Jumat, 26 Maret 2021

K A R Y A


 

Mengenang Iman Budhi Santosa:

Puisi, Rumput dan Tanaman Hias

Oleh Marwanto

 

             Pertama kali saya mengenal dan bertemu penyair Iman Budhi Santosa (IBS) pada acara workshop sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (Solo), tahun 2006. Berarti, hingga wafatnya, sudah mengenal sosok IBS selama 14 tahun. Tentu bukan waktu yang singkat untuk bisa menimba ilmu salah satu figur penyair penting Yogja, yang konon  telah mencapai posisi terkonsekrasi –dari kata consecratio (bahasa Latin) yang artinya kudus. Dalam rentang 14 tahun tersebut setidaknya ada dua pengalaman menarik yang saya peroleh bersama IBS.  

Pertama, saat dia menjadi pembicara workshop sastra di Solo tahun 2006. Menurut IBS, mencipta puisi itu harus dengan “kedekatan yang berjarak”: seorang pecipta puisi secara batin harus dekat dengan (tema) yang akan ditulis tapi secara emosional mesti berjarak. Penyair bisa intens mengambil momentum puitik, tapi tidak emosional sehingga mampu bersikap jernih, baik terkait persepsinya terhadap tema yang diangkat hingga ke persoalan teknis pemilihan diksi dan ungkapan yang dipakai.

Kedua, saat saya bersama sejumlah penulis dari Kulonprogo berkunjung ke rumahnya, akhir tahun 2007. Ada dua hal yang menjadi ciri menonjol rumah IBS (waktu itu): pohon sawo besar menjulang tinggi dan halamannya yang luas. Halaman berupa tanah yang kalau hujan pasti becek tak terelakkan.

            “Saya sengaja memilih halaman yang tidak ber-konblok”, ungkap IBS waktu itu. “Lho, bukannya halaman yang ada konbloknya akan terlihat rapi dan bersih?” tanya saya. “Iya, memang. Tapi, masa’ rumput saja dilarang tumbuh,” demikian jawab IBS.

Rumput memang masih bisa tumbuh di halaman meski berkonblok. Sebab, rumput dengan jeli tumbuh diantara himpitan konblok atau di mana saja area yang memungkinkan ia tumbuh. Tapi, saya kira tidak demikian maksud pernyataan IBS. Apa yang dikatakan IBS seakan sedang “mengoreksi” pemahaman kita akan kecintaan terhadap tanaman.

Kunjungan saya ke rumah IBS waktu itu bersamaan dengan booming tanaman hias –terutama gelombang cinta. Kini di masa pandemi ketika kondisi mengharuskan kita mengurung diri di rumah, bagi sebagian besar orang (terutama yang tidak punya kebiasaan membaca), maka tanaman hias-lah “ajang pelampiasannya”. Alhasil, banyak orang mencintai tanaman. Tapi, benarkah mereka benar-benar mencintai tanaman? Bukankah dengan “melarang” rumput tumbuh  di halaman dengan memasang konblok, sejatinya mengekang tanaman?

            Mencintai memang tidak gampang. Bisa jadi, yang kita lakukan adalah menegakkan  ego: mereka (tanaman) kita perlakukan sebagai objek (penderita) demi kesenangan dan hobi  semata. Di sisi lain, hak tumbuh mereka secara wajar terus dikebiri bahkan  disumbat dan dikekang. Bagi orang yang menyuntukkan diri di dunia kreatif, seperti halnya IBS, perilaku mencintai seperti itu jelas bertentangan. Dunia kreatif  sangat membenci kekangan. Di sini, IBS menjadi semacam antitesa terhadap sikap yang menjadikan tanaman sekedar objek penderita.

Selain kepada puisi, IBS juga menerapkan prinsip “kedekatan yang berjarak” pada tanaman. Terhadap keduanya, IBS memosisikan tidak sekedar objek (untuk pelampiasan). IBS memosisikan puisi dan rumput sebagai teman, yang punya hak hidup dan berkembang secara wajar. Sementara kita memosisikan puisi dan tanaman hias sekedar objek untuk memuaskan ego, mencintainya hanya tatkala ada tren. Dulu gelombang cinta  bisa laku jual ratusan juta, tapi 2-3 tahun kemudian lima puluh ribu pun tak ada yang mau.

Saat tahun 2007 itu ketika meninggalkan rumah IBS, saya membayangkan dia terus berkarya, mencipta puisi dan menulis prosa, di tengah rumput dan di bawah pohon sawo menjulang yang menghantarkan hawa sejuk, sambil mengingat sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te quiero verde…:  Hijau, kumau engkau hijau//Bintang agung beku dingin//Tiba dengan bayang ikan//Yang merintis fajar.

Saat itu 10 Desember 2020, saya beserta puluhan pelayat lain yang meninggalkan makam Girisapto tempat peristirahatan IBS, membayangkan Sang Penyair merasa marem (puas) menghuni rumah barunya seperti yang diangankan pada larik puisi Federico Garcia Lorca di atas: Hijau, kumau engkau hijau. Pohon tinggi menjulang dan rumput bertumbuhan tanpa dikekang. Tapi, saya yakin IBS tidak sepenuhnya istirahat di situ:  ia  terus berdendang. Mengingatkan saya pada salah satu puisinya yang ada di buku Ziarah Tanah Jawa:

Karena wong Jowo nggone semu

sinamun ing samudana, sesadone ing adu manis

maka, aku tak akan memainkan gelap terang

dalam puisi dan membuatmu tercengang

Aku hanya akan mendendangkan tembang

ketika lebah kumbang datang pergi

menghisap madu dengan tenang.***

Kulonprogo, Maret 2021.

 

Marwanto, sastrawan dan pegiat literasi tinggal di Kulonprogo. Buku yang pernah ditulis diantaranya: Hujan Telah Jadi Logam (2019), BYAR: Membaca Tanda Menulis Budaya (2019) dan Menaksir Waktu (2021).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...