Jumat, 03 Juli 2020

K A R Y A


Air Mata Bulan
Cerpen Ragil Prasedewo

Siang itu hujan turun perlahan, sangat perlahan. Seperti saat kamu mengaduk secangkir kopi dengan sebongkah kecil gula batu sebagai pemanisnya. Dibawa dengan sepiring singkong rebus yang ditaburi garam sedikit agar menambah rasa. Gigitan pertama mulutku berdansa, merat merot kepanasan tak sabaran, padahal sudah dibilang masih panas tapi tetap ngeyel. Mau gimana lagi, paling nikmat memburu panas di tengah hawa dingin yang harus diobati dengan camilan sejenis ini, berhubung pisangnya belum begitu matang maka ku anjurkan untuk merebus singkong yang sudah dua hari bingung akan diolah menjadi penganan apa.
"Pelan-pelan sedikit to pak."
"Iya ini sudah pelan, habis keburu dingin nanti"
"Halah, emang kamu yang gak sabaran kok. Padahal tadi juga sudah habis mie ayam semangkok."
"Namanya juga orang kelaparan to bu."
"Ya tapi jangan langsung diemplok gitu, orang baru dibilang masih panas kok ya ngeyel."
"Iya, iya, maafin to. Tambah keriputnya lho nanti."
"Memang sudah keriput kok, sudah nenek-nenek."
Seketika aku teringat cucu kami yang tidur pulas setelah lelah bermain dengan robot
transformernya berwarna kuning.
"Tadi Bil sudah makan belum ya bu?"
"Cuma nyemil kerupuk bagong tadi."
"Kayaknya seneng banget anak ini sama kerupuk."
"Lha iya ya pak, anak lain sukanya jajan coklat, permen, atau penthol. Eh cucu kita cemilannya kok ya kerupuk."
"Malah irit to? Hahaha" tawaku pelan sambil membenarkan selimut yang dipakai Bil, berulang kali merosot karena ulah kakinya sendiri.
"Bagaimana dengan Rina? Sudah bisa masuk hari ini?" obrolan kami berubah haluan pada ibu Bil yang baru saja dapat panggilan dari kantor barunya setelah tiga bulan di rumah saja karena pandemi. Sedih melihat anak bungsunya yang cukup kacau pikirannya karena tidak ada penghasilan sama sekali untuk menyukupi kebutuhan gizi Bil. Apalagi menantunya Rahman belum bisa pulang dari perantauan. Kalau pulang bisa dikarantina hingga berminggu-minggu, dan kesempatan untuk kembali ke ibu kota kecil sekali jika tanpa ada surat keterangan sehat.
"Tadi pamitnya ke rumah temannya buat pinjam android, katanya ada wawancara melalui video call. Tahu sendiri gawainya rusak pada bagian kamera gara-gara ia kasih pinjam Bil."
"Owalah ngono to, malah enak, ngirit ongkos. Lumayan dua puluh ribu belum makan di jalan dan lain-lain."
"Yah.. syukuri saja pak, di balik ujian pasti ada hikmahnya." Jawab istriku sambil mengangkat cangkir yang baru saja kosong.
"Mau nambah lagi ndak?"
"Ndak perlu bu, malah tidak bisa tidur nanti malam."
**
Senja mulai larut di ujung siang, tapi Rina belum juga pulang, Bil rewel walau telah dimandikan, katanya minta jalan-jalan lihat bulan sama bunda. Neneknya cuma bisa menggendong pakai jarik sambil ditepuk-tepuk pantatnya, harapannya Bil capek dan tertidur hingga melupakan keinginannya. Hari ini malam pertengahan, bulan purnama nampak besar dan membulat dari ujung timur. Walau tertutup dedaunan pohon kelapa.
"Sekarang malam jumat apa to bu?"
"Legi kayake, oh iya bener legi. Pantes Bil rewel." sambil menyenandungkan tembang anak lawas lalu mengelus elus rambut Bil, tapi masih saja rewel. Orang jawa jaman dahulu punya kepercayaan turun temurun dari leluhur, bahwa jika anak kecil rewel pada malam hari karena bertepatan dengan hari lahirnya, tapi bisa juga menjadi pertanda bahwa ia merasakan apa yang dialami oleh orangtuanya.
"Kenapa to le kamu kok rewel saja?"
"Ibu mana uti? Mau lihat bulan." rengek Bil sambil menampakkan wajah imut nan
memelasnya. Dibawanya Bill ke luar sambil melihat bulan.
"Coba lihat bulan itu, besar ya nak." walau Bil merupakan cucu laki-laki satu-satunya, Darsih tetap memanggil Bil dengan sebutan nak, tidak hanya Bil, namun juga anak-anak yang tiap sore datang memenuhi ruang tamunya untuk diajarkan bahasa inggris. Kegiatan Rina memang tak jauh-jauh dari aksi sosial, seperti membuka kursus gratis untuk anak-anak sekitar rumahnya selama pandemi, agar mereka tidak kebanyakan bermain gawai yang kini sudah meracuni pola pikir generasi milenial.
Niat baik Rina yang ikhlas mendapat persetujuan ibunya yang terkenal tegas dan disiplin, namun tetap dengan memperhatikan protokol kesehatan yang sudah dianjurkan oleh pemerintah. Karena lebih dekat dengan ibunya, hal itu juga yang membuat Rina mampu melanjutkan sekolah lebih tinggi dari kakak-kakaknya tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun alias gratis karena mendapatkan beasiswa penuh hingga tamat.
Ya, setelah di wisuda dua tahun yang lalu, Rina melanjutkan bekerja di sebuah agen wisata ternama di Kota Jogja. Sebenarnya hal itu juga sudah ia lakoni semenjak semester akhir, untuk mengisi waktu luang serta membantu perekonomian keluarga. Darsih memang tidak salah dalam mendidik, ia membebaskan kehendak anak-anaknya tanpa syarat dan paksaan. Asal mereka mampu bertanggungjawab dengan pilihannya serta disiplin dalam menunaikan tanggungjawab, karena menurut Darsih, kedua hal tersebut merupakan poin sakral dalam menjalani lika-liku kehidupan di zaman yang sudah semakin canggih ini.
**
Rina merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara, saudaranya yang sudah berumah tangga menetap di daerah perkebunan kelapa sawit di Sumatera sana. Ia memilih menjaga orangtuanya sambil melakukan apa yang bisa ia lakukan, termasuk menjadi seorang pemandu wisata. Namun akibat pandemi ini, semua job dan seluruh sektor pariwasata lumpuh total. Bahkan bandara mulai ditutup demi mengurangi penyebaran virus yang asalnya mendominasi wisatawan mancanegara.
Dunia sedang kacau, seperti hatinya yang menahan rindu karena sudah dua kali lebaran. Rahman juga tidak bisa mudik untuk merayakan hari raya sekaligus ulang tahun Bil di rumah mertua. Akhirnya Rina mencoba berinisiatif untuk melamar di sebuah rumah sakit. Kebetulan temannya yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di Kota Jogja sedang membutuhkan seorang petugas admin. Banyak yang dimutasi ke ibu kota karena dari sanalah pandemi ini bermula.
Tiba-tiba listrik padam, gelapnya menyelimuti seluruh sudut rumah. Bahkan saking gelapnya, aku jadi teringat dulu saat Rina umur sembilan tahun. Saat Darsih masih menjadi buruh di negeri seberang.
“Lebih terang mana antara bulan dengan bintang?” Rina terlihat bermain dengan sebuah lilin yang kian habis dimakan waktu, malam menjadi semakin syahdu karena rintik hujan telah mengelilingi mereka sejak maghrib, disertai kilat yang sesekali mengagetkan bocah kecil yang sedang asik bermain bayangannya sendiri. Bentuknya menyerupai rusa ketika jari tengahnya dikatupkan bersama jempol dan jari yang lain dibiarkan tegak berdiri, atau bentuk kelinci yang menggunakan tangan satunya hanya dengan membentuk bilangan dua. Lalu mereka memulai percakapan layaknya dongeng yang sering ia lihat di televisi.
“Bulan lah pak.” jawab Rina yang masih asik memainkan jemarinya, kali ini berbentuk kancil dan ular. Masih dengan memanfaatkan terang lilin sehingga bayangannya nampak begitu besar di tembok.
“Kok bisa? Kalau purnama hilang bagaimana?” ku kembalikan lagi pertanyaannya, membuat alisnya menyatu dan menghentikan drama jemarinya sesaat.
“Ta.. tapi kan masih bisa hari esoknya, bulannya masih ada walau berbentuk sabit, kan?”
Jawaban dari anak bungsunya hanya membuatnya tersenyum. Kata-katanya kadang menyiratkan sesuatu, masih ada hari esok adalah kalimat penuh dengan pengharapan walaupun ia sadar jawabannya tidak nyambung karena bulan tidak menciptakan cahayanya sendiri, melainkan ada karena pantulan dari matahari.
“Kalau bapak pasti pilih bintang ya?”
“Sama kok dengan jawabanmu, karena cahaya bulan menyimpan banyak kerinduan.”
“Kenapa bisa begitu pak?”
“Hehe, jaman dulu di kampung bapak belum ada listrik. Belum ada televisi, kalau bermain ya di luar sama teman-teman.”
“Main apa pak?”
“Main gobak sodor, main egrang, sambil bernyanyi saat terang bulan.”
**
Kini mata sayu Darsih menatap yakin ke arah bulan, angannya jauh menerawang membayangkan anak-anaknya yang kini ada di perantauan, seakan meminta agar bulan segera memulangkan bencana ini terbang jauh ke angkasa, mengembalikan keharmonisan yang dulu pernah lengkap dan belum secanggung ini. Bil terlihat sudah mulai tenang dan mengantuk dalam dekapan Darsih. Ia ingat betul betapa perjuangan Rina begitu maksimal dibandingkan dengan saudara-saudaranya, terutama dalam mengurus Darsih dan aku. Ingatanku yang jauh menerawang sepertinya tidak akan lengkap jika yang sudah dikenang ada di depan mata, Rina pulang namun dengan sedikit terburu dengan mimik yang tertahan.
“Nanti dulu ya pak, bu. Rina mau ke kamar mandi dulu.” wajahnya hanya terlihat samar karena ia menunduk dan berjalan sedikit tergesa, jadi kami berdua yang ada di luar rumah segera mengikutinya dan masuk ke dalam rumah.
Aku dan Darsih paham, ini semua sudah menjadi cara baku yang diterapkan di seluruh dunia demi keselamatan kami semua. Kami tidak mau menanggung resiko dan dikarantina sampai dipasang selang infus dan ditemani tabung oksigen seperti berita yang disiarkan di televisi akhir-akhir ini. Begitu Rina selesai dari kamar mandi, dan byaaarr! Lampu menyala kembali, bagai berganti ke adegan baru, namun kami mendapati mata Rina sembab. Terkejut? Jelas!
“Kenapa nduk?”
“Kalau ada masalah jangan disimpan sendiri, ceritakan pelan-pelan sambil nyebut.” Sambung Darsih yang telah meletakkan Bil ke tempat tidurnya.
Cukup lama kami menunggu sebab yang membuatnya meneteskan air mata, beberapa prakiraan mulai bermunculan; mulai dari berita dari saudaranya atau tentang haru bahagianya saat ia menerima hasil wawancara yang baru saja ia lakukan.
Entahlah, kami berdua tidak mau menduga terlalu jauh. Yang jelas rasa sensitif anak perempuan kami satu-satunya merupakan pertanda yang harus disiapkan secara mental karena banyak kejutan di balik air mata bulan, ya, Rina yang bernama lengkap Rina Purnama Asri adalah nama yang ku ucapkan ketika mengantar Darsih ke bidan untuk terakhir kalinya, malam itu begitu terang dan ia lahir dengan tangis yang begitu keras, sampai-sampai semua orang yang ada di klinik bersalin heran dan membicarakannya.
“Wah, anaknya perempuan ya pak, nangisnya keras sekali, semoga kelak menjadi anak yang sukses dan berbakti ya pak.” Ujar salah satu pasien yang ikut merasakan bangga akan kelahiran Rina. Aku hanya mengaminkan sambil meringis kecut, mengingat sakitnya Darsih sudah tiga kali melahirkan dengan normal.
**
“Tadi setelah melakukan wawancara jarak jauh, Rina sengaja untuk menelpon mas Rahman hanya ingin tahu bagaimana kondisinya.”
“Dia sehat to nduk?” tanya Darsih tergesa.
“Sehat bu,”
“Syukurlah,” hampir mau bernafas lega, namun Rina belum selesai berbicara,
“Tapi tadi mas Rahman sedang tidak di rumah.” jawab Rina sambil mengambil nafas pendek.
“Mas Rahman di rumah sakit bu, sudah tiga hari ia di karantina, katanya ada gejala pneumonia juga.” tangisnya pecah. Seumur-umur walau Rina anak yang paling peka dari semua wanita yang pernah ku miliki selain Darsih dan Ibu, ia akan sangat terpukul ketika mendengar orang yang dicintainya sakit sampai dirawat.
Entah mengapa dulu ia memilih Rahman. Cintanya ia temukan di pelataran Keraton Ratu Boko, saat itu ia hendak mengambil topinya yang terbang terbawa angin dan diambilkan oleh seorang petugas kebersihan yang sekarang menjadi suaminya. Rahman cenderung tidak mengindahkan segala peraturan dan bertingkah sesuai dengan kebebasannya.
Berlainan sekali dengan tipikal keluarga kami yang sangat disiplin. Ia sosok yang keras kepala, termasuk menjadi perokok berat. Akhirnya kini positif covid-19 dengan gejala pneumonia.
“Doakan saja agar semuanya baik-baik saja ya nduk, bapak ingin bulan jangan bersedih lagi. Masih ada bintang yang menaruh terangnya untuk kita, bukan?”
**
            “Bagaimana ibu? Apakah warga sekitar mau menerima jenazahnya?”
Perempuan itu belum berhenti melamun karena shock. Ketika hendak menaruh Bil ke tempat tidurnya, kemudian datang seseorang yang mengaku sebagai petugas medis menanyakan alamat rumah dengan nomor rumah yang sesuai nomor rumahnya. Malam semakin dingin saat melihat sebuah mobil ambulance terparkir di samping rumah bersama rombongan warga yang juga penasaran dari kejauhan. Lalu dari dalam ambulance beberapa petugas medis keluar dengan pakaian mirip seperti seorang penjinak bom. Bom yang akan meledakkan seluruh ruang rindu, sejak dua bulan lalu menerima kabar kurang menyenangkan dari Rahman. Berita pilu yang sebenarnya tidak ia inginkan, ia coba tutup rapat dengan doa yang tulus agar virus ini tidak sampai merenggut orang-orang yang ia sayangi. Rina hampir pingsan dibuatnya, betapa tidak, ia sudah senam jantung melihat mereka berjalan menuju rumahnya, kemudian memanggilku dan Darsih yang baru saja larut dalam mimpi, kami yang kaget terbangun lalu bergegas ke luar menghampirinya.
            “Pak! Bu! Kemarilah cepat..” sambil sesenggukan dan menangis sejadi-jadinya,
            “Ada apa to nduk?”
            “Nyebut nduk, nyebut..”
Di antara kerumunan itu ada satu sosok berbaju serba hitam menghampiri kami, petugas tadi rupanya hendak menanyakan alamat keluarga Pak Toyib, tetangga sebelah rumah kami. Tapi ternyata petugas tersebut salah membaca nomor rumah kemudian meminta maaf dan berlalu. Sosok hitam itu kian mendekat.
“Bu, kok itu mirip seperti Rahman???” kataku memastikan sambil menyipitkan mata.
“Hm, benar pak..! Itu mas Rahman!!” Rina sontak histeris. Sosok itu berlari ke arah kami. Rina yang sudah terlanjur banjir hendak memeluknya, namun Darsih masih mengingatkannya agar mematuhi aturan. Rahman menunjukkan surat keterangan sembuh dari covid-19. Semua yang ada di sana bernafas lega, tidak henti-hentinya Rina mengucap syukur. 
            “Aku kira yang dibawa ambulance tadi kamu mas.”
           “Maafkan aku ya Rin, aku tidak bisa kembali merantau. Cukup di sini aku akan menemanimu bersama Bil juga bapak, ibu.” bulan kembali menangis, namun kali ini tangisnya berbeda, ini tangis lega karena bisa bertemu dengan sang mentari. Yang selalu memberikan hangat dan terangnya agar selalu bisa menemani saat malam yang dingin.

Jogja, 2 Juni 2020

 
Ragil Prasedewo, lahir di Jakarta 25 Agustus 1992. Pernah mengikuti kegiatan tadarus puisi komunitas Lumbung Aksara (2007). Sejak duduk di bangku SMK sudah meraih beberapa kejuaran lomba sastra: juara II Lomba Cipta Puisi Islami dan  juara III Lomba Cipta Cerpen Islami (Badan Kesatuan Rohis Kab. Kuloprogo, 2007), Juara III Lomba Baca Puisi (HARLAH IPNU ke-57 di Kabupaten Kulonprogo, 2011) dan terakhir puisinya yang berjudul “Berani Bersih” menyabet juara II lomba cipta puisi bertema Pemilu Bersih (Bawaslu Kulonprogo, 2020). Gil Ragil, nama pena yang digunakan, tertarik kebudayaan Jawa seperti seni tari, karawitan, ketoprak hingga batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis pada beberapa sekolah dasar di Kulonpogo. Minatnya pada sastra kadang timbul tenggelam karena banyaknya aktivitas sebagai penyuluh HIV AIDS. Buku tunggalnya yang telah terbit: Serdadu Api (kumpulan puisi, 2020), Kisah Kasih Si Gadis Tuli (kumpulan cerpen, 2020) dan Senjaku Hilang (kumpulan cerpen, 2020). Puisinya masuk di buku Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (antologi puisi dan prosa komunitas Sastra-Ku).Tinggal di Wates Kulonprogo. WA 083862730832.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...