Sabtu, 16 Oktober 2021

K A R Y A

 Elegi Air

 Cerpen:  Muhammad Raihan Najmi  

 

           Saya rasa kehidupan keluarga kami sudah sangat bisa dibilang susah. Rumah sempit, motor  jelek, makan selalu tahu, tempe, dan mi instan. Setiap ingin mandi kami harus menimba air sumur yang dalamnya lebih dari sepuluh meter. Tidak seperti kebanyakan orang-orang kaya, yang jika ingin mandi tinggal memutar kran lalu mengalirlah air bersih. Betapa susah hidup kami bukan. Hidup yang seperti ini juga dialami oleh kebanyakan tetangga kami.

Dalam hidup yang susah ini, saya terkadang merasa jengkel dengan orang tua dan tetangga yang suka menonton gaya hidup para artis di televisi. Buat apa? Buat apa mengagumi sesuatu yang hanya akan menjadi mimpi? Semua rumah mereka sudah punya mesin air untuk memenuhi kebutuhan air tiap harinya. Sedangkan kita mungkin harus tidak makan satu rumah selama sebulan untuk membelinya. Saya yang masih duduk di bangku SMA ini tak habis pikir dengan mindset para orang tua.

            Sampai suatu siang, datang beberapa mobil mewah berwarna hitam yang mengkilap; berhenti di pinggir jalan pemukiman kami. Dari salah satu mobil itu keluar seseorang berjas hitam, berdasi, bercelana panjang hitam, dan sepatu hitam yang mengkilap-kilap. Semuanya serba hitam dan mewah. Orang itu dikelilingi delapan pria yang bertubuh kekar. Mereka masuk ke beberapa rumah warga yang letaknya tidak jauh dari jalan. Orang-orang bilang orang itu membawa semacam surat perizinan dari Kantor Kelurahan dan Kecamatan.

      Tidak sampai sore hari, orang-orang asing itu angkat kaki. Banyak warga yang menyempatkan keluar rumah untuk sekedar melihat mobil-mobil mewah─seperti yang biasa mereka lihat di televisi─pergi. Sejurus kemudian, warga yang tadi rumahnya dikunjungi oleh orang-orang asing itu berhambur keluar, mereka melonjak-lonjak kegirangan.

            “Yuhuuuu” Kata mereka.

Ternyata orang-orang asing tadi hendak membeli rumah mereka dengan harga duakali lipat dari semestinya. Dan tanpa terkecuali mereka semua menyetujuinya.

            Hahahaha... aku akan kaya”

            “Aku akan beli mobil.”

            “Aku aka punya Iphone.”

            “Aku akan tinggal di perumahan yang elite”.

            “Aku akan punya AC hahaha...” Mereka yang jumlahnya delapan kepala keluarga itu saling sahut menyahut kegirangan. Warga sekitar nampaknya banyak yang iri.

            Keesokan harinya, kedelapan rumah itu sudah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Saking senangnya mendapat uang banyak, sepertinya mereka sampai lupa berpamitan dengan tetangga. Sepertinya mereka begitu berambisi memburu keinginan-keinginannya. Sepertinya dugaan saya salah bahwa kehidupan di televisi hanya akan menjadi mimpi bagi mereka. Sepertinya mereka akan segera mendapatkan secuil kehidupan itu. Selamat wahai para mantan tetangga. Entah kedelapan rumah kalian akan menjadi apa.

        Sepulang sekolah, dari kejauhan saya mendengar suara-suara yang sangat gaduh. Seperti suara mesin dan batu-batu yang saling bertabrakan. Semakin dekat jarak saya dengan rumah, semakin terdengar keras suara-suara itu. Ternyata suara itu berasal dari kedelapan rumah yang penghuninya telah raib semua. Mungkin separuh dari kedelapan rumah itu kini telah hancur berkeping-keping. Di antara kedelapan rumah itu berdiri dua ekskavator yang telah siap melumat rumah-rumah yang tersisa. Tempat itu kini ramai─para kontraktor. Saya tidak bisa melihat dengan jelas karena area itu telah dipagari dengan bilah-bilah besi yang saling sambung menyambung.

     Siapa peduli mau dibuat apa tempat itu. Kami yang hidup susah akan tetap susah. Kecuali kalau bos dari proyek itu dengan senang hati mau memberikan sedekah pada kami sebulan sekali. Gerutuku dalam hati.

     Pada awalnya kami biasa-biasa saja mendengar kegaduhan proyek itu. Namun seiring berjalannya waktu, rasa kesal mulai mengisi dada kami. Banyak warga yang merasa tidur siang terganggu, menonton televisi terganggu, mendengarkan radio terganggu, pengajian jumat terganggu, dan berbagai kekesalan yang lain. Siang dan malam, di pemukiman kami terbentuk secara natural forum-forum informal di teras-teras rumah. Mereka saling mengeluhkan pengerjaan proyek yang tanpa ada konpensasi barang segelo-duagelo kepada warga. Namun keluhan itu hanya menjadi keluhan, mereka tidak tau bagaimana cara mengutarakannya.

        Entah takdir Tuhan atau konspirasi alam; pemukiman kami terdiri dari orang-orang kecil dan miskin. Tidak ada satupun sarjana di komplek pemukiman kami. Hingga akhirnya kakak saya yang mendapat beasiswa kuliah di Bandung itu pulang. Namanya Brili; Sarjana Hukum.

       Di sisi lain, pengerjaan proyek yang telah berlalu selama setahun itu akhirnya selesai juga. Jelaslah apa yang mereka buat. Hotel mewah berlantai lima. Hotel yang berdiri di antara rumah-rumah kumuh itu, membuatnya semakin terlihat megah tiada banding. Bagaikan kumbang dengan semut. Di atas pintu masuknya terpampang tulisan “Hotel LOL”. Untuk menginap semalam di sana, barangkali kami mesti menjual barang paling berharga kami ─televisi. Untuk menginap sebulan, barangkali kami mesti menjual rumah kami. Tapi lagi-lagi siapa yang peduli dengan hotel megah itu. Toh keberadaannya sama sekali tak membantu kesusahan hidup kami.

Dua bulan telah berlalu, kami hidup saling acuh tak acuh dengan tetangga baru yang tak pernah menganggap kami ada.

       Pagi itu, saya buru-buru ke sumur untuk menimba air, pisang goreng masih terkunyah dalam mulut. Ember sumur saya lemparkan ke dalam, lalu saya ulur tali karetnya, saya ulur begitu dalam. Aneh sekali, tidak seperti biasanya. Setelah mencapai batasnya, tali karet itu saya tarik dengan sangat cepat, sangat ringan. Dan saat ember telah mencapai puncak, mendadak mata saya membeliak, tidak ada satupun tetesan air yang berceceran darinya. Saya raih cepat-cepat ember itu ─kosong melompong. Saya tengok lubang pada sumur. Air terlihat begitu jauh, dangkal, seperti hanya cekungan. Dengan sendirinya mulutku mengumpat “Kwetek.”

        “Bu..., air di sumur hilang.”

        “Iya, sudah sejak dari subuh Dul.”

      Mendengarnya membuat dahi saya mengernyit. Apa-apaan ini! Setelah keluar dari rumah, ternyata banyak warga mengalami hal yang sama. Mereka saling berteriak-teriak keheranan.

        “Kok habis airnya!”

        “Ibu aku mandi pakai apa? Bisa telat nanti sekolah.”

        “Aduuuuuh.”

        “Airnya lari kemana?!”

        “Mau minum pakai apa kalau giniii.”

        Di teras rumah, Kakak Brili sedang menekur. Sebatang rokok terapit di jari-jari kanannya. Telapak kirinya menempel pada wajahnya; sesekali mengusap-ngusap. Seperti itulah kakak ketika sedang berpikir keras. Sejurus kemudian dia pergi berjalan dengan cepat.

        “Mau kemana Kak?” Tanya saya sambil mengejarnya. Dia tak menjawab dan terus berjalan.

         Kakak berhenti di pinggir jalan depan hotel, berkacak pinggang, menghembuskan napas. Dia berjalan memasuki pelataran hotel, sama sekali tak mengacuhkan panggilan adiknya untuk kesekian kalinya. Punya uang dari mana kakak sampai berani masuk ke sana. Saya lihat dari kejauhan, dia tidak mengindahkan penjaga hotel yang menanyainya. Justru berlari menerobos, penjaga itu mengejarnya. Dari larinya, sepertinya dia sempat kebingungan mencari sesuatu, hingga akhirnya berhenti di satu titik dekat dinding hotel. Penjaga hotel berhasil menangkapnya. Dan saat itu juga, kakak dengan kedua tangannya melemparkan cipratan-cipratan air ke udara, sembari bersorak-sorak.

        “Aiiiir, aiiiiir, aiiiiiir.”

        Melihat hal itu, kedua mataku membulat sempurna, dan turut bersorak tidak percaya dari kejauhan.

        “Aiiiir, aiiiiir, aiiiiiir.”

       Aksi kakak itu ternyata mengundang penjaga hotel dan pegawai yang lain. Setelah diatasi oleh banyak orang, kakak akhirnya berhasil diseret keluar dari pelataran hotel. Pada akhirnya kami pulang, napas kakak terengah-engah.

      Air belum juga pulang ke sumur kami. Banyak anak yang tidak berangkat sekolah dengan alasan belum mandi, orang tuanya tidak peduli, karena mereka sendiri juga sibuk mencari air untuk minum. Warga saling mencari alternatif lain, ada yang ke masjid dan pasar yang jaraknya sekitar dua kilometer dari pemukiman kami.

        Yang menjadi pertanyaan besar di kepala saya adalah, kenapa air bisa hilang di sumur kami, sedangkan hotel tidak. Malamnya kakak mengajak warga sekitar untuk berkumpul, membahas masalah yang sedang dialami bersama.

“Tadi siang, saya telah memutar kran hotel dan airnya sangat deras bapak-ibu.”

        “Wah.. yang benar saja.”

        “Wah.. bagaimana bisa?”

        “Wah.. hotel sialan.”

        “Wah.. hotel keparat.” Mereka saling berceloteh kesal mendapat kenyataan itu.

        “Sumur hotel yang begitu dalam menggerus air-air yang ada di sumur kita bapak-ibu.”

        “Bayangkan saja, berapa air yang mereka butuhkan untuk kolam renang mereka?! Ratusan liter bapak ibu.”

        Warga mengangguk-ngangguk setuju.

        “Oleh karena itu, saya himbau bapak-ibu sekalian untuk bersama-sama menuntut keadilan kepada hotel sialan itu. Masa kita mau mandi mesti berjalan dua kilometer ke pasar?!”

        Mula-mula banyak dari mereka yang ragu-ragu. Takut mungkin. Tapi setelah diyakinkan lagi oleh kakak, mereka akhirnya setuju. Kakak menjelaskan pada mereka bagaimana prosedur yang mesti dilakukan saat menuntut hotel. Dan rapat pun selesai.

      Keesokan harinya, air belum juga pulang. Warga sudah berkumpul untuk melakukan demonstrasi. Tidak banyak memang, hanya sebagian yang mau. Beberapa mereka membuat tulisan-tulisan di kertas, seperti kembalikan air kami, warga resah sumur kering, manusia butuh minum. Kakak sudah menghimbau mereka untuk tidak melakukan kekerasan dan kerusakan. Demonstrasi dimulai, warga bersorak-sorak sambil mengangkat-ngangkat poster. Warga berdemo secara damai. Penjaga hotel tidak memiliki alasan untuk meringkus.

      Satu jam berlalu, keberadaan kami sepertinya telah memberikan kerugian besar bagi Hotel LOL. Aksi kami telah menjadi wajah buruk hotel di hadapan para pengunjungnya. Karena merasa mendapatkan tekanan, bos mereka akhirnya keluar. Dia berjas hitam, berdasi, bercelana panjang hitam dan bersepatu hitam mengkilap. Kakak saya maju menghampiri.

    “Apa ini?! Apa yang kalian mau?” Bos itu berteriak marah-marah

    “Kau telah merebut air kami! Kami kesusahan mandi dan mencari air minum!” Balas kakak tegas.

    “Apa buktinya aku merebut?!” Urat-urat bermunculan di lehernya.

    “Sumurmu yang sangat dalam telah menggerus air-air yang ada di sumur kami! Kau pakai sumur kan?! Terdengar jelas suara mesinnya di belakang sana!”

    Bos itu terdiam sejenak, lalu mengerang-erang.

    “Tak ada urusan. Salah sendiri sumur tak dalam.”

    “Aku takmau rugi. Modal belum juga kembali. Kalian harus pahami itu!”

    “Loh, uuuutekmu!” Kata kakak sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada kepala. Kakak merengsek maju.

    “Penjagaaa, penjaga! Urus dia!” Si bos dengan gugup memerintahkan bawahannya. Sontak para penjaga datang, menangkap kakak dan menyeretnya keluar dari pelataran hotel.

    Mereka berteriak-teriak keras sok garang pada kami “Pergiii!, Bubaaar!” sambil mengacung-ngacungkan tongkat pemukul pada warga. Warga berkecil hati, tak lama kemudian mundur. Kakak digeret-geret oleh mereka hingga kancing kemejanya yang atas putus tiga. Wajah kakak merah, matanya berkaca-kaca. Semua itu saya amati dari kejauhan, di seberang jalan, berjongkok. Tanpa saya sadari satu-dua tetes air mata telah menitik di lengan saya.

       Perlahan-lahan warga berhamburan. Kakak berlari-lari kecil masuk ke gang, mungkin pulang ke rumah. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang perih di dalam dada saya. Kepala saya tenggelamkan pada lipatan tangan. Apakah memang berakhir seperti ini, apakah kakak sudah menyerah, apakah air tidak akan kembali ke sumur kami. Ya air, satu hal yang sangat berharga yang dulu sempat saya lalaikan, dan kini saya tangisi.

    Dalam kegelapan, dalam tangis, dalam kekecewaan, dalam terlangkup, sayup-sayup terdengar suara serak kakak. Ada apa ini? Perlahan kepala saya angkat sedikit. Terkejut saya melihat kakak kembali ada di sana, di pinggir jalan depan hotel. Dia berteriak-teriak parau. Wajahnya merah padam, di sampingnya ada ember kecil berisikan tanah. Tangan kanannya menggenggam gayung. Dimandikannya tanah itu pada rambut panjang berantakannya, hingga sekujur tubuhnya.

        “Kembalikan air kami. Kurangkah uang kalian hingga merampok hal paling berharga dalam hidup kami. Kembalikan air kami perampok! Saya hanya berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar, pasal tigatiga, ayat tiga, bahwa: Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!” Teriaknya sembari terus mengguyur tanah pada tubuhnya.

      Sedikit warga yang masih tersisa di sana memasang wajah pilu. Bos hotel mungkin sudah masuk ke dalam, tak terlihat batang hidungnya. Para penjaga yang berbaris tidak rapi di pelataran hotel, membiarkan kakak. Justru banyak dari mereka yang menunduk, seperti turut menghaturi elegi kakak.

***

        “Maafkan kekasaran kami tadi wahai warga yang paling gagah. Kami terpaksa, kami hanya bekerja.” Kata salah satu penjaga hotel.

 

Yogyakarta, 2021

 

Muhammad Raihan Najmi, saat ini masih sekolah di Alam Raya sambil aktif  di Sanggar Cokrojayan, Sanggar Pamong, dan Komunitas Literasi Baitul Kilmah. Tinggal di Bantul, Yogyakarta. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...