Wiro
Cerpen Tri Apriyadi
Siang itu. Panas mentari menyengat
kepala.
Lelaki berbadan
kekar tanpa sehelai balutan kain seakan menantangnya di sawah. Cangkul di hunjamkan dengan tekanan yang
kuat ke dalam tanah. Tapak dalam menembus bumi. Diangkat sejengkal tanah dan
dihunjamkan lagi ke bumi. Berulang hingga beratus kali. Dia berhenti sebentar.
Gantian ia ambil
arit di pinggir pematang sawah. Dia sabitkan di lereng-lereng pematang sawah. Rumput-rumput
beterbangan dalam sabitan-sabitan kuat kiri kanan. Hanya sesekali dia mengelap keringat
yang membanjiri tubuhnya. Dalam terik tersebut orang itu terus saja bekerja.
Haus tidak terasakan dalam kegerahannya. Dia hanya berhenti sejenak kemudian
larut kembali dalam kesibukannya. Berpeluh keringat yang deras dan terus
mengaliri tubuhnya yang berkulit coklat tua. Pada
badannya terlihat banyak bekas luka. Dan nampak
ada bekas luka codet di wajahnya. Menandakan masa lalunya diarungi
dalam kehidupan yang keras. Rambutnya dibiarkan panjang
berikal tidak terawat.
Orang-orang dusun mengenalnya bernama Wiro. Ya, Pak Wiro. Seorang buruh tani, berusia
hampir genap setengah abad, yang pendiam tapi murah senyum.
Dia sangat sopan kepada siapa saja. Dia orang yang sederhana. Itu nampak dari pakaiannya yang apa adanya.
Dia hidup
sebatang kara di rumah di pinggiran dusun itu. Rumahnya
sangat sederhana. Hanya terdiri dari dua ruangan saja. Ruang depan dan
belakang yang berfungsi sebagai ruang tidur dan sekaligus dapur. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah tua dan
banyak lobang termakan
rayap karena usia. Kalau hujan deras mendera, banyak atapnya yang bocor. Ini semakin memperburuk kondisi rumahnya yang sudah reot.
Ini juga menjadi
sebuah keprihatinan dari warga masyarakat kampung
sekitar karena pak Wiro terkenal orang yang rajin
dan suka menolong. Ketika ada acara kemasyarakatan seperti kerja bakti dan gugur gunung, ia selalu ikut membantu.
Ini
yang membuat warga merasa simpatik dengan keberadaan pak Wiro. Di
samping itu, ternyata pak Wiro diam-diam
pandai berkelahi.
Pernah suatu
saat salah seorang warga dusun, kemalingan rumah. Kebetulan
salah seorang warga memergoki maling itu.
Tetapi orang tersebut tidak berani melawan karena maling itu berjumlah tiga
orang dan semuanya bersenjata tajam. Orang itu hanya
berteriak maling-maling saja untuk memanggil warga yang lain. Hingga sampai beberapa lama
ketika para maling sudah
mulai jauh sampai di pinggir dusun, langkah mereka terhenti.
Tiba-tiba telah berdiri seorang berbadan kekar di depan mereka. Ternyata orang
itu adalah pak Wiro. Pak Wiro dengan berani
sendirian mencegat
langkah para maling itu.
Dengan hanya
menggunakan kayu panjang yang cukup besar, pak Wiro tanpa
takut menghadapi ketiga maling
tersebut. Tanpa banyak bicara, Pak Wiro mengayunkan
kayunya dengan lincah. Para maling itu terkejut dengan serangan yang tiba-tiba.
Mereka tangkis serangan itu dengan menggunakan pedang masing-masing ditangan
mereka. Tapi ternyata tangkisan sia-sia belaka. Kayu itu bagaikan gada yang menggedor
kuat. Pedang mereka terpental dan jatuh di tanah. Dan dengan yang cepat
kemudian pak Wiro menyerampang kaki seorang maling. Dan maling yang lain ia
sikut mengenai wajahnya ditambah dengan hantaman kayunya mengenai maling yang
satu lagi. Malaing-maling itu
terpelanting jatuh. Mereka agak kesulitan untuk bangun.
Tanpa
banyak waktu ketiga pencuri tersebut dapat dilumpuhkan. Baru ketika ketiga
pencuri sudah tidak berdaya, baru warga berdatangan ke tempat lokasi
tersebut. Warga sempat melihat bagaimana
pak Wiro melumpuhkan ketiga pencuri tersebut.
Mereka semapat kagum dengan cara berkelahi dari pak Sastro. Dengan entengnya ia
menggerakkan kayu itu untuk melumpuhkan ketiga pencuri yang bersenjatakan
senjata tajam dan berwajah sangar tersebut.
Melihat hal tersebut warga semakin bersimpati dengan pak Wiro.
Mereka semakin segan dengan pak Wiro.
Akan tetapi
sebenarnya warga masih penasaran dengan sosok pak Wiro. Pak
Wiro bukan warga asli di dusun itu. Pak Wiro baru tinggal disitu sekitar tiga tahun. Kabarnya Pak
Wiro dari daerah Bang Wetan. Warga tidak
banyak tahu tentang kehidupan masa lalu dari pak Wiro. Pak Wiro agak tertututp
bila berbicara mengenai masa lalunya.
Pada suatu
ketika pak Wiro pernah kedatangan tamu.
Tamu itu dua orang kekar dan berwajah cukup sangar. Orang itu datang pada malam
hari.
"Dari mana
kalian tahu aku ada di sini? Trus buat apa kalian datang menemuiku ? "
tanya pak Wiro dengan sorot matanya yang tajam. Pak Wiro sudah mengenal baik
tamu-tamu itu. Mereka adalah kawan-kawan lamanya.
"Begini bos
Wiro. Kami tahu posisi bos Wiro dari salah satu kawan kita di sini. Dia dapat
informasi dari temannya yang tahu bahwa
ada bos Wiro ada di sini. Katanya temannya pernah di hajar oleh bos Wiro sewaktu ketahuan maling di dusun ini.
Maka kami terus datang kesini"
"Jadi kalian
datang kesini mau menuntut balas begitu ?" sambil melotot.
"Bukan begitu
maksud kami bos. Bukan begitu"
jawab yang satu lagi.
" Lha trus mau
apa ? " tanya pak Wiro masih dengan tegang.
"Begini bos.
Kami ada rencana mau mengadakan aksi besar" timpal yang berambut agak
panjang. "Kami berencana mau merampok toko emas. Toko emas ini toko emas
terbesar di kota. Penjagaannya cukup ketat. Dan saya mau minta mas Wiro mau
bergabung dengan kita. Kami perlu bantuan bos Wiro. Sudah lama kami mencari mas
Wiro setelah tahu bosWiro bebas dari Nusakambangan. Mas Wiro sudah sangat jago
untuk itu. Siapa yang tak kenal Wiro Codet. Perampok toko emas yang sangat
terkenal"
Tanpa
disangka-sangka pak Wiro berkata dengan keras. "Sekarang juga keluar
kalian. Keluar !"
"Tapi
bos."
"Tidak ada
tapi-tapian. Cepat keluar dan pergi dari rumah ku. Sekarang juga. Atau kalau
tidak aku akan..." teriak pak Wiro sambil mau mengambil sesuatu dari
belakang rumah.
"Iya..iya..bos.
Kami pergi." kedua orang itu lalu dengan tergopoh-gopoh keluar dan pergi
dari rumah pak Wiro.
Setelah kedua tamu
itu tidak kelihatan. Pak Wiro lalu duduk di lincak depan rumah. Dia diam. Dia
rebahkan badannya hingga posisi tiduran. Pandangannya lurus ke atas. Menatap
atap yang telah di jalari rumah laba-laba. Matanya menerawang. Pak Wiro teringat
masa lalunya.
Wiro adalah anak
tertua dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya berpisah sejak dia masih kecil.
Ibunya tidak tahan dengan kelakuan ayahnya yang suka bermain judi dan mabuk-mabukan.
Tidak hanya itu, ayahnya suka memukuli ibunya jika tidak diberi uang untuk
membeli minuman atau berjudi. Ibu pergi dari rumah mengajak kedua adikku.
Seperginya ibu dari rumah, ayahnya masih
meneruskan tabiat buruknya. Dirinya tidak diurus. Bahkan mengajari dirinya
berbuat tidak baik. Wiro kecil menjadi anak yang liar. Wiro kecil jadi suka
berkelahi, mabuk-mabukan dan sering memalak orang di jalan. Menginjak remaja
dia telah jadi jagoan di kampungnya. Hingga Wiro dia aku besar perbuatan kriminalnya semakin
menjadi. Dia jadi seorang pencuri. Dimulai dengan mencuri ayam tetangga
meningkat menjadi mencuri uang di warung lau
mencuri sepeda motor sampai akhirnya ia menjadi perampok spesialis
perampok toko emas.
Wiro merampok emas
bersama beberapa kawannya yang merupakan anak buahnya. Ia mempersenjatai
dirinya tidak hanya dengan senjata tajam tapi juga senjata api. Dalam setiap
aksinya ia tak segan-segan melukai para korbannya. Wiro dan kawannya telah
banyak merampok toko emas di beberapa kota besar. Kawan-kawannya banyak yang
takut dan segan dengan reputasi dirinya. Dia menjadi penjahat terkenal. Oleh
kawan-kawannya, bahkan oleh aparat kepolisian, dia terkenal dengan sebutan Wiro
Codet, karena ada luka codet di wajahnya. Codet itu adalah bekas luka akibat
terkena pisau lawannya dalam suatu perkelahian.
Tidak selalu dalam
melakukan aksinya Wiro berhasil. Pernah ia gagal dan akhirnya tertangkap dan
dipenjara. Tetapi begitu keluar penjara dia melakukan perampokan lagi. Sampai 3
kali. Hingga akhirnya ia di penjara di Nusakambangan selama 10 tahun.
Baru sekitar tiga
tahun yang lalu ia bebas. Dan ia memutuskan untuk meninggalkan profesinya dulu.
Dia memilih tinggal di desa yang cukup terpencil. Dia ingin hidup tenang tanpa
kekerasan. Ia ingin meninggalkan segala kehidupan di masa lalunya. Ia merasa
sudah cukup tua untuk melakukan kejahatan seperti dulu lagi. Dia ingin
bertobat, mendekatkan diri dengan Tuhan.
"Dor...dor".
Tiba-tiba Pak Wiro telah bermandikan darah. Jantung dan
kepalanya tertembus peluru timah panas. Dua orang berbadan kekar dengan cepat
berlari meninggalkan rumah itu.
Kulon Progo, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar