Jumat, 22 Agustus 2025

 P U I S I   K A R Y A

 

ARIO GALIH

 

Sunyi  

 

Jika ingin menangis

Tangisilah ketidakmampuanmu

Jika ingin mengais

Aislah jalan lurusmu

 

Jika ingin berjuang

Berjuanglah dengan lantang

Jika ingin sembunyi

Sembunyilah dengan sunyi

 

Hidup tak sekedar mati

Tanpa ada sebuah arti

Tidak tentang harga diri

Tapi rasa didalam hati

 

Sudahi kesunyian ini

Sudahi tangisan ini

Jika memang harus begini

Jalani saja jangan lupa diri

 

2025

 

 

Kelapangan

 

Dada terasa sesak

Kaki terasa berat

Lelah untuk beranjak

Serasa tidak kuat

 

Jalan rusak dan berlubang

Dihiasi aral serta rintangan

Sesekali tengok kebelakang

Mengingat masa akan datang

 

Teringat akan sebuah ayat

Ada kesulitan ada kemudahan

Membuat hati kembali kuat

Ada kesulitan ada kemudahan

 

Kuatkan diri kuatkan hati

Hidup ini untuk dijalani

Pasrahkan saja semuanya

Kepada Yang Diatas Sana

 

2025

Ario Galih, lahir di  Kulon Progo 29 Agustus 1983. Seorang penulis puisi yang aktif mengeksplorasi berbagai bentuk ekspresi kreatif, mulai dari puisi, musik AI, hingga ide kriya beraliran abstrak. Selain menulis puisi, ia juga aktif mencoba teknologi kreatif seperti Suno AI untuk menciptakan lagu dari lirik ciptaannya sendiri.

Jumat, 15 Agustus 2025

 Sang Jago Merah Penjaga Sumpah

Cerpen Tri Apriyadi

 

          Senja merayap di dinding-dinding bambu rumah Pak Karto, menebarkan warna jingga pada bilah-bilah yang mulai lapuk. Namun, di dalam remang yang syahdu itu, ada satu benda yang seolah menolak temaram: celengan jago berwarna merah menyala, dengan sapuan emas di jengger dan ekornya. Ia bukan sekadar tembikar. Di dalam perut keramiknya yang dingin, bersemayam gemerincing harapan dan sebuah sumpah bisu.

          Sang Jago itu adalah saksi. Saksi tiga tahun penantian, saksi dari setiap lembar rupiah lecek dan keping logam yang disisihkan dengan napas tertahan. Ia dibeli dari Pasar Kliwon, pasar yang hanya hidup setiap lima hari sekali, mengikuti putaran hari pasaran Jawa. Pak Karto harus berjalan dua kilometer di pematang sawah untuk mendapatkannya, seolah sebuah laku tirakat kecil untuk memulai niat besarnya: seekor kambing kurban di hari Iduladha.

          Setiap kali tangannya yang keriput mengelus permukaan celengan yang licin itu, bayangan Sumini, mendiang istrinya, akan menari di pelupuk mata. Sumpah itu milik mereka berdua.

          “Nanti kalau tabungan kita cukup, kita beli kambing yang paling gagah ya, Pak’e,” bisik Sumini suatu malam, suaranya rapuh seperti hembusan angin.

          “Biar perjalanan kita nanti lapang.”

          Perjalanan. Pak Karto tahu perjalanan apa yang dimaksud istrinya. Perjalanan menebus sepi yang telah mereka rengkuh selama tiga puluh tahun pernikahan. Rumah bambu ini pernah tiga kali riuh oleh harapan, dan tiga kali pula senyap oleh duka. Dua janin tak sempat menghirup udara dunia, gugur di dalam rahim. Satu lagi, seorang bayi perempuan mungil, sempat membuka mata, namun jantung kecilnya terlalu lemah untuk berdetak lama. Vonis dokter yang kemudian mengangkat rahim Sumini adalah palu godam terakhir yang meruntuhkan putri impian mereka.

          Mereka tak pernah punya anak. Tapi di surau desa, dalam lantunan kisah Nabi Ibrahim, mereka menemukan pelukan lain. Kisah tentang penantian panjang, tentang keikhlasan agung saat pisau nyaris menyentuh leher Ismail, dan tentang domba yang datang sebagai pengganti. Sejak itu, keinginan untuk berkurban menjadi sauh bagi jiwa mereka yang terombang-ambing. Kurban bukan lagi sekadar ritual, melainkan cermin dari pengorbanan terbesar yang tak pernah bisa mereka lakukan: memiliki dan merelakan seorang anak.

          Namun Sumini telah pergi lebih dulu, meninggalkan Pak Karto sendirian bersama sumpah itu. Kini, hanya Sang Jago Merah yang menjadi teman bicaranya.

          “Sudah berat kau, Jago,” bisik Pak Karto pada celengannya, mengguncangnya pelan. Suara koin yang beradu dengan lipatan uang kertas terdengar padat dan mantap.

          “Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi tugasmu selesai.”

          Malam turun lebih cepat dari biasanya, dibungkus awan kelabu sisa hujan semalam. Pak Karto melangkah pulang dari surau usai salat Magrib, kakinya yang telanjang sudah begitu hafal dengan setiap lekuk jalan setapak yang becek dan licin. Aroma tanah basah dan rumput liar menguar, bercampur dengan nyanyian jangkrik yang ramai.

          Di persimpangan jalan yang sepi, di antara rimbunnya ilalang, sebuah suara memecah keheningan. Bukan suara jangkrik, melainkan erangan lirih seorang perempuan. Erangan yang menahan sakit tak tertanggungkan. Suara itu datang dari gubuk kecil milik Sarbini, pemuda yang nasibnya serupa dengannya, seorang buruh tani. Rumah itu terpencil, seolah sengaja menjauh dari tetangga.

          “Sarbini!” panggil Pak Karto, mempercepat langkahnya. Pintu gubuk itu tak terkunci.

          Di dalam, di bawah cahaya temaram lampu teplok, pemandangan itu menghantam dada Pak Karto. Sarbini, dengan wajah pias penuh kepanikan, berusaha menenangkan istrinya, Surti, yang tengah memeluk perutnya yang membuncit. Keringat membasahi dahi Surti, napasnya tersengal.

          “Pak Karto… tolong…” desis Sarbini, suaranya bergetar.

          “Ada apa, Sar? Kenapa istrimu?”

          “Tidak tahu, Pak. Tiba-tiba perutnya kram hebat. Katanya seperti mau melahirkan…”

Pak Karto menatap perut Surti.    

          “Tapi kandungannya baru tujuh bulan, bukan?”

Erangan Surti semakin keras, diselingi isak tangis.

          “Sakit… Mas… Sakit sekali…”

          “Cepat! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” seru Pak Karto.

          Sarbini terdiam, kepalanya tertunduk. Keheningannya lebih nyaring dari erangan istrinya.

          “Tapi…”

          “Tapi apa?” desak Pak Karto.

          “Uang, Pak…” jawab Sarbini pelan, matanya berkaca-kaca.

          “Saya… saya tidak punya sepeser pun untuk rumah sakit.”

          Dada Pak Karto sesak. Sekelebat, ia seperti terlempar ke masa lalu. Wajah Sumini yang pucat, rintihannya saat hendak melahirkan anak ketiga mereka, dan keputusasaan yang sama. Dunia seakan berhenti berputar. Di satu sisi, ada sumpah pada yang telah tiada. Di sisi lain, ada rintihan ia yang masih bernyawa.

          Tanpa berkata-kata lagi, Pak Karto berbalik dan berlari. Bukan sekadar lari, melainkan terbang didorong kekuatan yang tak ia mengerti. Ia menerobos gelap, kakinya tak lagi peduli pada lumpur dan batu.

          Di rumahnya, tangannya gemetar saat meraih Sang Jago Merah dari atas lemari. Ia menatapnya sekali lagi. Jengger emasnya seolah berkilat mengejek. Ini bukan sekadar celengan. Ini adalah tiga tahun keringatnya, tiga tahun penolakannya pada lintingan tembakau, tiga tahun percakapannya dengan Sumini di alam baka.

          Ada jeda sesaat yang terasa abadi. Lalu, dengan satu gerakan tegas, ia membanting celengan itu ke lantai tanah.

          BYARRR!

          Pecahannya terlontar seperti serpihan mimpi. Dan dari perut keramiknya yang remuk, tumpah ruah puluhan uang kertas yang terlipat rapi dan ratusan koin yang bergelindingan ke segala penjuru, berkilauan ditimpa cahaya lampu. Tanpa menghitung, Pak Karto meraup semuanya, memasukkannya ke dalam kantong plastik kresek.

          Ia kembali ke gubuk Sarbini secepat kilat. Uang itu ia serahkan. Malam itu, mereka berhasil mendapatkan angkutan desa menuju rumah sakit. Di ruang UGD yang riuh, saat perawat bertanya siapa yang akan bertanggung jawab, Pak Karto maju dengan sigap.

          "Saya," katanya, suaranya tenang, sambil menggenggam kantong plastik itu.

          Saat Surti dibawa ke ruang bersalin, Pak Karto duduk di kursi tunggu yang dingin. Ia tidak merasa kehilangan. Anehnya, ia merasa lega. Ia pejamkan mata. Dalam benaknya, ia tidak lagi melihat seekor kambing kurban yang gagah berjalan di atas jembatan Shiratal Mustaqim. Ia melihat pemandangan lain. Ia melihat dirinya, memapah Sumini yang tersenyum, berjalan menuju sebuah cahaya. Dan di ujung cahaya itu, istrinya menoleh, menganggukkan kepala dengan senyum termanis yang pernah ia lihat.

          Dua hari kemudian, Sarbini datang ke rumah Pak Karto. Wajahnya tak lagi pias, melainkan berseri-seri lelah.

          “Pak… terima kasih. Tanpa Bapak, saya tidak tahu bagaimana nasib istri dan anak saya,” katanya, hendak bersimpuh namun ditahan oleh Pak Karto.

          “Sudah, sudah. Bagaimana keadaan Surti dan bayinya?”

          “Selamat, Pak. Keduanya selamat. Bayinya laki-laki, lahir prematur tapi kata dokter sehat. Sekarang masih di dalam inkubator.”

          Pak Karto menghela napas lega.

          “Syukurlah. Allah Maha Baik.”

          Sarbini terdiam sejenak, menelan ludah.

          “Pak… ada satu hal lagi. Saya dan Surti sudah berembuk. Kami… kami ingin memberikan nama untuk anak kami.”

          “Tentu, itu hak kalian. Nama yang bagus adalah doa.”

Sarbini menatap lurus ke mata Pak Karto, tatapan yang dalam dan penuh hormat.

“Kami ingin menamainya… Ibrahim Karto.”

          Pak Karto tertegun. Jantungnya serasa berhenti berdetak.

          “Ibrahim, karena Bapak telah mengajarkan kami arti pengorbanan sejati seperti Sang Nabi,” lanjut Sarbini dengan suara bergetar.

          “Dan Karto… karena kami ingin ia selamanya mengingat bahwa hidupnya dimulai dari keikhlasan seorang bapak.”

          Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air mata mengalir di pipi Pak Karto yang keriput. Bukan air mata duka, melainkan air mata haru yang membanjiri ladang hatinya yang kering kerontang.

          Celengan jagonya telah pecah. Mimpinya untuk berkurban seekor kambing telah musnah. Namun sore itu, ia sadar, Tuhan telah memberinya kurban dalam wujud yang tak pernah ia duga. Bukan seekor hewan untuk disembelih, melainkan sebuah kehidupan untuk dirawat, dan sebuah nama yang akan terus menyambung kisahnya di dunia.

          Ia tak lagi sendiri. Ia kini seorang kakek.

 

Tri Apriyadi, menjabat Ketua  di Komunitas Sastra-ku dan pegiat di Forum Sastra-Teater Kulon Progo. Selain menulis cerpen, sesekali ia menulis ulasan buku. Beberapa cerpennya dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya  Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.

Sabtu, 07 Januari 2023

 K A R Y A

 

 AHMAD MALIKI MASHAR

 

 Suluh Penyuluh

 

Mulut berbisa mengurut luka

Menepuk dada tersuruk bangga

Berlulur suka di pintu hina

Terasuk dengki hati berdaki.

 

Malu bertanya rintang berkata

Jalan tak sua lupa bertahta

Ikutkan nafsu tersentak malu

Takutkan iri hilangkan dengki

 

Urut sekedar supaya sadar

Timang sekejap membawa insyaf

Tunjuk ajari perkara Budi

Duduk berlama kaji agama.

 

Harta dicari penjaga diri

Tunaikan zakat pembawa berkat

Hidup sehat jauhi maksiat

Suka bertobat akhirat nikmat.

 

Akal budi penyuluh hati

Kurang sabar kawan menghindar

Cabik kain tempel sekali

Cabik hati orang pun benci.

 

Sekara, Agustus 2022

 


Ahmad Maliki Mashar.
Lahir 27 April 1971. Semasa kuliah di Universitas Riau 1990-1993, sesekali menulis puisi di koran kampus dan surat kabar daerah. Alamat : RT 01/RW 01 Desa Sekara, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau.

 

 *****_____*****

  

ABIYASA IQBAL AULA

 

00.45 malam

 

Malam itu hujan habis

Di atas kasur Palembang

Di depan pintu dengan celah di bawah selebar jari kelingking

Dingin menjilat ujung kaki

Melamun sepanjang 3 jam yang sia-sia

Pecah karena suara toren air

Sebab pump lupa dimatikan

Menyala sepanjang 3 jam dibiaskan hujan

Aku bangun dari kasur Palembang

Beranjak kepintu mau matikan air

Ternyata sudah mati

Perasaanku saja...sial

Itu suara air rembesan tanah di bambing samping rumah

Sekali lagi menjumpai sia-sia dalam ke-beranjak-an-ku...

Aku balik ke kamar

Rebah

Di atas kasur Palembang

Di 00.45 malam

Terngiang Slavoj Žižek bilang "I hate life".

 

Karangsari 5-1-2023


Abiyasa Iqbal Aula, Lahir di Gunung Kidul, 12 September 2001. Hobi menulis puisi sejak SMK, karena seperti remaja-remaja pada umumnya yang mulai kasmaran dan ingin mengungkapkan perasaannya pada kekasihnya lewat puisi. Sekarang tengah menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga. Medsos : ig @Abiyasa_iqbal_aula FB : Abiyasa Iqbal Aula

 

 *****_____*****

  

ASEP PERDIANSYAH

 

Menyapa Kerinduan

 

Sampaikan rindu ini dalam tetesan hujan

Jatuh perlahan di dedaunan

Menyapa sebuah kesejukan

Mengisi jiwa dalam angan

 

Berlari melewati genangan

Membawa sebuah kenanggan

Hujan menyapa awan

Menemani sebuah perjalanan

 

Melawan semua keheningan

Air mata jatuh tak tertahan

Mengiringi kesunyian malam

Ditemani cahaya Sang rembulan


Kalimantan Tengah, 28 Maret 2022

 

Asep Perdiansyah, S.Pd., M.Pd., Gr.  lahir di Panjang, 03 Februari 1989. Riwayat pendidikan  S1 FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung dan S2 Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI) Universitas Lampung. Karya-karya puisi telah dimuat di media lokal dan nasional. Beberapa buku antologi puisinya “Cerita Tentang Kita”, “Di Ujung Jalan”, dan “Time Line”. Seorang Kepala SMK Maharati Kalimantan Tengah. Juara Kepala Sekolah Berprestasi Jenjang SMK Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2021.

 

 

Senin, 02 Januari 2023

K A R Y A

 

ARIS SETYANTO

 

 

Fragmen Masa Kecil

 

 

saat tubuh

tergenang oleh embun subuh

saya tansah teringat

fragmen

wajah yang bersahaja

dalam balutan sunyi

 

di sudut pagi menunggu

bapak Kiai menurunkan ilmu

gigil serupa pagar-pagar

telah membikin raga

setengah semaput

 

saat masa berlompatan

kawan-kawan terbit

membernasi kekosongan relung

dalam kesendirian

kini terisi oleh

pelajaran hari ini

 

Maguwo, 16 Maret 2021

 

 

Aris Setiyanto lahir 12 Juni 1996. Buku puisinya, Lelaki yang Bernyanyi Ketika Pesawat Melintas (2020) dan Ketika Angin Berhembus (2021). Puisinya juga termuat di beberapa media daring maupun cetak. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

___***___

 

 

IKA ZARDY S

 

 

 

Bila Dia Berkehendak

 

Saat tangan_Nya

mencipta senja menjelma  magenta

Langit menyusur gulita

Malam pun mengantar rembulan

Membiaskan getar senyuman

Pada penghuni istana

Terbuai pancaran purnama

 

Kidung rayu memagut

Menghias debar nan hanyut

Tarian lembut  kian nakal

Selubungi nalar semakin dangkal

Mendaki tebing-tebing terjal

Meliuk mendesah napas, binal.

 

Bila Dia berkehendak

Merambatkan tatap dalam gelap

Tembang lirih semisal ratap

Menggema mewarnai sunyi

Mengotori kamar sang Dewi

Mengikat renda warna pelangi

Dan, semuanya terjadi

..

Bali, 18 November 2022

 

 

Ika Zardy S, seorang pendidik yang kini bercucu satu. ASN di Kemenag ini,l selain pernah menjuarai lomba cipta puisi Dinas Kebudayaan Kulonprogo, karyanya menghiasi sejumlah media cetak dan online. Tinggal di Pengasih Kulonprogo.

___***___

 

 

 

 

MERAWATI MAY

 

 

 

Inilah Aku

 

separuh jiwa ini

kuserahkan ke padamu

karena cuaca telah mengantar pada sikap

tegas dan bijak

 

tak ada warna paling menentukan.

mera yang kuprasastikan pada sikap

adalah harga diriku

 

seperti batubatu kali

yang terpencil di air bening

mampu memisahkan unsur

keras dan kokoh

 

lalu,

kutepiskan kekurangajaran

yang muncul dari perilaku

di tiap tikungan jalan

 

maka separuh jiwaku

yang keras dan bijak

adalah mata uang

di antara lakilaki jalang

 

pergilah sebelum kucairkan

harga dirimu ke timbunan

lumpur yang bau

dan sumpek. karena aku

sebentuk mata panah

yang mampu menembus perasaan

cinta kita

 

Bengkulu, 14 Juli 2022

 

 

Merawati May, lahir pada 12 Mei. Kidung Hati Amreta adalah buku antologi puisi tunggalnya. Karyanya tersebar di sejumlah media online dan buku antologi bersama. Tinggal di Bengkulu.

 

___***___

 

 

 

JULI ARNA

 

 

 

Pilar Harap Palsu

 

 

Nabastala kian bungkam

Dipeluk nyanyian malam dengan muram

Hitam putih berlatar coretan kusam

Menuju pilar harapan

 

 

Gema kegundahan kian bertalu

Gemercik air melantun merdu

Dalam ruang yang telah usang

Dengan kebahagiaan yang mulai hilang

 

 

Menghitung waktu dalam sepi

Menghibur lamunan tanpa arti

Memahami hingga tak dimengerti

Lenyap terdeteksi tertelan ilusi

 

 

Akankah pilar harap berdiri kukuh, ataukah akan runtuh?

Seketika noktah pandangku terhenti

Memejamkan mata

Membekaskan jejak

Menumpahkan waktu

Menerjang pilar harap palsu

 

 

Juli Arna, lahir pada 20 Juli, kini masih menempuh pendidikan di SMA N 2 Wates Kulonprogo. Puisi-puisinya menghiasi sejumlah media online.  

Jumat, 23 Desember 2022

 

IBU TAK PERLU BOHONG TENTANG SIAPA GURITNO

Cerpen Marlin Dinamikanto

 

Rontok sudah harapan Mursilah. Janin di perutnya tidak diakui Guritno, pacarnya. Mursilah sedih. Berhari-hari mengurung diri dalam kamar. Simboknya, Warsini, belum tahu ada bayi kecil menendang-nendang dari dalam perutnya.

 

“Aku kan hanya sekali,” begitu jawaban Guritno saat Mursilah menuntut pertanggung-jawaban di atas surat pernyataan bermaterai yang drafnya sudah dia siapkan dari kontrakan.

 

Mursilah mencoba mengingat-ingat lagi. Terbayang wajah Agus. Tapi itu tidak mungkin. Meskipun paling sering, setidaknya sudah lima kali, tapi kejadiannya sudah dua tahun yang lalu. Saat dirinya masih kerja di perusahaan juragan Mardi. Kerja di bagian kasir. Aguslah yang sering mendatangi bilik kecil di belakang gudang, tempatnya membagi uang bensin, uang makan dan lainnya, termasuk kasbon.

 

Agus orangnya memang ganteng. LGBT, begitu Mursilah memanggilnya. Bukan gay atau hombreng. Melainkan lelaki ganteng berpipi tembem. Dia paling rajin kasbon. Jurus maut kasbonnya itu yang membuatnya tergila-gila. Mursilah jatuh cinta entah pada pandangan ke berapa. Karena itu pula Mursilah dilabrak istrinya.

 

Juragan Mardi yang memiliki perusahaan angkutan barang, toko bangunan, toko hasil bumi hampir di semua pasar Gunungkidul, kontraktor, penyewaan alat berat dan masih banyak lagi memang memiliki 327 karyawan tetap, di antaranya sopir truk seperti Agus. Jumlah truknya saja ada 102 unit. Agus termasuk sopir truk yang dipercaya mengirim gaplek ke pelabuhan Cilacap.

 

Kalau pengiriman jatuh hari Sabtu sore, Mursilah pasti diajaknya. Sujar, kernet baru yang diam-diam menaruh hati pada Mursilah membocorkan percintaan gelap itu. Rupanya Sujar sakit hati karena sering disuruh memotret adagen mesra keduanya dari kamera poket yang berisi 36 film itu. Diam-diam film itu dicucinya dan dijadikan barang bukti untuk melaporkan Agus ke istrinya.

 

Juragan Mardi tak mau ada ribut-ribut di perusahaannya. Mursilah pun diberhentikan dengan pesangon dua kali gaji atau Rp250.000 dan selembar referensi supaya cepat mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Gaji Rp 125 tibu per bulan di tahun 1987 sudah terhitung besar. Mursilah yang lulusan SMK pun diajak Sutini yang hanya lulusan SMP bekerja di pabrik sepatu Tangerang. Meninggalkan Warsini simboknya yang jualan dawet di depan sekolahan SDN Kalangan yang sekarang sudah bubar.

 

Nah, di pabrik sepatu itu Mursilah berkenalan dengan Guritno. Orangnya biasa saja tapi pengertian. Sudah itu sering antar jemput dari kontrakan ke pabrik dengan sepeda motor Honda Astrea yang dibelinya dengan uang warisan embahnya. Lumayan. Setidaknya selama pacaran dengan Satpam pabrik asal Ngawi, Jawa Timur, itu, Mursilah bisa irit biaya transport.

 

Suatu saat muncul kejadian yang sebenarnya sudah dia hindari. Kala itu Guritno main ke kontrakannya. Membawa minuman kemasan. Setelah minum kepalanya pusing. Mursilah baru sadar telah dikerjai Guritno. Saat bangun tidur dirinya tak mengenakan selembar pakaian pun. Tiga bulan setelah itu mereka putus. Guritno yang sudah pasti tidak perjaka lagi sering mengungkit dirinya tidak perawan.

 

*

 

Mursilah sadar ada kelainan dalam dirinya setelah sering mual-mual. Beberapa bulan berikutnya seperti ada yang menendang-nendang dari dalam perutnya. Hamil. Mursilah pun kebingungan.

 

“Ini pasti perbuatan Guritno,” tuding Mursilah saat menyiapkan blanko surat pernyataan bermaterai tahun 1988 senilai Rp1000 yang ternyata ditolak Guritno. Lelaki yang ternyata duda beranak dua itu enggan bertanggung-jawab dengan alasan baru melakukannya satu kali.

 

“Kamu kan sudah tidak perawan?” ucapnya kala itu.

 

Persoalan ini didengar Sutini yang juga masih tetangga desa di Karangduwet. Dia cerita, kakak kandungnya sudah berumur 52 tahun tapi belum beristri. Pekerjaannya seperti Agus, sopir trailer yang sering berminggu-minggu ke luar kota. Meskipun selisih usia 29 tahun, Mursilah tidak keberatan dikenalkan dengan Sutris, nama lelaki itu. 

 

Sutris pun sepertinya kesengsem dengan Mursilah yang menurutnya mirip Nia Daniati. Meskipun sudah berbadan dua tapi Sutris tidak keberatan menikahinya. Tapi sayang. Pernikahannya ditolak karena Pak Pengulu tahu calon mempelai perempuan sudah hamil. Maka Mursilah diungsikan ke rumah embahnya di Klaten. Setelah anaknya lahir pada 19 Maret 1989 baru keduanya menikah.

 

“Jangan khawatir Mur, dia aku anggap anak sendiri,” ucapnya saat jabang bayi lahir.

 

Jabang bayi itu diberi nama Ahmad Mursi Trisno Negoro. Tapi pasangan itu memanggilnya dengan nama Kelik. Panggilan untuk anak lelaki bagi orang Jawa pada umumnya.

 

Sutris sangat menyayangi Kelik. Sejak PAUD, TK hingga sekolah dasar, kalau sedang tidak membawa trailer ke luar kota, Sutris lah yang bertugas antar jemput. Begitu pun dengan Kelik. Dia sangat manja apabila bapaknya ada di rumah.

 

“Apa cita-citamu, Lik?” tanya Sutris saat Kelik sekolah Taman Kanak-Kanak yang setiap Sabtu mengenakan seragam polisi.

 

“Polici,” jawabnya tegas.

 

“Jangan, nak,”

 

“Polici kan bagus? Nembak penjahat dol dol dol,”

 

“Iya, polisi bagus. Tapi kan dia sering menilang bapak?”

 

“Apa itu menilang? Enggak, pokoknya polici. Tembak penjahat dol do dol,”

 

Kelik bertambah manja dengan bapaknya, karena dari pernikahan Sutris-Mursilah tidak dikaruniai keturunan. Sejak sering main ke Warnet dekat rumahnya, Kelik keranjingan dengan komputer. Software komputer di warnet berantakan karena dipraknya. Sutris terpaksa menggantinya.

 

Kelik pun semakin serius belajar komputer, baik hardware maupun softwarenya. Istilah chip, motherboard, Microsoft, Linux, bukan istilah asing bagi anak kelas 2 SMP ini. Sutris pun memberinya fasilitas personal computer dan laptop. Kelik pun kursus komputer hingga jenjang yang membuatnya begitu mahir membuat game dan aplikasi.

 

Demi menopang kebutuhan anaknya, hingga umur 68 tahun, saat Kelik baru 15 tahun, Sutris masih rajin keluar kota membawa trailer. Suatu saat Mursilah mendapat kabar. Suaminya meninggal dunia di sebuah pangkalan truk di Bukitkemuning, Lampung. Rupanya dia terkena serangan jantung dan dikira masuk angin maka dia minta kernetnya mengeroki. Setelah itu dia tidur selama-lamanya.

 

Kala itu Kelik tumbuh menjadi manusia cerdas. Meskipun masih kelas 1 SMA dia sudah sering mendapat order menginstal windows dari pemilik PC dan laptop di sekitar rumahnya. Dia juga menerima orderan service HP Nokia, Motorola, Erickson, Siemens dan lainnya dari teman sekolah dan tetangganya. Maka dia sudah memiliki penghasilan sendiri, sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai staff Tata Usaha di SMA swasta yang tak jauh dari rumahnya.

 

Lulus SMA dia sebenarnya mendapatkan bea siswa sekolah ke Amerika. Tapi Mursilah, ibunya, tidak mengizikannya. Akhirnya Kelik mengambil bea-siswa sekolah di Institut Teknologi Bandung yang ditempuhnya tepat selama 4 tahun. Kepandaiannya bergaul membuat Kelik diajak anak-anak orang kaya membuat perusahaan yang lebih dikenal dengan nama Startup, sejenis Gojek, Traveloka, dan apapun yang ada hubungannya dengan jaringan komputer.

 

Perusahaannya juga membuat beragam aplikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Dengan dukungan kawan-kawannya akhirnya Kelik memiliki perusahaan Startup sendiri. Dalam waktu singkat Kelik bisa menghidupi ibunya. Makam bapaknya pun dipindah dari sebuah TPU sederhana di Balaraja, Tangerang, ke Sandiego Hill. Kelik pun tinggal di kawasan kelas menengah di Serpong.

 

Toh begitu Mursilah tidak mau menuruti nasehat anaknya agar berhenti menjadi staff tata usaha di sekolah swasta yang gajinya pas-pasan. “Hidup ini bukan sekedar mencari uang Lik. Kalau ibu nganggur di rumah nanti cepat mati lho,” ucapnya sambil mengelus-elus rambut gondrong Ahmad Mursi Trisno Negoro yang sekarang bahkan oleh semua orang dipanggil Kelik.

 

*

 

Suatu saat datang seorang lelaki paruh baya ke kantornya. Umurnya sedikit lebih tua dari ibunya. Dan ini aneh. Wajah lelaki itu sangat mirip dengannya. Seperti pinang dibelah dua. Mungkin dia adalah anak dari kakeknya yang memang memiliki 12 istri. Di Gunungkidul saja ada 4. Belum lagi di Boyolali, Klaten, Sukoharjo. Setidaknya itu kata Bulek Sutini, adik bapaknya.

 

Sedangkan Warsini yang ketika masih hidup dipanggilnya Mbah Wedok, hanya punya anak tunggal bernama Mursilah. Kabarnya setelah Mursilah - ibunya - lahir, Mbah Lanang pergi ke Klaten dan tak pernah pulang ke Dusun Karangduwet. Beruntunglah dirinya, punya bapak bernama Sutris. Tidak single parent seperti Mbah Wedok yang mengurus ibunya.

 

Tapi itu tak mungkin. Lelaki itu mengaku dari Ngawi. Meskipun Kelik mencintai Sutris, bapaknya, dengan sepenuh jiwa, sejak kecil hingga dewasa dia sering mendengar gosip, Sutris bukan bapak biologisnya. Jadi sejak pandangan pertama menatap lelaki itu, Kelik sudah berfirasat dia lah bapak biologisnya.

 

“Maaf, apakah bapak masih ada hubungan keluarga dengan saya?” sapa Kelik setelah lebih dari sepuluh menit terlibat obrolan tentang fogging yang menjadi alasan lelaki itu datang ke kantornya.

 

“Oh, bukan. Nama saya Guritno, dulu pernah sama-sama bekerja di pabrik sepatu dengan ibu anda yang bernama Mursilah,” jawab Guritno, nama lelaki itu

 

“Jadi Pak Guritno asal Gunungkidul juga, seperti ibu saya?” selidik Kelik.

 

“Bukan. Ibu anda asal Gunungkidul, sedangkan saya asal Ngawi. Tidakkah ibu anda pernah bercerita tentang Guritno?”

 

“Tidak. Ibu saya tidak pernah bercerita tentang Guritno,” jawab Kelik dengan nada tersekat.

 

 “Saya sangat memaklumi kalau ibu Anda tidak pernah bercerita tentang Guritno. Ya sudah, saya senang melihat anda tumbuh dewasa dan sukses. Semoga ayah anda Sutris bahagia melihat anaknya sukses dari alam sana. Saya mohon pamit dulu,” ujar lelaki paruh baya itu yang tiba-tiba lupa menawarkan jasa fogging untuk mengusir nyamuk di kantornya.

 

Setelah tercenung, kaki Kelik pun ikut terseret mengejar lelaki itu yang masih menunggu lift di depan ruang resepsionis. Ada hal yang menggerakkan hatinya. Dia ingin memastikan itu. Bukan karena tidak mencintai Sutris bapak yang merawatnya sejak bayi hingga membesarkannya. Namun demi kejelasan asal usul dirinya.

 

“Sekali lagi saya mau tanya, apakah Om Guritno masih ada hubungan keluarga dengan saya?” tanya Kelik di depan lift yang mulai terbuka.

 

“Tidak. Saya hanya teman Mursilah, ibu anda” katanya sambil buru-buru masuk ke lift yang sudah terbuka.

 

Kelik terdiam. Kedatangan lelaki misterius itu mengganjal hatinya. Maka dia pun ingin buru-buru menemui ibunya. Tidak cukup hanya lewat telepon, WhatsApp atau Sort Message Service. Tiba-tiba dia ingin bertanya lebih gamblang tentang cerita di balik semua ini. Kelik tahu, lelaki yang wajahnya sangat persis dengannya itu bapak biologisnya.

 

“Bu, tadi ada bapak-bapak datang ke kantor. Ngakunya bekas teman ibu dan bulek Sutini waktu bekerja di Pabrik Sepatu. Namanya Om Guritno,” ucap Kelik.

 

“Guritno?”

 

“Tadinya saya pikir masih saudara. Lha wong wajahnya mirip sama aku. Tapi nggak tahunya orang itu ngaku dari Ngawi. Ibu pernah dengar nama itu?”

 

Nama Guritno sebenarnya telah dikubur dalam ingatannya. Mungkin, suatu saat Kelik  mesti tahu siapa dia yang sebenarnya. Tapi untuk apa? Bagaimana dengan Almarhum Sutris yang mencintainya sepenuh jiwa? Apa pula tanggapan dia tentang perilaku ibunya kalau dia tahu riwayat yang sebenarnya? Tapi dia tidak boleh terlalu lama bertanya-tanya.

 

“Ya, dia teman ibu waktu kerja di pabrik sepatu. Dului ibu sangat membencinya. Mungkin karena dia sering ganti-ganti cewek. Karena benci itu mungkin wajahnya nurun sama kamu. Tapi ibu sekarang sudah lupa yang namanya membenci orang. Mbok tadi kamu ajak mampir ke rumah,” jawab ibunya yang dia tahu bersandiwara.

 

“Orang itu keburu pergi,” sahutnya, lirih.

 

Sebenarnya ibunya tak perlu bohong. Sejak kecil dia sudah tahu siapa dirinya. Dia lahir bukan di tempat terpencil yang kedap informasi. Sejak SMP pun dia sudah tahu, Sutris bukan bapak biologisnya. Hanya Kelik tidak ingin mengungkit kenangan buruk ibunya.

 

Maka Kelik mengurungkan niatnya ingin tahu lebih tentang jalannya cerita yang membuatnya ada di muka bumi. []

 

Martupat, 30 November 2017

 


Marlin Dinamikanto,
lahir di Yogyakarta hingga uzurnya terus mengembara. Saat muda pernah belajar puisi pada mendiang Soewarno Pragolopati. Setelah berkiprah sebagai aktivis dan jurnalis serta mendapatkan penghasilan dari ghost-writer, sejak 2010 hingga sekarang kembali berpuisi. Buku puisi tunggalnya: Yang Terasing dan Mampus (2018) dan Menyapa Cinta (2020).

  K A R Y A   EVA NURUL KHASANAH   Pergi   Dari gedung-gedung bertingkat itu ku lihat kau hilang dalam keramaian diatas huru...