C e n d r a w a s i h
Cerpen Imam
Wahyudi
Akulah keindahan itu, seperti burung yang tersohor
keelokannya di tanah jauh sana. Tentu orang tuaku punya maksud tertentu memberi
nama itu, Cenderawasih. Walau rambutku keriting, dan kulitku agak gelap, tetapi
banyak orang memujinya. Kata mereka wajahku manis. Tetapi Kakung dan Uti, orang
tua ibuku, tak pernah suka kepadaku. Sepertinya, kehadiranku tak pernah
menyenangkan hati mereka.
Aku tak ingat betul wajah ayahku, hanya samar dari
ingatan seorang bocah kecil. Kadang kalau aku melihat televisi, orang-orang
dari timur sana ada di berita, aku jadi ingat ayahku dan membayangkannya. Aku
rindu Ayah.
Mengapa Ayah pergi Ibu?
Bila kutanya itu, Ibu hanya diam. Namun aku tahu ia
sedang menahan perih yang tak ingin ia perlihatkan kepadaku. Bila aku berlalu
dari hadapannya, kutahu isaknya akan tumpah. Aku tak mungkin bertanya tentang
Ayah kepada Kakung dan Uti, bisa dihardiknya aku. Sungguh, aku takut kepada
mereka.
Aku tahu ibu sangat mencintai ayah, sebab belum pernah
kulihat ia menjalin hubungan dengan pria lain selama ini. Ibu memang tak pernah
menjawab bila kutanya tentang kepergian Ayah, tetapi ia selalu berkata kepadaku
bahwa Ayah adalah orang yang baik, cukup itu yang harus kuingat dan percayai.
Aku tumbuh semakin dewasa. Kini, aku telah menjelma menjadi
cenderawasih matang yang menjadi incaran para jejaka. Mereka berlomba-lomba
mendekati dan menarik perhatianku. Ibu selalu khawatir bila aku berteman akrab
dengan laki-laki, walau itu bukan pacarku. Tetapi, aku tidak habis pikir dengan
Kakung dan Uti, sepertinya mereka semakin membenciku. Buah tidak akan jatuh jauh
dari pohonnya, begitu biasanya mereka mengumpat di depanku. Entah maksudnya
apa, aku tak tahu.
Tetapi akhirnya cerita masa lalu itu kudengar juga.
Tentang hubungan terlarang Ayah dan Ibu, yang kemudian membuatku terlahir ke
dunia. Ayah adalah pemuda Papua yang menimba ilmu, kuliah di kota pelajar ini.
Ibu adalah teman kuliah ayah, mereka berpacaran. Hubungan mereka semakin
serius, Kakung dan Uti tak menyetujuinya. Pernah mereka akan mengusir Ibu bila
hubungan itu berlanjut terus, tetapi Ibu kemudian hamil. Kakung dan uti kecewa,
namun akhirnya bisa menerima kenyataan itu. Ayah adalah orang yang bertanggung jawab,
perkawinan berbeda adat dan budaya itu berlangsung juga. Walau setelah itu,
banyaknya singgungan peristiwa membuat
rumah tangga Ayah dan Ibu hanya menyisakan banyak persoalan yang sulit dicari
titik temunya.
Ayah masih menganggur, tak punya pekerjaan tetap,
sedang rumah tangganya masih menginduk pada Kakung dan Uti. Kebanyakan
hari-hari ayah dihabiskan berkumpul dengan kawan-kawannya dari Papua. Entah apa
yang dikerjakan, Ibu tak tahu betul. Tetapi keributan-keributan mahasiswa Papua
dengan warga setempat, membuat Ibu khawatir. Seringkali keluarga kecilnya
menjadi sasaran cemoohan dan umpatan tetangga kiri kanan. Isu-isu tentang
kemerdekaan Papua pun membuat hati Ibu semakin tak tenang. Ayah juga semakin tak
jelas apa yang dilakukannya. Keadaan ekonomi keluarga semakin sulit, dan waktu terus
bergulir.
Hingga akhirnya suatu kali, Ayah memohon dan meminta
kepada Ibu. Ia ingin mengajak Ibu, dan tentu saja beserta aku, pulang ke tanah
Papua. Di sana kehidupan akan lebih terjamin. Ada tanah yang luas dan bisa
digunakan untuk tempat tinggal dan usaha apa saja. Dan lebih dari itu, kerabat
Ayah adalah salah seorang pejabat daerah.
Bila pulang, paling tidak di pemerintahan daerah sebuah pekerjaan menanti Ayah
sebagai seorang yang pernah merantau dan menimba ilmu di Pulau Jawa. Kehidupan
bahagia menanti di sana.
Tetapi ibu berpikir, dan banyak berpikir. Dan pada
akhirnya menolak, yang membuat Ayah kecewa dan pergi begitu saja.
Sebab bila Ibu pergi dari sini, Ibu tahu Kakung dan Uti
akan sangat kecewa. Ia tak ingin mengecewakan mereka untuk kesekian kalinya,
walau tentu ia harus membayar mahal, merelakan keluarga kecilnya terpisah. Ibu
tahu betul selama ini Kakung dan Uti memendam kesedihan yang berlarut setelah
kematian Pakdhe, saudara Ibu satu-satunya yang tewas di sana. Konon, Pakdhe
yang seorang ahli membuat jalan, ditugaskan membuka jalur transportasi baru.
Nahas, waktu itu sedang terjadi perang antar suku. Punggung Pakdhe kena panah
beracun hingga tiada. Setiap mendengar cerita tentang Papua, ingatan Kakung dan
Uti akan melayang ke peristiwa itu. Kesedihannya semakin memanjang setelah
puteri yang dibanggakannya ditabur benih orang dari tanah itu juga.
Kini, aku tahu kenapa sikap Kakung dan Uti begitu
kepadaku. Aku telah dewasa, dan paham itu semua. Aku sedih, tetapi tak boleh
berlarut. Aku adalah cenderawasih elok yang bisa membanggakan dan menghapus
tangis Ibu dan mengubah sikap Kakung dan Uti.
Hari ini, aku terbang menelusur tautan darahku di tanah
jauh. Tugas jurnalistik memanggilku ke tanah Papua yang sedang bergelora. Dengan
iringan doa Ibu, aku akan berusaha kembali menautkan dua hati yang lama
terpisah, semoga kembali bersatu seperti dua darah yang mengalir halus dalam
tubuh jenjangku….●
Kulonprogo,
2021
Imam Wahyudi, cerpen dan cerkaknya dimuat di sejumlah media cetak dan online,
juga buku antologi bersama, diantaranya: Kumcer Joglo 7
(Mengeja September), Tiga Peluru
(Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota
Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), dan Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan
DIY). Salah satu ASN di Pemkab
Kulonprogo ini inggal di Pengasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar