SIMFONI
KERTAS HIJAU
Cerpen Mita Kartikasari
Cahaya lampu telah terkalahkan oleh sorot jingga dari ufuk timur. Sinar lembutnya meresap ke tubuhku yang telah rapuh. Aku duduk terdiam di tepi jendela, memandang kendaraan berlalu-lalang bagai semut yang berbaris. Bumi telah bangun dari malamnya, hari baru telah dimulai. Lelaki tua berkacamata dengan rambut putih dan kulit keriput itu tengah sibuk mengayunkan kemoceng. Helaian bulu yang berwarna-warni seolah sebagai penjaga sunyi, menghapus jejak debu tanpa suara. Butiran debu yang menempel di jejeran jam antik itu seketika pergi tanpa jejak.
“Benda-benda yang
beruntung,” gumamku pelan. Anganku
tersadar, diriku tak pernah disentuh ataupun diperhatikan. Duniaku hampa tanpa rasa kasih sayang.
Aku hanya selembar kertas
tipis berwarna hijau, salah satu
sisiku bergambar orang utan yang pernah
gagah menatap dunia. Kini tubuhku lusuh,
warna tak secerah dulu, dan kertas yang rapuh termakan oleh waktu. Aku
tinggal di sebuah toko jam antik milik
lelaki tua yang tak pernah lelah menunggu pengunjung walau hanya satu atau dua
orang setiap harinya. Tubuhku terbaring lesu di sebuah laci kayu, di antara kertas-kertas yang tak
penting. Terkadang aku mendekat ke arah jendela, memandang dunia yang seakan
melupakanku.
“Astaga uang ini! Kenapa
bisa di sini? Padahal telah ku taruh di laci kayu itu,” ucap lelaki tua, meraihku lalu membaringkan
tubuhku yang lemah di dalam laci.
Kembali ke semula, tempat dengan segala
cerita hampa.
Hatiku selalu membawa
harapan, agar aku selalu
diperhatikan dan dapat membawa
banyak manfaat untuk manusia. Menjadi alat tukar setiap hari, berpindah dari
pasar hingga rumah tua. Namun sayangnya waktu telah menghapus semua jejak emasku, menyisakan memori yang berakhir
rindu. Tangan-tangan itu kini enggan mendekat, memasukkanku ke dompet, dan
menyerahkan ke pedagang.
Aku melirik ke arah jam tua
berwarna cokelat dengan senar-senar
kecil berbaris di bawahnya, biasa dijuluki “Jam Kakek”. Tubuh jam itu terlalu tinggi untukku yang hanya
selembar kertas. Bola mataku bergerak ke atas meneliti jarum jam yang telah
mengarah ke angka sembilan. Hari mulai siang, sinar matahari semakin
membakar bumi. Toko jam antik belum
kunjung mendapat pembeli. Lelaki tua itu tertidur di sebuah kursi goyang yang biasa ia tempati.
Kring kring kring
Jam weker berwarna biru di
sampingnya berteriak marah, berusaha membangunkan lelaki tua yang dari tadi
terdengkur.
Kring kring-
Lelaki tua itu terbangun.
Telunjuknya menekan tombol off, membuat
suara jam weker Itu terhenti.
Lelaki tua kemudian meraih
gitar yang ia letakkan di atas lemari. Ia duduk di samping Jam kakek yang berdiri megah. Perlahan
jemarinya memetik senar dengan lihai. Petikan senar mengalir bagai sungai yang
tenang, menjahit merdu sekaligus menyejukkan hati yang resah. Membuka ulang
pintu ingatan, menyeretku kembali ke barisan memori yang pernah terangkai.
35 tahun yang lalu.
“Pak, ke pasar baru ya!”
ucap wanita muda berbaju hijau dengan motif bunga-bunga, menyerahkan tubuhku ke
seorang pria tua yang baru saja berhenti mengayuh becak.
“Monggo, Mbak. Uangnya pas,” seraknya bersahabat, seakan angka itu adalah hal yang
wajar untuk sebuah perjalanan singkat.
Tubuhku berpindah dari
wanita itu ke tangan tukang becak yang basah oleh keringat. Ia tersenyum, menggenggamku erat, lalu memasukkanku ke
kantong lusuh di balik bajunya. Baginya aku bukan hanya selembar kertas tipis.
Aku adalah sebungkus nasi untuk makan malam
atau segelas kopi hangat setelah lelah mengayuh seharian. Roda besi
berdecit, kayuhan pelan terdengar berpadu dengan napas berat seorang tukang
becak.
“Pak, anaknya udah kelas
berapa?” tanya wanita itu kepada pria tua yang tengah berusaha mengayuh becak
di belakang kursinya.
“Sekarang udah kelas 2 SMP.
Bayar SPP naik jadi lima ribu. Ya, dari narik becak ini,” jawab pria tua
sambil sesekali mengusap keringat yang
bertetesan di dahinya.
Suasana terasa begitu akrab.
Anak-anak berlari di pinggir jalan sambil
menjajakan es lilin lima puluh perak. Kendaraan bemo berlalu lalang di
jalanan, meraung dengan knalpot berasap.
Pasar menjadi jantung
kebutuhan sehari-hari. Berbekal semangat, para pedagang menata dagangannya yang
menjadi tumpuan harapan. Teriakan mereka
bersahut- sahutan di bawah terik yang
tak lagi dihiraukan.
“Maturnuwun, Pak,” ucap
wanita itu dengan tersenyum sambil
meninggalkan becak, menyisakan wangi parfum citrus yang sedang banyak
dibincangkan oleh kalangan anak muda.
Pria tua itu tersenyum tulus, kulit keriputnya sedikit terangkat.
Kayuhan becak tua itu
berderit, suara rantainya yang kering seolah ikut bernyanyi di bawah terik
matahari. Pria tua dengan rambut memutih
itu membungkuk sedikit, tubuhnya kurus namun masih kokoh menopang beban waktu. Keringat menetes perlahan di pelipis, menodai kemeja
lusuh yang telah lama menemaninya.
Tak lama, ia menarik napas
panjang dan mengurangi kayuhan. Sebuah
warung sederhana berdiri di tepi jalan, dindingnya dari anyaman bambu,
atapnya ditopang seng berkarat. Warung itu dipenuhi stoples kaca berisi kerupuk,
permen, dan kacang. Bercampur aroma kopi hitam dan pisang goreng menyeruak dari
dapur kecil di belakangnya. Kakek berhenti, memarkirkan becaknya dengan pelan.
Kakinya yang renta menjejak tanah berdebu.
Suara bel kecil di pintu
bambu berbunyi nyaring ketika ia masuk. “Sugeng
siang, Pak,” sapa pemilik warung sambil
tersenyum ramah.
“Siang, Bu. Kopi pahit satu
ya,” ia duduk di bangku kayu panjang yang agak goyah, melepaskan caping dari
kepalanya. Angin sore masuk lewat celah bambu, membawa ketenangan. Matanya menerawang keluar,
memandangi jalan yang mulai lengang.
Becaknya bersandar setia di bawah
pohon jambu, seperti sahabat lama yang ikut menemaninya menunggu waktu
berjalan.
Di sudut warung, sebuah radio transistor tua menyala dengan suara
agak serak. Antena logamnya miring,
ditempel lakban di beberapa bagian. Dari sana terdengar lagu Nike Ardilla,
suaranya merdu tapi menyayat, seolah membawa
semua orang yang mendengar ke
dalam nostalgia. Sesekali suara penyiar menyela, menyebutkan berita singkat seperti
siang-siang sebelumnya.
“Pendengar sekalian, harga kebutuhan pokok kembali naik.
Beras medium yang sebelumnya seribu dua ratus rupiah per kilo, kini naik
menjadi seribu lima ratus rupiah. Minyak tanah pun ikut mengalami kenaikan dari
lima ratus lima puluh rupiah menjadi enam ratus rupiah per liter. Kenaikan harga ini tentu menjadi perhatian masyarakat,
terutama kalangan kecil yang
mengandalkan pendapatan harian.”
Kalimat itu berhenti di
udara, tapi getarnya menusuk ke tubuhku yang lusuh. Aku, selembar uang lima ratus, tiba-tiba
merasa begitu kecil. Dulu, dengan
tubuhku, seseorang bisa pulang membawa
sekilo beras atau sekurangnya dua ikat sayur segar. Kini, aku tak cukup
lagi. Aku tak lagi bisa menukar keringat tukang becak dengan segenggam beras
atau membuat anak sekolah kenyang di kantin dengan sepiring nasi.
Kakek menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir
kopi yang masih beruap. “Naik lagi, ya…,” gumamnya lirih. Pemilik warung hanya menimpali, “Iya,
Kek. Uang lima ratus sekarang paling cuma buat permen.”
Aku tercekat mendengar itu.
Rasanya seperti pisau yang menoreh hatiku. Aku bukan lagi sahabat sehari-hari
manusia, bukan lagi penyelamat lapar, bukan lagi bagian dari transaksi yang
berarti. Seakan berita radio tadi bukan hanya kabar ekonomi, tapi kabar
kematianku perlahan. Di sanalah aku
sadar. Saat harga-harga melambung, aku
ditinggalkan. Aku mulai kehilangan
nilainya, mulai dianggap tak berharga.
“Ini uangnya bu,” tangan keriput itu
memindahkan tubuhku jemari penjual yang masih tercium bau kopi.
“Saya mau beli jam kayaknya, pak. Udah rusak
itu. Ya dapet uang lima ratus ini, buat
tambah-tambah. Kemarin harganya 3.500 saya liat di toko pinggir jalan
itu,” ujar penjual sambil mengelap meja warung dengan taplak plastik.
“Masih bisa buat tambah-tambah
juga uang itu,” jawab lelaki tua, memasang topinya.
***
Suara gitar yang tadi mengalun lembut kini
mereda, senar bergetar terakhir kali sebelum akhirnya terdiam. Ruang toko pun
kembali sunyi, hanya tersisa detak jarum jam yang bergerak perlahan. Aku ikut
terhenti dalam lamunanku. Aku sadar, begitu jauh terseret ke masa lalu. Semua
memori itu, derap becak, aroma kopi di warung tahun 1990. Semua hanya bayangan.
Aku hanyalah selembar kertas hijau yang kini rapuh, terbaring di laci kayu
berdebu.
Langkah kaki perlahan mendekat. Kakek pemilik
toko itu baru saja menaruh gitarnya kembali di atas lemari. Pandangannya lalu
terjatuh pada jendela yang setengah terbuka. Alisnya berkerut melihatku. Di
sana, selembar kertas hijau yang lusuh tergeletak sendirian.
Cahaya matahari siang
menembus jendela kaca, jatuh tepat ke tubuhku, seolah ingin menyingkap
keberadaanku yang nyaris dilupakan. Kakek menghela napas, lalu tersenyum tipis.
“Ah… uang lima ratus,” gumamnya lirih,
suaranya penuh rasa sayang seperti sedang menyapa sahabat lama. Dengan
hati-hati ia mengangkat tubuhku, meraba tekstur kertas yang mulai rapuh dimakan
usia. Tatapannya jauh, seolah ikut terhanyut ke tahun-tahun yang pernah
kualami.
Alih-alih mengabaikanku,
kakek melangkah ke arah etalase kaca tempat ia memajang jam-jam antik yang
setia berdiri dengan waktu mereka. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkanku
di sana, di antara benda tua yang tak lekang oleh cerita.
Kini aku bukan lagi sekadar
selembar kertas yang terlupakan. Aku dipajang, dipandang, dan diberi tempat
layak untuk bernapas bersama kenangan lain. Walau tak lagi berharga sebagai
alat tukar, setidaknya aku masih dihargai sebagai bagian dari sejarah yang pernah
hidup.
Selesai.
Mita Kartikasari, siswi kelas 8 di MTs Negeri 4 Kulon Progo. Mempunyai hobi membaca buku, seperti novel, komik, cerpen, maupun ensiklopedia. Selain itu, juga suka menulis cerita, mendengarkan musik, dan menggambar. Kesukaan membaca buku dan menulis sejak kecil, membawa Mita meraih juara di tiga kejuaraan yaitu Juara 1 menulis resensi buku SKANSA CUP 2025, juara 1 FLS3N tingkat Kabupaten Kulon Progo 2025, dan juara 1 FLS3N tingkat Provinsi DIY 2025. Selain bidang sastra, Mita juga menyukai matematika. Di sekolah ia ikut ekstrakurikuler seni tari dan tilawah. Dengan semua pengalamannya, ia berharap dapat mewujudkan cita-cita saya, menjadi seorang penulis. Mita dapat di hubungi di nomor WA : 0851 9859 7494.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar