Mengenang Iman Budhi Santosa:
Puisi, Rumput dan Tanaman Hias
Oleh Marwanto
Pertama, saat dia menjadi pembicara workshop
sastra di Solo tahun 2006. Menurut IBS, mencipta puisi itu harus dengan
“kedekatan yang berjarak”: seorang pecipta puisi secara batin harus dekat
dengan (tema) yang akan ditulis tapi secara emosional mesti berjarak. Penyair
bisa intens mengambil momentum puitik, tapi tidak emosional sehingga mampu
bersikap jernih, baik terkait persepsinya terhadap tema yang diangkat hingga ke
persoalan teknis pemilihan diksi dan ungkapan yang dipakai.
Kedua, saat saya bersama sejumlah penulis dari Kulonprogo berkunjung ke
rumahnya, akhir tahun 2007. Ada
dua hal yang menjadi ciri menonjol rumah IBS (waktu itu): pohon sawo besar
menjulang tinggi dan halamannya yang luas. Halaman berupa tanah yang kalau hujan pasti becek tak terelakkan.
“Saya sengaja memilih halaman
yang tidak ber-konblok”, ungkap IBS waktu itu. “Lho, bukannya halaman yang ada konbloknya akan terlihat rapi dan
bersih?” tanya saya. “Iya,
memang. Tapi, masa’ rumput saja dilarang tumbuh,” demikian jawab
IBS.
Rumput memang masih bisa tumbuh di halaman meski berkonblok. Sebab,
rumput dengan jeli tumbuh diantara himpitan konblok atau di mana saja area yang memungkinkan ia tumbuh. Tapi,
saya kira tidak demikian maksud pernyataan IBS. Apa yang dikatakan IBS seakan sedang “mengoreksi” pemahaman kita akan kecintaan terhadap
tanaman.
Kunjungan saya ke rumah IBS waktu itu bersamaan
dengan booming
tanaman hias –terutama gelombang cinta. Kini di masa pandemi ketika kondisi mengharuskan kita mengurung
diri di rumah, bagi sebagian besar orang (terutama yang tidak punya kebiasaan
membaca), maka tanaman hias-lah “ajang pelampiasannya”. Alhasil, banyak orang mencintai tanaman. Tapi, benarkah mereka benar-benar
mencintai tanaman? Bukankah dengan “melarang” rumput tumbuh di halaman dengan memasang konblok, sejatinya mengekang
tanaman?
Mencintai memang tidak
gampang. Bisa jadi, yang
kita lakukan adalah menegakkan ego: mereka (tanaman)
kita perlakukan sebagai objek (penderita) demi kesenangan dan hobi semata. Di sisi lain, hak tumbuh mereka
secara wajar terus dikebiri
–bahkan disumbat dan dikekang. Bagi orang yang menyuntukkan diri di dunia
kreatif, seperti halnya IBS, perilaku mencintai seperti itu jelas bertentangan. Dunia kreatif sangat membenci kekangan. Di sini, IBS menjadi semacam antitesa terhadap sikap
yang menjadikan tanaman sekedar objek penderita.
Selain kepada puisi, IBS juga menerapkan prinsip
“kedekatan yang berjarak” pada tanaman. Terhadap keduanya, IBS memosisikan
tidak sekedar objek (untuk pelampiasan). IBS memosisikan puisi dan rumput
sebagai teman, yang punya hak hidup dan berkembang secara wajar. Sementara kita
memosisikan puisi dan tanaman hias sekedar objek untuk memuaskan ego,
mencintainya hanya tatkala ada tren. Dulu gelombang cinta bisa laku jual ratusan juta, tapi 2-3 tahun
kemudian lima puluh ribu pun tak ada yang mau.
Saat tahun 2007 itu ketika meninggalkan rumah IBS,
saya membayangkan dia terus berkarya, mencipta puisi dan menulis prosa, di
tengah rumput dan di bawah pohon sawo menjulang yang menghantarkan hawa sejuk,
sambil mengingat sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde
que te quiero verde…: Hijau,
kumau engkau hijau//Bintang agung beku dingin//Tiba dengan bayang ikan//Yang merintis fajar.
Karena wong Jowo nggone semu
sinamun ing samudana, sesadone ing adu manis
maka, aku tak akan memainkan gelap terang
dalam puisi dan membuatmu tercengang
Aku hanya akan mendendangkan tembang
ketika lebah kumbang datang pergi
menghisap madu dengan tenang.***
Kulonprogo, Maret 2021.
Marwanto, sastrawan dan pegiat literasi tinggal di Kulonprogo. Buku yang pernah ditulis diantaranya: Hujan
Telah Jadi Logam (2019), BYAR:
Membaca Tanda Menulis Budaya (2019) dan Menaksir
Waktu (2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar