S e r u n i
Cerpen Inung Setyami
Tak ada yang
menduga, kembang desa itu kini gila. Tertawa di jalanan, marah-marah dengan
berbagai umpatan, kadang menangis sesenggukan persis anak kecil yang minta
dibelikan mainan. Kini ia jadi bahan ejekan dan tertawaan anak-anak. Seruni,
nama gadis itu. Nama yang indah, seindah wajahnya.
Seruni memang sudah
tidak waras lagi namun kecantikan wajahnya masih tersisa. Tubuhnya masih
menawarkan kemolekan yang mampu mengundang birahi lelaki. Ia memang sudah tidak
lagi memperhatikan dandanan, tidak mandi, rambut panjangnya dibiarkan tergerai
tak pernah disisir, dan berpakaian penuh tambalan di sana-sini. Itupun hanya
pakaian pemberian seorang ibu yang kasihan melihatnya telanjang di jalanan,
lari kesana kemari tanpa tujuan. Memang, Seruni belum lama terganggu
kejiwaannya. Ia gila akibat telah
mengalamai kekecewaan batin yang sangat dalam. Ia tak lagi mampu berfikir
jernih sehingga tak memiliki rasa malu mencopoti seluruh kain yang menutupi tubuhnya.
Sebelumnya, Seruni
gadis pujaan. Banyak lelaki yang menaruh hati kepadanya. Pacarnya
berganti-ganti, sebulan bisa sampai tiga kali. Nyambung putus nyambung lagi
soal biasa. Namun kini, tak satupun lelaki yang bersedia menjadi kekasihnya.
Beberapa lelaki hanya suka menggodanya saja. Dalam keadaan tidak waras, rupanya
Seruni masih merindukan sosok lelaki. Buktinya kemarin sore Seruni bikin ulah,
menghadang Pak Haji di jalan, mendekapnya erat hingga pak haji ambruk kemudian menungganginya dan menciumnya
bertubi-tubi.
“I lop
Yu! I lop Yu! I lop Yu Muachh!” Seruni berteriak keras-keras di telinga Pak Haji.
“Astaghfirulloh.
Hentikan Runi!” .
“Astaghfirulloh! Cukup! Sadar Runi! Hentikan!”
Pak Haji membentak dan Runi menghentikan ciumannya. Ia tahu lelaki di
hadapannya sedang marah. Seruni ikut marah, ditamparnya pipi Pak Haji. Pipi kanan
dan kiri berkali-kali hingga wajah Pak Haji menoleh ke kanan dan ke kiri
berkali-kali pula.
“Cukup Runi! Hentikan! Ini Pak Haji, Runi.”
Teriak Pak Haji.
“Ha ha
ha. Plak!” Seruni kembali tertawa terbahak-bahak dan ditamparnya sekali lagi
muka Pak Haji kuat-kuat.
Pak Haji mengaduh
dan berteriak lalu datanglah orang-orang menolongnya. Seruni tidak lagi
menyadari bahwa lelaki di hadapannya adalah Pak haji tetangganya. Guru gajinya
dulu waktu kecil. Menurut penglihatannya, lelaki yang dihadapannya itu adalah
lelaki yang paling dicintainya sekaligus lelaki yang paling mengecewakannya.
Ini
bukan kali pertama Seruni membuat ulah dan keributan di kampungnya. Beberapa minggu
yang lalu ia membuat warga kampung geger. Namun ini bukan sepenuhnya salah
Seruni. Latip yang memulai bikin ulah duluan. Seruni memang perempuan gila tapi
cantik, namun hanya laki-laki yang tidak normal yang mau menyetubuhi perempuan
gila.
Dan latip darahnya
naik turun saat melihat gadis gila itu tidur terlentang di gubuk ronda dengan
rok sedikit terbuka, memperlihatkan paha kuningnya sedikit saja. Latip mengendus-endus perlahan, seperi anjing
membaui tulang belulang masih segar. Didekatinya Seruni yang masih terlelap.
Mata Latip membulat mengamati rok yang tersingkap. Ia tak tahan untuk tak
menyentuhnya. Seketika Seruni terkesiap.
Dilihatnya gadis
itu hanya diam saja, seperti memberi kesempatan. Dan Latip mencoba mengelus pipi gadis itu.
Seruni tetap diam, tak menolak. Namun ketika tangan Latip hendak bergerilya ke
ranum dadanya, gadis itu murka dan memukulkan botol kaca bekas sprit tepat
mengenai ubun-ubun Latip hingga memuncratkan darah segar.
“Aduh! Aduuh!
Tolooong.” Teriak Latip. Orang-orang berdatangan menolongnya. Begitulah kondisi
Runi. Ia labil. Kadang ia getol ingin menggoda laki-laki kadang ia murka digoda
laki-laki.
***
Wajah Seruni tapa sumringah, ada sinar kebahagiaan
terpancar di mata gadis itu. Bagaimana tidak? Dia mendapat pinangan dari lelaki
yang paling dicintainya. Perkenalannya belum lama, namun sisi-sisi romantik
pada diri lelaki itu yang membuatnya jatuh hati sekaligus cinta mati. Ditambah
lagi mengenai cerita-cerita calon suaminya tentang pekerjaan yang digelutinya,
sungguh menjajikan kemapanan untuk membangun rumah tangga secara materi dari
kini hingga nanti, pikirnya.
Berbeda dengan
lelaki-lelaki yang sering menggodanya, bisanya cuma nggombal. Seruni sangat
tidak suka itu. Itu bukan lelaki idamannya. Lelaki idamannya adalah lelaki yang
perhatian, berpendidikan, mapan, punya pekerjaan, dan tentu tidak selingkuhan.
Sejak pertama
bertemu lalu berbincang dengan lelaki itu, Seruni sudah mampu menyukai lelaki
itu. Sebelumnya, ia bukan tipikal wanita yang mudah jatuh cinta. Jika selama
ini ia punya pacar, itu hanya untuk menanggalkan rasa sepi saja sekaligus jadi
tukang jaga dan ojeknya. Menemani dan mengantar kemana-mana.
Maka ketika lelaki
idamannya itu menyatakan cinta dan ingin memperistrinya, Seruni menganggukkan
kepala. Ia tak peduli walaupun saat itu ia telah memiliki seorang kekasih di
kampung tempat tinggalnya. Seruni tak mau ambil pusing atau berpikir lama, ia
suka yang instan. Diputuslah pacarnnya dan memulai menjalin hubungan cinta dan
merencanakan hidup berumah tangga dengan lelaki idaman itu.
Pernikahan besar
digelar. Tamu undangan berdatangan, para tetangga tak satupun yang kelewat
untuk ikut berbahagia. Pernikahan Seruni sangat meriah. Bahkan acara pernikahan
yang paling mewah di kampungnya. Berbagai hiburan mulai dari sorot atau layar tancap,
dangdutan hingga wayangan semalam suntuk ada di sana. Berbagai masakan
terhidang di meja, mulai dari masakan tradisional hingga masakan modern yang
orang kampung tak tahu namanya.
Biasanya
teman-teman sebayanya hanya menikah ala kadarnya saja dan mendapat suami yang
biasa-biasa pula. Berbeda dengan pernikahan Seruni kali ini. Orang tua Seruni
sengaja membuat pesta untuk pernikahan anak tunggalnya cukup meriah, mereka
ingin menunjukkan pada tetangga bahwa calon suami Seruni adalah orang kelas
gurameh, tidak hanya kelas gereh.
Seruni duduk manis,
dengan senyum paling manis dan dandanan yang manis pula. Memakai kebaya putih
berhias payet bunga-bunga keemasan. Sungguh! Terasa tak berlebihan jika
mengatakan bahwa kecantikannya tak kalah dengan kecantikan bidadari. Bidadari
yang selendangnya dicuri lelaki saat mandi di kali. Bidadari
yang menetap di bumi karena tak mampu terbang ke kahyangan lagi. Ya!
Kecantikannya tak kalah dengan kecantikan Dewi Nawangwulan.
Mata-mata tak lelah
tertuju padanya, pada kecantikan Seruni yang tak biasa. Lima menit ia duduk
manis, tebar pesona pada para tetangga yang mengagumi kecantikan dan dandanannya. Seruni tersanjung
dengan celoteh para tetangga, angannya melayang jauh ke awang-awang.
Membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Seruni tersenyum sendiri, hatinya
begitu bahagia dengan bayangan liar yang diciptakannya. Tak terasa waktu kian
menjalar membuat penghulu bertanya keberadaan pengantin pria.
“Calon pengantin
prianya mana?” Tanya pak penghulu.
Pertanyaan yang membuat semua tamu undangan di ruang itu ikut bertanya-tanya.
“E e e sebentar, Pak. Kita tunggu saja. Mungkin
sedang dalam perjalanan.” Jawab Seruni santai, terkesan tak ada apa-apa. Dan
waktu kian menjalar mengantar terik namun tetap tak ada kabar. Pak penghulu tak
bisa berlama-lama menunggu karena punya jadwal acara pernikahan di desa lain.
“Maaf, saya tidak
bisa menunggu lama, sudah satu jam saya di sini. Saya harus pergi ada urusan
yang harus saya selesaikan.” Kata pak penghulu.
“Tunggu Pak,
sebentar lagi pasti datang. Mungkin sekarang dalam perjalanan. Saya akan coba
hubungi.” Ditekannya dengan tergesa tombol HP. Tak ada sahutan selain suara
operator yang menggelitik telingganya
“Nomor yang Anda
tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.” Dicobanya sekali lagi,
suara operator terdengar lagi. Membuat degup jantungnya kian tak beraturan.
“Bagaimana?” Tanya
pak penghulu.
“Tidak aktif.” Suaranya berat, seluruh ruang dadanya terisi
resah. Ia takut terjadi hal-hal yang tidak baik pada calon suaminya. Tamu undangan di ruang ijab kabul saling berpandangan dan bertanya-tanya.
“Kalau begitu, saya
pamit. Saya tidak bisa menunggu lama. Saya sudah ditunggu.” Kata pak penghulu.
“Itu dia! Calon
suami saya sudah datang, Pak.” Kata Seruni saat di telikung jalan, dilihatnya
mobil hitam mewah menuju halaman rumah.
Kekhawatiran Seruni
berangsur reda. Rasa lega mulai mengisi rongga dada. Mobil berhenti. Seruni
berlari menyambutnya. Berhenti tepat di depan pintu mobil. Seruni ingin
cepat-cepat bertemu lelaki idaman, calon suaminya dan menyelesaikan acara ijab
kabul mereka. Pintu mobil terbuka, calon suaminya tak ada di sana. Hanya seseorang
tak dikenal berdiri angkuh di hadapannya. Membuat hatinya bertanya-tanya.
“Saya hanya
mengingatkan, jangan sekali-kali mengganggu kehidupan rumah tangga saya!”
“Siapa kamu?!”
Tanya Seruni yang masih kaget dengan kedatangan seseorang yang tak dikenalinya
itu.
“Saya istri
Kartono!” Kata perempuan itu tegas lalu melempar
senyum kecut.
Seketika jantung
Seruni terasa tak berdetak, nafasnya sesak, darah seakan berhenti mengalir,
keringat dingin bercucuran. Pandangan di sekeliling gelap. Dan hanya gelap! Selebihnya
ia tak merasa apa-apa. Sejak kejadian itu, Seruni mengalami depresi.
Berkali-kali mencoba bunuh diri tapi selalu gagal mati. Rasa malu dan rasa
kecewa membuat kejiwaannya tertekan. Jika saja Seruni jeli. Jika saja Seruni mampu menimbang-nimbang
perkara cinta yang datang, mungkin saja ia tidak akan terjebak pada cinta yang
retak retak !
Inung
Setyami,
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara. Menulis cerpen, esai dan
puisi. Menjuarai beberapa lomba sastra. Buku karyanya antara lain: Melankolia Bunga-Bunga (cerpen, 2021),
Distikon Rasa (puisi, 2021),
Kisah Si Rawit (novel anak, 2021) dan lain-lain.
***----------***
Pesan Ayah
Cerpen Okti
Setiyani
“Ivan…” gumamku melihat penampakan teman lama yang
terpampang nyata di kursi seberangku. Memang benar bahwa sekarang ia sangat terkenal. Banyak yang
ternganga apabila melihat tampangnya wara-wiri di berbagai channel televisi, termasuk aku. Dibalut baju oranye, ia tampak
seperti jeruk jepun yang menggelembung dan sukar dikupas. Ia berjalan dengan
kawalan banyak orang, bertemu banyak penjabat, diwawancarai sana-sini dan
banyak kamera yang mengincar berbagai posisi duduknya. Namun itu tak patut
untuk dibanggakan apalagi diagung-agungkan.
Aku ingat betul siapa pria gempal itu – salah satu temanku yang sedari kecil pandai, teliti, pantang menyerah, dan konsisten
dalam dalam bidang penyontekan. Jujur saja aku tidak menyangka kalau ia
melanjutkan bidangnya itu sampai sekarang.
***
Pagi itu aku sudah mempersiapkan diri dengan baik –
belajar, belajar dan belajar. Namun, entah mengapa aku selalu saja ingusan atau
batuk berdahak di saat-saat penting – salah satunya Ujian Nasional. Mungkin faktor ketegangan membuat
lendir-lendir dalam tubuhku bergejolak dan beginilah akhirnya. Tanganku dingin
dan berkeringat. Perutku juga bergejolak, menghasilkan gas-gas buangan yang tidak menyenangkan, kentut.
Sungguh sangat tidak nyaman. Seragam yang aku pakai masih merah-putih dan itu pun
kedodoran. Mungkin saja orang tuaku menyangka kalau aku akan tumbuh dengan
cepat di sekolah dasar, nyatanya tidak. Tubuhku kurus dan tak berotot, sangat
cocok menjadi bocah cupu yang akan dimintai kunci jawaban. Aku mungkin termasuk
murid yang tidak terlalu pandai, tetapi cukup rajin belajar sehingga tetap bisa
masuk sepuluh besar di sekolah dasar.
Seperti biasanya, gerombolan anak-anak yang pandai
sekaligus rajin dalam hal menyontek datang bersama-sama. Mereka didominasi oleh
anak-anak dengan postur tubuh tinggi, tegap atau gempal, juga tampang sangar.
Sepuluh menit sebelum bel masuk ujian, mereka pasti akan mewanti-wanti anak
lainnya untuk memberikan kunci jawaban ujian. Salah satu anak yang menjadi incaran
mereka adalah aku.
“Andri....” ujar Ivan sambil menunjukku dari ambang pintu
kelas.
Aku menoleh dan menatapnya biasa,
lalu melanjutkan kegiatan membacaku. Aku
duduk dengan tenang di sebuah meja kayu dengan banyak coretan tip-x di atasnya – meja di barisan ke dua dari belakang. Ya, meja itu selalu aku temui di
setiap simulasi ujian yang dilakukan. Ada gambar Naruto hingga seluruh penduduk Konoha yang dilukis
dengan pulpen hitam, sungguh berseni – terkadang membuatku tidak fokus membaca soal karena melihat
begitu rumitnya gambar di meja itu.
LJK, kertas soal, pensil runcing, penghapus, penggaris dan
papan, sudah siap di depanku. Tinggal menunggu waktu, mereka akan bekerja
dengan kerasnya. Sejurus kemudian bel berbunyi, tanda waktu ujian dimulai. Rasa percaya diriku tumbuh saat
melihat soal-soal di hadapanku terasa tidak asing. Ya, mungkin karena aku sudah
cukup belajar tadi malam dan doa ibuku.
Sepuluh menit berlalu dengan khusyuk. Sayangnya suasana itu
tidak bertahan lama. “Andri!” terdengar suara
serak yang tidak asing, tentu berasal dari pita suara seorang manusia berbadan gempal dan
berkulit sawo matang, Ivan. Kuteguhkan pendirian dan mengingat
pesan Ayah.
Mejaku berada di barisan ke dua dari
belakang, sangat strategis untuk menjalankan misi bukan? Kulirik pengawas ujian.
Ia bak paku payung, berbadan kurus dengan rambut hitam yang menyerupai jamur
merang. Baru beberapa menit, perempuan muda itu hampir terjungkal dari kursinya
karena saking mengantuk. Haruskah kubuat keributan, membanting kursi atau
menjungkirbalikkan meja agar pengawas memelototi kami, dan akhirnya suasana
akan kembali khidmat.
“Andriiiiiiiiiiiiiiii…” Suara Ivan
lagi-lagi memenuhi gendang telingaku. Kucoba memasukkan udara
sebanyak-banyaknya ke paru-paru, berharap agar aku memiliki kesabaran tingkat
tinggi. Hingga aku tidak melakukan hal-hal yang tak diinginkan,
menjungkirbalikkan meja misalnya.
Saat sedang khusyuk menguatkan hati.
Sebuah benda yang kutebak remasan kertas menyambar kepalaku tanpa ampun. “Astaghfirullah…” gumamku.
Sandi rumput, sandi morse hingga
bisikan maut berlalu lalang dari arah depan, samping dan belakang. Benar kata
Ayah, bahwa setan tidak bisa menggoda kita dari arah atas, ternyata ini yang
dimaksudnya. Ups, apa aku baru saja mengakui bahwa kawan-kawanku adalah… eum.
***
“Ingat pesan Ayah, kejujuran itu nomor satu, Nak…” ucapnya
puluhan tahun lalu dengan penuh wibawa. Saat aku masih duduk di bangku kelas
lima sekolah dasar. Dan pesan itu menghantarkanku
di sini, duduk dihormati, mengadili kasus salah satu kawan lama. Sedangkan
Ivan, duduk di bangku terdakwa dengan segala ketenaran yang memalukan, pemakan
uang negara, koruptor.
Itulah pesan Ayah
yang selalu kuingat, walaupun ia tak lagi
bersamaku. Namun dengan pesan
tersebut, seakan Ayah masih selalu membersamaiku, sepanjang hayat.
Okti
Setiyani, lahir pada 1999, saat ini menempuh
pendidikan di UIN Sunan
Kalijaga. Hobinya menulis, membaca,
memukul, menendang
dan mengkhayal. Dalam tiga tahun kiprahnya
di dunia literasi, ia sudah menerbitkan satu novel dan beberapa antologi cerpen dalam kompetisi
menulis. Apabila masih kepo dengan
manusia yang satu ini,
bisa hubungi Instagram okti_setiyani08 atau email oktisetiyani1999@gmail.com
***----------***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar