mengamati
isi plastik yang dibawa Pak RT.
“Tidak,
saya tidak tahu apa-apa,” kata Abdul yang rumahnya dekat dengan Mbok Darmi.
“Mengapa
bisa ada tengkorak manusia? Yang jelas tanah ini dulunya bukan bekas kuburan,”
sambil berkata demikian Pak dukuh mengembalikan bungkusan plastik pada Pak RT.
Mereka
lalu kompak mengamati Mbok Darmi.
“Tengkorak
siapa ya, Mbok?” Pur berbisik duduk menjajari Mbok Darmi.
“Inilah
bapaknya anak saya yang suka mabuk, judi dan main perempuan semaunya sendiri.
Saya yang menguburkannya disitu. Sebelumnya saya juga yang sudah memberesi
hidupnya. Meskipun ia bapaknya anak saya. Tapi ia juga yang menyakiti anak
saya. Dan membuat kami kecewa,” kata Mbok Darmi sambil menunjuk anak dan
cucunya.
“Tengkorak
manusia inilah yang semasa hidupnya memperkosa anak saya!” kata Mbok Darmi
tanpa ragu-ragu.
Tidak
ada yang bicara, meski hanya untuk sekadar bertanya. ●
Kulonprogo, 2017
Sabtu, 23 Maret 2019
KARYA
PUISI DEWI FLOREN GUSMAWATI
Sirna
Ada sebuah pantai, dengan gemuruh ombaknya
Yang akan menghanyutkan cerita kita (setiap
detik)
Ada dua sepasang jejak
Di sebuah jembatan bambu
Yang akan terhapus oleh rintik hujan (sore
itu)
Dan hanya satu kenangan yang enggan sirna, bekas
bibirmu di bibirku (kini)
Berhenti tumbuh
Pangkur
Cukup!
Aku tak perlu lagi
Membahas: ruangku dan ruangmu
Masih ada bentang planet yang luas
Pasir di pantai
Rumput dengan warna hijaunya
Sawah dengan padi kuningnya yang menunduk
ke tanah
Pangkur rinduku tlah hilang
Terlempar!
Di langit malam yang gelap dan lengang, dan
aku.....
Sendiri di sana
Menanti Hujan di Sudut Kota
Memahamimu adalah seluruh waktuku
Andai saja
Engkau tau, berderai air mata ini
Ketika mengingatmu
Namun, hujan masih saja peduli
Ia menyamarkan tangisku.
Namun.....tidak hari ini, hujan tak lagi
mau duduk di sampingku
Ia meninggalkan kemarau di hati yang luka
Lalu, di sudut kota ini
Aku masih menunggu musim selanjutnya
Dengan iringan doa,
Kepulanganmu bersama pucuk-pucuk semi yang
lebih ranum
Bersama menuju dewasa
Jumat, 15 Maret 2019
KARYA
PUISI YUSTINA EKA ASTUTININGSIH
Takut
Jangan-jangan hanya pikiran kita yang berolah keliru
hingga ras takut itu hadir
Jangan-jangan hanya bayangan membumbung
yang memecah kenyataan
Barangkali energi lebih yang salah salah jalan
salah peruntukan
Tenangkan hati, tenangkan pikir
Tuhan tahu kadar tahu ukur
Nikmati....
Nikmati takut ini sebatas lumrah
Rasa lain-lain butuh ruang untuk dinikmati
dengan syukur hati
Toh takut sejati hanya kepada Rabb
tempat segala harapan tertumpah ruah
***-------***
PUISI DWI WINARNO
Menjaga Mimpi Esok hari
Hening kala malam bersandar
Sejenak duduk di tepi dipan di ujung bantal
Sesekali kupandang bening wajah
Malaikat kecil ditelaga asa
Seekor nyamuk asyik menikmati
Setitik darah dipipi lalu pindah di lengan
Ku biarkan atau ku hentikan harusnya?
Karena sama terusiknya malaikat kecilku
Disini ku menjagamu
Teruskan lelapmu
Lewati malammu
Hingga terusik mimpi itu
Bangun, kejar kemana ia berlari
Hingga kau temukan hulunya
Raih bersama terang sinar mentari
Agar sujud terasa tak terbebani
Dhisil, 08 Maret 2019
***-------***
PUISI WAHYU PURWADI
Bergejolak
Apakah aku harus bertanya
Mengapa irama merdu itu bisa padu
Hanya dengan secuil bambu
Di tiup dan dipukul pelan dengan jari
Apakah aku harus bertanya
Mengapa malam tak pernah sunyi
Selalu ada bunyi jangkrik yang menghiasi
Apakah aku harus bertanya
Katanya Indonesia ini negeri kaya
Katanya bangasa ini banyak hasil buminya
Lantas haruskah aku bertanya
Sebab apa aku minum air harus berbayar
Sebab apa aku lewat jalan tidak gratis
Apakah aku harus bertanya
Mengapa kaki jadi kepala
dan kepala jadi kaki
Hanya untuk sesuap nasi
Apakah aku harus bertanya
Kala pupuk lebih mahal dari padi
Kala petani terbelenggu atas nama subsidi
Apakah aku harus bertanya
Kala generasi bangsa
banyak berimajinasi
Untuk dapat empat sehat lima sempurna
Negeri ini bukan dongeng
Yang diperankan bak panggung sandiwara
Tapi...
Negeri ini penuh kepentingan
Yang kadang ada serigala berbulu domba
Siapa lagi yang jadi kambing hitamnya...
5 Februari 2019 di pojok Pal 18 Lendah Kulon Progo
***-------***
Takut
Jangan-jangan hanya pikiran kita yang berolah keliru
hingga ras takut itu hadir
Jangan-jangan hanya bayangan membumbung
yang memecah kenyataan
Barangkali energi lebih yang salah salah jalan
salah peruntukan
Tenangkan hati, tenangkan pikir
Tuhan tahu kadar tahu ukur
Nikmati....
Nikmati takut ini sebatas lumrah
Rasa lain-lain butuh ruang untuk dinikmati
dengan syukur hati
Toh takut sejati hanya kepada Rabb
tempat segala harapan tertumpah ruah
***-------***
PUISI DWI WINARNO
Menjaga Mimpi Esok hari
Hening kala malam bersandar
Sejenak duduk di tepi dipan di ujung bantal
Sesekali kupandang bening wajah
Malaikat kecil ditelaga asa
Seekor nyamuk asyik menikmati
Setitik darah dipipi lalu pindah di lengan
Ku biarkan atau ku hentikan harusnya?
Karena sama terusiknya malaikat kecilku
Disini ku menjagamu
Teruskan lelapmu
Lewati malammu
Hingga terusik mimpi itu
Bangun, kejar kemana ia berlari
Hingga kau temukan hulunya
Raih bersama terang sinar mentari
Agar sujud terasa tak terbebani
Dhisil, 08 Maret 2019
***-------***
PUISI WAHYU PURWADI
Bergejolak
Apakah aku harus bertanya
Mengapa irama merdu itu bisa padu
Hanya dengan secuil bambu
Di tiup dan dipukul pelan dengan jari
Apakah aku harus bertanya
Mengapa malam tak pernah sunyi
Selalu ada bunyi jangkrik yang menghiasi
Apakah aku harus bertanya
Katanya Indonesia ini negeri kaya
Katanya bangasa ini banyak hasil buminya
Lantas haruskah aku bertanya
Sebab apa aku minum air harus berbayar
Sebab apa aku lewat jalan tidak gratis
Apakah aku harus bertanya
Mengapa kaki jadi kepala
dan kepala jadi kaki
Hanya untuk sesuap nasi
Apakah aku harus bertanya
Kala pupuk lebih mahal dari padi
Kala petani terbelenggu atas nama subsidi
Apakah aku harus bertanya
Kala generasi bangsa
banyak berimajinasi
Untuk dapat empat sehat lima sempurna
Negeri ini bukan dongeng
Yang diperankan bak panggung sandiwara
Tapi...
Negeri ini penuh kepentingan
Yang kadang ada serigala berbulu domba
Siapa lagi yang jadi kambing hitamnya...
5 Februari 2019 di pojok Pal 18 Lendah Kulon Progo
***-------***
Langganan:
Postingan (Atom)
K A R Y A EVA NURUL KHASANAH Pergi Dari gedung-gedung bertingkat itu ku lihat kau hilang dalam keramaian diatas huru...

-
Sihir Bathara Kala Cerpen : Liring Anindya Maharani Rintik hujan turun membasahi sepanjang Jalan Angkasa. Bau tanah ...
-
K A R Y A AHMAD MALIKI MASHAR Suluh Penyuluh Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...
-
KI SOEGIYONO MS Gurit Wektu Minggu esuk, wayah pecat sawet Cahyaning srengenge surem merem melek Dheweke kekemul mend...