Hujan, Kopi dan November
Cerpen Imam
Wahyudi
Musim penghujan telah tiba lelakiku, dan aku setia
menantimu. Tetes pertama yang kunanti telah jatuh beberapa waktu lalu, hatiku
tentu saja begitu sukacita. Ya, seperti
dahulu, engkau datang padaku bersama turunnya hujan. Angin awal November ini bertiup
kencang dan kadang menakutkan. Apakah engkau sedang merancang kepulanganmu
padaku, lelakiku?
Bila malam tiba, dan hujan tiada surut jatuh ke
bumi, tahukah engkau bahwa aku begitu diserang rindu dan cemas. Tiada henti aku
selalu berdoa untuk keselamatanmu, dan tentu saja buat kebersamaan kita di
waktu yang akan datang. Menyambut kedatanganmu nanti, telah kupersiapkan pula
kopi hitam kesukaanmu. Kopi hitam dari lereng perbukitan Menoreh yang begitu
kau suka. Diseduh tanpa gula, dan katamu begitu pas dinikmati bersama rinai
hujan.
Ah, berpikir tentang hujan, kopi, November dan
tentu saja kamu, kenangku mengembara ke pertemuan kita musim penghujan tahun
yang lalu. Kenangan yang manis, walaupun akhirnya banyak kegetiran yang mendera.
Namun aku tetap yakin lelakiku, semua ini akan berakhir indah pada saatnya
nanti.
Hujan awal November waktu itu begitu lebatnya. Dan
di rumah, aku tinggal seorang diri. Ibu untuk sementara waktu menemani bapak di
luar daerah. Ya, bapak memang bekerja dan mengontrak rumah di sana. Seminggu sekali atau kalau ada
libur ia akan menengok aku dan ibu di rumah. Kesibukan bapak menumpuk hingga
tak ada waktu untuk pulang. Jadilah ibu yang menyusul bapak ke sana, aku
ditinggal sendiri di rumah.
Dan dalam derasnya hujan yang mendera, aku
dicekam ketakutan dan kecemasan. Atap rumah banyak yang bocor, sedang genangan
air di depan rumah semakin meninggi. Kalau hujan berhenti sejenak, angin
berkesiur kencang menerpa dan menerbangkan apa saja, menimbulkan suara yang
membuatku makin panik dan takut. Saat itulah, engkau datang lelakiku. Aku tak
tahu dari mana asalmu, tiba-tiba saja engkau lewat di jalanan depan rumah yang
sunyi, mendorong gerobak es cendol yang masih penuh. Aku melambaikan tangan dan
memanggilmu. Engkau mendatangiku dengan basah kuyup. Setelahnya, semua
berlangsung begitu saja. Engkau cekatan melakukan sesuatu dengan rumah itu
hingga membuatku tenang. Atap rumah yang berantakan kauperbaiki, dan genangan
air di depan rumah kau buat aliran sehingga tak masuk ke dalam rumah..
Sepanjang November itu engkau menemaniku
menikmati setiap waktu yang ada. Hari-hariku tiada sepi dan menakutkan lagi.
Kopi hitam tanpa gula selalu kusajikan untukmu. Kamu merasa cocok dengan kopi itu.
Kamu selalu meminta, dan meminta lagi. Katamu benar-benar pas dirasakan di
tengah hujan seperti itu. Ah, bila engkau sedang minum kopi yang kubuatkan itu,
entah mengapa aku merasa senang, padahal aku bukan pecinta kopi. Mungkin aku
merasa dihargai, karena kopi itu kauhabiskan sampai tandas.
Bulan November yang hujan dan dingin terus
berlangsung. Semua yang gersang menjadi bersemi kembali. Benih yang ditanam,
tumbuh dengan pasti. Benih yang kautanam di tubuhku juga demikian. Aku tak takut
dengan itu semua, karena hal itu kita lakukan dengan cinta dan kesadaran
sepenuhnya. Yang kutakutkan adalah kepergianmu di penghabisan November itu. Kamu
ingin menengok kampung halamanmu dan berjanji akan pulang setelah urusanmu
selesai, membawa bekal yang pasti untuk rumah tangga kita.
Tetapi, sayup yang kudengar kemudian sungguh memilukan. Tentang suatu daerah yang
luluh lantak disergap banjir dan tanah longsor. Tiba-tiba saja aku sudah
disini, terkurung di sebuah rumah sakit jiwa. Bapak dan ibu marah besar karena
ada benihmu di rahimku. Yang membuatku makin merana, benih itu kemudian gugur
sebelum berkembang. Mereka menganggapku gila, karena selalu meracau
merindukanmu, hujan, kopi dan juga November.
Ah, aku takut sekali, lelakiku. Atap bangunan ini
seperti berderak ditiup angin, mungkin hujan akan segera turun. Aku melongok
jalanan depan, berharap engkau lewat mendorong gerobak es cendol, dan aku akan
melambaikan tangan, memanggilmu seperti dahulu.●
sebuah
cerita untuk kf,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar