Jumat, 04 Juni 2021

K A R Y A

 

C e n d r a w a s i h

Cerpen Imam Wahyudi

 

Akulah keindahan itu, seperti burung yang tersohor keelokannya di tanah jauh sana. Tentu orang tuaku punya maksud tertentu memberi nama itu, Cenderawasih. Walau rambutku keriting, dan kulitku agak gelap, tetapi banyak orang memujinya. Kata mereka wajahku manis. Tetapi Kakung dan Uti, orang tua ibuku, tak pernah suka kepadaku. Sepertinya, kehadiranku tak pernah menyenangkan hati mereka.

Aku tak ingat betul wajah ayahku, hanya samar dari ingatan seorang bocah kecil. Kadang kalau aku melihat televisi, orang-orang dari timur sana ada di berita, aku jadi ingat ayahku dan membayangkannya. Aku rindu Ayah.

Mengapa Ayah pergi Ibu?

Bila kutanya itu, Ibu hanya diam. Namun aku tahu ia sedang menahan perih yang tak ingin ia perlihatkan kepadaku. Bila aku berlalu dari hadapannya, kutahu isaknya akan tumpah. Aku tak mungkin bertanya tentang Ayah kepada Kakung dan Uti, bisa dihardiknya aku. Sungguh, aku takut kepada mereka.

Aku tahu ibu sangat mencintai ayah, sebab belum pernah kulihat ia menjalin hubungan dengan pria lain selama ini. Ibu memang tak pernah menjawab bila kutanya tentang kepergian Ayah, tetapi ia selalu berkata kepadaku bahwa Ayah adalah orang yang baik, cukup itu yang harus kuingat dan percayai.

Aku tumbuh semakin dewasa. Kini, aku telah menjelma menjadi cenderawasih matang yang menjadi incaran para jejaka. Mereka berlomba-lomba mendekati dan menarik perhatianku. Ibu selalu khawatir bila aku berteman akrab dengan laki-laki, walau itu bukan pacarku. Tetapi, aku tidak habis pikir dengan Kakung dan Uti, sepertinya mereka semakin membenciku. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, begitu biasanya mereka mengumpat di depanku. Entah maksudnya apa, aku tak tahu.

Tetapi akhirnya cerita masa lalu itu kudengar juga. Tentang hubungan terlarang Ayah dan Ibu, yang kemudian membuatku terlahir ke dunia. Ayah adalah pemuda Papua yang menimba ilmu, kuliah di kota pelajar ini. Ibu adalah teman kuliah ayah, mereka berpacaran. Hubungan mereka semakin serius, Kakung dan Uti tak menyetujuinya. Pernah mereka akan mengusir Ibu bila hubungan itu berlanjut terus, tetapi Ibu kemudian hamil. Kakung dan uti kecewa, namun akhirnya bisa menerima kenyataan itu. Ayah adalah orang yang bertanggung jawab, perkawinan berbeda adat dan budaya itu berlangsung juga. Walau setelah itu, banyaknya  singgungan peristiwa membuat rumah tangga Ayah dan Ibu hanya menyisakan banyak persoalan yang sulit dicari titik temunya.

Ayah masih menganggur, tak punya pekerjaan tetap, sedang rumah tangganya masih menginduk pada Kakung dan Uti. Kebanyakan hari-hari ayah dihabiskan berkumpul dengan kawan-kawannya dari Papua. Entah apa yang dikerjakan, Ibu tak tahu betul. Tetapi keributan-keributan mahasiswa Papua dengan warga setempat, membuat Ibu khawatir. Seringkali keluarga kecilnya menjadi sasaran cemoohan dan umpatan tetangga kiri kanan. Isu-isu tentang kemerdekaan Papua pun membuat hati Ibu semakin tak tenang. Ayah juga semakin tak jelas apa yang dilakukannya. Keadaan ekonomi keluarga semakin sulit, dan waktu terus bergulir.

Hingga akhirnya suatu kali, Ayah memohon dan meminta kepada Ibu. Ia ingin mengajak Ibu, dan tentu saja beserta aku, pulang ke tanah Papua. Di sana kehidupan akan lebih terjamin. Ada tanah yang luas dan bisa digunakan untuk tempat tinggal dan usaha apa saja. Dan lebih dari itu, kerabat Ayah adalah  salah seorang pejabat daerah. Bila pulang, paling tidak di pemerintahan daerah sebuah pekerjaan menanti Ayah sebagai seorang yang pernah merantau dan menimba ilmu di Pulau Jawa. Kehidupan bahagia menanti di sana.

Tetapi ibu berpikir, dan banyak berpikir. Dan pada akhirnya menolak, yang membuat Ayah kecewa dan pergi begitu saja.

Sebab bila Ibu pergi dari sini, Ibu tahu Kakung dan Uti akan sangat kecewa. Ia tak ingin mengecewakan mereka untuk kesekian kalinya, walau tentu ia harus membayar mahal, merelakan keluarga kecilnya terpisah. Ibu tahu betul selama ini Kakung dan Uti memendam kesedihan yang berlarut setelah kematian Pakdhe, saudara Ibu satu-satunya yang tewas di sana. Konon, Pakdhe yang seorang ahli membuat jalan, ditugaskan membuka jalur transportasi baru. Nahas, waktu itu sedang terjadi perang antar suku. Punggung Pakdhe kena panah beracun hingga tiada. Setiap mendengar cerita tentang Papua, ingatan Kakung dan Uti akan melayang ke peristiwa itu. Kesedihannya semakin memanjang setelah puteri yang dibanggakannya ditabur benih orang dari tanah itu juga.

Kini, aku tahu kenapa sikap Kakung dan Uti begitu kepadaku. Aku telah dewasa, dan paham itu semua. Aku sedih, tetapi tak boleh berlarut. Aku adalah cenderawasih elok yang bisa membanggakan dan menghapus tangis Ibu dan mengubah sikap Kakung dan Uti.

Hari ini, aku terbang menelusur tautan darahku di tanah jauh. Tugas jurnalistik memanggilku ke tanah Papua yang sedang bergelora. Dengan iringan doa Ibu, aku akan berusaha kembali menautkan dua hati yang lama terpisah, semoga kembali bersatu seperti dua darah yang mengalir halus dalam tubuh jenjangku….

Kulonprogo, 2021

Imam Wahyudi,  cerpen dan cerkaknya  dimuat di sejumlah media cetak dan online, juga buku antologi bersama, diantaranya: Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), dan Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY). Salah satu ASN di Pemkab Kulonprogo ini inggal di Pengasih.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...