Jumat, 29 Maret 2019

KARYA

CERPEN KRISTIN FOURINA



Mbok Darmi dan Pohon Mahoni


            Ketakutan terbuka di wajah Mbok Darmi begitu warga ramai-ramai hendak merobohkan pohon mahoni miliknya. Ia minta tolong pada Pak RT agar warga tidak meneruskan merobohkan pohon itu.
            “Saya cuma mengawal proses pelebaran jalan yang sudah direncanakan,” ia lalu menghindar dari Mbok Darmi.
            Setiap mata mencoba mengikuti ke mana pun Pak RT mengayunkan kaki. Sudah hampir lima tahun pohon mahoni itu bertahan di halaman belakang rumah Mbok Darmi.
            “Untuk apa pohon mahoni itu dipertahankan, Mbok?” tanya Abdul yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah Mbok Darmi.
            “Saya tidak mau pohon mahoni itu dirobohkan.”
            “Tetapi untuk apa?”
            “Sudah jelas pohon mahoni itu milik saya. Itu hak saya. Demi hak saya, kalau boleh pohon mahoni itu tetap dibiarkan hidup.”
            “Nanti Mbok Darmi bisa disangka tidak mau mendukung pelebaran jalan.”
            Waktu terpaksa terasa berjalan dengan sangat lamban. Bingkisan uang sebagai ganti untung penebangan pohon tiba-tiba sudah ada di hadapan Mbok Darmi.
            “Kalau Bapak-bapak ini nekat merobohkan pohon mahoni, saya juga bisa berbuat nekat,” kata Mbok Darmi. Dan ternyata Mbok Darmi benar-benar bertindak nekat. Warga kaget ketika Mbok Darmi melingkarkan kedua tangannya memeluk batang pohon mahoni miliknya seperti memeluk dan mempertahankan hidup suaminya sendiri.
            “Mau apa, Mbok?” seru Pur yang sedari tadi memegang gergaji mesin.
            “Kalau mau merobohkan pohon mahoni ini, robohkan juga saya.”
            “Buat apa mempertahankan pohon yang sudah tua, Mbok?”
            “Untuk anak saya, untuk cucu saya.”
            Warga sempat bertanya-tanya apa hubungannya antara kehadiran pohon mahoni itu dengan anak dan cucu Mbok Darmi. Sejak lama Mbok Darmi memang telah ditinggal pergi oleh suaminya. Dari dulu Mbok Darmi tinggal bersama anak perempuannya yang bisu. Selama itu Mbok Darmi tampak tak pernah berusaha mencari keberadaan suaminya. Mungkin terlalu sering ia tersakiti oleh perilaku suaminya yang suka mabuk dan main judi, pun main perempuan.
Dan yang mengherankan, tak lama setelah suami Mbok Darmi tak terlihat, anak perempuan Mbok Darmi memiliki bayi. Dan bayi itu terlahir cacat. Tak sedikit ucapan prihatin diterima oleh Mbok Darmi. Orang-orang tersentak oleh kelahiran bayi cacat itu. Menurut Mbok Darmi peristiwa itu sudah menjadi takdirnya, anaknya, dan cucunya. Anak perempuan Mbok Darmi sendiri tidak bisa dikonfirmasi perihal siapa ayah kandung bayinya karena ia memang tak bisa bicara.   
Suatu ketika sudah berdiri sebatang pohon mahoni di belakang rumah Mbok Darmi tanpa seorang pun menyadari. Siapa pun tak akan sadar karena sedekat apa pun rumah mereka tetap saja ada jarak puluhan meter yang memisahkan rumah-rumah di dusun itu. Hanya saja Mbok Darmi sering terlihat tersenyum sendiri  sambil memandang pohon mahoni itu. Pernah seorang menegur Mbok Darmi sejak kapan ada pohon mahoni tumbuh di situ. Maka jawab Mbok Darmi, “Yaaah, di dusun kita pohon apa pun bisa tumbuh tidak mengenal waktu.”
Dan yang menegur hanya bergumam, “Oh.”
***
Setelah menyadari kalau Mbok Darmi memang membangkang, dengan menggeleng-gelengkan kepala Pak Dukuh menyuruh warga untuk merobohkan paksa pohon mahoni itu.
“Bukannya saya tidak menghormati hak Mbok Darmi sebagai pemilik pohon mahoni ini, tetapi bicara soal pelebaran jalan berarti juga bicara tentang kepentingan orang banyak. Ya, meskipun merampas hak pribadi, kepentingan orang banyak memang harus didahulukan dan dipentingkan.”
“Bagaimanapun ini adalah pohon mahoni saya!” suara Mbok Darmi menggelegar.
“Bila tetap tidak mau, apa boleh buat.”
Sedemikian lama tarik-menarik antara warga dengan Mbok Darmi terjadi. Tapi tak disangka, salah seorang dari warga menjerit. Rupanya ia terkena sabetan pisau dapur Mbok Darmi. Entah sejak kapan Mbok Darmi menyelipkan sebilah pisau dapur di balik bajunya.
Untuk apa Mbok Darmi mati-matian mempertahankan satu pohon mahoni di belakang rumahnya? Padahal ada lebih dari lima puluh pohon mahoni telah dimiliki Mbok Darmi di pekarangan kosong miliknya yang jaraknya seratus meter dari rumahnya. Seumur hidup baru sekali itu warga melihat perilaku Mbok Darmi yang di luar nalar. Lebih-lebih ia dikenal sebagai orang yang sabar, ramah, dan dermawan.
Lantaran terkejut karena rupanya pisau dapurnya telah berhasil melukai orang lain, Mbok Darmi jatuh terduduk di bawah pohon mahoni miliknya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh warga untuk meringkus Mbok Darmi menjauhi pohon mahoni. Keringat bermunculan di dahi Mbok Darmi. Satu persatu mengalir turun ke pipi disusul keringat-keringat yang lain. Matanya memancarkan ketakutan sekaligus penyesalan. Kepalanya menunduk tak berani memandang gergaji mesin yang mulai dinyalakan. Mulutnya membisu. Ia menyerah sudah.
Dan seperti yang telah diduga sebelumnya oleh Mbok Darmi, Narto yang sedang menyelesaikan tugasnya mencongkel akar pohon mahoni mendadak gelisah. Berkali-kali ia memandang lubang bekas congkelan akar pohon mahoni dan Mbok Darmi. Ia berjalan mendekati Mbok Darmi dan berhenti di sampingnya. Ia mendesah sambil memperhatikan Mbok Darmi.
“Ah, saya tidak mengerti, Mbok.”
Pak RT mendekat dan menyahut, “Apa, Mas Narto?”
“Maaf kalau saya salah menebak,” katanya sambil menyodorkan plastik, “Saya rasa ini seperti tulang tengkorak manusia.”
“Apa?”
“Tapi saya tidak yakin. Hanya menurut saya.”
Mbok Darmi masih membisu.
“Betul, Pak RT?” tanya Pak Dukuh mendekat.
Pak RT memberanikan diri membuka bungkusan plastik yang disodorkan Narto.
“Mengapa bisa ada tengkorak manusia di bawah pohon mahoni itu?” tanya Pak RT setelah melihat isi plastik.
“Tetapi itu tengkorak kepala milik siapa?” Pak Dukuh berbisik. Kemudian ia ganti mengamati isi plastik yang dibawa Pak RT.
            “Tidak, saya tidak tahu apa-apa,” kata Abdul yang rumahnya dekat dengan Mbok Darmi.
            “Mengapa bisa ada tengkorak manusia? Yang jelas tanah ini dulunya bukan bekas kuburan,” sambil berkata demikian Pak dukuh mengembalikan bungkusan plastik pada Pak RT.
            Mereka lalu kompak mengamati Mbok Darmi.
            “Tengkorak siapa ya, Mbok?” Pur berbisik duduk menjajari Mbok Darmi.
            “Inilah bapaknya anak saya yang suka mabuk, judi dan main perempuan semaunya sendiri. Saya yang menguburkannya disitu. Sebelumnya saya juga yang sudah memberesi hidupnya. Meskipun ia bapaknya anak saya. Tapi ia juga yang menyakiti anak saya. Dan membuat kami kecewa,” kata Mbok Darmi sambil menunjuk anak dan cucunya.
            “Tengkorak manusia inilah yang semasa hidupnya memperkosa anak saya!” kata Mbok Darmi tanpa ragu-ragu.
            Tidak ada yang bicara, meski hanya untuk sekadar bertanya. ●
                                                                                                                        Kulonprogo, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...