Jumat, 10 Juli 2020

K A R Y A


MARJUDIN SUAEB



Berita  Pertama

Dengar tangkap dan catat
Antara hoax canda dengan perintah
Tersela-sela iklan kotbah dan isyarat
Bahwa fatwa tak lebih sebagai alat
Tersusun harap
Terangkai orasi akal
Hingga terbaca lagi berita
Bahwa situasi kian terkendali

Ada sedikit gesek-gesek
Tapi selesai kekeluargaan
Meski berita berlanjut
Dan peristiwa tiada habisnya
 
                     Yk. 2020



Marjudin Suaeb, salah satu penyair senior Kulonprogo. Pendidikan terakhirnya IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Jebolan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi ini tulisannya dimuat sejumlah koran Jogja Semarang, Jakarta. Namanya tercatat di buku  Apa Siapa Penyair Indonesia (2017). Buku antologi puisi tunggalnya Bulan Bukit Menoreh (Sabdamedia, 2016). Puisi lain terkumpul di sejumlah buku antologi diantaranya Gunungan (penyair Insani), Ziarah, Penyair Jogja 3 Generasi, Lima Tujuh Lima, Cermin Akhir Tahun, Parangtritis, Gondomanan, Pendapa taman siswa, Nyanyian Bukit Menoreh,  dan Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi 2019), Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Antologi Puisi dan Prosa komunitas Sastra-Ku, 2020). Geguritannya masuk di buku Tilik Weweisik (Disbud DIY, 2019). Tinggal di Bumirejo Lendah  Kulonprogo.

*** ----- ***


AMBAR SETYAWATI



Tarian Sang Penghianat

Jenuh mencekik leherku...
Sesak napasku hingga hawa pagi tak mampu lagi kureguk..
Terperangkap sunyi yang memaksaku untuk terus menghirupnya ....

Dari balik dinding lara..
Aku bercengkerama dengan senyap..
Aku dikepung bosan maha dahsyat..
Aku dibelit rindu hingga sekarat..
Mampukah jemari rapuh meledakan  rantai belenggu hingga menjadi kepingan..
Hingga lenyap rasa pedih  yang mengiris hati.

Dari balik dinding lara ...
Kutatap geram penghianat yang menari di padang rumput berhamburan cahaya..
Disinggahi gelak tawa kemenangan..
Harimu tetap seindah kemarin.. tak ada aroma kenegerian..

Mengapa aku masih di sini..
Sementara kau berdansa di luar sana ..
Dengan wajah puas mengejekku yang rela terpenjara dalam pengap .. untuk menyelamatkan satu dua nyawa.. lalu kau menghancurkan segalanya.. sia-sia tak berbekas..

Jenuh ini.. mulai jenuh untuk terus bertahan..
Meletus.. hingga muncul penat.. yang terus menekan kuat.. hingga pecah berhamburan menjadi muak..

Kumohon..
Cukuplah muak ini saja yang masih mampu ku tahan.. 
Jangan meledak ..
Jangan..

Samigaluh, 13 Mei 2020



Ambar Setyawati, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1973. Menyelesaikan pendidikan D3 jurusan Sastra Arab di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (1995) dan  jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Terbuka Jakarta (2001). Sejak 1997 aktif mengajar Bahasa Inggris dan Seni Budaya di beberapa sekolah di Jakarta. Tahun 2011 meninggalkan Jakarta dan mengajar di SMK Ma’arif Nanggulan.  Karya dari alumni  workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini masuk di buku Kluwung Lukisan Maha Cahaya (Antologi Puisi dan Prosa komunitas Sastra-Ku, 2020).
*** ----- ***


WAHYU PURWADI



Munafik

Jika langit itu mendung, jangan pernah kau tanya mengapa
Jika bintang itu tak ada, jangan pernah kau tanya kemana
Buih kata dalam goresan tinta,
tak setajam kata dalam goresan lidah
Jeritan tak selalu keras, diam bukan berarti lemah
Angin tak selalu menyejukkan, mentaripun tak selalu menghangatkan
ada kata terpendam dalam sudut jiwa
apakah kebaikan dalam fatamurgana

Pal 18 Lendah, 1 Juli 2020


Wahyu Purwadi, lahir di Batang (Jawa tengah), 23 Agustus 1986. Bagi alumni workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini berpuisi merupakan salah satu kegiatan yang dilakukanya disela-sela mengajar di IKIP PGRI Wates dan sebuah SMK di Bantul. Suka dengan puisi bertema sosial politik, karena pernah menjadi Presiden Mahasiswa dan sering orasi di jalan menggunakan puisi. Karya puisinya masuk di buku Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (Antologi Puisi dan Prosa komunitas Sastra-Ku, 2020). Tinggal di Lendah Kulonprogo.
*** ----- ***



EVA NURUL KHASANAH



Bumi Sungguh Resah

Bagaimana jika yang pergi ingin pulang? 
Yang menangis ingin tersenyum? 
Yang sakit ingin sehat? 
Apakah kau tak pernah berpikir, 
yang mati ingin hidup? 

Jangan buta dan tuli. 
Hati itu tak berfungsi. 
Ketika mata tak membaca. 
Telinga tak mendengar. 
Hati, 
tak merasakan. 

Cobalah hidup tanpa-
Nya. 
Jika kau bisa. 


Sidorejo, 08 Juli 2020


Eva Nurul Khasanah, lahir di Kulonprogo 1 Juni 1999 adalah mahasiswi Prodi PBSI Universitas PGRI Yogyakarta (UPY).  Puisinya berjudul "105 Kata untuk Mimpi Ku" mendapat juara 3 di Pekan Jurnalistik yang diadakan oleh UKM Jurnalistik Persada UPY. Disela-sela kuliah ia masih menyempatkan untuk menulis, mengajar TPA, berorganisasi dan bekerja sebagai penjahit. Tinggal di Sidorejo Lendah.

*** ----- ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...