Air Mata Bulan
Cerpen Ragil Prasedewo
Siang
itu hujan turun perlahan, sangat perlahan. Seperti saat kamu mengaduk secangkir
kopi dengan sebongkah kecil gula batu sebagai pemanisnya. Dibawa dengan
sepiring singkong rebus yang ditaburi garam sedikit agar menambah rasa. Gigitan
pertama mulutku berdansa, merat merot kepanasan tak sabaran, padahal sudah
dibilang masih panas tapi tetap ngeyel. Mau gimana lagi, paling nikmat
memburu panas di tengah hawa dingin yang harus diobati dengan camilan sejenis
ini, berhubung pisangnya belum begitu matang maka ku anjurkan untuk merebus
singkong yang sudah dua hari bingung akan diolah menjadi penganan apa.
"Pelan-pelan
sedikit to pak."
"Iya
ini sudah pelan, habis keburu dingin nanti"
"Halah,
emang kamu yang gak sabaran kok. Padahal tadi juga sudah habis mie ayam semangkok."
"Namanya
juga orang kelaparan to bu."
"Ya
tapi jangan langsung diemplok gitu, orang baru dibilang masih panas kok
ya ngeyel."
"Iya,
iya, maafin to. Tambah keriputnya lho nanti."
"Memang
sudah keriput kok, sudah nenek-nenek."
Seketika
aku teringat cucu kami yang tidur pulas setelah lelah bermain dengan robot
transformernya
berwarna kuning.
"Tadi
Bil sudah makan belum ya bu?"
"Cuma
nyemil kerupuk bagong tadi."
"Kayaknya
seneng banget anak ini sama kerupuk."
"Lha
iya ya pak, anak lain sukanya jajan coklat, permen, atau penthol. Eh
cucu kita cemilannya kok ya kerupuk."
"Malah
irit to? Hahaha" tawaku pelan sambil membenarkan selimut yang dipakai Bil,
berulang kali merosot karena ulah kakinya sendiri.
"Bagaimana
dengan Rina? Sudah bisa masuk hari ini?" obrolan kami berubah haluan pada ibu
Bil yang baru saja dapat panggilan dari kantor barunya setelah tiga bulan di rumah
saja karena pandemi. Sedih melihat anak bungsunya yang cukup kacau pikirannya
karena tidak ada penghasilan sama sekali untuk menyukupi kebutuhan gizi Bil. Apalagi
menantunya Rahman belum bisa pulang dari perantauan. Kalau pulang bisa dikarantina
hingga berminggu-minggu, dan kesempatan untuk kembali ke ibu kota kecil sekali jika
tanpa ada surat keterangan sehat.
"Tadi
pamitnya ke rumah temannya buat pinjam android, katanya ada wawancara melalui
video call. Tahu sendiri gawainya rusak pada bagian kamera gara-gara ia
kasih pinjam Bil."
"Owalah
ngono to, malah enak, ngirit ongkos. Lumayan dua puluh ribu belum makan di
jalan dan lain-lain."
"Yah..
syukuri saja pak, di balik ujian pasti ada hikmahnya." Jawab istriku
sambil mengangkat cangkir yang baru saja kosong.
"Mau
nambah lagi ndak?"
"Ndak
perlu bu, malah tidak bisa tidur nanti malam."
**
Senja
mulai larut di ujung siang, tapi Rina belum juga pulang, Bil rewel walau telah dimandikan,
katanya minta jalan-jalan lihat bulan sama bunda. Neneknya cuma bisa menggendong
pakai jarik sambil ditepuk-tepuk pantatnya, harapannya Bil capek dan tertidur hingga
melupakan keinginannya. Hari ini malam pertengahan, bulan purnama nampak besar dan
membulat dari ujung timur. Walau tertutup dedaunan pohon kelapa.
"Sekarang
malam jumat apa to bu?"
"Legi
kayake, oh iya bener legi. Pantes Bil rewel." sambil menyenandungkan tembang
anak lawas lalu mengelus elus rambut Bil, tapi masih saja rewel. Orang jawa
jaman dahulu punya kepercayaan turun temurun dari leluhur, bahwa jika anak
kecil rewel pada malam hari karena bertepatan dengan hari lahirnya, tapi bisa
juga menjadi pertanda bahwa ia merasakan apa yang dialami oleh orangtuanya.
"Kenapa
to le kamu kok rewel saja?"
"Ibu
mana uti? Mau lihat bulan." rengek Bil sambil menampakkan wajah
imut nan
memelasnya.
Dibawanya Bill ke luar sambil melihat bulan.
"Coba
lihat bulan itu, besar ya nak." walau Bil merupakan cucu laki-laki
satu-satunya, Darsih tetap memanggil Bil dengan sebutan nak, tidak hanya Bil,
namun juga anak-anak yang tiap sore datang memenuhi ruang tamunya untuk
diajarkan bahasa inggris. Kegiatan Rina memang tak jauh-jauh dari aksi sosial,
seperti membuka kursus gratis untuk anak-anak sekitar rumahnya selama pandemi,
agar mereka tidak kebanyakan bermain gawai yang kini sudah meracuni pola pikir generasi
milenial.
Niat
baik Rina yang ikhlas mendapat persetujuan ibunya yang terkenal tegas dan
disiplin, namun tetap dengan memperhatikan protokol kesehatan yang sudah
dianjurkan oleh pemerintah. Karena lebih dekat dengan ibunya, hal itu juga yang
membuat Rina mampu melanjutkan sekolah lebih tinggi dari kakak-kakaknya tanpa
mengeluarkan biaya sepeser pun alias gratis karena mendapatkan beasiswa penuh
hingga tamat.
Ya,
setelah di wisuda dua tahun yang lalu, Rina melanjutkan bekerja di sebuah agen
wisata ternama di Kota Jogja. Sebenarnya hal
itu juga sudah ia lakoni semenjak semester akhir, untuk mengisi waktu luang
serta membantu perekonomian keluarga. Darsih memang tidak salah dalam mendidik,
ia membebaskan kehendak anak-anaknya tanpa syarat dan paksaan. Asal mereka
mampu bertanggungjawab dengan pilihannya serta disiplin dalam menunaikan tanggungjawab,
karena menurut Darsih, kedua hal tersebut merupakan poin sakral dalam menjalani
lika-liku kehidupan di zaman yang sudah semakin canggih ini.
**
Rina
merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara, saudaranya yang sudah berumah
tangga menetap di daerah perkebunan kelapa sawit di Sumatera sana. Ia memilih
menjaga orangtuanya sambil melakukan apa yang bisa ia lakukan, termasuk menjadi
seorang pemandu wisata. Namun akibat pandemi ini, semua job dan seluruh sektor
pariwasata lumpuh total. Bahkan bandara mulai ditutup demi mengurangi
penyebaran virus yang asalnya mendominasi wisatawan mancanegara.
Dunia
sedang kacau, seperti hatinya yang menahan rindu karena sudah dua kali lebaran.
Rahman juga tidak bisa mudik untuk merayakan hari raya sekaligus ulang tahun
Bil di rumah mertua. Akhirnya Rina mencoba berinisiatif untuk melamar di sebuah
rumah sakit. Kebetulan temannya yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di Kota
Jogja sedang membutuhkan seorang petugas admin. Banyak yang dimutasi ke ibu
kota karena dari sanalah pandemi ini bermula.
Tiba-tiba listrik padam, gelapnya menyelimuti seluruh sudut
rumah. Bahkan saking gelapnya, aku jadi teringat dulu saat Rina umur sembilan
tahun. Saat Darsih masih menjadi buruh di negeri seberang.
“Lebih terang mana antara bulan dengan bintang?” Rina terlihat
bermain dengan sebuah lilin yang kian habis dimakan waktu, malam menjadi
semakin syahdu karena rintik hujan telah mengelilingi mereka sejak maghrib,
disertai kilat yang sesekali mengagetkan bocah kecil yang sedang asik bermain
bayangannya sendiri. Bentuknya menyerupai rusa ketika jari tengahnya dikatupkan
bersama jempol dan jari yang lain dibiarkan tegak berdiri, atau bentuk kelinci
yang menggunakan tangan satunya hanya dengan membentuk bilangan dua. Lalu
mereka memulai percakapan layaknya dongeng yang sering ia lihat di televisi.
“Bulan lah pak.” jawab Rina yang masih asik memainkan jemarinya,
kali ini berbentuk kancil dan ular. Masih dengan memanfaatkan terang lilin
sehingga bayangannya nampak begitu besar di tembok.
“Kok bisa? Kalau purnama hilang bagaimana?” ku kembalikan
lagi pertanyaannya, membuat alisnya menyatu dan menghentikan drama jemarinya
sesaat.
“Ta.. tapi kan masih bisa hari esoknya, bulannya masih ada
walau berbentuk sabit, kan?”
Jawaban dari anak bungsunya hanya membuatnya tersenyum. Kata-katanya
kadang menyiratkan sesuatu, masih ada hari esok adalah kalimat penuh dengan
pengharapan walaupun ia sadar jawabannya tidak nyambung karena bulan tidak
menciptakan cahayanya sendiri, melainkan ada karena pantulan dari matahari.
“Kalau bapak pasti pilih bintang ya?”
“Sama kok dengan jawabanmu, karena cahaya bulan menyimpan
banyak kerinduan.”
“Kenapa bisa begitu pak?”
“Hehe, jaman dulu di kampung bapak belum ada listrik. Belum
ada televisi, kalau bermain ya di luar sama teman-teman.”
“Main apa pak?”
“Main gobak sodor, main egrang, sambil bernyanyi saat terang
bulan.”
**
Kini mata sayu Darsih menatap yakin ke arah bulan, angannya
jauh menerawang membayangkan anak-anaknya yang kini ada di perantauan, seakan
meminta agar bulan segera memulangkan bencana ini terbang jauh ke angkasa,
mengembalikan keharmonisan yang dulu pernah lengkap dan belum secanggung ini.
Bil terlihat sudah mulai tenang dan mengantuk dalam dekapan Darsih. Ia ingat
betul betapa perjuangan Rina begitu maksimal dibandingkan dengan
saudara-saudaranya, terutama dalam mengurus Darsih dan aku. Ingatanku yang jauh
menerawang sepertinya tidak akan lengkap jika yang sudah dikenang ada di depan
mata, Rina pulang namun dengan sedikit terburu dengan mimik yang tertahan.
“Nanti dulu ya pak, bu. Rina mau ke kamar mandi dulu.”
wajahnya hanya terlihat samar karena ia menunduk dan berjalan sedikit tergesa,
jadi kami berdua yang ada di luar rumah segera mengikutinya dan masuk ke dalam
rumah.
Aku dan Darsih paham, ini semua sudah menjadi cara baku yang
diterapkan di seluruh dunia demi keselamatan kami semua. Kami tidak mau
menanggung resiko dan dikarantina sampai dipasang selang infus dan ditemani
tabung oksigen seperti berita yang disiarkan di televisi akhir-akhir ini.
Begitu Rina selesai dari kamar mandi, dan byaaarr! Lampu menyala kembali,
bagai berganti ke adegan baru, namun kami mendapati mata Rina sembab. Terkejut?
Jelas!
“Kenapa nduk?”
“Kalau ada masalah jangan disimpan sendiri, ceritakan
pelan-pelan sambil nyebut.” Sambung Darsih yang telah meletakkan Bil ke
tempat tidurnya.
Cukup lama kami menunggu sebab yang membuatnya meneteskan
air mata, beberapa prakiraan mulai bermunculan; mulai dari berita dari
saudaranya atau tentang haru bahagianya saat ia menerima hasil wawancara yang
baru saja ia lakukan.
Entahlah, kami berdua tidak mau menduga terlalu jauh. Yang
jelas rasa sensitif anak perempuan kami satu-satunya merupakan pertanda yang
harus disiapkan secara mental karena banyak kejutan di balik air mata bulan,
ya, Rina yang bernama lengkap Rina Purnama Asri adalah nama yang ku ucapkan
ketika mengantar Darsih ke bidan untuk terakhir kalinya, malam itu begitu
terang dan ia lahir dengan tangis yang begitu keras, sampai-sampai semua orang
yang ada di klinik bersalin heran dan membicarakannya.
“Wah, anaknya perempuan ya pak, nangisnya keras sekali,
semoga kelak menjadi anak yang sukses dan berbakti ya pak.” Ujar salah satu
pasien yang ikut merasakan bangga akan kelahiran Rina. Aku hanya mengaminkan
sambil meringis kecut, mengingat sakitnya Darsih sudah tiga kali melahirkan
dengan normal.
**
“Tadi
setelah melakukan wawancara jarak jauh, Rina sengaja untuk menelpon mas Rahman
hanya ingin tahu bagaimana kondisinya.”
“Dia sehat
to nduk?” tanya Darsih tergesa.
“Sehat
bu,”
“Syukurlah,”
hampir mau bernafas lega, namun Rina belum selesai berbicara,
“Tapi tadi
mas Rahman sedang tidak di rumah.” jawab Rina sambil mengambil nafas pendek.
“Mas Rahman di rumah sakit bu, sudah tiga hari ia di karantina,
katanya ada gejala pneumonia juga.” tangisnya pecah. Seumur-umur walau
Rina anak yang paling peka dari semua wanita yang pernah ku miliki selain
Darsih dan Ibu, ia akan sangat terpukul ketika mendengar orang yang
dicintainya sakit sampai dirawat.
Entah mengapa dulu ia memilih Rahman. Cintanya ia temukan di
pelataran Keraton Ratu Boko, saat itu ia hendak mengambil topinya yang terbang
terbawa angin dan diambilkan oleh seorang petugas kebersihan yang sekarang menjadi
suaminya. Rahman cenderung tidak mengindahkan segala peraturan dan bertingkah
sesuai dengan kebebasannya.
Berlainan sekali dengan tipikal keluarga kami yang sangat
disiplin. Ia sosok yang keras kepala, termasuk menjadi perokok berat. Akhirnya
kini positif covid-19 dengan gejala pneumonia.
“Doakan saja agar semuanya baik-baik saja ya nduk, bapak
ingin bulan jangan bersedih lagi. Masih ada bintang yang menaruh terangnya
untuk kita, bukan?”
**
“Bagaimana ibu? Apakah warga sekitar
mau menerima jenazahnya?”
Perempuan itu belum berhenti melamun karena shock. Ketika
hendak menaruh Bil ke tempat tidurnya, kemudian datang seseorang yang mengaku
sebagai petugas medis menanyakan alamat rumah dengan nomor rumah yang sesuai
nomor rumahnya. Malam semakin dingin saat melihat sebuah mobil ambulance
terparkir di samping rumah bersama rombongan warga yang juga penasaran dari
kejauhan. Lalu dari dalam ambulance beberapa petugas medis keluar dengan
pakaian mirip seperti seorang penjinak bom. Bom yang akan meledakkan seluruh
ruang rindu, sejak dua bulan lalu menerima kabar kurang menyenangkan dari
Rahman. Berita pilu yang sebenarnya tidak ia inginkan, ia coba tutup rapat
dengan doa yang tulus agar virus ini tidak sampai merenggut orang-orang yang ia
sayangi. Rina hampir pingsan dibuatnya, betapa tidak, ia sudah senam jantung
melihat mereka berjalan menuju rumahnya, kemudian memanggilku dan Darsih yang
baru saja larut dalam mimpi, kami yang kaget terbangun lalu bergegas ke luar menghampirinya.
“Pak! Bu! Kemarilah cepat..” sambil
sesenggukan dan menangis sejadi-jadinya,
“Ada apa to nduk?”
“Nyebut nduk, nyebut..”
Di antara kerumunan itu ada satu sosok berbaju serba hitam
menghampiri kami, petugas tadi rupanya hendak menanyakan alamat keluarga Pak
Toyib, tetangga sebelah rumah kami. Tapi ternyata petugas tersebut salah
membaca nomor rumah kemudian meminta maaf dan berlalu. Sosok hitam itu kian
mendekat.
“Bu, kok itu mirip seperti Rahman???” kataku memastikan
sambil menyipitkan mata.
“Hm, benar pak..! Itu mas Rahman!!” Rina sontak histeris. Sosok
itu berlari ke arah kami. Rina yang sudah terlanjur banjir hendak memeluknya,
namun Darsih masih mengingatkannya agar mematuhi aturan. Rahman menunjukkan
surat keterangan sembuh dari covid-19. Semua yang ada di sana bernafas
lega, tidak henti-hentinya Rina mengucap syukur.
“Aku kira yang dibawa ambulance tadi
kamu mas.”
“Maafkan aku ya Rin, aku tidak bisa
kembali merantau. Cukup di sini aku akan menemanimu bersama Bil juga bapak,
ibu.” bulan kembali menangis, namun kali ini tangisnya berbeda, ini tangis lega
karena bisa bertemu dengan sang mentari. Yang selalu memberikan hangat dan
terangnya agar selalu bisa menemani saat malam yang dingin.
Jogja, 2 Juni 2020
Ragil Prasedewo, lahir di Jakarta 25 Agustus
1992. Pernah mengikuti kegiatan tadarus puisi komunitas Lumbung Aksara (2007). Sejak duduk di
bangku SMK
sudah meraih beberapa kejuaran lomba sastra: juara II Lomba Cipta Puisi Islami dan juara III Lomba Cipta Cerpen Islami (Badan
Kesatuan Rohis Kab. Kuloprogo, 2007), Juara III Lomba Baca Puisi (HARLAH IPNU ke-57 di
Kabupaten Kulonprogo, 2011) dan
terakhir puisinya yang berjudul “Berani Bersih” menyabet juara II lomba cipta
puisi bertema Pemilu Bersih (Bawaslu Kulonprogo, 2020). Gil Ragil, nama pena yang
digunakan, tertarik kebudayaan Jawa seperti seni tari, karawitan, ketoprak
hingga batik tulis. Sempat membantu mengajar ekstrakurikuler seni batik tulis
pada beberapa sekolah dasar di Kulonpogo. Minatnya pada sastra kadang
timbul tenggelam karena banyaknya aktivitas sebagai penyuluh HIV AIDS. Buku
tunggalnya yang telah terbit: Serdadu Api (kumpulan puisi, 2020), Kisah Kasih Si Gadis Tuli (kumpulan
cerpen, 2020) dan Senjaku Hilang
(kumpulan cerpen, 2020). Puisinya masuk di buku Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (antologi puisi dan prosa komunitas
Sastra-Ku).Tinggal di Wates Kulonprogo. WA 083862730832.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar