Mbok
Darmi dan Pohon Mahoni
Ketakutan
terbuka di wajah Mbok Darmi begitu warga ramai-ramai hendak merobohkan pohon mahoni
miliknya. Ia minta tolong pada Pak RT agar warga tidak meneruskan merobohkan
pohon itu.
“Saya
cuma mengawal proses pelebaran jalan yang sudah direncanakan,” ia lalu
menghindar dari Mbok Darmi.
Setiap
mata mencoba mengikuti ke mana pun Pak RT mengayunkan kaki. Sudah hampir lima
tahun pohon mahoni itu bertahan di halaman belakang rumah Mbok Darmi.
“Untuk
apa pohon mahoni itu dipertahankan, Mbok?” tanya Abdul yang rumahnya tak begitu
jauh dari rumah Mbok Darmi.
“Saya
tidak mau pohon mahoni itu dirobohkan.”
“Tetapi
untuk apa?”
“Sudah
jelas pohon mahoni itu milik saya. Itu hak saya. Demi hak saya, kalau boleh
pohon mahoni itu tetap dibiarkan hidup.”
“Nanti
Mbok Darmi bisa disangka tidak mau mendukung pelebaran jalan.”
Waktu
terpaksa terasa berjalan dengan sangat lamban. Bingkisan uang sebagai ganti
untung penebangan pohon tiba-tiba sudah ada di hadapan Mbok Darmi.
“Kalau
Bapak-bapak ini nekat merobohkan pohon mahoni, saya juga bisa berbuat nekat,”
kata Mbok Darmi. Dan ternyata Mbok Darmi benar-benar bertindak nekat. Warga
kaget ketika Mbok Darmi melingkarkan kedua tangannya memeluk batang pohon mahoni
miliknya seperti memeluk dan mempertahankan hidup suaminya sendiri.
“Mau
apa, Mbok?” seru Pur yang sedari tadi memegang gergaji mesin.
“Kalau
mau merobohkan pohon mahoni ini, robohkan juga saya.”
“Buat
apa mempertahankan pohon yang sudah tua, Mbok?”
“Untuk
anak saya, untuk cucu saya.”
Warga
sempat bertanya-tanya apa hubungannya antara kehadiran pohon mahoni itu dengan
anak dan cucu Mbok Darmi. Sejak lama Mbok Darmi memang telah ditinggal pergi oleh
suaminya. Dari dulu Mbok Darmi tinggal bersama anak perempuannya yang bisu.
Selama itu Mbok Darmi tampak tak pernah berusaha mencari keberadaan suaminya.
Mungkin terlalu sering ia tersakiti oleh perilaku suaminya yang suka mabuk dan
main judi, pun main perempuan.
Dan yang
mengherankan, tak lama setelah suami Mbok Darmi tak terlihat, anak perempuan Mbok
Darmi memiliki bayi. Dan bayi itu terlahir cacat. Tak sedikit ucapan prihatin
diterima oleh Mbok Darmi. Orang-orang tersentak oleh kelahiran bayi cacat itu.
Menurut Mbok Darmi peristiwa itu sudah menjadi takdirnya, anaknya, dan cucunya.
Anak perempuan Mbok Darmi sendiri tidak bisa dikonfirmasi perihal siapa ayah
kandung bayinya karena ia memang tak bisa bicara.
Suatu ketika
sudah berdiri sebatang pohon mahoni di belakang rumah Mbok Darmi tanpa seorang
pun menyadari. Siapa pun tak akan sadar karena sedekat apa pun rumah mereka
tetap saja ada jarak puluhan meter yang memisahkan rumah-rumah di dusun itu.
Hanya saja Mbok Darmi sering terlihat tersenyum sendiri sambil memandang pohon mahoni itu. Pernah
seorang menegur Mbok Darmi sejak kapan ada pohon mahoni tumbuh di situ. Maka
jawab Mbok Darmi, “Yaaah, di dusun kita pohon apa pun bisa tumbuh tidak
mengenal waktu.”
Dan yang menegur
hanya bergumam, “Oh.”
***
Setelah
menyadari kalau Mbok Darmi memang membangkang, dengan menggeleng-gelengkan
kepala Pak Dukuh menyuruh warga untuk merobohkan paksa pohon mahoni itu.
“Bukannya saya
tidak menghormati hak Mbok Darmi sebagai pemilik pohon mahoni ini, tetapi
bicara soal pelebaran jalan berarti juga bicara tentang kepentingan orang
banyak. Ya, meskipun merampas hak pribadi, kepentingan orang banyak memang
harus didahulukan dan dipentingkan.”
“Bagaimanapun
ini adalah pohon mahoni saya!” suara Mbok Darmi menggelegar.
“Bila tetap
tidak mau, apa boleh buat.”
Sedemikian lama
tarik-menarik antara warga dengan Mbok Darmi terjadi. Tapi tak disangka, salah
seorang dari warga menjerit. Rupanya ia terkena sabetan pisau dapur Mbok Darmi.
Entah sejak kapan Mbok Darmi menyelipkan sebilah pisau dapur di balik bajunya.
Untuk apa Mbok
Darmi mati-matian mempertahankan satu pohon mahoni di belakang rumahnya?
Padahal ada lebih dari lima puluh pohon mahoni telah dimiliki Mbok Darmi di
pekarangan kosong miliknya yang jaraknya seratus meter dari rumahnya. Seumur
hidup baru sekali itu warga melihat perilaku Mbok Darmi yang di luar nalar.
Lebih-lebih ia dikenal sebagai orang yang sabar, ramah, dan dermawan.
Lantaran
terkejut karena rupanya pisau dapurnya telah berhasil melukai orang lain, Mbok
Darmi jatuh terduduk di bawah pohon mahoni miliknya. Kesempatan itu dimanfaatkan
oleh warga untuk meringkus Mbok Darmi menjauhi pohon mahoni. Keringat
bermunculan di dahi Mbok Darmi. Satu persatu mengalir turun ke pipi disusul
keringat-keringat yang lain. Matanya memancarkan ketakutan sekaligus
penyesalan. Kepalanya menunduk tak berani memandang gergaji mesin yang mulai
dinyalakan. Mulutnya membisu. Ia menyerah sudah.
Dan seperti yang
telah diduga sebelumnya oleh Mbok Darmi, Narto yang sedang menyelesaikan
tugasnya mencongkel akar pohon mahoni mendadak gelisah. Berkali-kali ia
memandang lubang bekas congkelan akar pohon mahoni dan Mbok Darmi. Ia berjalan
mendekati Mbok Darmi dan berhenti di sampingnya. Ia mendesah sambil
memperhatikan Mbok Darmi.
“Ah, saya tidak
mengerti, Mbok.”
Pak RT mendekat
dan menyahut, “Apa, Mas Narto?”
“Maaf kalau saya
salah menebak,” katanya sambil menyodorkan plastik, “Saya rasa ini seperti
tulang tengkorak manusia.”
“Apa?”
“Tapi saya tidak
yakin. Hanya menurut saya.”
Mbok Darmi masih
membisu.
“Betul, Pak RT?”
tanya Pak Dukuh mendekat.
Pak RT
memberanikan diri membuka bungkusan plastik yang disodorkan Narto.
“Mengapa bisa
ada tengkorak manusia di bawah pohon mahoni itu?” tanya Pak RT setelah melihat
isi plastik.
“Tetapi itu
tengkorak kepala milik siapa?” Pak Dukuh berbisik. Kemudian ia ganti mengamati
isi plastik yang dibawa Pak RT.
“Tidak,
saya tidak tahu apa-apa,” kata Abdul yang rumahnya dekat dengan Mbok Darmi.
“Mengapa
bisa ada tengkorak manusia? Yang jelas tanah ini dulunya bukan bekas kuburan,”
sambil berkata demikian Pak dukuh mengembalikan bungkusan plastik pada Pak RT.
Mereka
lalu kompak mengamati Mbok Darmi.
“Tengkorak
siapa ya, Mbok?” Pur berbisik duduk menjajari Mbok Darmi.
“Inilah
bapaknya anak saya yang suka mabuk, judi dan main perempuan semaunya sendiri.
Saya yang menguburkannya disitu. Sebelumnya saya juga yang sudah memberesi
hidupnya. Meskipun ia bapaknya anak saya. Tapi ia juga yang menyakiti anak
saya. Dan membuat kami kecewa,” kata Mbok Darmi sambil menunjuk anak dan
cucunya.
“Tengkorak
manusia inilah yang semasa hidupnya memperkosa anak saya!” kata Mbok Darmi
tanpa ragu-ragu.
Tidak
ada yang bicara, meski hanya untuk sekadar bertanya. ●
Kulonprogo, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar