Jumat, 21 Juni 2019

KARYA


Wiro
Cerpen Tri Apriyadi

Siang itu.  Panas mentari menyengat kepala.
Lelaki berbadan kekar tanpa sehelai balutan kain seakan menantangnya di sawah. Cangkul di hunjamkan dengan tekanan yang kuat ke dalam tanah. Tapak dalam menembus bumi. Diangkat sejengkal tanah dan dihunjamkan lagi ke bumi. Berulang hingga beratus kali.  Dia berhenti sebentar.  
Gantian ia ambil arit di pinggir pematang sawah. Dia sabitkan di lereng-lereng pematang sawah. Rumput-rumput beterbangan dalam sabitan-sabitan kuat kiri kanan.  Hanya sesekali dia mengelap keringat yang membanjiri tubuhnya. Dalam terik tersebut orang itu terus saja bekerja. Haus tidak terasakan dalam kegerahannya. Dia hanya berhenti sejenak kemudian larut kembali dalam kesibukannya. Berpeluh keringat yang deras dan terus mengaliri tubuhnya yang berkulit coklat tua. Pada badannya terlihat banyak bekas luka. Dan nampak ada bekas luka codet di wajahnya. Menandakan masa lalunya diarungi dalam kehidupan yang keras. Rambutnya dibiarkan panjang berikal tidak terawat.  
Orang-orang dusun mengenalnya bernama Wiro. Ya, Pak Wiro. Seorang buruh tani, berusia hampir genap setengah abad, yang pendiam tapi murah senyum. Dia sangat sopan kepada siapa saja. Dia orang yang sederhana. Itu  nampak dari pakaiannya yang apa adanya.
Dia hidup sebatang kara di rumah di pinggiran dusun itu. Rumahnya sangat sederhana. Hanya terdiri dari dua ruangan saja. Ruang depan dan belakang yang berfungsi sebagai ruang tidur dan sekaligus dapur. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah tua dan banyak lobang  termakan rayap karena usia. Kalau hujan deras mendera, banyak atapnya yang bocor.  Ini semakin memperburuk kondisi rumahnya yang sudah reot.
Ini juga menjadi sebuah keprihatinan dari warga masyarakat kampung sekitar karena pak Wiro terkenal orang yang rajin dan suka menolong. Ketika ada acara kemasyarakatan seperti kerja bakti dan gugur gunung, ia selalu ikut membantu.  Ini yang membuat warga merasa simpatik dengan keberadaan pak Wiro. Di samping itu, ternyata pak Wiro diam-diam pandai berkelahi.
Pernah suatu saat salah seorang warga dusun, kemalingan rumah. Kebetulan salah seorang warga memergoki maling itu. Tetapi orang tersebut tidak berani melawan karena maling  itu berjumlah tiga orang dan semuanya bersenjata tajam. Orang itu hanya berteriak maling-maling saja untuk memanggil warga yang lain. Hingga sampai beberapa lama ketika para maling sudah mulai jauh sampai di pinggir dusun, langkah mereka terhenti. Tiba-tiba telah berdiri seorang berbadan kekar di depan mereka. Ternyata orang itu adalah pak Wiro. Pak Wiro dengan berani sendirian mencegat langkah para maling itu.  
Dengan hanya menggunakan kayu panjang yang cukup besar, pak Wiro tanpa takut  menghadapi ketiga maling tersebut. Tanpa banyak bicara, Pak Wiro mengayunkan kayunya dengan lincah. Para maling itu terkejut dengan serangan yang tiba-tiba. Mereka tangkis serangan itu dengan menggunakan pedang masing-masing ditangan mereka. Tapi ternyata tangkisan sia-sia belaka. Kayu itu bagaikan gada yang menggedor kuat. Pedang mereka terpental dan jatuh di tanah. Dan dengan yang cepat kemudian pak Wiro menyerampang kaki seorang maling. Dan maling yang lain ia sikut mengenai wajahnya ditambah dengan hantaman kayunya mengenai maling yang satu lagi. Malaing-maling  itu terpelanting jatuh. Mereka agak kesulitan untuk bangun. 
Tanpa banyak waktu ketiga pencuri tersebut dapat dilumpuhkan. Baru ketika ketiga pencuri sudah tidak berdaya, baru warga berdatangan ke tempat lokasi tersebut.  Warga sempat melihat bagaimana pak Wiro melumpuhkan ketiga pencuri tersebut. Mereka semapat kagum dengan cara berkelahi dari pak Sastro. Dengan entengnya ia menggerakkan kayu itu untuk melumpuhkan ketiga pencuri yang bersenjatakan senjata tajam dan berwajah sangar tersebut.  Melihat hal tersebut warga semakin bersimpati dengan pak Wiro. Mereka semakin segan dengan pak Wiro.
Akan tetapi sebenarnya warga masih penasaran dengan sosok pak Wiro. Pak Wiro bukan warga asli di dusun itu. Pak Wiro baru tinggal disitu sekitar tiga tahun. Kabarnya Pak Wiro dari daerah Bang Wetan.  Warga tidak banyak tahu tentang kehidupan masa lalu dari pak Wiro. Pak Wiro agak tertututp bila berbicara mengenai masa lalunya.
Pada suatu ketika  pak Wiro pernah kedatangan tamu. Tamu itu dua orang kekar dan berwajah cukup sangar. Orang itu datang pada malam hari.
"Dari mana kalian tahu aku ada di sini? Trus buat apa kalian datang menemuiku ? " tanya pak Wiro dengan sorot matanya yang tajam. Pak Wiro sudah mengenal baik tamu-tamu itu. Mereka adalah kawan-kawan lamanya.
"Begini bos Wiro. Kami tahu posisi bos Wiro dari salah satu kawan kita di sini. Dia dapat informasi dari temannya  yang tahu bahwa ada bos Wiro ada di sini. Katanya temannya pernah di hajar oleh bos  Wiro sewaktu ketahuan maling di dusun ini. Maka kami terus datang kesini"
"Jadi kalian datang kesini mau menuntut balas begitu ?" sambil melotot.
"Bukan begitu maksud kami bos.  Bukan begitu" jawab yang satu lagi.
" Lha trus mau apa ? " tanya pak Wiro masih dengan tegang.
"Begini bos. Kami ada rencana mau mengadakan aksi besar" timpal yang berambut agak panjang. "Kami berencana mau merampok toko emas. Toko emas ini toko emas terbesar di kota. Penjagaannya cukup ketat. Dan saya mau minta mas Wiro mau bergabung dengan kita. Kami perlu bantuan bos Wiro. Sudah lama kami mencari mas Wiro setelah tahu bosWiro bebas dari Nusakambangan. Mas Wiro sudah sangat jago untuk itu. Siapa yang tak kenal Wiro Codet. Perampok toko emas yang sangat terkenal"
Tanpa disangka-sangka pak Wiro berkata dengan keras. "Sekarang juga keluar kalian. Keluar !"
"Tapi bos."
"Tidak ada tapi-tapian. Cepat keluar dan pergi dari rumah ku. Sekarang juga. Atau kalau tidak aku akan..." teriak pak Wiro sambil mau mengambil sesuatu dari belakang rumah.
"Iya..iya..bos. Kami pergi." kedua orang itu lalu dengan tergopoh-gopoh keluar dan pergi dari rumah pak Wiro.
Setelah kedua tamu itu tidak kelihatan. Pak Wiro lalu duduk di lincak depan rumah. Dia diam. Dia rebahkan badannya hingga posisi tiduran. Pandangannya lurus ke atas. Menatap atap yang telah di jalari rumah laba-laba. Matanya menerawang. Pak Wiro teringat masa lalunya.
Wiro adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya berpisah sejak dia masih kecil. Ibunya tidak tahan dengan kelakuan ayahnya yang suka bermain judi dan mabuk-mabukan. Tidak hanya itu, ayahnya suka memukuli ibunya jika tidak diberi uang untuk membeli minuman atau berjudi. Ibu pergi dari rumah mengajak kedua adikku. Seperginya ibu dari rumah,  ayahnya masih meneruskan tabiat buruknya. Dirinya tidak diurus. Bahkan mengajari dirinya berbuat tidak baik. Wiro kecil menjadi anak yang liar. Wiro kecil jadi suka berkelahi, mabuk-mabukan dan sering memalak orang di jalan. Menginjak remaja dia telah jadi jagoan di kampungnya. Hingga Wiro  dia aku besar perbuatan kriminalnya semakin menjadi. Dia jadi seorang pencuri. Dimulai dengan mencuri ayam tetangga meningkat menjadi mencuri uang di warung lau  mencuri sepeda motor sampai akhirnya ia menjadi perampok spesialis perampok toko emas.
Wiro merampok emas bersama beberapa kawannya yang merupakan anak buahnya. Ia mempersenjatai dirinya tidak hanya dengan senjata tajam tapi juga senjata api. Dalam setiap aksinya ia tak segan-segan melukai para korbannya. Wiro dan kawannya telah banyak merampok toko emas di beberapa kota besar. Kawan-kawannya banyak yang takut dan segan dengan reputasi dirinya. Dia menjadi penjahat terkenal. Oleh kawan-kawannya, bahkan oleh aparat kepolisian, dia terkenal dengan sebutan Wiro Codet, karena ada luka codet di wajahnya. Codet itu adalah bekas luka akibat terkena pisau lawannya dalam suatu perkelahian. 
Tidak selalu dalam melakukan aksinya Wiro berhasil. Pernah ia gagal dan akhirnya tertangkap dan dipenjara. Tetapi begitu keluar penjara dia melakukan perampokan lagi. Sampai 3 kali. Hingga akhirnya ia di penjara di Nusakambangan selama 10 tahun.
Baru sekitar tiga tahun yang lalu ia bebas. Dan ia memutuskan untuk meninggalkan profesinya dulu. Dia memilih tinggal di desa yang cukup terpencil. Dia ingin hidup tenang tanpa kekerasan. Ia ingin meninggalkan segala kehidupan di masa lalunya. Ia merasa sudah cukup tua untuk melakukan kejahatan seperti dulu lagi. Dia ingin bertobat, mendekatkan diri dengan Tuhan.       
"Dor...dor".
Tiba-tiba Pak Wiro telah bermandikan darah. Jantung dan kepalanya tertembus peluru timah panas. Dua orang berbadan kekar dengan cepat berlari meninggalkan rumah itu.

Kulon Progo, 2013

 
    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  K A R Y A     AHMAD MALIKI MASHAR     Suluh Penyuluh   Mulut berbisa mengurut luka Menepuk dada tersuruk bangga Berlulur s...