Jumat, 16 Oktober 2020

IMAM WAHYUDI

 

 

 

Jalan Lain ke Menoreh

ketika kau memilih jalan riuh

aku memilih jalan lain ke Menoreh:

jalan sunyi milik para penyair yang samar kita ingat jejaknya

 

bukit hijau dengan hamparan sawah pepadi menguning dan

kawanan burung terbang pelan seperti

yang selalu kau gambar waktu kanak dulu

 

dusun-dusun yang sederhana dengan

orang-orang ramah menyapa—

seorang penderas nira menyilakanku ke gubuknya dengan

suguhan tempe benguk, geblek alot dan growol klecit

kemarin sore

juga air putih dari kendi itu menyegarkan

 

ada jeda dan damai yang panjang

sampai kau kirim pesan itu: hei, aku disini!

 

kau lepas berswafoto—ada bandara megah, jalan layang,  bangunan tinggi,

modernitas, pariwisata, orang-orang baru, aktivitas, mobilitas…

 

ada peluh, dan sukacita yang asing

 

matahari turun ke barat, di kejauhan aku

melihat kakek pulang dari alas dengan asap klobot

mengepul dari mulutnya

 

aku tahu kau telah tiba di sana tapi aku

telah memilih jalan lain ke Menoreh

 

TW, 30/9/20

 

 

Imam Wahyudi, selama ini dikenal sebagai prosais, cerpen dan cerkaknya  dimuat di sejumlah media cetak dan online, juga buku antologi bersama, diantaranya: Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), dan Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY). Menurut pengakuannya, ini puisi pertama yang ia tulis. Tinggal di Wates dan Pengasih.  

 

***----------***

 

 

AMBAR SETYAWATI

 

 

 

Surga Untukku

Jatuh cinta

Pada berlian di tanah Jawa ..

 

Saat harus terbuang dari kesombongan kota

Kala kelopak mata perlahan membuka

Aku ternyata terdampar di surga

di sudut biru  Jogja istimewa

Mereka menyebutnya Kulon Progo

 

Kabut perbukitan menoreh mengalirkan keteduhan

hingga mengusap rongga hati

Resahku,  tuntas di sini.

Damaiku, abadi di sini.

 

Rimbun hutan di bawah langit utara

mengoyak luka batinku hingga

tak bersisa lagi. Hingga lupa pernah ada luka.

 

Di puncak Widosari, lautan awan bertitah,

aku boleh mereguk sejuk dunia

di bawah kerlingan binar mata Merbabu dan Merapi.

 

Damai masih memeluk raga,

kala langit selatan berebut memanggil namaku

dan aku berlari.. .. tak memerlukan pemandu

untuk menghirup gelegar ombak samudra Hindia

 

Jatuh tepat di hadapan hutan mangrove,

lalu memeluk siluet senja, tak ingin beranjak pergi.

 

Dan debur ombak Glagah pun berteriak bising di telinga,

tak sabar menantiku, yang sudah pasti akan rebah

dalam pelukan gelombang berirama syahdu itu.

 

Samigaluh, 10 Oktober 2020

 

 

 

 

Ambar Setyawati, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1973. Lulusan D3 jurusan Sastra Arab di Fakultas Sastra UI  (1995) dan  S-1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di UT (2001). Sejak 1997 aktif mengajar Bahasa Inggris dan Seni Budaya di beberapa sekolah di Jakarta. Tahun 2011 meninggalkan Jakarta dan mengajar di SMK Ma’arif Nanggulan.  Karya alumni  workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini masuk di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Antologi Puisi dan Prosa komunitas Sastra-Ku, 2020).

 

***----------***

 

 

 

SRI PUJIASTUTI

 

 

 

Bersamamu, Kulonprogoku

 

Aku lahir bukan dari rahimmu

Tapi kau biarkan

Kaki ini menginjak tanahmu

Menjelajah bentang hidup sampai batas waktu

menyusuri jalan mengais dinar impian   

merasai bahagia cinta dan nestapa

 

Aku lahir bukan dari rahimmu

tapi wajah kotamu ramah tak pernah marah

Rekah senyummu menyambut mesra

diiring  tembang desir angin pesisir

membelai hati tertambat pada janji suci

 

Aku lahir bukan dari rahimmu

Tapi kupunya seribu kisah bersamamu

tersimpan  dalam setiap detak waktu

dalam hiruk pikuk jantung kotamu

 

Aku lahir bukan dari rahimmu

Tapi kau rengkuh aku dalam cinta tak berjarak

Menghimpun kenangan yang berserak

kusimpan dalam renjana warna jingga

bersamamu, Kulon Progoku

 

Kulonprogo, 2020

 

 

 

Sri Pujiastuti, lahir di Banyumas 10 Agustus 1971. Saat ini guru di MTs 6 Kulonprogo. Karyanya pernah dimuat di buku antologi bersama, diantaranya: Aku Tak Berani Bertanya (antologi puisi bengkel bahasa dan sastra DIY, 2016) dan Ruang Renung (antologi puisi UYM, 2020).

 

***----------***

 

 

 

TRI WAHYUNI

 

 

 

Geblek

 

Geblek ini punya kita

Tidak begitu besar, tapi cukup menyampaikan makna

Satu hilang, lainnya menangis mencari rentengannya

 

Bagi kita

Sambal terasi dan teh hangat sudah cukup menemani bicara

Sebab hijaunya sawah dan sejuknya angin memeluk jiwa raga

Apalagi tarian angguk dan macapat menembus kagum setiap mata

 

Jikalau geblek sudah tersantap habis

Rasa syukur tidak akan pernah terkikis

Semenjak lahir dan menangis,

tanah ini akan tetap dicinta menembus batas tanpa garis

tanah kebanggaan dengan sejuta kenangan manis!

 

Kulon Progo ,2020

 

 

 

Tri Wahyuni, lahir 16 Juni 2001. Mahasiswi UNY ini menarget tiap hari menulis lima puisi.  Bukunya puisinya yang telah terbit: Hujan Merindu, Sajak Cerita Senja, dan Berlutut Di Bawah Kaki Purnama. Karyanya juga masuk di buku antologi bersama, diantaranya: Maha Kata, Bahasa Diam, Kisah Lain Adam dan Hawa, Terbang Dalam Deen Assalam, Menanti Senja,Violin, Sekotak Rasa Palu Donggala, Kluwung, Tilik Wewisik dan Menangkis Intoleransi Melalui Bahasa dan Sastra. Tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.

 

***----------***

 

 

 

SANTI ASESANTI

 

 

  

Nira Aksara Cinta di Bukit Menoreh

 

Karst Menoreh;

Perbincangan alam masa silam

Melumat lautan. Menjelma bukit kapur. Perkasa; tumbuhkan nyali lelaki mendaki puncak tertinggi, Suroloyo.

 

Karst Menoreh;

Kau hidup meski membujur bisu. Searah jasad beku yang ditelan tanah. Ujungmu cantik seirama pangkalmu yang berbukit.  Kau angkat matahari lalu kau turunkan di kedua sisimu yang curam.

 

Karst Menoreh;

Anggun puncakmu menukik tajam memanah keangkuhan surya. Getarkan debur ombak di dada penikmat panoramamu. Angin pun melela manja menyentuh bibir dedaunan.

 

Karst Menoreh;

Gaun di tubuhmu bukan kemarau tak berujung. Aroma hujan menggairahkan nafas pepohonan yang rindu dewasa. Sebab segala bahagia tak bertepi. Bila perawan ayu merebah di rindangmu. Meneduhkan pekat pandang bertirai kabut. Pun tak mendua bila sejukmu memanggil tawa bocah-bocah penggembala. Sembunyikan diri di pokok-pokok kekar.

 

Karst Menoreh;

Tersimpan jejak bisu menanti anak cucu menguak sejarahmu.

 

Pelangi_Kata, 070516

 

 

Santi Asesanti, lahir 1982.  Pendidik di salah satu SD di Kulonprogo. Beberapa kali mengikuti  finalis baca puisi yang diselenggarakan RRI Pro 2 Yogyakarta dan turut mengisi acara live baca puisi di wilayah Yogyakarta. Buku antologi puisinya yang telah terbit: Purnama Bulan November (Arashi, 2020) dan Lorong Waktu (Arashi, 2020). Tingaal di Wates.

 

***----------***

 

 

YAYUK WAHYUDI

 

 

Di Sini

 

Di sini tersusun rapi

Seperti tahta bidadari

Bukan lempengan baja atau besi

Bebatuan jadi saksi

 

Hijaunya belukar menghias tepi

Kudatang kuberdiri kubermimpi

Sepi terkoyak sapa alami

Memoles puja dalam diri

 

Di sini kujatuh hati

Di sini kuanyam mimpi

Kulon progo yang sepi

Kini ramai berlomba kunjungi

Sobekan nagari mulai jadi tujuan berlari

Investan dan rakyat berebut mimpi

 

Girimulyo, 10 Oktober 2020

 

Yayuk Wahyudi, nama pena dari Sri Rahayu Yustina S.IP., MA. Lahir di Purworejo 27 Desember 1963. Ia arsiparis di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Kulonprogo yang masih meluangkan waktu bergiat di Komunitas Sastra-Ku. Karyanya masuk di sejumlah buku antologi, diantaranya: Weling Sinangling (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2018) dan Tilik Wewisik (Antologi Geguritan Dinas Kebudayaan DIY, 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (antologi prosa dan puisi komunitas Sastra-Ku, 2020). Tinggal di Girimulyo Kulonprogo.

 

***----------***

 

 

AFA NAQF

 

Kidung Growol

 

Tak sehari dua hari aku jadi

Dingin mengungkung cekal mimpi-mimpi

Meski tubuh tak seharum melati

Setidaknya aku rajin membersihkan diri

Diiring desau elegi

Aku akan membubung tinggi

Cipta kidung di tanah Jawi

Menebar harum khas dewi-dewi

Suci tanpa caci

 

Hargorejo, 11 Oktober 2020

 

Ana Naqf, punya nama asli Ajru Fajriyah, lahir di Kulonprogo 4 November 1992. Lulusan madrasah aliyah yang suka menulis puisi ini tinggal di Sangkrek Hargorejo Kokap Kulonprogo.

 

***----------***

 

  

 

RAHMAT

 

Anugerah

 

Tanah tumpah darah

Api panas membakar

Air bening mengalir

Angin bertiup semilir.

 

Di mana kuterlahir

Krentek musik dan pikir

Berkarya dan bersyair

Dari awal hingga  akhir

 

Semula tak dilirik

Makin lama makin menarik

Banyak orang tertarik

Wujud Tuhan yang maha cantik.

 

Lendah 11 okt 2020

 

Rahmat, jebolan UIN Sunan Kalijaga. Pernah menekuni berbagai bidang pekerjaan: buruh, petani, pedagang, pendamping budaya, Korcam di Dewan Kebudayaan Kulonprogo dan Forum Seni Religi Kulonprogo. Beberapa puisi pernah dimuat laman Sastra-Ku dan buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya. Saat ini tercatat sebagai imam besar di masjid dusun Kwarakan, Sidorejo, Lendah.

 

***----------***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...