Jumat, 25 September 2020

Resensi Buku

 

Kluwung, Ikhtiar Merangkul Penulis Pemula

Oleh  EW Suprihatin

 

Niat dan tekad. Dua hal yang sangat diperlukan bagi seseorang yang ingin mewujudkan sebuah impian besar. Impian untuk membesarkan nama daerah dan menggerakkan literasi di kabupaten Kulon Progo. Hal itulah yang menjadi dasar bagi para pelopor literasi di wilayah ini untuk membentuk sebuah komunitas yang mewadahi karya sastra masyarakat. Dari niat yang kuat didukung oleh tekad bulat, tekun dan telaten dalam merangkul sastrawan muda, akhirnya terbitlah buku Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (Antologi Puisi dan Prosa Komunitas Sastra-Ku) –buku perdana komunitas “Sastra-Ku” yang dgawangi oleh sastrawan asli Kulon Progo diantaranya Marwanto, Marjudin Suaeb dan Sumarno.

Buku Kluwung memuat karya sastra campuran yang terdiri dari puisi, cerpen, geguritan dan cerkak. Masing-masing karya mempunyai karakter yang kuat dari para penulisnya yang terpancar pada setiap untaian kata dan kisah seperti layaknya kluwung atau pelangi dalam bahasa Indonesia. Terbitnya buku berjudul Kluwung menjadi tonggak sejarah bagi bangkitnya sastra dan literasi di Kulon Progo. Selama ini banyak potensi dari masyarakat terutama kaum muda dalam menghasilkan karya sastra, namun sayang belum ada komunitas yang menampung. Dengan adanya komunitas Sastra-Ku ini diharapkan para kaum muda lebih rajin dan lebih produktif dalam menghasilkan karya sastra yang bermutu.

Buku ini sengaja memuat  beragam jenis karya sastra, hal ini bertujuan selain untuk memicu semangat para sastrawan juga untuk mengakomodir keseluruhan potensi yang dimiliki anggotanya. Berisikan karya dari 34 pujangga (dengan 51 judul puisi), 3 cerpenis (dengan 3 judul cerpen), 7 orang dengan karya geguritan dan 2 orang mengetengahkan karya cerkak (cerita cekak). Tercatat tiga penulis tamu, masing-masing dari: Jawa Barat (Bogor), Jawa Timur (Nganjuk) dan Jawa Tengah (Klaten).

Dalam pengantar buku ini dijelaskan sejarah atau awal mula cerita bagaimana perjuangan para pelopor sastra untuk memulai menelorkan sebuah karya. Penjelasan yang diberikan dalam kata pengentar sungguh memukau tidak seperti pengantar buku yang lain. Membaca pengantar buku ini seolah sudah masuk dalam ranah isi dari buku, meskipun sebenarnya bagian ini hanyalah pengantar saja, akan tetapi pilihan kata yang digunakan sudah seperti masuk dalam karya Kluwung itu sendiri.

Hal ini tentu saja menjadi sebuah entri poin yang sangat menarik bagi calon pembacanya. Memasuki inti buku, pembaca akan disuguhi dengan hasil karya yang beraneka ragam seperti apa yang termaktub dalam kata pengantar: bahwasannya buku ini berisi aneka warna makna dan gaya bahasa yang terpancar dari masing-masing penulis sehingga warna yang terpancar pun beraneka warna seperti halnya pelangi. Keragaman cerita dan jenis karya yang terangkum dalam buku ini menjadi kekuatan dan nilai lebih dari buku. Bagi para penulis muda yang masih bingung dan ingin memulai menulis sebuah karya sastra dapat mengenal atau membandingkan 4 jenis karya sastra dalam satu buku.  

Mengkompilasi berbagai jenis sastra dalam satu judul buku tentu saja bukan hal yang mudah. Namun hal ini dilakukan dengan baik oleh para editor buku Kluwung sehingga menjadikan buku ini layak dikonsumsi bagi masyarakat pencintanya. Terus bergerak SastraKu, kembangkan sayap dan terbang makin tinggi hingga kiprahmu terpencar ke seluruh pelosok negeri bumi Adikarta. Salam literasi.

 

EW Suprihatin, lahir di Sleman 15 April 1979. Menyelesaikan pendidikan S-1 jurusan Ilmu Perpustakaan. Sejak mahasiswa menulis artikel tentang perpustakaan dan literasi di majalah Media Pustakawan (UGM) , Visi Pustaka (Perpusnas), Majalah Trasformasi (DPK KP). Menjadi pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kulon Progo tahun 2010  hingga sekarang. Karyanya dimuat di buku antologi bersama: Sebuah Refleksi Makna Hari-Hari Besar,(Pohon Cahaya, 2019),  Dongeng dan Cerita Anak Inspiratif (Diva Press, 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Komunitas Sastra-Ku, 2020).

 

***---------------***

 

ESSAI

 

Pembiasaan Literasi Sejak Dini

Oleh Evita Eka Septiani

 

Sejak lahir ke dunia, anak perlu diberi pendidikan dasar dan  perlakuan yang baik. Hal tersebut dalam rangka membentuk kepribadian yang baik. Salah satunya, sedari usia yang masih kecil sebaiknya dibiasakan untuk diajarkan literasi. Agar  jika sudah dewasa mereka tidak mudah terjerumus ke tindakan yang kurang baik.

Kegiatan literasi saat ini perlu dikembangkan di mana saja, termasuk di keluarga. Literasi perlu dikembangkan untuk menciptakan lingkungan insan yang berwawasan tinggi. Literasi dapat dilaksanakan pembimbingannya sejak usia balita atau pra sekolah. Kegiatan literasi bagi anak usia dini yaitu yang  paling cocok adalah melalui dongeng. Untuk membentuk moral anak yang sesuai dengan ajaran agama Islam yang baik bisa diterapkan dengan dibacakan dongeng tentang teladan tokoh muslim ataupun kisah teladan dari nabi dan rasul-rasul Allah.

Menurut World’s Most Literate Nations Ranked tahun 2016, dalam jurnal Membudayakan Literasi Pada Anak Usia Dini Dengan Metode Mendongeng, Lilis Sumaryanti: 2018, budaya literasi Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara. Data ini menunjukkan bahwa literasi Indonesia sangat rendah. Ada sekitar 99% yang tidak suka membaca dan 1% menyatakan bahwa suka membaca. Budaya membaca dalam masyarakat khususnya di kalangan anak-anak masih minim. Ini terlihat dari banyaknya anak yang tidak menyukai membaca dan lebih menyukai game online.

Menyikapi adanya masalah tersebut, kita dapat membiasakan kepada anak - anak seperti adik - adik kita untuk membacakan dongeng, lalu menyuruh adik-adik kita memperhatikan dengan seksama. Kita mencoba mengajari adik kita membaca dongeng sendiri dan memberi tugas pada mereka menyimpulkan isinya, pesan yang terkandung, ilmu agama,  dan sikap tokoh yang dapat diteladani. Dengan langkah seperti itu, melatih anak pada usia dini untuk literasi sebagai penambah wawasan sekaligus pembelajaran moral yang baik, pembelajaran memahami bahasa, kelancaran membaca, melatih gemar membaca hingga dibawa sampai dewasa agar tidak kecanduan game online yang kadang menyebabkan kehidupannya kurang teratur.

 

Evita Eka Septiani, lahir di Kulon Progo 11 September 2001. Mulai tahun ini tercatat sebagai  mahasiswi UNY. Beberapa puisinya masuk ke dalam buku antologi bersama, antara lain: Butterfly Sastra Three Color Poetry  (2018), Paradigma Imaji I Welcome September (2018), Tak Terucap (2018), Kado Spesial Untuk Bunda (2018), Mencintai Ibunda Sehidup Sesurga (2018), Superhero Berpuisi (2019), Stigma Bodong Bla.Bla.Bla (2019), Kembali Nol (2020), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020). Tinggal di Galur. 

 

***---------------***

 

ESSAI

 

 

Cabul Tembakau !

Oleh Nabila Nur Aldi

 

Ironis!!! Sungguh ironis!!! Jelas- jelas terpampang pada setiap bungkus rokok perihal larangan merokok, namun bukannya berkurang pemakaiannya malah melonjak naik! Gambar-gambar akibat mengkonsumsi rokok pun sudah dipasang juga di setiap bungkus, poster, baliho-baliho besar, akan tetapi sama saja. Harga dinaikkan pun mereka beralih ke rokok non pabrik (lintingan). Bahkan sekarang rokok bukan hanya di nikmati golongan tua saja, pelajar bahkan anak-anak juga mengandrungi tembakau yang dibakar dengan kulitan kertas ini.

Hal ini membawa dampak terhadap meningkatnya beban kesehatan yang harus ditanggung oleh pemerintah. Selain itu, kandungan nikotin di dalam rokok menyebabkan kecanduan. Kecanduan rokok sama dengan percabulan. Mengapa saya mengatakan pencabulan? Karena merokok sama dengan mencemari tubuh atau bisa dikatakan mencabuli. Perokok memasukkan bahan kimia ke dalam tubuh yang sudah jelas dideskripsikan dapat membunuh dirinya sendiri.

Bahan-bahan kimia tertumpuk di dalam tubuh dan menyebabkan berbagai macam penyakit dan pemakaian lebih lanjut menyebabkan kematian. Lantas, jika merokok menyebabkan kematian, apakah merokok dapat dikatakan sebuah dosa? Ya, merokok bisa dikatakan sebuah dosa, walaupun tidak dituliskan dalam kitab agama. Menyebabkan orang menderita dengan asap yang ditimbulkan dari pembakaran tembakau. Mungkin terlalu naif jika banyak yang mengatakan ‘merokok ataupun tidak nanti juga sama-sama akan mati!’ Sungguh, dimana letak kemanusiaan kalian? Kematian adalah kehendak tuhan, namun akibat asap rokok membuat banyak orang mati dengan cara yang menyakitkan.

Persoalan yang sedang kita hadapi adalah bagaimana Cara Kita Memutus Rantai Candu? Sejatinya seorang perokok harus melawan keinginan dirinya sendiri. Melawan keinginan dagingnya. Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya atau di luar tubuhnya. Tetapi orang yang merokok berdosa terhadap dirinya sendiri. Tubuh jasmani seseorang bukan milik orang tersebut. Dimana dapat ia gunakan sesukanya. Tubuh manusia adalah milik Tuhan. Sehingga tiap-tiap orang wajib memuliakan Tuhan dengan tubuhnya. Atau dengan kata lain, berusaha dengan segenap hati dan pikiran untuk melakukan hal-hal yang baik serta berguna untuk dirinya sendiri serta untuk orang banyak.

 

Nabila Nur Aldi, lahir di Kulon Progo 8 Februari 2003, adalah pelajar di SMA N 1 Wates. Karyanya masuk di sejumlah buku antologi bersama, diantaranya:  Laskar Essai Menoreh (Balai Bahasa DIY, 2020) dan Ruang Putih Demokrasi (Bawaslu Kulonprogo, 2020). Puisinya juga pernah dimuat rubrik “Kaca” harian Kedaulatan Rakyat. Tinggal di Tawangsari Pengasih.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...