Elegi Air
Cerpen: Muhammad Raihan Najmi
Saya rasa
kehidupan keluarga kami sudah sangat bisa dibilang susah. Rumah sempit,
motor jelek, makan selalu tahu, tempe,
dan mi instan. Setiap ingin
mandi kami harus menimba
air sumur yang dalamnya lebih dari sepuluh meter. Tidak
seperti kebanyakan orang-orang kaya, yang jika ingin mandi tinggal memutar kran
lalu mengalirlah air bersih. Betapa susah hidup kami bukan. Hidup yang seperti
ini juga dialami oleh kebanyakan tetangga kami.
Dalam hidup
yang susah ini, saya terkadang merasa jengkel dengan orang tua dan tetangga yang
suka menonton gaya hidup para artis di televisi. Buat apa? Buat apa mengagumi
sesuatu yang hanya akan menjadi mimpi? Semua rumah mereka sudah punya mesin air untuk memenuhi
kebutuhan air tiap harinya. Sedangkan kita mungkin harus tidak makan satu rumah
selama sebulan untuk membelinya. Saya yang masih duduk di bangku SMA ini tak habis
pikir dengan mindset para orang tua.
Sampai suatu siang, datang beberapa
mobil mewah berwarna hitam yang mengkilap; berhenti di pinggir jalan pemukiman kami.
Dari salah satu mobil itu keluar seseorang berjas hitam, berdasi, bercelana
panjang hitam, dan sepatu hitam yang mengkilap-kilap. Semuanya serba hitam dan
mewah. Orang itu dikelilingi delapan pria yang bertubuh kekar. Mereka masuk ke
beberapa rumah warga yang letaknya tidak jauh dari jalan. Orang-orang bilang
orang itu membawa semacam surat perizinan dari Kantor Kelurahan dan Kecamatan.
Tidak sampai sore hari, orang-orang
asing itu angkat kaki. Banyak warga yang menyempatkan keluar rumah untuk
sekedar melihat mobil-mobil mewah─seperti yang biasa mereka lihat di televisi─pergi.
Sejurus kemudian, warga yang tadi rumahnya dikunjungi oleh orang-orang asing itu
berhambur keluar, mereka melonjak-lonjak kegirangan.
“Yuhuuuu” Kata
mereka.
Ternyata
orang-orang asing tadi hendak membeli rumah mereka dengan harga duakali lipat
dari semestinya. Dan tanpa terkecuali mereka semua menyetujuinya.
“Hahahaha... aku akan kaya”
“Aku akan beli
mobil.”
“Aku aka punya Iphone.”
“Aku akan tinggal
di perumahan yang elite”.
“Aku akan punya
AC hahaha...” Mereka yang jumlahnya delapan kepala keluarga itu saling sahut
menyahut kegirangan. Warga sekitar nampaknya banyak yang iri.
Keesokan harinya, kedelapan rumah
itu sudah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Saking senangnya
mendapat uang banyak, sepertinya mereka sampai lupa berpamitan dengan tetangga.
Sepertinya mereka begitu berambisi memburu keinginan-keinginannya. Sepertinya
dugaan saya salah bahwa kehidupan di televisi hanya akan menjadi mimpi bagi
mereka. Sepertinya mereka akan segera mendapatkan secuil kehidupan itu. Selamat
wahai para mantan tetangga. Entah kedelapan rumah kalian akan menjadi apa.
Sepulang sekolah, dari kejauhan saya
mendengar suara-suara yang sangat gaduh. Seperti suara mesin dan batu-batu yang
saling bertabrakan. Semakin dekat jarak saya dengan rumah, semakin terdengar
keras suara-suara itu. Ternyata suara itu berasal dari kedelapan rumah yang
penghuninya telah raib semua. Mungkin separuh dari kedelapan rumah itu kini
telah hancur berkeping-keping. Di antara kedelapan rumah itu berdiri dua
ekskavator yang telah siap melumat rumah-rumah yang tersisa. Tempat itu kini
ramai─para kontraktor. Saya tidak bisa melihat dengan jelas karena area itu
telah dipagari dengan bilah-bilah besi yang saling sambung menyambung.
“Siapa peduli
mau dibuat apa tempat itu. Kami yang hidup susah akan tetap susah. Kecuali kalau
bos dari proyek itu dengan senang hati mau memberikan sedekah pada kami sebulan
sekali.” Gerutuku dalam hati.
Pada awalnya kami biasa-biasa saja
mendengar kegaduhan proyek itu. Namun seiring berjalannya waktu, rasa kesal mulai
mengisi dada kami. Banyak warga yang merasa tidur siang terganggu, menonton
televisi terganggu, mendengarkan radio terganggu, pengajian jumat terganggu,
dan berbagai kekesalan yang lain. Siang dan malam, di pemukiman kami terbentuk
secara natural forum-forum informal di teras-teras rumah. Mereka saling
mengeluhkan pengerjaan proyek yang tanpa ada konpensasi barang segelo-duagelo kepada warga. Namun
keluhan itu hanya menjadi keluhan, mereka tidak tau bagaimana cara mengutarakannya.
Entah takdir Tuhan atau konspirasi
alam; pemukiman kami terdiri dari orang-orang kecil dan miskin. Tidak ada
satupun sarjana di komplek pemukiman kami. Hingga akhirnya kakak saya yang
mendapat beasiswa kuliah di Bandung itu pulang. Namanya Brili; Sarjana Hukum.
Di sisi lain, pengerjaan proyek yang
telah berlalu selama setahun itu akhirnya selesai juga. Jelaslah apa yang
mereka buat. Hotel mewah berlantai lima. Hotel yang berdiri di antara
rumah-rumah kumuh itu, membuatnya semakin terlihat megah tiada banding. Bagaikan
kumbang dengan semut. Di atas pintu masuknya terpampang tulisan “Hotel LOL”. Untuk
menginap semalam di sana, barangkali kami mesti menjual barang paling berharga
kami ─televisi.
Untuk menginap sebulan, barangkali kami mesti menjual rumah kami. Tapi
lagi-lagi siapa yang peduli dengan hotel megah itu. Toh keberadaannya sama
sekali tak membantu kesusahan hidup kami.
Dua bulan telah
berlalu, kami hidup saling acuh tak acuh dengan tetangga baru yang tak pernah
menganggap kami ada.
Pagi itu, saya buru-buru ke sumur
untuk menimba air, pisang goreng masih terkunyah dalam mulut. Ember sumur saya
lemparkan ke dalam, lalu saya ulur tali karetnya, saya ulur begitu dalam. Aneh
sekali, tidak seperti biasanya. Setelah mencapai batasnya, tali karet itu saya tarik
dengan sangat cepat, sangat ringan. Dan saat ember telah mencapai puncak,
mendadak mata saya membeliak, tidak ada satupun tetesan air yang berceceran
darinya. Saya raih cepat-cepat ember itu ─kosong
melompong. Saya tengok lubang pada sumur. Air terlihat begitu jauh, dangkal,
seperti hanya cekungan. Dengan sendirinya mulutku mengumpat “Kwetek.”
“Bu..., air di
sumur hilang.”
“Iya, sudah
sejak dari subuh Dul.”
Mendengarnya membuat dahi saya
mengernyit. Apa-apaan ini! Setelah keluar
dari rumah, ternyata banyak warga mengalami hal yang sama. Mereka saling
berteriak-teriak keheranan.
“Kok habis
airnya!”
“Ibu aku mandi
pakai apa? Bisa telat nanti sekolah.”
“Aduuuuuh.”
“Airnya lari
kemana?!”
“Mau minum pakai apa kalau giniii.”
Di teras rumah, Kakak Brili sedang menekur. Sebatang rokok terapit di jari-jari kanannya. Telapak kirinya menempel pada wajahnya; sesekali mengusap-ngusap. Seperti itulah kakak ketika sedang berpikir keras. Sejurus kemudian dia pergi berjalan dengan cepat.
“Mau kemana Kak?” Tanya saya
sambil mengejarnya. Dia tak menjawab dan terus berjalan.
Kakak berhenti di pinggir jalan
depan hotel, berkacak pinggang, menghembuskan napas. Dia berjalan memasuki pelataran hotel, sama sekali
tak mengacuhkan panggilan adiknya untuk kesekian kalinya. Punya uang dari mana
kakak sampai berani masuk ke
sana. Saya lihat dari kejauhan, dia tidak mengindahkan penjaga hotel
yang menanyainya. Justru berlari menerobos, penjaga itu mengejarnya. Dari
larinya, sepertinya dia sempat kebingungan mencari sesuatu, hingga akhirnya
berhenti di satu titik dekat dinding hotel. Penjaga hotel berhasil
menangkapnya. Dan saat itu juga, kakak dengan kedua tangannya melemparkan
cipratan-cipratan air ke udara, sembari bersorak-sorak.
“Aiiiir,
aiiiiir, aiiiiiir.”
Melihat hal
itu, kedua mataku membulat sempurna, dan turut bersorak tidak percaya dari
kejauhan.
“Aiiiir,
aiiiiir, aiiiiiir.”
Aksi kakak itu ternyata mengundang
penjaga hotel dan pegawai yang lain. Setelah diatasi oleh banyak orang, kakak
akhirnya berhasil diseret keluar dari pelataran hotel. Pada akhirnya kami
pulang, napas kakak
terengah-engah.
Air belum juga pulang ke sumur kami. Banyak anak yang tidak berangkat sekolah dengan alasan belum mandi, orang tuanya tidak peduli, karena mereka sendiri juga sibuk mencari air untuk minum. Warga saling mencari alternatif lain, ada yang ke masjid dan pasar yang jaraknya sekitar dua kilometer dari pemukiman kami.
Yang menjadi pertanyaan besar di kepala saya adalah, kenapa air bisa hilang di sumur kami, sedangkan hotel tidak. Malamnya kakak mengajak warga sekitar untuk berkumpul, membahas masalah yang sedang dialami bersama.
“Tadi siang,
saya telah memutar kran hotel dan airnya sangat deras bapak-ibu.”
“Wah.. yang
benar saja.”
“Wah..
bagaimana bisa?”
“Wah.. hotel
sialan.”
“Wah.. hotel
keparat.” Mereka saling berceloteh kesal mendapat kenyataan itu.
“Sumur hotel
yang begitu dalam menggerus air-air yang ada di sumur kita bapak-ibu.”
“Bayangkan
saja, berapa air yang mereka butuhkan untuk kolam renang mereka?! Ratusan liter
bapak ibu.”
Warga
mengangguk-ngangguk setuju.
“Oleh karena itu, saya
himbau bapak-ibu sekalian untuk bersama-sama menuntut keadilan kepada hotel
sialan itu. Masa kita mau mandi mesti berjalan dua kilometer ke pasar?!”
Mula-mula banyak dari mereka yang
ragu-ragu. Takut mungkin. Tapi setelah diyakinkan lagi oleh kakak, mereka
akhirnya setuju. Kakak menjelaskan pada mereka bagaimana prosedur yang mesti
dilakukan saat menuntut hotel. Dan rapat pun selesai.
Keesokan harinya, air belum juga
pulang. Warga sudah berkumpul untuk melakukan demonstrasi. Tidak banyak memang,
hanya sebagian yang mau. Beberapa mereka membuat tulisan-tulisan di kertas,
seperti kembalikan air kami, warga resah
sumur kering, manusia butuh minum. Kakak sudah menghimbau mereka untuk
tidak melakukan kekerasan dan kerusakan. Demonstrasi dimulai, warga
bersorak-sorak sambil mengangkat-ngangkat poster. Warga berdemo secara damai.
Penjaga hotel tidak memiliki alasan untuk meringkus.
Satu jam berlalu, keberadaan kami
sepertinya telah memberikan kerugian besar bagi Hotel LOL. Aksi kami telah
menjadi wajah buruk hotel di hadapan para pengunjungnya. Karena merasa
mendapatkan tekanan, bos mereka akhirnya keluar. Dia berjas hitam, berdasi, bercelana
panjang hitam dan bersepatu hitam mengkilap. Kakak saya maju menghampiri.
“Apa ini?! Apa
yang kalian mau?” Bos itu berteriak marah-marah
“Kau telah
merebut air kami! Kami kesusahan mandi dan mencari air minum!” Balas kakak
tegas.
“Apa buktinya
aku merebut?!” Urat-urat bermunculan di lehernya.
“Sumurmu yang
sangat dalam telah menggerus air-air yang ada di sumur kami! Kau pakai sumur
kan?! Terdengar jelas suara mesinnya di belakang
sana!”
Bos itu terdiam
sejenak, lalu mengerang-erang.
“Tak ada urusan.
Salah sendiri sumur tak dalam.”
“Aku takmau
rugi. Modal belum juga kembali. Kalian harus pahami itu!”
“Loh,
uuuutekmu!” Kata kakak sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada kepala. Kakak
merengsek maju.
“Penjagaaa,
penjaga! Urus dia!” Si bos dengan gugup memerintahkan bawahannya. Sontak para
penjaga datang, menangkap kakak dan menyeretnya keluar dari pelataran hotel.
Mereka berteriak-teriak keras sok
garang pada kami “Pergiii!, Bubaaar!” sambil mengacung-ngacungkan tongkat
pemukul pada warga. Warga berkecil hati, tak lama kemudian mundur. Kakak digeret-geret
oleh mereka hingga kancing kemejanya yang atas putus tiga. Wajah kakak merah,
matanya berkaca-kaca. Semua itu saya amati dari kejauhan, di seberang jalan,
berjongkok. Tanpa saya sadari satu-dua tetes air mata telah menitik di lengan
saya.
Perlahan-lahan warga berhamburan.
Kakak berlari-lari kecil masuk ke gang, mungkin pulang ke rumah. Entah kenapa
seperti ada sesuatu yang perih di dalam dada saya. Kepala saya tenggelamkan
pada lipatan tangan. Apakah memang
berakhir seperti ini, apakah kakak sudah menyerah, apakah air tidak akan
kembali ke sumur kami. Ya air, satu hal yang sangat berharga yang dulu
sempat saya lalaikan, dan kini saya tangisi.
Dalam kegelapan, dalam tangis, dalam
kekecewaan, dalam terlangkup, sayup-sayup terdengar suara serak kakak. Ada apa ini? Perlahan kepala saya angkat
sedikit. Terkejut saya melihat kakak kembali ada di sana, di pinggir jalan
depan hotel. Dia berteriak-teriak parau. Wajahnya merah padam, di sampingnya
ada ember kecil berisikan tanah. Tangan kanannya menggenggam gayung.
Dimandikannya tanah itu pada rambut panjang berantakannya, hingga sekujur
tubuhnya.
“Kembalikan air
kami. Kurangkah uang kalian hingga merampok hal paling berharga dalam hidup
kami. Kembalikan air kami perampok! Saya hanya berpegang teguh pada
Undang-Undang Dasar, pasal tigatiga, ayat tiga, bahwa: Bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!” Teriaknya sembari terus mengguyur tanah
pada tubuhnya.
Sedikit
warga yang masih tersisa di sana memasang wajah pilu. Bos hotel mungkin sudah
masuk ke dalam, tak terlihat batang hidungnya. Para penjaga yang berbaris tidak
rapi di pelataran hotel, membiarkan kakak. Justru banyak dari mereka yang
menunduk, seperti turut menghaturi elegi kakak.
***
“Maafkan kekasaran kami tadi wahai warga yang paling
gagah. Kami terpaksa, kami hanya bekerja.” Kata salah satu penjaga hotel.
Yogyakarta,
2021
Muhammad Raihan Najmi, saat ini masih sekolah di Alam Raya sambil aktif di Sanggar Cokrojayan, Sanggar Pamong, dan Komunitas Literasi Baitul Kilmah. Tinggal di Bantul, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar