Sabtu, 03 April 2021

K A R Y A

 

Suara Peminta Setia

Cerpen  Tri Wahyuni

 

Di tengah-tengah perkotaan kumuh, berdiri gubuk reot dengan halaman lumayan luas yang bisa untuk bercocok tanam. Gubuk itu berdiri di atas tanah warisan yang berkali-kali ditawar, namun tidak pernah dilepas oleh pemiliknya. Sehingga gubuk itu nampak sendirian diantara rumah besar di samping kanan kirinya. Salah satu pemilik rumah besar di sampingnya sudah berkali-kali menawar dan ingin membeli. Tapi pemilik tanah  bertekad tidak akan menjualnya sampai mati.

“Pak, lapar tidak?” tanya seorang wanita tua dengan kudung warna biru muda namun terlihat hitam karena dikotori oleh debu dan keringat.

“Tentu saja lapar Bu ne.” kata seorang lelaki yang pundaknya selalu dipegangi oleh sang wanita yang bertanya tadi.

“Mau bernyanyi lagu apa nanti Pak e, aku sudah mandi tadi meski beberapa kali kepalaku terjeduk dan hampir terpeleset.“  kata sang wanita sambil mengeluh.

“Sudahlah Bu ne jangan ngeluh nanti kalau Tuhan marah bagaimana?” jawab sang lelaki.

“Iya Pak iya, aku tadi tanya lagu lho Pakne belum jawab.” tanya sang wanita.

“Nyanyi yang mengingat Sang Maha saja Bu ne.” jelas sang lelaki.

“Dzikir pak ne? opo sholawat?” tanya sang wanita.

“Sholawat saja Bu ne.” Tangannya mengelus kening istrinya sambil berbisik “Ingat Bu ne kita hidup bukan untuk mengerjar materi untuk hidup, melainkan kebaikan untuk hidup di surga dan akhirat”

Senyum wanita itu perih, wanita itu tak dapat menjawab apa-apa .

Mereka kembali bersiap-siap untuk berdzikir mencari rejeki dari gusti. Laki-laki itu membersihkan kotak musiknya sambil mengecek apakah masih bisa berfungsi. Kemudian ia susah payah mencari sandal yang biasa ia kenakan untuk berjalan, karena aspal mampu membakar kakinya. Kenapa benda murah itu hilang ketika dibutuhkan.

“Sandal sandal kau dimana.” laki-laki itu suka bersenandung ketika berbicara apapun itu untuk menghibur hatinya yang sering rapuh.

Sang wanita sibuk mempersiapkan bekal yang akan dibawa nanti, meski mereka hanya punya air yang dimasak shubuh tadi dan beberapa umbi-umbian dari hasil kebun belakang rumah. Mana ada beras kalau juragan kaya tidak memberi mereka karena telah membantu panen, sekarang musim panas sawah-sawah kering tiada panen padi. Tiada mampu membeli meski sekilo beras. Umbi-umbi dimasukkan ke dalam plastik kresek hitam bekas wadah beras dari juragan kaya lima bulan yang lalu. Air minum putih yang paling segar menurut wanita itu, diwadahkan ke botol minum yang seharusnya tidak boleh digunakan terus menerus.

“ Ada apa Pakne? “ tanya sang wanita setelah mendengar nyanyian-nyanyian yang tiada henti.

“Emas Bu ne” celetuk laki-laki itu.

“Bapak itu bercanda terus, mana ada kita punya emas.” kata wanita itu sambil menepuk jidat.

“Bu ne itu gimana, tau Bapak lagi nyari cari sandal kok masih tanya, lagian ya Bu ne sandal itu bagi kita adalah emas yang sama-sama berharga meski sebenarnya harganya tak seberapa.” jawab laki-laki itu.

“Ealah Pak, kemarin dimana naruhnya.”  wanita itu mulai meraba-raba sekeliling mencari sandal suaminya.

“Aku sudah muter seribu kali Bu gaada.” jawab laki-laki itu dengan gaya hiperbola.

Mereka mencari bersama, dimanapun biasanya laki-laki itu menaruh sandal ,dan masih tetap dengan bersenandung . Hingga akhirnya mereka berhenti ketika mendengar suara bel sekolah dasar yang menunjukkan bahwa sudah jam 7.

“ Ya sudah pak pakai sandal Bu ne saja.” kata wanita itu.

“Tidak Bu nanti kamu kepanasan bagaimana?” jawab lelaki itu dengan tegas.

“Ndak papa Pak, penting kaki Bapak gak sakit.” wanita itu selalu kasihan dengan kaki suaminya pincang tetapi suaminya selalu keras kepala.

“Tidak Bu tidak papa kamu saja yang pakai.” lelaki itu tetap saja menolak.

“Bapak saja monggo” wanita itu menawarkan kembali.

Hampir sepuluh menit mereka mendebatkan siapa yang memakai sandal hingga lelaki itu menunjukkan kebijaksaannya,

“Ya sudah kalau tidak ada yang mau pakai, lebih baik kita berjalan tanpa alas, Tuhan yang akan menjaga jika kita niat karena Tuhan”

Sang wanita hanya mengangguk dan berkata iya. Itu yang membuat wanita itu selalu jatuh cinta kesekian kalinya kepada lekaki itu karena kebersamaan dan kesederhanaan. Lelaki itu telah mengubah dirinya yang dulunya semacam wanita lainnya yang tidak mau mengalah,dan selalu ingin dirinya yang dimanja. Tetapi bagi wanita itu sakit bersama, bahagia bersama, mengambil keputusan bersama dan hidup bersama adalah segalanya.

Udara terasa panas menyengat setiap kulit yang memakai pakaian terbuka, maksudnya baju pendek tidak memakai jilbab atau celana pendek. Pohon-pohon mengatur ritme ketika diayunkan oleh angin dari setiap arah mata angin. Aspal yang mengarah ketidakabadian membakar rasa manusia yang lapar materi. Burung-burung berterbangan mencari makan agar perutnya tiada bunyi keroncongan lagi. Matahari memantulkan sinarnya untuk kehidupan makhluk hidup. Manusia yang tiada pernah bersyukur hanya mengeluhkan panas sekali. Bahkan menyalahkan kemarau yang sudah dikehendaki Tuhan.

Jalanan di sepanjang pasar bubrah ramai. Manusia yang berprofesi sebagai pedagang berbicara cepat menawarkan dagangannya, manusia yang berperan sebagai pembeli sibuk berjalan cepat mencari barang apa yang akan mereka beli tanpa memperhatikan sisi lain.

Wanita dan laki-laki itu bukan keduanya, mereka tidak mendagangkan suara atau mendagangkan fisik untuk mencari belas kasihan, dan tidak pula menjadi pembeli barang-barang yang ada. Mereka hanya berdzikir sepanjang jalan membawa box music yang dibawa lelaki itu dan alat untuk menyanyi yang dibawa wanita itu.

Sepanjang jalan di pasar bubrah lelaki itu berada di depan untuk mencari jalan meski kakinya pincang sulit untuk berjalan tapi mata nya masih mampu mencari jalan, wanita itu berada dibelakang suaminya, tangan kanannya memegangi pundak suaminya sedangkan tangan kirinya membawa alat untuk bernyanyi. Suara wanita itu memang tidak dapat dibilang merdu tetapi semacam ada arti lain di setiap nyanyian dan sholawat yang muncul dari mulutnya, kata lelaki itu dalam batinnya.

“Kalian jangan nyanyi disini, jangan ngamen disini!” seseorang yang menjabat sebagai panitia di suatu acara di tengah-tengah pasar bubrak marah.

“Kalian tahu tidak!  ini sedang ada acara dari perusahaan besar yang sedang promosi, bapak kan bisa lihat dengan mata bapak, istrinya dikasih tau kalau gak bisa liat jangan nyanyi ganggu orang lain!” tambah panitia lain yang dating memarahi bukannya menengahi.

Wanita dan lelaki itu hanya diam,  sang wanita menunduk hampir menangis. Lelaki itu masih diam membiarkan manusia sok-sok an sempurna mencaci maki.

“Benar itu, mereka berkali-kali hampir menabrak dagangan saya.” kata pedagang sebelah tempat panitia itu berdiri.

“Beberapa kali juga wanita itu menabrak dagangan saya hingga tumpah dan saya rugi banyak. Gak punya mata mbok ya di rumah saja.” kata pedagang di depan acara dari perusahaan besar yang sedang promosi.

“Bahkan suara jeleknya itu menganggu promosi saja yang juga menawarkan produk-produk saya, jadi gak kedenger suara promosi dagangan saya, pergi saja jangan disini kalian!” tambah ibu-ibu yang sewot dan emosional .

Suasana semakin ricuh, mereka menyebutkan keburukan wanita dan lelaki itu, dan ingin mengusir mereka. Lalu lelaki itu menoleh mengelus kening istrinya dan mengajak berjalan menuju masjid depan sekitar satu km dari tempat mereka berdiri. Lelaki itu hanya tersenyum dan berkata,

Astagfirulloh, mohon maaf dan semoga Tuhan selalu memberi pembalasan”

Para pedagang ,dan panitia masih riuh membicarakan wanita dan lelaki itu bukannya berencana membagi rejeki. Pembeli yang berlalu-lalang pun tak ada satupun yang menghargai suara dan langkah kaki wanita dan lelaki itu dengan sedikit rupiah. Wanita itu sepanjang jalan menuju masjid masih memikirkan omongan mereka dan sesekali meneteskan air mata.

“Sudahlah bu ne, bagi bapak ibu itu sempurna, suara ibu sempurna, wajah ibu cantik mempesona, jangan nangis lagi bu ne. Di dunia ini tidak ada yang sempurna bu ne, mungkin  ibu tidak dapat melihat dunia fana ini tetapi bapak percaya ibu dapat melihat kebesaran gusti .” hibur lelaki itu dengan hati yang teriris-iris.

Sesampai di masjid mereka masih membicarakan rupiah dan manusia yang tiada hati. Lelaki itu mengantarkan istrinya ke tempat wudhu. Lalu mereka sholat berjamaah bersama di masjid itu. Selepas mengeluhkan tentang keadaan hati dan memohon Tuhan dapat memberinya pertolongan, lelaki itu duduk di depan masjid menunggu istrinya yang masih memanjatkan doa-doanya. Saat itulah malaikat datang.

Assalamualaikum, permisi saya hendak mengambil sandal di depan Bapak.” kata malaikat itu.

Waalaikumsalam, monggo monggo maaf malah saya injak.” lelaki itu mengambilkan sandal malaikat itu dan memberikannya.

“Tidak apa Pak, kaki Bapak kenapa merah seperti itu, semacam kepanasan?” tanya malaikat itu.

“Kaki saya pincang dan saya tidak pakai sandal jadinya kepanasan seperti ini.” jelas lelaki itu.

“Masyaallah, sebentar pak.” Malaikat itu pergi menuju mobilnya, kemudian kembali membawakan kresek.

“Bapak pakai ini saja, supaya kaki Bapak tidak sakit lagi.” malaikat itu memberi cream untuk kaki dan sepasang sandal baru yang diwadahkan di dalam kresek.

“Terima kasih banyak nak.” kata lelaki itu sambil tersenyum.

“Sama-sama pak, mohon maaf saya harus segera pergi karena ada kepentingan, Assalamualaikum.” kata malaikat itu berpamitan.

Lalu malaikat itu pergi dengan meninggalkan kresek hitam .

“Waalaikumsalam hati-hati Nak” jawab lelaki itu membalas salam.

Sang wanita menghampiri suaminya sambil memangil dan meraba. Lelaki itu menjawab dan menuntun istrinya untuk duduk. Lalu mereka memutuskan kembali ke rumah sebelum ashar. Sepanjang jalan lelaki itu membawa kresek yang diberikan oleh malaikat tadi tanpa tahu isinya selain sandal dan cream. Ia sibuk bersenandung menghibur istrinya agar melupakan kejadian tadi. Hingga tak sadar mereka sampai di istananya.

Mereka duduk bersama di kursi yang mereka beli lima tahun yang lalu, sambil menyalakan radio yang menjadi harta paling berharga mereka setelah alat untuk menyanyi. Lelaki itu mengoleskan cream untuk kakinya yang sakit. Wanita itu menikmati umbi-umbiannya. Tak sengaja tangan wanita itu menjatuhkan kresek yang tadi dipakai wadah cream kaki dan sandal. Alangkah terkejutnya lelaki itu, ketika melihat isi kresek itu adalah uang yang dimasukkan di dalam wadah seperti kotak pensil tetapi agak besar dan beberapa kertas.

“Masyaallah  Bu ne, isinya ada uang banyak.” kata lelaki itu dengan kaget.

“Uang apa Pak?” tanya wanita itu.

“Uang di dalam wadah Bu ne, banyak sekali Bu ne, uang merah semua. Tadi ada di dalam kresek dengan cream kaki dan sandal dari malaikat tadi.” jelas lelaki itu.

“Malaikat siapa?” tanya wanita itu dengan terheran-heran.

“Malaikat tadi bu ne yang bapak temui di depan masjid.” lelaki itu menjawab dengan jelas.

“Bapak belum cerita, tapi kita harus mengembalikannya pak ne siapa tahu uangnya akan dipakai.” jawab wanita itu dengan masih bingung.

“Iya bu ne, sebentar ini ada kertas coba bapak baca dulu.” kata lelaki itu sebelum membaca suart.

Lelaki itu membaca kertas dari malaikat tadi dengan keras, ada sebuah sajak yang ditulis rapi yang berjudul suara peminta setia, lalu di sebaliknya terdapat surat kembali yang ada tanda tangan penulis di pojok kiri atas .

            Teruntuk Bapak Sulaiman dan Ibu Eyis.

            Dari saya yang dulu sering Ibu Eyis beri uang jajan untuk membeli ice cream saat saya masih di sekolah dasar, karena saya tidak pernah diberi uang jajan oleh orang tua saya yang sudah bercerai. Terima kasih telah memberikan rejeki kalian untuk kebahagiaan saya. Terimakasih yang teramat dalam atas jasa Bapak Sulaiman yang telah menyelamatkan saya dari tabrakan kala itu sehingga saya selalu merasa berhutang nyawa kepada Bapak, saya selamat sebab Bapak Sulaiman yang mendorong saya agar tidak tertabrak, tetapi beliau malah harus menanggung sakit itu sampai sekarang hingga kaki pincang sakit untuk berjalan. Setelah tabrak lari itu,tiada saksi mata yang melihat, maafkan saya yang tidak dapat menjelaskan kebenaran lalu ibu tiri saya malah menuduh Bapak yang menyelakai saya. Bertahun-tahun saya mencari Bapak dan Ibu, semoga sedikit rejeki ini dapat memberi kebaikan untuk kalian. Doakan saya segera memeluk kalian setelah operasi saya selesai. Aamiin. Sekali lagi terimakasih.

Dari Gyo Sajak

 

Saat itu angin seolah tertiup dengan ritme haru. Gubuk reot yang dihuni oleh wanita dan lelaki itu seolah sujud syukur. Sajak-sajak yang ditulis malaikat itu terbang diantara syukur lelaki dan wanita itu. Tiada hentinya air mata mengalir ,Lelaki dan wanita hanya mampu berterimakasih kepada Tuhan. Mendoakan malaikat itu agar diberi kesembuhan. Mereka berpelukan bersama sajak suara peminta setia yang bersenandung tentang doa-doa mereka. Semoga Sang Maha mengabulkan.

 

====

Tri Wahyuni, lahir 16 Juni 2001. Mahasiswi UNY. Penulis muda dengan seabrek karya. Buku antologi puisi tunggalnya Hujan Merindu, Sajak Cerita Senja, dan Berlutut Di Bawah Kaki Purnama. Karya lainnya masuk di puluhan buku antologi bersama. Sekretaris  komunitas Sastra-Ku ini tinggal di Sidorejo Lendah Kulonprogo.

====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...