Keseleo
Cerpen Tri Apriyadi
Siang itu Surti berdesak-desakan
di pasar besar ibu kota kabupaten. Suasana pasar sangat ramai. Banyak orang berjalan
lalu-lalang. Jalan yang sempit membuat orang-berdesak-desakan. Lapak para pedagang
yang banyak semakin memakan ruas jalan bagi peajalan kaki . Pasar pun semrawut. Apalagi pasar sedang proses renovasi. Material tercecer disana-sini. Bangunan masih banyak
yang belum jadi. Banyak peralatan dan perlengkapan bangunan yang masih tergeletak
tak beraturan disekitar pasar.
Suasana sangat sesak.
Ditengah suasana itu, Surti tidak sengaja terantuk batu. Akibatnya kakinya
keseleo. Dia menepi dan duduk. Dia amat-amati kakinya yang sakit. Nampak memar
kebiruan. Rasanya cukup sakit. Dia merasa khawatir terjadi apa-apa pada kakinya.
Rasanya dia ingin pulang saja ke rumah. Rumahnya kurang lebih 5 kilometer dari
tempat itu.
Surti segera bergegas menuju sepeda motornya yang diparkir di seberang
jalan. Dengan jalan tertatih-tatih sambil memegangi pahanya ia segera bergegas
menuju sepeda motornya. Dia starter motornya untuk segera berlalu. Belum berapa
lama ia melaju motornya. Tiba-tiba dia merasakan kakinya kaku. Semakin lama dia
merasakan kakinya agak membatu. Bahkan agak gemetar dalam menapakkan kakinya.
Ia merasa tidak bisa meneruskan perjalanannya. Dia belokkan motornya dan
hentikan di tepi jalan. Tidak disadarinya dia berhenti di dekat rambu larangan berhenti
dekat pos polisi. Surti turun dari motornya lalu menguru kakinya. Kakinya masih biru. Seseorang berseragam coklat coklat mendekatinya.
“Kenapa bu ?” tanya orang itu dengan ramah.
“Anu pak…kaki saya sakit pak ?” jawab Surti masih sambil memegangi
kakinya.
“Ada yang bisa saya bantu bu ?” orang itu menawarkan diri dengan cukup
baik. Tidak seperti anggapan orang selama ini tentang institusinya.
“Terima kasih pak. Saya akan tilpun
suaminya saja.”, jawab Surti sambil mengeluarkan gawai dari tas nya.
“ Silahkan bu…” jawab orang itu sambil dia menuntun motor Surti untuk di
letakkan di tempat yang semestinya.
Surti menilpun suaminya yang masih di kantor.
“Mas, tolong ke pasar jemput aku ya ?” pinta Surti pada Cipto suaminya.
“Ada apa Dik ? Aku lagi nanggung di kantor. Banyak kerjaan yang harus
aku selesaikan pada hari ini juga. Perusahaan sedang mengejar target penjualan”
jawab Cipto agak beralasan.
“Ya udah kalau gitu. Tapi aku tidak tanggung kalau ada apa-apa denganku di
pasar ya. Kakiku sakit. Kaku. Seperti tidak bisa di gerakkkan ? “ kata Surti
menerangkan.
Cipto terhenyak sebentar.
“Oh..oke..oke kalau gitu. Aku akan segera jemput kau sebentar lagi ya Dik
? “ jawab Cipto cepat tanpa bertanya lagi. Cipto bergegas bilang ke rekan
kerjanya untuk menjemput istrinya.
“Istriku mungkin patah tulang” kata Cipto sekenanya.
Dengan tergesa-gesa dia lalu bergegas ke luar kantor. Cipto mengeluarkan
mobilnya dan melaju ke tempat Surti.
Tak berapa lama sampailah ia. Dilihatnya istrinya duduk ditepi jalan sambil memegangi kakinya.
“Bagaimana keadaanmu, Dik ? tanya Cipto dengan agak khawatir.
“Masih kaku tapi sudah agak
mendingan ini Mas ?”, jawab Surti sambil tetap memegangi kakinya.
Cipto melihat sebentar kaki istrinya. Lalu dia memegangi badan istrinya
untuk memapahnya menuju ke mobil.
“Kamu tidak apa-apa khan? Hati
–hati jalannya ..”, kata Cipto dengan lemah lembut penuh perhatian.
Lengan Surti ia lingkarkan di leher suaminya. Tiba-tiba ia merasakan kedamaian
yang menelusup dalam hatinya. Ia merasakan kemesraan suaminya yang penuh cinta.
Dia berjalan- tertatih sambil memandangi wajah sauaminya. Ia pandangi wajah lelaki
yang telah lima tahun menikahi dirinya. Lelaki yang gigih memperjuangkan
cintanya untuk menikahinya, Cipto memang sempat ditentang oleh orang tua Surti ketika
ia akan menikahinya.
Masa itu, Cipto adalah pemuda miskin. Belum mempunyai pekerjaan tetap. Tapi
dia adalah tipe pemuda rajin dan pekerja keras. Semenjak diterima di sebuah perusahaan
swasta di bagian pemasaran. Dia bekerja keras merintis karirnya merangkak dari
bawah. Hingga lambat laun prestasinya terus merangkak naik dan berperestasi.
Dan tidak berapa lama karena prestasinya dia dipercaya oleh perusahaannya untuk
menjadi manajer bagian pemasaran.
Akan tetapi karena tekanan perusahaan dengan harus memenuhi
mencapai target-target penjualan
yang harus dicapai membuat perangainya agak
berubah.
Semasa berpacaran dengan Surti, Cipto adalah pemuda yang romantis dan
lemah lembut. Dan sering menciptakan kejutan-kejutan yang membahagiakan
hatinya. Dia selalu menyempatkan waktu untuk menemaninya jika di butuhkan utnuk
bertemu. Tapi akhir-akhir ini ia sering marah-marah. Dia sering pulang telat. Seakan Cipto tidak punya waktu lagi untuk
dirinya. Waktu dan pikirannya ia habiskan untuk kerjaan dan perusahaannya.
Kemesraan Cipto yang dulu seakaan lenyap di telan bumi.
Ini yang membuat Surti sedih. Ditambah dia merasa kesepian karena sampai
saat ini mereka belum juga dikaruniani momongan dari perkawinannya dengan Cipto.
“Kita langsung ke UGD saja ya Dik ?” kata Cipto yang seketika membuyarkan lamunan Surti.
“Nggak usah mas. Kita ke dokter
Savitri aja nanti sore. Aku lebih percaya dan nyaman dengan dokter
Savitri” jawab Surti. Dokter Savitri adalah salah satu dokter yang terkenal di
kabupaten. Seorang dokter yang selain cantik juga ramah dan pintar. Banyak yang
sembuh ketika berobat di dokter Savitri.
“Tapi kamu tetap di rumah menemaniku ya Mas ? kata Surti memohon.
Cipto terdiam dan berpikir sebentar.
“Hmm.. Baiklah … “
Setelah memasukkan istrinya ke mobil dan menitipkan motor istrinya
ditempat penitipan. Cipto membawa Surti pulang ke rumah.
Cipto menyempatkan menilpon kantor.
“Ratri, apakah Rahmat ada ?” ia tilpun sekretarisnya.
“Tidak pak. Dia lagi keluar … Katanya ada pertemuan dengan klien..”
“Kalo Roni ada ?”
“Tidak pak… Dia ijin.. katanya
lagi nggak enak badan “
“Oke kalo gitu …tolong bila ada janji-janji pertemuan dengan mitra
tolong di cancel aja ya… Aku akan menemani istriku untuk periksa ke dokter… Aku khawatir
ada apa-apa dengan kakinya”.
“Ya pak..”
Sore hari tibalah Cipto dan Surti di tempat praktik dokter Savitri.
Nampak sudah banyak berjejer mobil-mobil yang juga memeriksa kesehatannya. Surti
masuk ke dalam sambil memakai krug. Cipto menggandengnya sambil terus
memegang gawainya yang seakan tidak mau lepas dari tangannya. Cipto berusaha
tersenyum terus selama menemani Surti. Kadang-kadang ia keluar untuk menerima
telpon.
Surti duduk di bangku berderet dengan pasien-pasien yang lain. Surti
melihat ibu- yang disampingnya. Ibu itu seperti menahan sakit sambil memegangi
kakinya.
“Kenapa bu kakinya ? tanya Surti
“Ini kemarin tidak tahu-tahu tiba-tiba saja sakit dan membiru ternyata
sudah ada kanker dan harus segera diamputasi”, kata ibu itu dengan raut muka
yang biasa saja..
“Sendirian saja, tidak ada yang menemani bu.”
“Tidak. Suami saya pergi entah kemana. Dia main gila dengan wanita lain.
Untung dia meninggalkan perusahaan yang masih berjalan. Sehingga masih bisa
untuk menghidupi saya beserta anak-anak”
Surti menghela nafas sebentar. Dan dia melihat Cipto yang masih sibuk
dengan HP nya. Kelihatannya di sedang ada urusan penting dengan terus memainkan
jari-jarinya di layar gawai untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Di pojok Surti melihat anak kecil sedang dipangku ibunya. Tubuhnya kecil
kurus. Wajahya sebenarnya cantik tetapi ada yang aneh dengan tatapan matanya.
Di mempunyai wajah yang seakan menatap kosong. Kepalanya tampak membesar. Dan
ibunya dengan sangat sabar membelai-belai kepalanya dan terus berusaha mengajak
bermain anaknya.
Surti melihat suaminya lagi. Dan Cipto masih sibuk dengan HP nya.
Kemudian dia lihat kakinya yang sakit. Warna kebiruan nya sudah mulai hilang.
Dan ia rasakan sakitnya juga sudah mulai berangsur-angsur hilang. Dia bangkit
dan mencoba menggerak-gerakkannya. Sudah tidak terasa sakit. Dia berusaha berjalan.
Dan kemudian dia berjalan tanpa krug. Dia berhasil berjalan walau masih sedikit
sakit. Lalu dia putuskan untuk mengajak pulang suaminya.
Surti berjalan menghampiri suaminya dan mengajaknya pulang. Cipto kaget
mendapati istrinya mengajak pulang sebelum diperiksa dan berjalan tanpa krug.
“Ada apa ini “ kata Cipto kebingungan.
“Pokoknya kita pulang saja mas … kakiku sudah sembuh” kata Surti.
Mereka
lalu masuk mobil pulang.
Tak jauh sebelum sampai rumahnya, mereka melihat ada beberapa mobil dan
motor sudah berjejer di depan rumahnya. Nampak rekan kerja suaminya sudah ada
yang berdiri di depan rumahnya. Diantaranya ada yang mengajak istrinya sudah
berdiri bersiap menyambut kedatangan mereka. Ada yang membawa bingkisan berupa
buah-buahan ataupun makanan atau minuman.
“Pelan-pelan aja ya Mas “, pinta Surti pada suamimya.
“Kenapa, Dik ?” tanya Cipto sambil memperlahan laju mobilnya.
“Setelah sampai depan rumah,
tolong siapkan krug nya ya… Aku akan memakainya lagi”
“Ya ..” jawab Cipto sambil berpikir meraba-raba maksud istrinya.
Sesampainya mereka di rumah, para tamu tersenyum. menyapa dengan sangat
ramah. Yang Ibu-ibu mencoba memegang tangan dan ikut memapah Surti yang ‘kelihatan’
sulit berjalan dan memakai krug. Sore itu suasana tampak hangat.
Sejak saat itu entah kenapa Surti sering keseleo pada kakinya.
Kulon Progo, Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar