IMAM WAHYUDI
Jalan Lain ke Menoreh
ketika
kau memilih jalan riuh
aku
memilih jalan lain ke Menoreh:
jalan
sunyi milik para penyair yang samar kita ingat jejaknya
bukit
hijau dengan hamparan sawah pepadi menguning dan
kawanan
burung terbang pelan seperti
yang
selalu kau gambar waktu kanak dulu
dusun-dusun
yang sederhana dengan
orang-orang
ramah menyapa—
seorang
penderas nira menyilakanku ke gubuknya dengan
suguhan
tempe benguk, geblek alot dan growol klecit
kemarin
sore
juga
air putih dari kendi itu menyegarkan
ada
jeda dan damai yang panjang
sampai
kau kirim pesan itu: hei, aku disini!
kau
lepas berswafoto—ada bandara megah, jalan layang, bangunan tinggi,
modernitas,
pariwisata, orang-orang baru, aktivitas, mobilitas…
ada
peluh, dan sukacita yang asing
matahari
turun ke barat, di kejauhan aku
melihat
kakek pulang dari alas dengan asap klobot
mengepul
dari mulutnya
aku
tahu kau telah tiba di sana tapi aku
telah
memilih jalan lain ke Menoreh
TW, 30/9/20
Imam Wahyudi, selama ini dikenal sebagai prosais, cerpen dan cerkaknya dimuat di sejumlah media cetak dan online,
juga buku antologi bersama, diantaranya: Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen
Bengkel Sastra Surakarta), dan Tepung
(Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY). Menurut pengakuannya, ini puisi pertama yang ia
tulis. Tinggal di Wates dan Pengasih.
***----------***
AMBAR SETYAWATI
Surga Untukku
Jatuh
cinta
Pada
berlian di tanah Jawa ..
Saat
harus terbuang
dari kesombongan kota
Kala
kelopak mata perlahan membuka
Aku
ternyata terdampar di surga
di
sudut biru Jogja istimewa
Mereka
menyebutnya Kulon Progo
Kabut
perbukitan menoreh mengalirkan keteduhan
hingga
mengusap rongga hati
Resahku, tuntas di sini.
Damaiku, abadi di sini.
Rimbun
hutan di bawah langit utara
mengoyak
luka batinku hingga
tak
bersisa lagi. Hingga lupa pernah ada luka.
Di
puncak Widosari, lautan awan bertitah,
aku
boleh mereguk sejuk dunia
di
bawah kerlingan binar mata Merbabu dan Merapi.
Damai
masih memeluk raga,
kala
langit selatan berebut memanggil namaku
dan
aku berlari.. .. tak
memerlukan pemandu
untuk
menghirup gelegar ombak samudra Hindia
Jatuh
tepat di hadapan hutan mangrove,
lalu
memeluk siluet senja, tak ingin beranjak pergi.
Dan
debur ombak Glagah pun berteriak bising di telinga,
tak
sabar menantiku, yang sudah pasti akan rebah
dalam
pelukan gelombang berirama syahdu itu.
Samigaluh, 10 Oktober 2020
Ambar
Setyawati, lahir
di Jakarta, 17 Oktober 1973. Lulusan D3 jurusan Sastra Arab di Fakultas Sastra UI (1995) dan
S-1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di UT (2001). Sejak
1997 aktif mengajar Bahasa Inggris dan Seni Budaya di beberapa sekolah di
Jakarta. Tahun 2011 meninggalkan Jakarta dan mengajar di SMK Ma’arif
Nanggulan. Karya alumni workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini
masuk di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya
(Antologi Puisi dan Prosa komunitas Sastra-Ku, 2020).
***----------***
SRI PUJIASTUTI
Bersamamu,
Kulonprogoku
Aku
lahir bukan dari rahimmu
Tapi
kau biarkan
Kaki
ini menginjak tanahmu
Menjelajah
bentang hidup sampai batas waktu
menyusuri
jalan mengais dinar impian
merasai
bahagia cinta dan nestapa
Aku
lahir bukan dari rahimmu
tapi
wajah kotamu ramah tak pernah marah
Rekah
senyummu menyambut mesra
diiring tembang desir angin pesisir
membelai
hati tertambat pada janji suci
Aku
lahir bukan dari rahimmu
Tapi
kupunya seribu kisah bersamamu
tersimpan dalam setiap detak waktu
dalam
hiruk pikuk jantung kotamu
Aku
lahir bukan dari rahimmu
Tapi
kau rengkuh aku dalam cinta tak berjarak
Menghimpun
kenangan yang berserak
kusimpan
dalam renjana warna jingga
bersamamu,
Kulon Progoku
Kulonprogo, 2020
Sri Pujiastuti, lahir di Banyumas 10 Agustus 1971. Saat ini guru di MTs 6 Kulonprogo.
Karyanya pernah dimuat di buku antologi bersama, diantaranya: Aku Tak Berani Bertanya (antologi puisi
bengkel bahasa dan sastra DIY, 2016) dan Ruang
Renung (antologi puisi UYM, 2020).
***----------***
TRI WAHYUNI
Geblek
Geblek
ini punya kita
Tidak
begitu besar, tapi cukup menyampaikan makna
Satu
hilang, lainnya menangis mencari rentengannya
Bagi
kita
Sambal
terasi dan teh hangat sudah cukup menemani bicara
Sebab
hijaunya sawah dan sejuknya angin memeluk jiwa raga
Apalagi
tarian angguk dan
macapat menembus kagum setiap mata
Jikalau
geblek sudah tersantap habis
Rasa
syukur tidak akan pernah terkikis
Semenjak
lahir dan menangis,
tanah
ini akan tetap dicinta menembus batas tanpa garis
tanah
kebanggaan dengan sejuta kenangan manis!
Kulon Progo ,2020
Tri Wahyuni, lahir 16 Juni 2001. Mahasiswi UNY ini menarget tiap hari
menulis lima puisi. Bukunya puisinya yang telah terbit: Hujan Merindu, Sajak Cerita Senja, dan Berlutut Di Bawah Kaki Purnama. Karyanya juga masuk di buku
antologi bersama, diantaranya: Maha Kata, Bahasa Diam,
Kisah Lain Adam dan Hawa, Terbang Dalam Deen Assalam, Menanti Senja,Violin, Sekotak Rasa Palu
Donggala, Kluwung, Tilik Wewisik dan Menangkis Intoleransi Melalui Bahasa dan Sastra. Tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.
***----------***
SANTI ASESANTI
Nira Aksara
Cinta di Bukit Menoreh
Karst
Menoreh;
Perbincangan
alam masa silam
Melumat
lautan. Menjelma bukit kapur. Perkasa; tumbuhkan nyali lelaki mendaki puncak tertinggi,
Suroloyo.
Karst
Menoreh;
Kau
hidup meski membujur bisu. Searah jasad beku yang ditelan tanah. Ujungmu cantik
seirama pangkalmu yang berbukit. Kau
angkat matahari lalu kau turunkan di kedua sisimu yang curam.
Karst
Menoreh;
Anggun
puncakmu menukik tajam memanah keangkuhan surya. Getarkan debur ombak di dada
penikmat panoramamu. Angin pun melela manja menyentuh bibir dedaunan.
Karst
Menoreh;
Gaun
di tubuhmu bukan kemarau tak berujung. Aroma hujan menggairahkan nafas
pepohonan yang rindu dewasa. Sebab segala bahagia tak bertepi. Bila perawan ayu
merebah di rindangmu. Meneduhkan pekat pandang bertirai kabut. Pun tak mendua
bila sejukmu memanggil tawa bocah-bocah penggembala. Sembunyikan diri di
pokok-pokok kekar.
Karst
Menoreh;
Tersimpan
jejak bisu menanti anak cucu menguak sejarahmu.
Pelangi_Kata, 070516
Santi Asesanti, lahir 1982. Pendidik di salah satu SD di
Kulonprogo. Beberapa kali
mengikuti finalis baca puisi yang
diselenggarakan RRI Pro 2 Yogyakarta dan turut mengisi acara live baca puisi di
wilayah Yogyakarta. Buku antologi puisinya yang telah terbit: Purnama Bulan November (Arashi, 2020)
dan Lorong Waktu (Arashi, 2020). Tingaal di Wates.
***----------***
YAYUK WAHYUDI
Di Sini
Di sini
tersusun rapi
Seperti
tahta bidadari
Bukan lempengan
baja atau besi
Bebatuan
jadi saksi
Hijaunya
belukar menghias tepi
Kudatang
kuberdiri kubermimpi
Sepi
terkoyak sapa alami
Memoles
puja dalam diri
Di sini
kujatuh hati
Di sini
kuanyam mimpi
Kulon
progo yang sepi
Kini
ramai berlomba kunjungi
Sobekan
nagari mulai jadi tujuan berlari
Investan
dan rakyat berebut mimpi
Girimulyo, 10 Oktober 2020
Yayuk Wahyudi, nama pena dari Sri
Rahayu Yustina S.IP., MA. Lahir di Purworejo 27 Desember 1963. Ia arsiparis di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
Kabupaten Kulonprogo yang masih
meluangkan waktu bergiat di Komunitas Sastra-Ku. Karyanya masuk di sejumlah
buku antologi, diantaranya: Weling
Sinangling (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2018) dan Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas
Kebudayaan DIY, 2019), Kluwung
Lukisan Maha Cahaya (antologi prosa dan puisi komunitas
Sastra-Ku, 2020). Tinggal di Girimulyo Kulonprogo.
***----------***
AFA NAQF
Kidung Growol
Tak
sehari dua hari aku jadi
Dingin
mengungkung cekal mimpi-mimpi
Meski
tubuh tak seharum melati
Setidaknya
aku rajin membersihkan diri
Diiring
desau elegi
Aku
akan membubung tinggi
Cipta
kidung di tanah Jawi
Menebar
harum khas dewi-dewi
Suci
tanpa caci
Hargorejo, 11 Oktober 2020
Ana Naqf, punya nama asli Ajru Fajriyah,
lahir di Kulonprogo 4 November 1992. Lulusan madrasah aliyah yang suka menulis
puisi ini tinggal di Sangkrek Hargorejo Kokap Kulonprogo.
***----------***
RAHMAT
Anugerah
Tanah
tumpah darah
Api
panas membakar
Air
bening mengalir
Angin
bertiup semilir.
Di mana
kuterlahir
Krentek
musik dan pikir
Berkarya
dan bersyair
Dari
awal hingga akhir
Semula
tak dilirik
Makin
lama makin menarik
Banyak
orang tertarik
Wujud
Tuhan yang
maha cantik.
Lendah 11 okt 2020
Rahmat, jebolan UIN Sunan Kalijaga. Pernah menekuni berbagai bidang pekerjaan:
buruh, petani, pedagang, pendamping
budaya, Korcam di Dewan Kebudayaan Kulonprogo dan Forum Seni Religi Kulonprogo.
Beberapa puisi pernah dimuat laman Sastra-Ku dan buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya. Saat ini tercatat sebagai imam besar di masjid dusun
Kwarakan, Sidorejo, Lendah.
***----------***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar