Pemberitahuan

Laman Sastra-Ku sedang dalam proses perbaikan, mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Namun demikian, karya-karya tetap akan ditampilkan secara rutin.

Jumat, 21 November 2025

Karya Edisi 11/35-3

 

SIMFONI KERTAS HIJAU

Cerpen Mita Kartikasari  


        Cahaya lampu telah terkalahkan oleh sorot jingga dari ufuk timur. Sinar lembutnya meresap  ke tubuhku yang telah rapuh. Aku duduk terdiam di tepi jendela, memandang kendaraan  berlalu-lalang bagai semut yang berbaris.  Bumi telah bangun dari malamnya, hari baru telah dimulai.  Lelaki tua berkacamata dengan rambut putih dan kulit keriput itu tengah sibuk mengayunkan kemoceng. Helaian  bulu yang berwarna-warni seolah sebagai  penjaga sunyi, menghapus jejak debu tanpa suara.  Butiran debu yang menempel  di jejeran jam antik itu seketika  pergi tanpa jejak.

          “Benda-benda yang beruntung,” gumamku  pelan. Anganku tersadar, diriku tak pernah disentuh ataupun diperhatikan. Duniaku  hampa tanpa rasa kasih sayang.

        Aku hanya selembar kertas tipis berwarna hijau,  salah satu sisiku  bergambar orang utan yang pernah gagah menatap dunia. Kini tubuhku lusuh,  warna tak secerah dulu, dan kertas yang rapuh termakan oleh waktu. Aku tinggal di sebuah  toko jam antik milik lelaki tua yang tak pernah lelah menunggu pengunjung walau hanya satu atau dua orang setiap harinya. Tubuhku terbaring lesu di sebuah  laci kayu, di antara kertas-kertas yang tak penting. Terkadang aku mendekat ke arah jendela, memandang dunia yang seakan melupakanku.

       “Astaga uang ini! Kenapa bisa di sini? Padahal telah ku taruh di laci kayu itu,” ucap  lelaki tua, meraihku lalu membaringkan tubuhku yang lemah di dalam laci.  Kembali ke semula, tempat dengan segala  cerita hampa.

        Hatiku selalu  membawa  harapan, agar aku selalu  diperhatikan  dan dapat membawa banyak manfaat untuk manusia. Menjadi alat tukar setiap hari, berpindah dari pasar hingga rumah tua. Namun sayangnya waktu telah menghapus semua  jejak emasku, menyisakan memori yang berakhir rindu. Tangan-tangan itu kini enggan mendekat, memasukkanku ke dompet, dan menyerahkan ke pedagang.

       Aku melirik ke arah jam tua berwarna cokelat  dengan senar-senar kecil berbaris di bawahnya,  biasa  dijuluki “Jam Kakek”.  Tubuh jam itu terlalu tinggi untukku yang hanya selembar kertas. Bola mataku bergerak ke atas meneliti jarum jam yang telah mengarah ke angka sembilan. Hari mulai siang, sinar matahari semakin membakar  bumi. Toko jam antik belum kunjung mendapat  pembeli.  Lelaki tua itu tertidur di sebuah  kursi goyang yang biasa ia tempati.

            Kring kring kring

        Jam weker berwarna biru di sampingnya berteriak marah, berusaha membangunkan lelaki tua yang dari tadi terdengkur.

            Kring kring-

           Lelaki tua itu terbangun. Telunjuknya  menekan tombol off, membuat suara jam weker Itu terhenti.

         Lelaki tua kemudian meraih gitar yang ia letakkan di atas lemari. Ia duduk di samping  Jam kakek yang berdiri megah. Perlahan jemarinya memetik senar dengan lihai. Petikan senar mengalir bagai sungai yang tenang, menjahit merdu sekaligus menyejukkan hati yang resah. Membuka ulang pintu ingatan, menyeretku kembali ke barisan memori yang pernah  terangkai.

 ***

            35 tahun yang lalu.

        “Pak, ke pasar baru ya!” ucap wanita muda berbaju hijau dengan motif bunga-bunga, menyerahkan tubuhku ke seorang pria tua yang baru saja berhenti mengayuh becak.

         “Monggo, Mbak.  Uangnya pas,” seraknya  bersahabat, seakan angka itu adalah hal yang wajar untuk sebuah  perjalanan  singkat.

        Tubuhku berpindah dari wanita itu ke tangan tukang becak yang basah oleh keringat. Ia tersenyum,  menggenggamku erat, lalu memasukkanku ke kantong lusuh di balik bajunya. Baginya aku bukan hanya selembar kertas tipis. Aku adalah sebungkus nasi untuk makan malam  atau segelas kopi hangat setelah lelah mengayuh seharian. Roda besi berdecit, kayuhan pelan terdengar berpadu dengan napas berat seorang tukang becak.

      “Pak, anaknya udah kelas berapa?” tanya wanita itu kepada pria tua yang tengah berusaha mengayuh becak di belakang kursinya.

        “Sekarang udah kelas 2 SMP. Bayar SPP naik jadi lima ribu. Ya, dari narik becak ini,” jawab pria tua sambil  sesekali mengusap keringat yang bertetesan di dahinya.

        Suasana terasa begitu akrab. Anak-anak berlari di pinggir jalan sambil  menjajakan es lilin lima puluh perak. Kendaraan bemo berlalu lalang di jalanan,  meraung dengan knalpot berasap.

        Pasar menjadi jantung kebutuhan sehari-hari. Berbekal semangat, para pedagang menata dagangannya yang menjadi tumpuan harapan.  Teriakan mereka bersahut- sahutan  di bawah terik yang tak lagi dihiraukan.

       Maturnuwun, Pak,” ucap wanita itu dengan tersenyum sambil  meninggalkan becak, menyisakan wangi parfum citrus yang sedang banyak dibincangkan oleh kalangan  anak muda. Pria tua itu tersenyum tulus, kulit keriputnya sedikit terangkat.

        Kayuhan becak tua itu berderit, suara rantainya yang kering seolah ikut bernyanyi di bawah terik matahari.  Pria tua dengan rambut memutih itu membungkuk sedikit, tubuhnya kurus namun masih kokoh  menopang beban waktu. Keringat  menetes perlahan di pelipis, menodai kemeja lusuh yang telah lama menemaninya.

      Tak lama, ia menarik napas panjang dan mengurangi kayuhan. Sebuah  warung sederhana berdiri di tepi jalan, dindingnya dari anyaman bambu, atapnya ditopang seng berkarat. Warung itu dipenuhi stoples kaca berisi kerupuk, permen, dan kacang. Bercampur aroma kopi hitam dan pisang goreng menyeruak dari dapur kecil di belakangnya. Kakek berhenti, memarkirkan becaknya dengan pelan. Kakinya yang renta menjejak tanah berdebu.

        Suara bel kecil di pintu bambu berbunyi nyaring ketika ia masuk. “Sugeng siang, Pak,” sapa pemilik warung sambil  tersenyum ramah.

    “Siang, Bu. Kopi pahit satu ya,” ia duduk di bangku kayu panjang yang agak goyah, melepaskan caping dari kepalanya. Angin sore masuk lewat celah bambu, membawa  ketenangan. Matanya menerawang keluar, memandangi jalan yang mulai lengang.  Becaknya bersandar  setia di bawah pohon jambu, seperti sahabat lama yang ikut menemaninya menunggu waktu berjalan.

        Di sudut warung, sebuah  radio transistor tua menyala dengan suara agak serak. Antena logamnya  miring, ditempel lakban di beberapa bagian. Dari sana terdengar lagu Nike Ardilla, suaranya merdu tapi menyayat, seolah membawa  semua  orang yang mendengar ke dalam nostalgia. Sesekali suara penyiar menyela,  menyebutkan berita singkat seperti siang-siang sebelumnya.

    “Pendengar  sekalian, harga kebutuhan pokok kembali naik. Beras medium yang sebelumnya seribu dua ratus rupiah per kilo, kini naik menjadi seribu lima ratus rupiah. Minyak tanah pun ikut mengalami kenaikan dari lima ratus lima puluh rupiah menjadi enam ratus rupiah per liter. Kenaikan  harga ini tentu menjadi perhatian masyarakat, terutama kalangan  kecil yang mengandalkan pendapatan harian.”

        Kalimat itu berhenti di udara, tapi getarnya menusuk ke tubuhku yang lusuh.  Aku, selembar uang lima ratus, tiba-tiba merasa  begitu kecil. Dulu, dengan tubuhku, seseorang bisa pulang membawa  sekilo beras atau sekurangnya dua ikat sayur segar. Kini, aku tak cukup lagi. Aku tak lagi bisa menukar keringat tukang becak dengan segenggam beras atau membuat anak sekolah kenyang di kantin dengan sepiring nasi.

        Kakek menghela  napas panjang, tangannya menggenggam cangkir kopi yang masih beruap. “Naik lagi, ya…,” gumamnya  lirih. Pemilik warung hanya menimpali, “Iya, Kek. Uang lima ratus sekarang  paling cuma  buat permen.”

        Aku tercekat mendengar itu. Rasanya seperti pisau yang menoreh hatiku. Aku bukan lagi sahabat sehari-hari manusia, bukan lagi penyelamat lapar, bukan lagi bagian dari transaksi yang berarti. Seakan berita radio tadi bukan hanya kabar ekonomi, tapi kabar kematianku perlahan.  Di sanalah aku sadar. Saat harga-harga  melambung, aku ditinggalkan. Aku mulai kehilangan  nilainya, mulai dianggap tak berharga.

         “Ini uangnya bu,” tangan keriput itu memindahkan tubuhku jemari penjual yang masih tercium bau kopi.

         “Saya mau beli jam kayaknya, pak. Udah rusak itu. Ya dapet uang lima ratus ini, buat  tambah-tambah. Kemarin harganya 3.500 saya liat di toko pinggir jalan itu,” ujar penjual sambil mengelap meja warung dengan taplak plastik.

“Masih bisa buat tambah-tambah juga uang itu,” jawab lelaki tua, memasang topinya.

 

***

        Suara gitar yang tadi mengalun lembut kini mereda, senar bergetar terakhir kali sebelum akhirnya terdiam. Ruang toko pun kembali sunyi, hanya tersisa detak jarum jam yang bergerak perlahan. Aku ikut terhenti dalam lamunanku. Aku sadar, begitu jauh terseret ke masa lalu. Semua memori itu, derap becak, aroma kopi di warung tahun 1990. Semua hanya bayangan. Aku hanyalah selembar kertas hijau yang kini rapuh, terbaring di laci kayu berdebu.

     Langkah kaki perlahan mendekat. Kakek pemilik toko itu baru saja menaruh gitarnya kembali di atas lemari. Pandangannya lalu terjatuh pada jendela yang setengah terbuka. Alisnya berkerut melihatku. Di sana, selembar kertas hijau yang lusuh tergeletak sendirian.

    Cahaya matahari siang menembus jendela kaca, jatuh tepat ke tubuhku, seolah ingin menyingkap keberadaanku yang nyaris dilupakan. Kakek menghela napas, lalu tersenyum tipis.

     “Ah… uang lima ratus,” gumamnya lirih, suaranya penuh rasa sayang seperti sedang menyapa sahabat lama. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuhku, meraba tekstur kertas yang mulai rapuh dimakan usia. Tatapannya jauh, seolah ikut terhanyut ke tahun-tahun yang pernah kualami.

       Alih-alih mengabaikanku, kakek melangkah ke arah etalase kaca tempat ia memajang jam-jam antik yang setia berdiri dengan waktu mereka. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkanku di sana, di antara benda tua yang tak lekang oleh cerita.

        Kini aku bukan lagi sekadar selembar kertas yang terlupakan. Aku dipajang, dipandang, dan diberi tempat layak untuk bernapas bersama kenangan lain. Walau tak lagi berharga sebagai alat tukar, setidaknya aku masih dihargai sebagai bagian dari sejarah yang pernah hidup.

Selesai.

 

Mita Kartikasari, siswi kelas 8 di MTs Negeri 4 Kulon Progo. Mempunyai hobi membaca buku, seperti novel, komik, cerpen, maupun ensiklopedia. Selain itu, juga suka menulis cerita, mendengarkan musik,  dan menggambar.  Kesukaan membaca buku dan menulis sejak kecil, membawa Mita  meraih juara di tiga kejuaraan yaitu Juara 1 menulis resensi buku SKANSA CUP 2025, juara 1 FLS3N tingkat Kabupaten Kulon Progo 2025, dan juara 1 FLS3N tingkat Provinsi DIY 2025. Selain bidang sastra, Mita juga menyukai matematika. Di sekolah ia ikut ekstrakurikuler seni tari dan tilawah. Dengan semua pengalamannya, ia berharap dapat mewujudkan cita-cita saya, menjadi seorang penulis. Mita dapat di hubungi di nomor WA  : 0851 9859 7494.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Karya Edisi 11/35-3