Jumat, 01 November 2019

K A R Y A


Hujan, Kopi dan November
Cerpen Imam Wahyudi

Musim penghujan telah tiba lelakiku, dan aku setia menantimu. Tetes pertama yang kunanti telah jatuh beberapa waktu lalu, hatiku tentu saja begitu sukacita.  Ya, seperti dahulu, engkau datang padaku bersama turunnya hujan. Angin awal November ini bertiup kencang dan kadang menakutkan. Apakah engkau sedang merancang kepulanganmu padaku, lelakiku?
Bila malam tiba, dan hujan tiada surut jatuh ke bumi, tahukah engkau bahwa aku begitu diserang rindu dan cemas. Tiada henti aku selalu berdoa untuk keselamatanmu, dan tentu saja buat kebersamaan kita di waktu yang akan datang. Menyambut kedatanganmu nanti, telah kupersiapkan pula kopi hitam kesukaanmu. Kopi hitam dari lereng perbukitan Menoreh yang begitu kau suka. Diseduh tanpa gula, dan katamu begitu pas dinikmati bersama rinai hujan.
Ah, berpikir tentang hujan, kopi, November dan tentu saja kamu, kenangku mengembara ke pertemuan kita musim penghujan tahun yang lalu. Kenangan yang manis, walaupun akhirnya banyak kegetiran yang mendera. Namun aku tetap yakin lelakiku, semua ini akan berakhir indah pada saatnya nanti.
Hujan awal November waktu itu begitu lebatnya. Dan di rumah, aku tinggal seorang diri. Ibu untuk sementara waktu menemani bapak di luar daerah. Ya, bapak memang bekerja dan mengontrak rumah di sana. Seminggu sekali atau kalau ada libur ia akan menengok aku dan ibu di rumah. Kesibukan bapak menumpuk hingga tak ada waktu untuk pulang. Jadilah ibu yang menyusul bapak ke sana, aku ditinggal sendiri di rumah.
Dan dalam derasnya hujan yang mendera, aku dicekam ketakutan dan kecemasan. Atap rumah banyak yang bocor, sedang genangan air di depan rumah semakin meninggi. Kalau hujan berhenti sejenak, angin berkesiur kencang menerpa dan menerbangkan apa saja, menimbulkan suara yang membuatku makin panik dan takut. Saat itulah, engkau datang lelakiku. Aku tak tahu dari mana asalmu, tiba-tiba saja engkau lewat di jalanan depan rumah yang sunyi, mendorong gerobak es cendol yang masih penuh. Aku melambaikan tangan dan memanggilmu. Engkau mendatangiku dengan basah kuyup. Setelahnya, semua berlangsung begitu saja. Engkau cekatan melakukan sesuatu dengan rumah itu hingga membuatku tenang. Atap rumah yang berantakan kauperbaiki, dan genangan air di depan rumah kau buat aliran sehingga tak masuk ke dalam rumah..
Sepanjang November itu engkau menemaniku menikmati setiap waktu yang ada. Hari-hariku tiada sepi dan menakutkan lagi. Kopi hitam tanpa gula selalu kusajikan untukmu. Kamu merasa cocok dengan kopi itu. Kamu selalu meminta, dan meminta lagi. Katamu benar-benar pas dirasakan di tengah hujan seperti itu. Ah, bila engkau sedang minum kopi yang kubuatkan itu, entah mengapa aku merasa senang, padahal aku bukan pecinta kopi. Mungkin aku merasa dihargai, karena kopi itu kauhabiskan sampai tandas.
Bulan November yang hujan dan dingin terus berlangsung. Semua yang gersang menjadi bersemi kembali. Benih yang ditanam, tumbuh dengan pasti. Benih yang kautanam di tubuhku juga demikian. Aku tak takut dengan itu semua, karena hal itu kita lakukan dengan cinta dan kesadaran sepenuhnya. Yang kutakutkan adalah kepergianmu di penghabisan November itu. Kamu ingin menengok kampung halamanmu dan berjanji akan pulang setelah urusanmu selesai, membawa bekal yang pasti untuk rumah tangga kita.
Tetapi, sayup yang kudengar kemudian  sungguh memilukan. Tentang suatu daerah yang luluh lantak disergap banjir dan tanah longsor. Tiba-tiba saja aku sudah disini, terkurung di sebuah rumah sakit jiwa. Bapak dan ibu marah besar karena ada benihmu di rahimku. Yang membuatku makin merana, benih itu kemudian gugur sebelum berkembang. Mereka menganggapku gila, karena selalu meracau merindukanmu, hujan, kopi dan juga November.
Ah, aku takut sekali, lelakiku. Atap bangunan ini seperti berderak ditiup angin, mungkin hujan akan segera turun. Aku melongok jalanan depan, berharap engkau lewat mendorong gerobak es cendol, dan aku akan melambaikan tangan, memanggilmu seperti dahulu.
                                                                                                                    sebuah cerita untuk kf,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...