Suara Peminta Setia
Cerpen Tri Wahyuni
Di tengah-tengah perkotaan kumuh, berdiri gubuk reot dengan halaman lumayan luas yang bisa untuk bercocok tanam. Gubuk itu berdiri
di atas tanah warisan yang berkali-kali
ditawar, namun
tidak pernah dilepas oleh pemiliknya. Sehingga gubuk itu nampak sendirian diantara rumah besar
di samping kanan kirinya. Salah satu pemilik rumah besar di sampingnya sudah
berkali-kali menawar dan ingin membeli. Tapi pemilik tanah bertekad tidak akan menjualnya sampai mati.
“Pak, lapar tidak?” tanya seorang wanita tua
dengan kudung warna biru muda namun terlihat hitam karena dikotori oleh debu
dan keringat.
“Tentu saja lapar Bu ne.” kata seorang
lelaki yang pundaknya selalu dipegangi oleh sang wanita yang bertanya tadi.
“Mau bernyanyi lagu apa nanti Pak e,
aku sudah mandi tadi meski beberapa kali kepalaku terjeduk dan hampir
terpeleset.“ kata sang wanita sambil
mengeluh.
“Sudahlah Bu ne jangan ngeluh nanti
kalau Tuhan marah bagaimana?” jawab sang lelaki.
“Iya Pak iya, aku tadi tanya lagu lho Pakne
belum jawab.” tanya sang wanita.
“Nyanyi yang mengingat Sang Maha saja Bu
ne.” jelas sang lelaki.
“Dzikir pak ne? opo sholawat?” tanya sang
wanita.
“Sholawat saja Bu ne.” Tangannya mengelus kening istrinya
sambil berbisik “Ingat Bu ne kita hidup bukan untuk mengerjar materi untuk
hidup, melainkan kebaikan untuk hidup di surga dan akhirat”
Senyum wanita itu perih, wanita itu tak dapat menjawab apa-apa .
Mereka kembali bersiap-siap untuk
berdzikir mencari rejeki dari gusti. Laki-laki itu membersihkan kotak musiknya
sambil mengecek apakah masih bisa berfungsi. Kemudian ia susah payah mencari
sandal yang biasa ia kenakan untuk berjalan, karena aspal mampu membakar
kakinya. Kenapa benda murah itu hilang ketika dibutuhkan.
“Sandal sandal kau dimana.” laki-laki
itu suka bersenandung ketika berbicara apapun itu untuk menghibur hatinya yang
sering rapuh.
Sang wanita sibuk mempersiapkan bekal
yang akan dibawa nanti, meski mereka hanya punya air yang dimasak shubuh tadi
dan beberapa umbi-umbian dari hasil kebun belakang rumah. Mana ada beras kalau
juragan kaya tidak memberi mereka karena telah membantu panen, sekarang musim
panas sawah-sawah kering tiada panen padi. Tiada mampu membeli meski sekilo
beras. Umbi-umbi dimasukkan ke dalam plastik kresek hitam bekas wadah beras
dari juragan kaya lima bulan yang lalu. Air minum putih yang paling segar
menurut wanita itu, diwadahkan ke botol minum yang seharusnya tidak boleh
digunakan terus menerus.
“ Ada apa Pakne? “ tanya sang wanita setelah
mendengar nyanyian-nyanyian yang tiada henti.
“Emas Bu ne” celetuk laki-laki itu.
“Bapak itu bercanda terus, mana ada
kita punya emas.” kata wanita itu sambil menepuk jidat.
“Bu ne itu gimana, tau Bapak lagi nyari
cari sandal kok masih tanya, lagian ya Bu ne sandal itu bagi kita adalah emas
yang sama-sama berharga meski sebenarnya harganya tak seberapa.” jawab laki-laki
itu.
“Ealah Pak, kemarin dimana naruhnya.” wanita itu mulai meraba-raba sekeliling
mencari sandal suaminya.
“Aku sudah muter seribu kali Bu gaada.”
jawab laki-laki itu dengan gaya hiperbola.
Mereka mencari bersama, dimanapun biasanya laki-laki itu menaruh
sandal ,dan masih tetap dengan bersenandung . Hingga akhirnya mereka berhenti
ketika mendengar suara bel sekolah dasar yang menunjukkan bahwa sudah jam 7.
“ Ya sudah pak pakai sandal Bu ne saja.”
kata wanita itu.
“Tidak Bu nanti kamu kepanasan bagaimana?” jawab lelaki itu
dengan tegas.
“Ndak papa Pak, penting kaki Bapak gak
sakit.” wanita itu selalu kasihan dengan kaki suaminya pincang tetapi suaminya
selalu keras kepala.
“Tidak Bu tidak papa kamu saja yang pakai.” lelaki itu tetap
saja menolak.
“Bapak saja monggo” wanita itu menawarkan kembali.
Hampir sepuluh menit mereka mendebatkan
siapa yang memakai sandal hingga lelaki itu menunjukkan kebijaksaannya,
“Ya sudah kalau tidak ada yang mau
pakai, lebih baik kita berjalan tanpa alas, Tuhan yang akan menjaga jika kita
niat karena Tuhan”
Sang wanita hanya mengangguk dan
berkata iya. Itu yang membuat wanita itu selalu jatuh cinta kesekian kalinya
kepada lekaki itu karena kebersamaan dan kesederhanaan. Lelaki itu telah mengubah dirinya yang dulunya semacam
wanita lainnya yang tidak mau mengalah,dan selalu ingin dirinya yang dimanja.
Tetapi bagi wanita itu sakit bersama, bahagia bersama, mengambil keputusan
bersama dan hidup bersama adalah segalanya.
Udara terasa panas menyengat setiap
kulit yang memakai pakaian terbuka, maksudnya baju pendek tidak memakai jilbab
atau celana pendek. Pohon-pohon mengatur ritme ketika diayunkan oleh angin dari
setiap arah mata angin. Aspal yang mengarah ketidakabadian membakar rasa
manusia yang lapar materi. Burung-burung berterbangan mencari makan agar
perutnya tiada bunyi keroncongan lagi. Matahari memantulkan sinarnya untuk
kehidupan makhluk hidup. Manusia yang tiada pernah bersyukur hanya mengeluhkan
panas sekali. Bahkan menyalahkan kemarau yang sudah dikehendaki Tuhan.
Jalanan di sepanjang pasar bubrah
ramai. Manusia yang berprofesi sebagai pedagang berbicara cepat menawarkan
dagangannya, manusia yang berperan sebagai pembeli sibuk berjalan cepat mencari
barang apa yang akan mereka beli tanpa memperhatikan sisi lain.
Wanita dan laki-laki itu bukan
keduanya, mereka tidak mendagangkan suara atau mendagangkan fisik untuk mencari
belas kasihan, dan tidak pula menjadi pembeli barang-barang yang ada. Mereka
hanya berdzikir sepanjang jalan membawa box music yang dibawa lelaki itu dan
alat untuk menyanyi yang dibawa wanita itu.
Sepanjang jalan di pasar bubrah lelaki
itu berada di depan untuk mencari jalan meski kakinya pincang sulit untuk
berjalan tapi mata nya masih mampu mencari jalan, wanita itu berada dibelakang
suaminya, tangan kanannya memegangi pundak suaminya sedangkan tangan kirinya
membawa alat untuk bernyanyi. Suara wanita itu memang tidak dapat dibilang
merdu tetapi semacam ada arti lain di setiap nyanyian dan sholawat yang
muncul dari mulutnya, kata lelaki itu dalam batinnya.
“Kalian jangan nyanyi disini, jangan
ngamen disini!” seseorang yang menjabat sebagai panitia di suatu acara di
tengah-tengah pasar bubrak marah.
“Kalian tahu tidak! ini sedang ada acara dari perusahaan besar
yang sedang promosi, bapak kan bisa lihat dengan mata bapak, istrinya dikasih
tau kalau gak bisa liat jangan nyanyi ganggu orang lain!” tambah panitia lain
yang dating memarahi bukannya menengahi.
Wanita dan lelaki itu hanya diam, sang wanita menunduk hampir menangis. Lelaki
itu masih diam membiarkan manusia sok-sok an sempurna mencaci maki.
“Benar itu, mereka berkali-kali hampir
menabrak dagangan saya.” kata pedagang sebelah tempat panitia itu berdiri.
“Beberapa kali juga wanita itu menabrak
dagangan saya hingga tumpah dan saya rugi banyak. Gak punya mata mbok ya di
rumah saja.” kata pedagang di depan acara dari perusahaan besar yang sedang
promosi.
“Bahkan suara jeleknya itu menganggu
promosi saja yang juga menawarkan produk-produk saya, jadi gak kedenger suara
promosi dagangan saya, pergi saja jangan disini kalian!” tambah ibu-ibu yang
sewot dan emosional .
Suasana semakin ricuh, mereka
menyebutkan keburukan wanita dan lelaki itu, dan ingin mengusir mereka. Lalu
lelaki itu menoleh mengelus kening istrinya dan mengajak berjalan menuju masjid
depan sekitar satu km
dari tempat mereka berdiri. Lelaki itu hanya tersenyum dan berkata,
“ Astagfirulloh,
mohon maaf dan semoga Tuhan selalu memberi pembalasan”
Para pedagang ,dan panitia masih riuh
membicarakan wanita dan lelaki itu bukannya berencana membagi rejeki. Pembeli
yang berlalu-lalang pun tak ada satupun yang menghargai suara dan langkah kaki
wanita dan lelaki itu dengan sedikit rupiah. Wanita itu sepanjang jalan menuju
masjid masih memikirkan omongan mereka dan sesekali meneteskan air mata.
“Sudahlah bu ne, bagi bapak ibu itu
sempurna, suara
ibu sempurna, wajah
ibu cantik mempesona, jangan
nangis lagi bu ne. Di dunia ini tidak ada yang sempurna bu ne, mungkin ibu tidak dapat melihat dunia fana ini tetapi
bapak percaya ibu dapat melihat kebesaran gusti .” hibur lelaki itu dengan hati
yang teriris-iris.
Sesampai di masjid mereka masih
membicarakan rupiah dan manusia yang tiada hati. Lelaki itu mengantarkan
istrinya ke tempat wudhu. Lalu mereka sholat berjamaah bersama di masjid itu.
Selepas mengeluhkan tentang keadaan hati dan memohon Tuhan dapat memberinya
pertolongan, lelaki itu duduk di depan masjid menunggu istrinya yang masih
memanjatkan doa-doanya. Saat itulah malaikat datang.
“Assalamualaikum, permisi saya hendak mengambil sandal di
depan Bapak.” kata malaikat itu.
“Waalaikumsalam, monggo monggo maaf malah saya injak.” lelaki
itu mengambilkan sandal malaikat itu dan memberikannya.
“Tidak apa Pak, kaki Bapak kenapa merah
seperti itu,
semacam kepanasan?” tanya malaikat itu.
“Kaki saya pincang dan saya tidak pakai
sandal jadinya kepanasan seperti ini.” jelas lelaki itu.
“Masyaallah, sebentar pak.” Malaikat
itu pergi menuju mobilnya, kemudian
kembali membawakan kresek.
“Bapak pakai ini saja, supaya kaki Bapak
tidak sakit lagi.” malaikat itu memberi cream untuk kaki dan sepasang sandal
baru yang diwadahkan di dalam kresek.
“Terima kasih banyak nak.” kata lelaki
itu sambil tersenyum.
“Sama-sama pak, mohon maaf saya harus segera
pergi karena ada kepentingan, Assalamualaikum.” kata malaikat itu berpamitan.
Lalu malaikat itu pergi dengan
meninggalkan kresek hitam .
“Waalaikumsalam hati-hati Nak” jawab
lelaki itu membalas salam.
Sang wanita menghampiri suaminya sambil
memangil dan meraba. Lelaki itu menjawab dan menuntun istrinya untuk duduk.
Lalu mereka memutuskan kembali ke rumah
sebelum ashar. Sepanjang jalan lelaki itu membawa kresek yang diberikan oleh
malaikat tadi tanpa tahu isinya selain sandal dan cream. Ia sibuk bersenandung
menghibur istrinya agar melupakan kejadian tadi. Hingga tak sadar mereka sampai
di istananya.
Mereka duduk bersama di kursi yang mereka
beli lima tahun yang lalu, sambil menyalakan
radio yang menjadi harta paling berharga mereka setelah alat untuk menyanyi.
Lelaki itu mengoleskan cream untuk kakinya yang sakit. Wanita itu menikmati
umbi-umbiannya. Tak sengaja tangan wanita itu menjatuhkan kresek yang tadi
dipakai wadah cream kaki dan sandal. Alangkah terkejutnya lelaki itu, ketika
melihat isi kresek itu adalah uang yang dimasukkan di dalam wadah seperti kotak
pensil tetapi agak besar dan beberapa kertas.
“Masyaallah Bu ne, isinya ada uang banyak.” kata lelaki
itu dengan kaget.
“Uang apa Pak?” tanya wanita itu.
“Uang di dalam wadah Bu ne, banyak sekali Bu ne,
uang merah semua. Tadi ada di dalam kresek dengan cream kaki dan sandal dari
malaikat tadi.” jelas lelaki itu.
“Malaikat siapa?” tanya wanita itu
dengan terheran-heran.
“Malaikat tadi bu ne yang bapak temui
di depan masjid.” lelaki itu menjawab dengan jelas.
“Bapak belum cerita, tapi kita harus
mengembalikannya pak ne siapa tahu uangnya akan dipakai.” jawab wanita itu
dengan masih bingung.
“Iya bu ne, sebentar ini ada kertas
coba bapak baca dulu.” kata lelaki itu sebelum membaca suart.
Lelaki itu membaca kertas dari malaikat
tadi dengan keras, ada sebuah sajak yang ditulis rapi yang berjudul suara
peminta setia, lalu di sebaliknya
terdapat surat kembali yang ada tanda tangan penulis di pojok kiri atas .
Teruntuk
Bapak Sulaiman dan Ibu Eyis.
Dari saya yang dulu sering Ibu Eyis
beri uang jajan untuk membeli ice cream saat saya masih di sekolah dasar,
karena saya tidak pernah diberi uang jajan oleh orang tua saya yang sudah
bercerai. Terima kasih telah memberikan rejeki kalian untuk kebahagiaan saya.
Terimakasih yang teramat dalam atas jasa Bapak Sulaiman yang telah
menyelamatkan saya dari tabrakan kala itu sehingga saya selalu merasa berhutang
nyawa kepada Bapak, saya selamat sebab Bapak Sulaiman yang mendorong saya agar
tidak tertabrak, tetapi beliau malah harus menanggung sakit itu sampai sekarang
hingga kaki pincang sakit untuk berjalan. Setelah tabrak lari itu,tiada saksi
mata yang melihat, maafkan saya yang tidak dapat menjelaskan kebenaran lalu ibu
tiri saya malah menuduh Bapak yang menyelakai saya. Bertahun-tahun saya mencari
Bapak dan Ibu, semoga sedikit rejeki ini dapat memberi kebaikan untuk kalian.
Doakan saya segera memeluk kalian setelah operasi saya selesai. Aamiin. Sekali
lagi terimakasih.
Dari
Gyo Sajak
Saat itu angin seolah tertiup dengan
ritme haru. Gubuk reot yang dihuni oleh wanita dan lelaki itu seolah sujud
syukur. Sajak-sajak yang ditulis malaikat itu terbang diantara syukur lelaki
dan wanita itu. Tiada hentinya air mata mengalir ,Lelaki dan wanita hanya mampu
berterimakasih kepada Tuhan. Mendoakan malaikat itu agar diberi kesembuhan.
Mereka berpelukan bersama sajak suara peminta setia yang bersenandung tentang
doa-doa mereka. Semoga Sang Maha mengabulkan.
Tri
Wahyuni, lahir 16 Juni 2001. Mahasiswi
UNY. Penulis muda dengan seabrek karya. Buku antologi puisi tunggalnya Hujan Merindu, Sajak Cerita Senja, dan Berlutut Di Bawah Kaki Purnama. Karya lainnya masuk di puluhan
buku antologi bersama. Sekretaris komunitas Sastra-Ku ini tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.
====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar